Minggu, 06 Juli 2014

Pertanggungjawaban pidana individual direksi

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA INDIVIDUAL DIREKSI
TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN
OLEH, UNTUK DAN ATAS NAMA KORPORASI

Oleh: Alvi Syahrin


I.       Ketentuan undang-undang di luar KUHP telah membebankan pertanggungjawaban pidana individual kepada direksi dan karyawan korporasi lainnya sebagai konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan oleh, untuk atau atas nama korporasi. Pengenaan pertanggungjawaban pidana individual direksi dan/atau karyawan korporasi sebagai konsekuensi atas terjadinya pelanggaran oleh, untuk dan atas nama korporasi dalam praktek penegakan hukum merupakan hal yang tidak mudah. Penerapan pertanggungjawaban individual tanpa penegakan hukum yang benar akan berakibat inkonsistensi dalam menerapkan tanggungjawab individual dan berujung kepada kesulitan yang berlebihan dalam penafsiran pertanggungjawaban individual dan syarat-syarat pemenuhannya.




II.      Direksi dan/atau karyawan korporasi dapat di mintakan pertanggungjawaban secara langsung, dalam hal mereka melakukan pelanggaran oleh, untuk atau atas korporasi. Pertanggungjawaban pidana individual direksi merupakan pertanggungjawaban yang dilimpahkan kepada anggota direksi dan/atau karyawan korporasi, akibat pelanggaran/tindak pidana yang dilakukan oleh, untuk dan atas nama korporasi. Pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung ini dikenal sebagai direct responsibility, dan para direksi dan karyawan dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai seorang pembantu sesuai dengan peraturan-peraturan mengenai tanggungjawab aksesorial (accessorial responsibility) dalam hal terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh, untuk atau atas nama korporasi. Direksi bertanggungjawab secara pribadi dalam hal direktur telah “membantu, bersekongkol, menyarankan, atau menyebabkan” terjadinya pelanggaran oleh korporasi, atau direktur “mengetahui dan memberikan izin” atau “terlibat sepengetahuannya” atau “menyangkut dirinya” dalam pelanggaran tersebut.

Dalam hal direksi dimintai pertanggungjawaban pidana, jaksa penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa individu (dalam hal ini direktur) tersebut terlibat secara personal dalam pelanggaran sebagai seseorang yang membantu (accessorial responsibility). Hal ini membutuhkan bukti bahwa individu tersebut (direksi) mengetahui fakta-fakta penting yang menyebabkan terjadinya pelanggaran korporasi, serta ia merupakan peserta dalam pelanggaran tersebut, baik berupa tindak pidana omisi maupun komisi.  Pertanggungjawaban pidana dari direksi secara pribadi, tetap dikenakan dalam hal: a. dalam sistem hukum common law, tanggungjawab aksesorial berlaku secara umum terhadap seluruh pelanggaran, kecuali apabila dikesampingkan secara eksplisit maupun implisit; atau b. dalam yurisdiksi sistem kodifikasi hukum pidana, melalui keterlibatan dalam peraturan hukum pidana.

Bentuk pertanggungjawaban aksesorial, mencontoh ataupun memperjelas prinsip-prinsip dalam sistem hukum common law, haruslah dipertimbangkan apakah hal ini penting apabila prinsip ini akan diterapkan dalam kondisi apapun (baik dalam sistem hukum common law maupun civil law). Secara khusus, dalam penerapan sanksi pidana secara optimal, jika hukum pidana telah mengandung ketentuan mengenai keterlibatan langsung (direct responsibility), maka biasanya akan menjadi tidak penting dan tidak perlu untuk memperkenalkan satu ketentuan yang baru dimana ketentuan yang baru tidak lain tidak bukan hanyalah mencontoh peraturan yang telah ada.


III.       Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana direksi (pengurus korporasi) yang relevan adalah peraturan yang mengatur diluar tanggungjawab aksesorial yang umum. Secara umum, peraturan ini mengenai peraturan yang melebihi tanggungjawab umum dengan cara membebani tanggungjawab terhadap direksi ketika mereka telah melakukan kelalaian yang menyebabkan pelanggaran perusahaan. Secara umum, tanggungjawab dilimpahkan kepada direksi ataupun karyawan korporasi yang lain apabila mereka lalai atau gagal dalam mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu, atau gagal dalam melaksanakan “due diligence” untuk menghindari atau mencegah terjadinya pelanggaran untuk dan atas nama korporasi.

Terkait dengan ketentuan pertanggungjawaban pidana individual direksi, setidaknya ada 3 (tiga) jenis berdasarkan ketentuan apakah direksi dapat di mintakan pertanggungjawaban atau tidak dapat mintakan pertanggungjawaban dalam kategori penuntutan ataukah pembelaan, yaitu: a. secara umum, dalam pelanggaran pidana apapun, penuntut umum mempunyai beban pembuktian atas segala unsur-unsur tindak pidana. Hal ini berarti bahwa penuntut harus mengemukakan alat bukti yang cukup untuk membuktikan setiap unsur dalam tindak pidana tersebut; b. seseorang bersalah atas sebuah tindak pidana apabila hal-hal tertentu dapat dibuktikan dalam proses penuntutan, tergantung pada satu atau lebih tindak pidana. Si terdakwa yang ingin melakukan pembelaan maka harus mengemukakan setidaknya bukti yang cukup untuk mengatakan bahwa ada kemungkinan bahwa terdakwa layak mengemukakan pembelaan. Apabila ia melakukan pembelaan, maka dalam hal pembelaan dapat diterima, si terdakwa tidak dapat dituntut atas tindak pidana itu, kecuali apabila penuntut dapat membawakan bukti-bukti yang bertentangan untuk membuktikan bahwa pembelaan tersangka tidak dapat diterima; c. dianggap direksi bertanggungjawab atas pelanggaran korporasi, dan terhadap direksi diberikan kesempatan melakukan pembelaan apabila ia telah mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Dalam hal ini direksi tidak hanya memiliki kewajiban pembuktian secara prima facie, tetapi juga dibebankan kewajiban untuk membuktikan, artinya terdapat beban pembuktian terbalik.

Kegagalan direksi dalam mengambil langkah-langkah kebijakan mencegah terjadinya tindak pidana  dianggap sebagai satu unsur yang harus dibuktikan oleh penuntut di depan persidangan. Direksi dianggap tidak bersalah (dianggap telah mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan) apabila direksi telah mengambil langkah-langkah kebijakan mencegah terjadinya tidak pidana. Apabila direksi menyampaikan pembelaan berdasarkan “telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan” maka ia dibebankan kewajiban untuk menunjukkan bahwa ia memang telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah terjadi tindak pidana tersebut (dalam yurisdiksi hukum pidana, kewajiban untuk menunjukkan bukti disebut dengan beban pembuktian). Dalam yurisdiksi hukum non kodifikasi (common law), bukti-bukti dianggap prima facie), sehingga ketika Direksi telah menunjukkan bukti, maka penuntut berkewajiban untuk melakukan beban pembuktian bahwa 'langkah-langkah yang diperlukan' tadi tidak diambil oleh Direksi atau-pun kalau ada langkah-langkah tersebut memang seharusnya diambil/dilaksanakan oleh direksi. Dalam hal ini, penuntut umum dan direksi sama-sama mengajukan alat bukti, artinya beban pembuktian berasal dari masing-masing elemen (penuntut umum dan direksi). Selanjutnya, dalam adanya ketentuan yang secara eksplisit maupun implisit yang menentukan bahwa terdakwa dibebankan beban pembuktian, maka terdakwa harus “membuktikan” dan “menetapkan” suatu sistem pembelaan, atau bahwa terdakwa harus “memenuhi permintaan Pengadilan untuk membuktikan ketidak-adanya perbuatan atau kesalahan yang diperbuatnya. Terdakwa memiliki kewajiban hukum untuk melakukan pembuktian, apabila dalam peraturan dicantumkan secara spesifik dan langsung bahwa beban pembuktian merupakan beban hukum, dan membutuhkan si terdakwa untuk membuktikan hal tersebut, serta menciptakan sebuah asumsi bahwa sesuatu terjadi kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.


IV.     Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana direksi dapat terjadi dalam hal karyawan bawahan melanggar atau tidak melakukan hal yang menjadi kewajiban korporasi sehingga menimbulkan tindak pidana, maka direktur atau karyawan tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban secara individu, dan korporasi juga dianggap melakukan tindak pidana serta dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas dilanggarnya kewajiban-kewajiban tersebut. Selanjutnya,  terdapat juga pertanggungjawaban pidana individu direksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan, tanpa perlu untuk membuktikan apakah direksi telah memenuhi unsur-unsur mental (misalnya, sepengetahuannya, niat, atau kelalaian) dari pelanggaran tersebut.

Beberapa hal dasar yang perlu diketahui terkait dimintainya pertanggungjawaban individual direksi, diantaranya: a. ketika sebuah korporasi melanggar peraturan tertulis, korporasi tersebut harus dianggap bertanggungjawab atas pelanggaran tersebut; b. direksi tidak selalu dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan yang dilakukan korporasi; c. pengenaan pertanggungjawaban individu terhadap direksi atas kesalahan yang dilakukan korporasi dapat dibagi dalam situasi, yaitu i. dimana terdapat alasan yang memaksa untuk melakukan hal itu (misalnya ketika terdapat potensi untuk merugikan masyarakat yang mungkin terjadi disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukan suatu perusahaan), ii. dimana tanggungjawab perusahaan tidak mungkin dibebankan atas dirinya untuk menyelesaikan pelaksanaan perbuatan itu secukupnya, iii. dimana kejadian tersebut memungkinkan bagi si direksi untuk dimintai pertanggungjawaban atas: - kewajiban perusahaan, dan sebagai gantinya, direktur dianggap bersih, - direktur memiliki kapasitas untuk mempengaruhi perilaku korporasi dalam kaitannya dengan pelanggaran, dan - ada beberapa langkah yang diambil seorang direktur sewajar mungkin untuk memastikan  pelaksanaan perusahaan telah sesuai dengan kewajiban yang ditentukan oleh undang-undang; d. direksi dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hal mereka: i. telah mendorong atau membantu dalam pelaksanaan pelanggaran, atau ii. telah lalai atau ceroboh dalam kaitannya dengan pelanggaran; e. dalam kasus-kasus tertentu, dimungkinkan menempatkan pembuktian pada pihak direksi dalam hal mereka dalam pembelaannya telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah pelanggaran korporasi, jika tidak direksi bertanggungjawab secara pribadi.

Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana individual direksi mengacu pada ketentuan yang membebankan tanggungjawab pidana individual pada direksi atau pejabat perusahaan lainnya sebagai konsekuensi dari pelanggaran yang dilakukan korporasi (pelanggaran pokok). Selanjutnya, setiap ketentuan pertanggungjawaban korporasi yang membebankan pertanggungjawaban pidana individu direksi, perlu dipertimbangan secara kasus per kasus (dengan memperhatikan peran peraturan dalam konteks regulasi). Pertanggungjawaban pidana individual direksi (pertanggungjawaban secara individual) perlu mempertimbangkan kriteria-kriteria berikut, diantaranya yakni: a. tingkat keseriusan bahaya yang ditimbulkan terhadap publik, seperti: - kematian atau cidera individu (misalnya tindak pidana yang melibatkan pelanggan serius di tempat kerja seperti kesehatan dan keselamatan kerja), - kerusakan serius terhadap lingkungan dan/atau risiko serius bagi kesehatan masyarakat dan keselamatan masyarakan (misalnya pelanggaran berkaitan dengan pencegahan kontaminasi bahan beracun), - meruntuhkan kepercayaan di pasar keuangan (misalnya perdagangan ketika bangkrut),  atau - pelanggaran perilaku seperti moral yang tercela (misalnya pelanggaran serius terhadap anak); b. ukuran dan jenis hukuman yang berlaku untuk suatu pelanggaran dapat memberikan indikasi supaya direksi secara serius untuk melaksanakan pengurusan korporasi secara baik (good corporate governance); c. kegagalan direksi dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban korporasi sebagaimana yang dituangkan dalam izin (lisensi), khususnya terhadap korporasi (perusahaan) yang bergerak dalam kegiatan yang berpotensi menimbulkan bahaya bagi publik; d. sejauh mana direksi secara langsung dapat mengontrol perilaku perusahaan; e. keefektifan penegakan hukum terhadap korporasi saja tidaklah memadai, karena pertanggungjawaban individu direksi hanya akan dibenarkan apabila kewajiban korporasi tidak mungkin dipenuhi secara sendiri, seperti:  dalam kasus pelanggaran yang ada, terdapat bukti atas ketidakpatuhan direksi di masa lalu.

V.           Pemikiran dan pertimbangan yang cermat perlu diperhatikan dalam meminta pertanggungjawaban individual direksi. Direksi yang tidak mengambil langkah-langkah yang wajar untuk menghindari korporasi melanggar ketentuan pidana akan dapat dimintai pertanggungjawaban secara individu, dan hal tersebut dilihat pada kasus per kasus, dengan mepertimbangkan faktor-faktor berikut: a. adanya risiko serius yang membahayakan potensial publik yang signifikan akibat pelanggaran, seperti: - kematian atau cedera pada individu (misalnya pelanggaran yang melibatkan pelanggaran serius kewajiban kesehatan dan keselamatan kerja), - bencana kerusakan lingkungan dan / atau risiko serius bagi kesehatan masyarakat dan keselamatan (misalnya pelanggaran berkaitan dengan mencegah kontaminasi racun), - merongrong kepercayaan di pasar keuangan (misalnya perdagangan saat pailit), - melakukan yang secara moral sangat tercela (misalnya pelanggaran serius di bawah perlindungan anak atau undang-undang kesejahteraan hewan), atau - tingkat kerugian publik yang sangat serius; b. hukuman yang dijatuhkan sebagai hukuman atas pelanggaran yang sangat serius; c. perbuatan yang dilakukan merupakan suatu bentuk kejahatan terhadap publik; d. pelaksanaan kewajiban oleh korporasi sendiri, tidak cukup untuk meniadakan terjadinya tindak pidana; e. direksi cukup dapat diharapkan untuk secara langsung mengontrol perilaku korporasi sehubungan pelanggaran; f. langkah-langkah yang wajar yang dilakukan direksi akan memastikan (menjadikan) adanya kepatuhan korporasi.


--o0o--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar