Sabtu, 19 Juli 2014

Komentar Pasal 108 UUPPLH

KOMENTAR PASAL 108 UUPPLH
Oleh: Alvi Syahrin


I.       Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).”

Penjelasan Pasal 108 UUPPLH, berbunyi: “cukup jelas”.


II.      Ketentuan Pasal 108 UUPPLH merupakan tindak pidana formil, yaitu berupa perbuatan: "melakukan pembakaran lahan". Pengertian lahan tidak ditemukan pengertiannya di dalam UUPPLH. Untuk menemukan pengertian "lahan" perlu dilakukan penafsiran untuk itu. Penafsiran yang dilakukan yaitu dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, ada beberapa ketentuan yang memberikan pengertian lahan, antara lain:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (2) yang berbunyi: "Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfer, atmosfer, tanah, geologi, timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan, dan hewan, serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini, yang bersifat mantap atau mendaur;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2001 tentang Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan (PP No. 4/2001), dalam berdasarkan Pasal 1 angka (2) memberikan pengertian lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat.
3. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (PermenLH No. 10/2010), dalam Pasal 1 angka (2) memberikan pengertian lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan/atau kegiatan ladang dan/atau kebun bagi masyarakat.
Selanjutnya, pengertian pembukaan lahan, berdasarkan Pasal 1 angka (7) PermenLH No. 10/2010, berbunyi: Pembukaan lahan adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyiapan dan pembersihan lahan untuk kegiatan budidaya maupun non budidaya. Kemudian Pasal 1 angka (8) PermenLH No. 10/2010, berbunyi: Pembukaan Lahan Tanpa Bakar yang selanjutnya disingkat PLTB adalah suatu cara pembukaan lahan pertanian tanpa melakukan pembakaran. Kemudian, ketentuan Pasal 3 PermenLH No. 10/2010, menegaskan bahwa: Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang memanfaatkan hutan dan/atau lahan wajib melakukan PLTB. PLTB, dilaksanakan dengan cara: a. manual; b. mekanik; dan/atau c. kimiawi, serta sesuai dengan pedoman dan/atau petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh instansi teknis terkait.
Ketentuan Pasal 10 PP No. 4/2001, menegaskan bahwa: setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang memanfaatkan hutan dan/atau lahan wajib melaporkan kegiatan yang terkait dengan pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada gubernur dan Menteri paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. Laporan tersebut digunakan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota untuk bahan: a. pemantauan; dan b. penyusunan kebijakan pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Berdasarkan Pasal 12 - 14 PP No. 4/2001, setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan yang berkaitan dengan  kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya, dan kewajiban memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan dilokasi usahanya. Sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran dan atau  lahan , meliputi: a. sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau  lahan; b. alat pencegahan kebakaran hutan dan atau  lahan;  c. prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; d. perangkat organisasi yang bertanggungjawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; e. pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 15 PP No. 4/2001, penanggungjawab usaha wajib melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran dan atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data penginderaan jauh dari satelit kepada Gubernur/Bupati/Walikota dengan tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang bertanggungjawab. Selanjutnya lagi, Pasal 17 PP No. 4/2001, mewajibkan menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya, selanjutnya Pasal 18 ayat (1) PP No. 4/2001 menegaskan bahwa penanggungjwab usaha bertanggungjawab atas terjadinya kebaran hutan dan lahan di lokasi usahanya dan wajib sebera melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. Kemudian lagi, Pasal 20 dan Pasal 21 PP  No. 4 /2001 menegaskan bahwa setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup di lokasi lahannya sesuai dengan ketentua yang berlaku.
Ketentuan Pasal 4 PermenLH No. 10/2010, menegaskan bahwa masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa.  Kepala desa menyampaikan pemberitahuan kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) PermenLH No. 10/2010, pembakaran lahan dengan luas maksimum 2 hektar per keluarga, tidak dapat dilakukan pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang dan/atau iklim kering. Kondisi tersebut sesuai dengan publikasi dari lembaga non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang meteorologi klimatologi dan geofisika.


III.     Menyimak uraian terdahulu, dan memperhatikan ketentuan Pasal 69 ayat (1) huruf h UUPPLH, berbunyi: “Setiap orang dilarang:  --- h. Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”. Penjelasan Pasal 69 ayat (1) huruf h, berbunyi: “cukup jelas”, maka unsur-unsur Pasal 108 UUPPLH, yaitu:
a.   Unsur Obyektif:
melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.
lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat. Pembukaan lahan adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyiapan dan pembersihan lahan untuk kegiatan budidaya maupun non budidaya. 
b.  Unsur Subyektif:
- setiap orang
berdasarkan Pasal 1 angka (32) UUPPLH, Pengertian setiap orang adalah orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
- dengan sengaja.
Pasal 108 UUPPLH, tidak mencantumkannya dengan tegas kata “kesengajaan”, namun dari perkataan-perkataan yang digunakan itu dapat ditarik kesimpulan keharusan adanya kesengajaan pada si pembuat,“kesengajaan” tersebut disimpulkan dari kata “melakukan  pembukaan lahan. Kata “melakukan” merupakan “kata kerja”. “kata kerja” dalam rumusan UUPPLH merupakan bentuk kesengajaan.

--o0o--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar