Selasa, 01 Juli 2014

Pasal 116 UUPPLH

KOMENTAR ATAS PASAL 116 UUPPLH

Oleh: Alvi Syahrin


Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), berbunyi:
(1)     Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a.     badan usaha; dan/atau
b.    orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2)     Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Penjelasan Pasal 116 UUPPLH:
Cukup jelas.


Komentar:

Pasal 116 UUPPLH mengatur tentang pertanggungjawaban pidana dalam hal tindak pidana dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha. Sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu mengenai siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, harus terlebih dahulu dipastikan siapa yang dinyatakan sebagai pembuat tindak pidana tersebut. Mengenai siapa yang dinyatakan sebagai pembuat tindak pidana (subjek tindak pidana) pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang.


Memperhatikan ketentuan Pasal 116 UUPPLH dan penjelasannya, tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha. Jika diuraikan bahwa pelaku tindak pidana lingkungan berdasarkan Pasal 116 UUPPLH, yaitu:
1.      dilakukan oleh badan usaha;
2.      dilakukan untuk badan usaha;
3.      dilakukan atas nama badan usaha;
4.      dilakukan oleh badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
5.      dilakukan oleh badan usaha yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
6.      dilakukan untuk badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
7.      dilakukan untuk badan usaha yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
8.      dilakukan atas nama badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
9.      dilakukan atas nama badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha.

Oleh badan usaha berarti badan usaha sebagai pelaku, badan usaha dalam hal ini sebagai pelaku pasif, sedangkan pelaku aktifnya seperti: para pengurus badan usaha atau para manejer badan usaha melakuan perbuatan tersebut oleh karena jabatannya.

Untuk badan usaha berarti badan usaha dinyatakan sebagai pelaku oleh karena badan usaha menerima tindak pidana tersebut sebagai suatu perbuatan sesuai dengan tujuan, maksud atau badan usaha menerima perbuatan tersebut yang dilakukan oleh para pengurus badan usaha atau para manejer badan usaha.

Atas nama badan usaha berarti badan usaha sebagai pelaku oleh karena perbuatan itu dilakukan oleh para pengurus badan usaha atau para manejernya badan usaha. Badan usaha mendapatkan manfaat keuntungan atas perbuatan yang dilakukan oleh para pengurus badan usaha atau para majener badan usaha.

Badan usaha sebagai pelaku tindak pidana lingkungan walaupun perlu diterapkan dengan memperhatikan kasus per kasus (kasuistis) sesuai dengan sifat kekhasan tindak pidana tertentu yang bisa berupa tindak pidana fungsional yang lebih bersifat administratif dan tindak pidana non-fungsional yang lebih bersifat fisik, perlu juga dipedomani atau memperhatikan bahwa:
1.      perbuatan dari perorangan dapat dibebankan kepada badan usaha, apabila perbuatan-perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan-perbuatan badan usaha;
2.      apabila sifat dan tujuan dari pengaturan telah menunjukkan indikasi untuk pembuat pidana, untuk pembuktian akhir pembuat pidana, di sampaing apakah perbuatan tersebut sesuai dengan tujuan statuta (anggaran dasar dan anggaran rumah tangga) dari badan usaha dan atau sesuai dengan kebijaksanaan badan usaha, dalam arti tindakan atau perbuatan tersebut sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan dari badan usaha;
3.      perbuatan yang terlarang yang untuk mempertanggungjawabkannya dibebankan kepada badan usaha dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan atau pencapaian tujuan-tujuan badan usaha tersebut;
4.      perbuatan pengurus badan usaha dianggap sebagai perbuatan badan usaha itu sendiri dalam hal pengurus badan usaha mempunyai kewenangan atau kekuasaan dalam hal (untuk) menentukan apakah perbuatan itu dilakukan atau tidak, dan perbuatan itu harus merupakan bagian dari perbuatan-perbuatan yang menurut kenyataan diterima atau lazimnya diterima oleh badan usaha. Syarat kekuasaan (machtsvereiste) mencakup: wewenang mengatur/menguasai dan atau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak pidana lingkungan; mampu melaksanakan wewenangnya dan pada dasarnya mampu mengambil keputusan-keputusan tentang hal bersangkutan; dan mampu mengupayakan kebijakan atau tindakan pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindak pidana lingkungan. Selanjutnya, syarat penerimaan atau akseptasi (aanvaardingsvereiste) terjadi apabila ada kaitan erat antara proses pengambilan atau pembentukan keputusan di badan usaha dengan tindak pidana lingkungan yang dilakukan termasuk juga adanya kemampuan pengawasan secara cukup. Dengan demikian, perbuatan karyawan badan usaha hanya akan dipertimbangkan sebagai perbuatan pimpinan korporasi, apabila: a. perbuatannya dalam kerangka kewenangannya untuk menentukan pegawai tersebut untuk berbuat; dan b. perbuatan karyawan masuk dalam kategori perbuatan yang accepted oleh badan usaha dalam kerangka bisnis yang normal.
5.      Kesengajaan badan usaha terjadi dalam hal kesengajaan itu pada kenyataannya tercakup dalam politik atau tujuan badan usaha, atau berada dalam kegiatan yang nyata dari badan usaha tersebut. Kesengajaan badan usaha juga bisa timbul dalam hal kesengajaan dari perorangan (natuurlijk persoon) yang berbuat atas nama badan usaha;
6.      Kesengajaan suatu organ dari badan usaha dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam hal tertentu, kesengajaan dari seorang bawahan bahkan dari orang/pihak ketiga, dapat mengkibatkan kesengajaan badan usaha. Artinya, tidak hanya tindakan sengaja fungsionaris pimpinan badan usaha yang dapat diatribusikan pada badan usaha, tetapi juga termasuk tindakan pegawai/karyawan rendahan.
7.      Pertanggungjawaban pidana juga bergantung kepada organisasi internal dalam badan usaha dan cara bagaimana pertanggungjawaban dibagi, demikian juga halnya dengan kealpaan;
8.      Pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi atau pengurus badan usaha dapat dianggap sebagai kesengajaan badan usaha, bahkan sampai kepada kesengajaan berinsyaf (sadar akan) kemungkinan atau opzet bij mogelijkheidsbewustzijn atau dolus evantualis.
         
Selanjutnya, ketentuan Pasal 116 UUPPLH berikut penjelasannya, juga tidak ada menjelaskan frasa “berdasarkan hubungan kerja” dan frasa “berdasarkan hubungan lain”, sehingga diperlukan penafsiran hukum terhadap frasa tersebut. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, yang dimaksud dengan orang “yang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain” menunjukkan ada dua kelompok orang, yaitu pertama: “orang-orang berdasarkan hubungan kerja” dan yang kedua: “orang-orang berdasarkan hubungan lain”. Hubungan yang dimaksud dalam kedua frasa tersebut harus ditafsirkan sebagai “hubungan dengan korporasi yang bersangkutan”. “Orang-orang berdasarkan hubungan kerja” adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja sebagai pengurus atau pegawai, yaitu: a. berdasarkan anggaran dasar dan perubahannya, b. berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai dan perjanjian kerja dengan korporasi, c. berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai, atau d. berdasarkan “perjanjian kerja sebagai pegawai”. Sedangkan “orang-orang berdasarkan hubungan lain” adalah orang-orang yang memiliki hubungan lain selain hubungan kerja dengan korporasi. Mereka antara lain yang mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas ama korporasi berdasarkan: a. Pemberian kuasa; b. berdasarkan perjanjian dengan pemberian kuasa (pemberian kuasa bukan diberikan dengan surat kuasa tersendiri, tetapi dicantumkan dalam perjanjian itu sehingga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tersebut), atau c. berdasarkan pendelegasian wewenang.

Walaupun sudah diketahui pelaku tindak pidana dalam UUPPLH yaitu: a. badan usaha, b. orang yang berdasarkan hubungan kerja yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, atau c. orang yang berdasarkan hubungan kerja yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, namun dalam kenyataannya untuk memastikan siapa sebagai pembuat tidaklah mudah. Demikian juga, setelah pembuat ditentukan, hal lain yang muncul yaitu bagaimana selanjutnya mengenai pertanggungjawaban pidananya. Masalah pertanggungjawaban pidana ini merupakan segi lain dari subjek tindak pidana yang dapat dibedakan dari masalah si pembuat atau yang melakukan tindak pidana, dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.

Secara umum, yang dapat dimintakan pertanggungjawaban yaitu si pembuat, namun tidaklah selalu demikian terlebih dalam hal pertanggungjawaban korporasi (dibaca: badan usaha) dalam hukum pidana. Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana tergantung juga pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban yang ditempuh oleh pembuat undang-undang.

Model pertanggungjawaban pidana korporasi di lihat dari kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawabannya, dapat disebutkan sebagai berikut: a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab, dan c. Korporasi sebagai pembuat juga sebagai yang bertanggungjawab. Oleh Sutan Remy Sjahdeini ditambah satu model lagi, yaitu: Korporasi dan pengurus sebagai pembuat, maka korporasi dan penguruslah yang bertanggungjawab.

Berdasarkan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH, dalam hal tindak pidana dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha, yang dapat dituntut dan dijatuhkan hukuman, yaitu:
1.      Badan usaha dan orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan;
2.      Badan usaha dan orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana lingkungan;
3.      Badan usaha;
4.      Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan;
5.      Orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana;

Berdasarkan Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, dalam hal tindak pidana dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha dan tindak pidana itu dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain, yang dapat dituntut dan dijatuhkan hukuman, yaitu:
1.      Pemberi perintah dalam tindak pidana lingkungan tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama;
2.      Pemimpin dalam tindak pidana lingkungan tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Rumusan Pasal 116 UUPPLH mencantumkan frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” dan “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan tindak pidana” namun penjelasan Pasal 116 UUPPLH tidak ada memberikan penjelasan terhadap makna tersebut. Frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” dan “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” sebagaimana tercantum dalam Pasal 116 UUPPLH merupakan sebagai orang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Penjelasan Pasal 116 UUPPLH menyatakan: “cukup jelas”, sehingga perlu penafsiran untuk mengetahui maksud dari frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin”. Pasal 116 UUPPLH, merumuskan: “... jika tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, untuk atau atas nama badan usaha maka tuntutan pidana dan sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada ... orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana”, maka “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” diartikan sebagai orang yang bertugas menjalankan dan melaksanakan “pengurusan” badan usaha. Dengan kata lain, frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” dalam pertanggungjawaban pidana badan usaha adalah untuk mengungkapkan tanggungjawab pengurus atau fungsionaris dari badan usaha. Artinya frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” sebagaimana dalam Pasal 116 UUPPLH, menunjuk kepada pertanggungjawaban pidana pengurus badan usaha secara individual. Pengurus badan usaha dapat dimintakan pertanggungjawab pidana secara individual, apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha.

Ketentuan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH membuka kemungkinan apabila suatu badan usaha melakukan perbuatan pidana, tidak hanya yang dituntut badan usahanya saja, tetapi juga orang yang telah memerintahkan kejadian tersebut dan orang yang memimpin sendiri secara nyata perbuatan yang dilarang. Artinya, pengurus sebagai pemberi perintah dan/atau pemimpin tindakan nyata dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh badan usaha.

Pengurus badan usaha dapat dalam keadaan “sebagai orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana”, atau pengurus badan usaha dapat dalam keadaan “sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana”. Artinya, keadaan seorang pengurus badan usaha yang bisa dalam keadaan sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa dalam keadaan sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana.

Keadaan seorang pengurus “sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” akan menyebabkan pengurus tersebut dapat dituntut dua kali. Menuntut pengurus sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana,  akan bertentangan dengan rasa keadilan dan juga asas ne bis in idem akan menjadi penghalang untuk menuntut dua kali orang (pengurus) yang sama dalam keadaan berbeda-beda (“sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana”), artinya terhadap pengurus tersebut cukup di pilih keadaan sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau keadaan sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana.

Seseorang yang dalam fungsinya sebagai dalam organisasi badan usaha harus melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya tindakan terlarang, namun ia tidak melakukannya, ia tidak kehilangan  posisi kepemimpinannya dalam konteks memberi arahan bagi tindakan badan usaha  (yang secara faktual perbuatan itu dilakukan oleh pegawai lain). Dalam kondisi ini orang tersebut dapat juga dikatakan sebagai orang memimpin.  Seseorang juga dapat dikatakan sebagai secara faktual meminpin dalam tindak pidana badan usaha/korporasi jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana yang bersangkutan, namun ia tidak mengambil langkah-langkah untuk mencegah perbuatan yang terlarang dan secara menerima keadaan terjadinya perbuatan yang dilarang tersebut.

Rumusan Pasal 116 ayat (1) huruf b dan Pasal 116 ayat (2) menggunakan kata/frasa “atau” diantara frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” dengan frasa “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” merupakan penegasan untuk mencegah dituntutnya dua kali seorang pengurus atas satu tindak pidana lingkungan yang terjadi.

Menurut Remmelink, di dalam praktek yang dimaksud sebagai “yang memberi perintah” atau “yang memimpin” adalah para pengurus. Seseorang dapat dikatakan secara faktual memimpin dilakukannya tindak pidana korporasi (di baca badan usaha) jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana tersebut, atau secara faktual dikatakan ada perbuatan memimpin tindak pidana yang terjadi apabila pejabat yang bersangkutan tidak mengambil langkah-langkah apapun untuk mencegah dilakukannya perbuatan terlarang oleh para pegawainya, sekalipun ia berwenang untuk melakukan hal itu dan secara dapat melakukan pencegahan dimaksud, dan bahkan secara sadar ia membiarkan perbuatan terlarang itu terlaksana sekalipun ada kesempatan untuk melakukan pencegahan terlaksananya perbuatan terlarang tersebut.

Pengurus korporasi/badan usaha merupakan individu-individu yang mempunyai kedudukan atau kekuasaan sosial, setidaknya dalam lingkup perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka-mereka yang dapat dikategorikan sebagai pengurus badan usaha yaitu:
1)    mereka yang menurut anggaran dasarnya secara formal menjalankan pengurusan badan usaha;
2)    mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar badan usaha bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan yang mengikat badan usaha  secara hukum berdasarkan:
a)    pengangkatan oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan dengan pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas ruang lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya itu untuk dapat melakukan perbuatan hukum mengikat badan usaha, atau
b)    pemberian kuasa oleh pengurus atau mereka sebagaimana dimaksud a) untuk dapat melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat badan usaha.
3)    oleh orang lain yang diperintahkan oleh mereka yang disebut dalam huruf 1) dan 2), untuk melakukan atau menjalankan pengurusan badan usaha.

Pengurus merupakan organ korporasi (dibaca: badan usaha) yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi/badan usaha yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Dengan demikian, setiap individu yang ditunjuk sebagai memiliki tanggung jawab organisasi atau operasional untuk spesifik perilaku atau yang memiliki kewajiban untuk mencegah, suatu pelanggaran oleh badan usaha dalam hal ini melaksanakan kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 68 UUPPLH dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas terjadinya tindak pidana lingkungan.

Bahan bacaan:

Alvi Syahrin, 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT Sofmedia. Jakarta.
Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni; Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, (terjemahan Raisul Muttaqien), Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung.
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana: Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-Undang Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (terjemahan Tristam Pascal Moeliono), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Muladi dan Diah Sulistyani RS, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Criminal Responsibility), PT Almuni, Bandung.
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.
Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta.
Schaffmeister D, Keizer N, Sutorius E. PH, 1995, Hukum Pidana, (Editor penerjemahan: Sahetapy), Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Zainal Abidin Farid, H.A., 2010, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar