PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA INDIVIDU
KARYAWAN KORPORASI
Oleh: Alvi Syahrin
Karyawan korporasi dapat
dimintai pertanggungjawaban pribadi atas tindak pidana yang dilakukan dalam lingkup pekerjaannya, dalam hal
karyawan tersebut: a. merupakan pelaku langsung dalam tindak pidana, b.
bertanggungjawab berdasarkan theory of
accomplice liability; c. bersekongkol untuk melakukan tindak pidana atas
nama korporasi; dan d. dilimpahkan kepada pejabat korporasi yang memiliki
posisi yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.
Karyawan yang merupakan pelaku
langsung tindak pidana, bertanggungjawab karena terlibat secara aktif dan
langsung dalam tindak pidana, serta tidak dapat melepaskan diri dari
pertanggungjawaban pidana hanya dengan cara mengklaim bahwa perbuatan tersebut
dilakukan di dalam lingkup pekerjaannya. Misalnya, karyawan dengan sengaja
melakukan penggelapan atau pemalsuan informasi mengenai properti yang dimiliki
perusahaan, hal ini mengindikasikan bahwa karyawan tersebut telah terlibat
secara langsung dalam tindak pidana, baik dengan cara membantu dan bersekongkol
atau menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana. Berdasarkan theory of accomplice liability, karyawan
dapat di mintakan pertanggungjawaban pidana meskipun ia tidak terlibat dalam
tindak pidana secara langsung dan
meskipun tindak pidana dilakukan oleh teman kerjanya berdasarkan instruksi yang
diberikannya. Instruksi yang diberikannya tersebut menjadi bukti bagi karyawan
tersebut untuk dimintai
pertanggungjawaban.
Theory of accomplice liability dapat diperluas untuk menjangkau
pengawas yang mengetahui tapi memilih untuk mengabaikan perbuatan yang
dilakukan oleh bawahannya. Dengan kata lain, omisi atau kelalaian yang
disengaja atas tindakan bawahannya dapat menimbulkan tanggungjawab pidana
kepada si pengawas. Berdasarkan teori ini, pengawas memiliki kewajiban untuk
mengambil tindakan untuk memperbaiki apabila ia mengetahui terjadinya tindak
pidana yang dilakukan bawahannya.
Karyawan yang terlibat dalam
konspirasi melakukan tindak pidana dalam korporasi, dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana secara individu. Konspirasi terjadi apabila dua atau
lebih orang sepakat untuk melakukan suatu tindak pidana, dan salah satu dari
mereka mengambil tindakan afirmatif untuk mencapai tujuan konspirasi. Dalam
skema yang melibatkan komplotan dengan peran terpisah, jaksa penuntut umum
tidak perlu membuktikan bahwa ada interaksi antara para komplotan satu sama
lain. Jaksa penuntut umum juga tidak perlu membuktikan apakah masing-masing
anggota komplotan mengetahui detil dari perjanjian atau bertindak langsung
dalam tindak pidana, atau menyetujui perjanjian pada saat yang sama, atau
mengetahui semua kegiatan masing-masing anggota dalam perjanjian. Namun
demikian, asosiasi atau komunikasi antara anggota dalam suatu konspirasi tidak
cukup untuk membuktikan partisipasi mereka secara nyata. Tidak pula pengetahuan
mereka atas objek, tujuan, atau keberadaan konspirasi. Jaksa penuntu umum perlu
membuktikan bahwa terdakwa memiliki niat yang disengaja, dan memiliki tujuan
yang dilakukannya secara sadar. Sebagai contoh, seorang pejabat (pengurus)
korporasi melakukan pemberian informasi yang tidak benar atas kualifikasi
perusahaannya, sehingga perusahaannya dapat mengikuti kompitisi dalam pengadaan
barang dan jasa. Ia mengembangkan skema dimana ia dan terdakwa lainnya, secara
bersama-sama, menyetujui siapa penerima kontrak pemerintah. Hal ini berarti,
pejabat korporasi tersebut melakukan konspirasi yang dianggap sebagai
menghalangi pemerintah untuk mencari perusahaan jasa yang lain secara
kompetitif. Untuk itu Jaksa penuntut umum perlu membuktikan adanya konpirasi
yang dilakukan dengan sengaja atau dilakukan secara sadar oleh pejabat
korporasi yang bersangkutan.
Pertanggungjawaban pidana bagi
pejabat korporasi yang berada dalam posisi penanggungjawab (pengurus korporasi)
berdasarkan Responsible Corporate Officer
Doctrine dan Strict Liability, ditegaskan bahwa pejabat perusahaan dapat
bertanggungjawab atas tindak pidana korporasi, meskipun ia tidak mengetahui
adanya tindak pidana tersebut, oleh karena karena posisinya dalam perusahaan
memiliki kewajiban untuk mengambil tindakan untuk memastikan bahwa pelanggaran
tersebut tidak akan terjadi. Pejabat korporasi dimintai pertanggungjawaban
secara pribadi atas tindak pidana korporasi selama pejabat itu memiliki
wewenang untuk mencegah terjadinya pelanggaran atau untuk memperbaiki
keadaan. Pertanggungjawaban pidana
terhadap pejabat tersebut tidak perlu memperhatikan (dibuktikan lagi) adanya mens rea, sebab mens rea telah terbukti karena pejabat tersebut telah melanggar
kewajibannya tersebut.
Seorang karyawan korporasi bertanggungjawab
pribadi atas tindak pidana yang dilakukannya jika ia merupakan pelaku langsung,
menginstruksikan, membantu, menyediakan, mendorong, atau bekerja sama dengan
karyawan atau bawahan lainnya untuk melakukan satu tindak pidana. Pejabat
korporasi juga bertanggungjawab berdasarkan Doktrin RCO jika ia berada dalam
posisi yang berkewajiban untuk mencegah tindak pidana, dan berdasarkan doktrin
ini tidak perlu lagi dibuktikan adanya mens rea dalam tindak pidana yang
berlangsung. Dengan demikian, pengenaan pertanggungjawaban pidana pribadi
pada karyawan (pejabat korporasi) untuk
kesalahan korporasi harus terbatas pada situasi: a.ada alasan kebijakan publik
yang menarik untuk melakukannya (misalnya, dalam hal potensi bahaya publik yang
signifikan yang mungkin disebabkan oleh adanya kegiatan koporasi); b.kewajiban
korporasi tidak mungkin sendiri untuk cukup mempromosikan kepatuhan; dan c. wajar dalam semua keadaan karyawan
(pejabat korporasi) untuk bertanggung jawab dengan memperhatikan faktor:
i.kewajiban pada korporasi; ii. karyawan (pejabat korporasi) memiliki kapasitas
untuk mempengaruhi perilaku korporasi dan iii. langkah-langkah yang wajar yang
diambil untuk memastikan kepatuhan perusahaan sesuai kewajiban yang diatur
dalam undang-undang. Selanjutnya,
karyawan (pejabat korporasi) a. telah mendorong atau membantu dalam terjadinya
pelanggaran (tindak pidana) ; atau b.
telah lalai atau ceroboh dalam kaitannya dengan mengelola (menjalankan) korporasi .
--o0o--
Bahan Bacaan:
Allen Arthur Robinson, 2008, 'Corporate
Culture' As a Basis for the Criminal Liability of Corporations, http://198.170.85.29/Allens-Arthur-Robinson-Corporate-Culture-paper-for Ruggie-Feb-2008.pdf.
Ian B.
Lee., 2011, Corporate Criminal
Responsibility as Team-Member Responsibility, Oxford Journal of legal
Studies, version of June 6, 2011.
Joel M.
Andropy, 1997, General Corporate Criminal
Liability, Texas Bar Journal, Februari 1997, Vol. 60. No. 2.
Personal
Liability for Corporate Fault - Guidelines for applying the COAG Principles, http://www.dpc.nsw.gov.au/data/assets/pdf_file/0004/143860/Personal_Liability_for_Corporate_Fault-Guidelines_for_Applying_the_COAG_Principles.pdf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar