Sabtu, 26 Juli 2014

Pertanggungjawaban pidana individu karyawan korporasi

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA INDIVIDU
KARYAWAN KORPORASI

Oleh: Alvi Syahrin


            Karyawan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi atas tindak pidana yang dilakukan  dalam lingkup pekerjaannya, dalam hal karyawan tersebut: a. merupakan pelaku langsung dalam tindak pidana, b. bertanggungjawab berdasarkan theory of accomplice liability; c. bersekongkol untuk melakukan tindak pidana atas nama korporasi; dan d. dilimpahkan kepada pejabat korporasi yang memiliki posisi yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.
           
          Karyawan yang merupakan pelaku langsung tindak pidana, bertanggungjawab karena terlibat secara aktif dan langsung dalam tindak pidana, serta tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana hanya dengan cara mengklaim bahwa perbuatan tersebut dilakukan di dalam lingkup pekerjaannya. Misalnya, karyawan dengan sengaja melakukan penggelapan atau pemalsuan informasi mengenai properti yang dimiliki perusahaan, hal ini mengindikasikan bahwa karyawan tersebut telah terlibat secara langsung dalam tindak pidana, baik dengan cara membantu dan bersekongkol atau menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana. Berdasarkan theory of accomplice liability, karyawan dapat di mintakan pertanggungjawaban pidana meskipun ia tidak terlibat dalam tindak pidana secara langsung  dan meskipun tindak pidana dilakukan oleh teman kerjanya berdasarkan instruksi yang diberikannya. Instruksi yang diberikannya tersebut menjadi bukti bagi karyawan tersebut  untuk dimintai pertanggungjawaban.

           Theory of accomplice liability dapat diperluas untuk menjangkau pengawas yang mengetahui tapi memilih untuk mengabaikan perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya. Dengan kata lain, omisi atau kelalaian yang disengaja atas tindakan bawahannya dapat menimbulkan tanggungjawab pidana kepada si pengawas. Berdasarkan teori ini, pengawas memiliki kewajiban untuk mengambil tindakan untuk memperbaiki apabila ia mengetahui terjadinya tindak pidana yang dilakukan bawahannya.

          Karyawan yang terlibat dalam konspirasi melakukan tindak pidana dalam korporasi, dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara individu. Konspirasi terjadi apabila dua atau lebih orang sepakat untuk melakukan suatu tindak pidana, dan salah satu dari mereka mengambil tindakan afirmatif untuk mencapai tujuan konspirasi. Dalam skema yang melibatkan komplotan dengan peran terpisah, jaksa penuntut umum tidak perlu membuktikan bahwa ada interaksi antara para komplotan satu sama lain. Jaksa penuntut umum juga tidak perlu membuktikan apakah masing-masing anggota komplotan mengetahui detil dari perjanjian atau bertindak langsung dalam tindak pidana, atau menyetujui perjanjian pada saat yang sama, atau mengetahui semua kegiatan masing-masing anggota dalam perjanjian. Namun demikian, asosiasi atau komunikasi antara anggota dalam suatu konspirasi tidak cukup untuk membuktikan partisipasi mereka secara nyata. Tidak pula pengetahuan mereka atas objek, tujuan, atau keberadaan konspirasi. Jaksa penuntu umum perlu membuktikan bahwa terdakwa memiliki niat yang disengaja, dan memiliki tujuan yang dilakukannya secara sadar. Sebagai contoh, seorang pejabat (pengurus) korporasi melakukan pemberian informasi yang tidak benar atas kualifikasi perusahaannya, sehingga perusahaannya dapat mengikuti kompitisi dalam pengadaan barang dan jasa. Ia mengembangkan skema dimana ia dan terdakwa lainnya, secara bersama-sama, menyetujui siapa penerima kontrak pemerintah. Hal ini berarti, pejabat korporasi tersebut melakukan konspirasi yang dianggap sebagai menghalangi pemerintah untuk mencari perusahaan jasa yang lain secara kompetitif. Untuk itu Jaksa penuntut umum perlu membuktikan adanya konpirasi yang dilakukan dengan sengaja atau dilakukan secara sadar oleh pejabat korporasi yang bersangkutan.

           Pertanggungjawaban pidana bagi pejabat korporasi yang berada dalam posisi penanggungjawab (pengurus korporasi) berdasarkan Responsible Corporate Officer Doctrine  dan Strict Liability, ditegaskan bahwa pejabat perusahaan dapat bertanggungjawab atas tindak pidana korporasi, meskipun ia tidak mengetahui adanya tindak pidana tersebut, oleh karena karena posisinya dalam perusahaan memiliki kewajiban untuk mengambil tindakan untuk memastikan bahwa pelanggaran tersebut tidak akan terjadi. Pejabat korporasi dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas tindak pidana korporasi selama pejabat itu memiliki wewenang untuk mencegah terjadinya pelanggaran atau untuk memperbaiki keadaan.  Pertanggungjawaban pidana terhadap pejabat tersebut tidak perlu memperhatikan (dibuktikan lagi) adanya mens rea, sebab mens rea telah terbukti karena pejabat tersebut telah melanggar kewajibannya tersebut.

            Seorang karyawan korporasi bertanggungjawab pribadi atas tindak pidana yang dilakukannya jika ia merupakan pelaku langsung, menginstruksikan, membantu, menyediakan, mendorong, atau bekerja sama dengan karyawan atau bawahan lainnya untuk melakukan satu tindak pidana. Pejabat korporasi juga bertanggungjawab berdasarkan Doktrin RCO jika ia berada dalam posisi yang berkewajiban untuk mencegah tindak pidana, dan berdasarkan doktrin ini  tidak perlu lagi dibuktikan adanya mens rea dalam tindak pidana yang berlangsung. Dengan demikian,  pengenaan pertanggungjawaban pidana pribadi pada karyawan (pejabat korporasi)  untuk kesalahan korporasi harus terbatas pada situasi: a.ada alasan kebijakan publik yang menarik untuk melakukannya (misalnya, dalam hal potensi bahaya publik yang signifikan yang mungkin disebabkan oleh adanya kegiatan koporasi); b.kewajiban korporasi tidak mungkin sendiri untuk cukup mempromosikan kepatuhan; dan  c. wajar dalam semua keadaan karyawan (pejabat korporasi) untuk bertanggung jawab dengan memperhatikan faktor: i.kewajiban pada korporasi; ii. karyawan (pejabat korporasi) memiliki kapasitas untuk mempengaruhi perilaku korporasi dan iii. langkah-langkah yang wajar yang diambil untuk memastikan kepatuhan perusahaan sesuai kewajiban yang diatur dalam undang-undang.  Selanjutnya, karyawan (pejabat korporasi) a. telah mendorong atau membantu dalam terjadinya pelanggaran (tindak pidana) ; atau  b. telah lalai atau ceroboh dalam kaitannya dengan mengelola (menjalankan)  korporasi .

--o0o--

Bahan Bacaan:

Allen Arthur Robinson, 2008, 'Corporate Culture' As a Basis for the Criminal Liability of Corporations, http://198.170.85.29/Allens-Arthur-Robinson-CorporateHYPERLINK "http://198.170.85.29/Allens-Arthur-Robinson-Corporate-Culture-paper-for"-Culture-paper-for Ruggie-Feb-2008.pdf.
Ian B. Lee., 2011, Corporate Criminal Responsibility as Team-Member Responsibility, Oxford Journal of legal Studies, version of June 6, 2011.
Joel M. Andropy, 1997, General Corporate Criminal Liability, Texas Bar Journal, Februari 1997, Vol. 60. No. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar