KOMENTAR PASAL 108 UUPPLH
Oleh: Alvi Syahrin
I. Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00
(tiga milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah).”
Penjelasan Pasal 108 UUPPLH, berbunyi: “cukup jelas”.
II. Ketentuan
Pasal 108 UUPPLH merupakan tindak pidana formil, yaitu berupa perbuatan:
"melakukan pembakaran lahan". Pengertian lahan tidak ditemukan
pengertiannya di dalam UUPPLH. Untuk menemukan pengertian "lahan"
perlu dilakukan penafsiran untuk itu. Penafsiran yang dilakukan yaitu dengan
memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku,
ada beberapa ketentuan yang memberikan pengertian lahan, antara lain:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000
tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka (2) yang berbunyi: "Lahan adalah suatu
wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfer,
atmosfer, tanah, geologi, timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan, dan
hewan, serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini, yang bersifat
mantap atau mendaur;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2001 tentang Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau
Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau
Lahan (PP No. 4/2001), dalam berdasarkan Pasal 1 angka (2) memberikan
pengertian lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya
untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat.
3.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme
Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan
Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (PermenLH No. 10/2010), dalam Pasal 1 angka (2)
memberikan pengertian lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang
peruntukannya untuk usaha dan/atau kegiatan ladang dan/atau kebun bagi
masyarakat.
Selanjutnya,
pengertian pembukaan lahan, berdasarkan Pasal 1 angka (7) PermenLH No. 10/2010,
berbunyi: Pembukaan lahan adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyiapan
dan pembersihan lahan untuk kegiatan budidaya maupun non budidaya. Kemudian
Pasal 1 angka (8) PermenLH No. 10/2010, berbunyi: Pembukaan Lahan Tanpa Bakar
yang selanjutnya disingkat PLTB adalah suatu cara pembukaan lahan pertanian
tanpa melakukan pembakaran. Kemudian, ketentuan Pasal 3 PermenLH No. 10/2010,
menegaskan bahwa: Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang memanfaatkan
hutan dan/atau lahan wajib melakukan PLTB. PLTB, dilaksanakan dengan cara: a.
manual; b. mekanik; dan/atau c. kimiawi, serta sesuai dengan pedoman dan/atau
petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh instansi teknis terkait.
Ketentuan Pasal 10
PP No. 4/2001, menegaskan bahwa: setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan
yang memanfaatkan hutan dan/atau lahan wajib melaporkan kegiatan yang terkait
dengan pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan
dengan kebakaran hutan dan/atau lahan kepada bupati/walikota dengan tembusan
kepada gubernur dan Menteri paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
Laporan tersebut digunakan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota untuk
bahan: a. pemantauan; dan b. penyusunan kebijakan pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan/atau lahan.
Berdasarkan Pasal
12 - 14 PP No. 4/2001, setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan
dan atau pencemaran lingkungan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi
usahanya, dan kewajiban memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk
mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan dilokasi usahanya. Sarana
dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran dan atau lahan , meliputi: a. sistem deteksi dini untuk
mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau
lahan; b. alat pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan;
c. prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya
kebakaran hutan dan atau lahan; d. perangkat organisasi yang bertanggungjawab
dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; e.
pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 15 PP No. 4/2001, penanggungjawab usaha wajib
melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran dan atau lahan di
lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala sekurang-kurangnya 6
(enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data penginderaan jauh dari satelit
kepada Gubernur/Bupati/Walikota dengan tembusan kepada instansi teknis dan
instansi yang bertanggungjawab. Selanjutnya lagi, Pasal 17 PP No. 4/2001,
mewajibkan menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya,
selanjutnya Pasal 18 ayat (1) PP No. 4/2001 menegaskan bahwa penanggungjwab
usaha bertanggungjawab atas terjadinya kebaran hutan dan lahan di lokasi
usahanya dan wajib sebera melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau
lahan di lokasi usahanya. Kemudian lagi, Pasal 20 dan Pasal 21 PP No. 4 /2001 menegaskan bahwa setiap orang
yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan wajib melakukan
pemulihan dampak lingkungan hidup di lokasi lahannya sesuai dengan ketentua
yang berlaku.
Ketentuan Pasal 4
PermenLH No. 10/2010, menegaskan bahwa masyarakat hukum adat yang melakukan
pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga
untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala
desa. Kepala desa menyampaikan
pemberitahuan kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota.
Berdasarkan Pasal 4
ayat (3) PermenLH No. 10/2010, pembakaran lahan dengan luas maksimum 2 hektar
per keluarga, tidak dapat dilakukan pada kondisi curah hujan di bawah normal,
kemarau panjang dan/atau iklim kering. Kondisi tersebut sesuai dengan publikasi
dari lembaga non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang meteorologi klimatologi dan geofisika.
III. Menyimak
uraian terdahulu, dan memperhatikan ketentuan Pasal 69 ayat (1) huruf h UUPPLH,
berbunyi: “Setiap orang dilarang: --- h.
Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”. Penjelasan Pasal 69 ayat (1)
huruf h, berbunyi: “cukup jelas”, maka unsur-unsur Pasal 108 UUPPLH, yaitu:
a. Unsur
Obyektif:
melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.
lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk
usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat. Pembukaan lahan
adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyiapan dan pembersihan lahan untuk
kegiatan budidaya maupun non budidaya.
b. Unsur
Subyektif:
- setiap
orang
berdasarkan Pasal 1 angka (32) UUPPLH, Pengertian
setiap orang adalah orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum.
- dengan sengaja.
Pasal 108 UUPPLH, tidak mencantumkannya dengan tegas kata
“kesengajaan”, namun dari perkataan-perkataan yang digunakan itu dapat ditarik
kesimpulan keharusan adanya kesengajaan pada
si pembuat,“kesengajaan” tersebut disimpulkan
dari kata “melakukan pembukaan lahan. Kata “melakukan” merupakan
“kata kerja”. “kata kerja” dalam rumusan UUPPLH merupakan bentuk kesengajaan.
--o0o--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar