KOMENTAR ATAS PASAL 116 UUPPLH
Oleh: Alvi Syahrin
Pasal
116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH), berbunyi:
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup
dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi
pidana dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan
tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan
hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup
kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin
dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut
dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Penjelasan
Pasal 116 UUPPLH:
Cukup
jelas.
Komentar:
Pasal 116 UUPPLH mengatur tentang pertanggungjawaban pidana dalam hal
tindak pidana dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha. Sehubungan
dengan pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu mengenai siapa
yang dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, harus terlebih dahulu dipastikan
siapa yang dinyatakan sebagai pembuat tindak pidana tersebut. Mengenai siapa
yang dinyatakan sebagai pembuat tindak pidana (subjek tindak pidana) pada
umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang.
Memperhatikan ketentuan Pasal 116 UUPPLH dan penjelasannya, tindak
pidana lingkungan dilakukan oleh,
untuk dan atas nama badan usaha. Jika
diuraikan bahwa pelaku tindak pidana lingkungan berdasarkan Pasal 116 UUPPLH,
yaitu:
1.
dilakukan
oleh badan usaha;
2.
dilakukan
untuk badan usaha;
3.
dilakukan
atas nama badan usaha;
4.
dilakukan
oleh badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
5.
dilakukan
oleh badan usaha yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan lain
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
6.
dilakukan
untuk badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
7.
dilakukan
untuk badan usaha yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan lain
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
8.
dilakukan
atas nama badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
9.
dilakukan
atas nama badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan lain
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha.
Oleh badan usaha berarti badan usaha sebagai pelaku, badan usaha dalam hal
ini sebagai pelaku pasif, sedangkan pelaku aktifnya seperti: para pengurus
badan usaha atau para manejer badan usaha melakuan perbuatan tersebut oleh
karena jabatannya.
Untuk badan usaha berarti badan usaha dinyatakan sebagai pelaku oleh karena
badan usaha menerima tindak pidana tersebut sebagai suatu perbuatan sesuai
dengan tujuan, maksud atau badan usaha menerima perbuatan tersebut yang
dilakukan oleh para pengurus badan usaha atau para manejer badan usaha.
Atas nama badan usaha berarti badan usaha sebagai pelaku oleh karena perbuatan
itu dilakukan oleh para pengurus badan usaha atau para manejernya badan usaha.
Badan usaha mendapatkan manfaat keuntungan atas perbuatan yang dilakukan oleh
para pengurus badan usaha atau para majener badan usaha.
Badan usaha sebagai pelaku tindak pidana lingkungan walaupun perlu
diterapkan dengan memperhatikan kasus per kasus (kasuistis) sesuai dengan sifat
kekhasan tindak pidana tertentu yang bisa berupa tindak pidana fungsional yang
lebih bersifat administratif dan tindak pidana non-fungsional yang lebih
bersifat fisik, perlu juga dipedomani atau memperhatikan bahwa:
1.
perbuatan
dari perorangan dapat dibebankan kepada badan usaha, apabila perbuatan-perbuatan
tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan-perbuatan badan
usaha;
2.
apabila
sifat dan tujuan dari pengaturan telah menunjukkan indikasi untuk pembuat
pidana, untuk pembuktian akhir pembuat pidana, di sampaing apakah perbuatan
tersebut sesuai dengan tujuan statuta (anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga) dari badan usaha dan atau sesuai dengan kebijaksanaan badan usaha,
dalam arti tindakan atau perbuatan tersebut sesuai dengan ruang lingkup
pekerjaan dari badan usaha;
3.
perbuatan
yang terlarang yang untuk mempertanggungjawabkannya dibebankan kepada badan
usaha dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan atau pencapaian
tujuan-tujuan badan usaha tersebut;
4.
perbuatan
pengurus badan usaha dianggap sebagai perbuatan badan usaha itu sendiri dalam
hal pengurus badan usaha mempunyai kewenangan atau kekuasaan dalam hal (untuk) menentukan
apakah perbuatan itu dilakukan atau tidak, dan perbuatan itu harus merupakan
bagian dari perbuatan-perbuatan yang menurut kenyataan diterima atau lazimnya
diterima oleh badan usaha. Syarat kekuasaan (machtsvereiste) mencakup: wewenang mengatur/menguasai dan atau
memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak pidana lingkungan; mampu
melaksanakan wewenangnya dan pada dasarnya mampu mengambil keputusan-keputusan
tentang hal bersangkutan; dan mampu mengupayakan kebijakan atau tindakan
pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindak pidana lingkungan.
Selanjutnya, syarat penerimaan atau akseptasi (aanvaardingsvereiste) terjadi apabila ada kaitan erat antara proses
pengambilan atau pembentukan keputusan di badan usaha dengan tindak pidana
lingkungan yang dilakukan termasuk juga adanya kemampuan pengawasan secara
cukup. Dengan demikian, perbuatan karyawan badan usaha hanya akan
dipertimbangkan sebagai perbuatan pimpinan korporasi, apabila: a. perbuatannya
dalam kerangka kewenangannya untuk menentukan pegawai tersebut untuk berbuat;
dan b. perbuatan karyawan masuk dalam kategori perbuatan yang accepted oleh badan usaha dalam kerangka
bisnis yang normal.
5.
Kesengajaan
badan usaha terjadi dalam hal kesengajaan itu pada kenyataannya tercakup dalam
politik atau tujuan badan usaha, atau berada dalam kegiatan yang nyata dari
badan usaha tersebut. Kesengajaan badan usaha juga bisa timbul dalam hal
kesengajaan dari perorangan (natuurlijk
persoon) yang berbuat atas nama badan usaha;
6.
Kesengajaan
suatu organ dari badan usaha dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam
hal tertentu, kesengajaan dari seorang bawahan bahkan dari orang/pihak ketiga,
dapat mengkibatkan kesengajaan badan usaha. Artinya, tidak hanya tindakan
sengaja fungsionaris pimpinan badan usaha yang dapat diatribusikan pada badan
usaha, tetapi juga termasuk tindakan pegawai/karyawan rendahan.
7.
Pertanggungjawaban
pidana juga bergantung kepada organisasi internal dalam badan usaha dan cara
bagaimana pertanggungjawaban dibagi, demikian juga halnya dengan kealpaan;
8.
Pengetahuan
bersama dari sebagian besar anggota direksi atau pengurus badan usaha dapat
dianggap sebagai kesengajaan badan usaha, bahkan sampai kepada kesengajaan
berinsyaf (sadar akan) kemungkinan atau opzet
bij mogelijkheidsbewustzijn atau dolus
evantualis.
Selanjutnya,
ketentuan Pasal 116 UUPPLH berikut penjelasannya, juga tidak ada menjelaskan
frasa “berdasarkan hubungan kerja” dan frasa “berdasarkan hubungan lain”,
sehingga diperlukan penafsiran hukum terhadap frasa tersebut. Menurut Sutan
Remy Sjahdeini, yang dimaksud dengan orang “yang berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasar hubungan lain” menunjukkan ada dua kelompok orang, yaitu
pertama: “orang-orang berdasarkan hubungan kerja” dan yang kedua: “orang-orang
berdasarkan hubungan lain”. Hubungan yang dimaksud dalam kedua frasa tersebut
harus ditafsirkan sebagai “hubungan dengan korporasi yang bersangkutan”. “Orang-orang
berdasarkan hubungan kerja” adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja
sebagai pengurus atau pegawai, yaitu: a. berdasarkan anggaran dasar dan
perubahannya, b. berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai dan perjanjian kerja
dengan korporasi, c. berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai, atau d. berdasarkan
“perjanjian kerja sebagai pegawai”. Sedangkan “orang-orang berdasarkan hubungan
lain” adalah orang-orang yang memiliki hubungan lain selain hubungan kerja
dengan korporasi. Mereka antara lain yang mewakili korporasi untuk melakukan
perbuatan hukum untuk dan atas ama korporasi berdasarkan: a. Pemberian kuasa;
b. berdasarkan perjanjian dengan pemberian kuasa (pemberian kuasa bukan
diberikan dengan surat kuasa tersendiri, tetapi dicantumkan dalam perjanjian
itu sehingga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tersebut),
atau c. berdasarkan pendelegasian wewenang.
Walaupun sudah diketahui pelaku tindak pidana dalam UUPPLH yaitu: a.
badan usaha, b. orang yang berdasarkan
hubungan kerja yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, atau c. orang yang berdasarkan hubungan kerja
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, namun dalam kenyataannya untuk
memastikan siapa sebagai pembuat tidaklah mudah. Demikian juga, setelah pembuat
ditentukan, hal lain yang muncul yaitu bagaimana selanjutnya mengenai
pertanggungjawaban pidananya. Masalah pertanggungjawaban pidana ini merupakan
segi lain dari subjek tindak pidana yang dapat dibedakan dari masalah si
pembuat atau yang melakukan tindak pidana, dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.
Secara umum, yang dapat dimintakan pertanggungjawaban yaitu si
pembuat, namun tidaklah selalu demikian terlebih dalam hal pertanggungjawaban
korporasi (dibaca: badan usaha) dalam hukum pidana. Pertanggungjawaban
korporasi dalam hukum pidana tergantung juga pada cara atau sistem perumusan
pertanggungjawaban yang ditempuh oleh pembuat undang-undang.
Model pertanggungjawaban pidana korporasi di lihat dari kedudukan
sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawabannya, dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, b.
Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab, dan c. Korporasi
sebagai pembuat juga sebagai yang bertanggungjawab. Oleh Sutan Remy Sjahdeini
ditambah satu model lagi, yaitu: Korporasi dan pengurus sebagai pembuat, maka
korporasi dan penguruslah yang bertanggungjawab.
Berdasarkan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH, dalam hal tindak pidana
dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan
usaha, yang dapat dituntut dan dijatuhkan hukuman, yaitu:
1.
Badan
usaha dan orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan;
2.
Badan
usaha dan orang yang bertindak
sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana lingkungan;
3.
Badan
usaha;
4.
Orang
yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan;
5.
Orang
yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana;
Berdasarkan Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, dalam hal tindak
pidana dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha dan tindak pidana itu
dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain, yang
dapat dituntut dan dijatuhkan hukuman, yaitu:
1.
Pemberi
perintah dalam tindak pidana lingkungan tanpa
memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama;
2.
Pemimpin
dalam tindak pidana lingkungan tanpa
memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Rumusan Pasal 116 UUPPLH mencantumkan frasa “orang
yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” dan “orang yang bertindak
sebagai pemimpin kegiatan tindak pidana” namun penjelasan Pasal 116 UUPPLH
tidak ada memberikan penjelasan terhadap makna tersebut. Frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan
tindak pidana” dan “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana” sebagaimana tercantum dalam Pasal 116 UUPPLH merupakan sebagai orang
yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Penjelasan Pasal 116 UUPPLH menyatakan: “cukup jelas”, sehingga
perlu penafsiran untuk mengetahui maksud dari frasa “orang yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin”.
Pasal 116 UUPPLH, merumuskan: “... jika tindak pidana lingkungan dilakukan
oleh, untuk atau atas nama badan usaha maka tuntutan pidana dan sanksi pidana
dapat dijatuhkan kepada ... orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana”, maka “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana”
diartikan sebagai orang yang bertugas menjalankan dan melaksanakan “pengurusan”
badan usaha. Dengan kata lain, frasa “orang yang
memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak
sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” dalam pertanggungjawaban pidana
badan usaha adalah untuk mengungkapkan tanggungjawab pengurus atau fungsionaris
dari badan usaha. Artinya frasa “orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana” sebagaimana dalam Pasal 116 UUPPLH, menunjuk kepada pertanggungjawaban pidana pengurus badan usaha secara individual.
Pengurus badan usaha dapat dimintakan pertanggungjawab pidana secara
individual, apabila tindak pidana lingkungan hidup
dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha.
Ketentuan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH membuka kemungkinan apabila
suatu badan usaha melakukan perbuatan pidana, tidak hanya yang dituntut badan
usahanya saja, tetapi juga orang yang telah memerintahkan kejadian tersebut dan
orang yang memimpin sendiri secara nyata perbuatan yang dilarang. Artinya,
pengurus sebagai pemberi perintah dan/atau pemimpin tindakan nyata dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh badan usaha.
Pengurus badan usaha dapat dalam keadaan “sebagai orang yang
memberi perintah untuk melakukan tindak pidana”, atau pengurus badan usaha
dapat dalam keadaan “sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana”. Artinya, keadaan seorang pengurus badan usaha yang bisa
dalam keadaan sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga
bisa dalam keadaan sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam
tindak pidana.
Keadaan seorang pengurus “sebagai pemberi perintah untuk
melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” akan menyebabkan pengurus tersebut dapat
dituntut dua kali. Menuntut pengurus sebagai pemberi perintah untuk melakukan
tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana, akan
bertentangan dengan rasa keadilan dan juga asas ne bis in idem akan menjadi penghalang untuk menuntut dua kali
orang (pengurus) yang sama dalam keadaan berbeda-beda (“sebagai pemberi
perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang
bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana”), artinya terhadap pengurus tersebut cukup di pilih
keadaan sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau keadaan sebagai orang yang
bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana.
Seseorang yang dalam fungsinya sebagai dalam organisasi badan
usaha harus melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya tindakan terlarang,
namun ia tidak melakukannya, ia tidak kehilangan posisi kepemimpinannya dalam konteks memberi
arahan bagi tindakan badan usaha (yang
secara faktual perbuatan itu dilakukan oleh pegawai lain). Dalam kondisi ini
orang tersebut dapat juga dikatakan sebagai orang memimpin. Seseorang juga dapat dikatakan sebagai secara
faktual meminpin dalam tindak pidana badan usaha/korporasi jika ia mengetahui
terjadinya tindak pidana yang bersangkutan, namun ia tidak mengambil
langkah-langkah untuk mencegah perbuatan yang terlarang dan secara menerima
keadaan terjadinya perbuatan yang dilarang tersebut.
Rumusan Pasal 116 ayat (1) huruf b dan Pasal 116 ayat (2)
menggunakan kata/frasa “atau” diantara frasa “orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana” dengan frasa “orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana” merupakan penegasan untuk mencegah dituntutnya
dua kali seorang pengurus atas satu tindak pidana lingkungan yang terjadi.
Menurut Remmelink, di dalam praktek yang dimaksud sebagai “yang
memberi perintah” atau “yang memimpin” adalah para pengurus. Seseorang dapat
dikatakan secara faktual memimpin dilakukannya tindak pidana korporasi (di baca
badan usaha) jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana tersebut, atau secara
faktual dikatakan ada perbuatan memimpin tindak pidana yang terjadi apabila
pejabat yang bersangkutan tidak mengambil langkah-langkah apapun untuk mencegah
dilakukannya perbuatan terlarang oleh para pegawainya, sekalipun ia berwenang
untuk melakukan hal itu dan secara dapat melakukan pencegahan dimaksud, dan
bahkan secara sadar ia membiarkan perbuatan terlarang itu terlaksana sekalipun
ada kesempatan untuk melakukan pencegahan terlaksananya perbuatan terlarang
tersebut.
Pengurus korporasi/badan usaha merupakan
individu-individu yang mempunyai kedudukan atau kekuasaan sosial, setidaknya
dalam lingkup perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka-mereka yang dapat
dikategorikan sebagai pengurus badan usaha yaitu:
1) mereka yang menurut anggaran dasarnya secara
formal menjalankan pengurusan badan usaha;
2) mereka yang sekalipun menurut anggaran
dasar badan usaha bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki kewenangan untuk
melakukan perbuatan yang mengikat badan usaha
secara hukum berdasarkan:
a) pengangkatan oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan dengan
pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas ruang
lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya itu untuk dapat
melakukan perbuatan hukum mengikat badan usaha, atau
b) pemberian kuasa oleh pengurus atau
mereka sebagaimana dimaksud a) untuk dapat melakukan perbuatan yang secara
hukum mengikat badan usaha.
3) oleh orang lain yang diperintahkan oleh
mereka yang disebut dalam huruf 1) dan 2), untuk melakukan atau menjalankan
pengurusan badan usaha.
Pengurus merupakan organ korporasi (dibaca: badan usaha) yang
menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran
dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut
memutuskan kebijakan korporasi/badan usaha yang dapat dikualifikasikan sebagai
tindak pidana. Dengan demikian, setiap individu
yang ditunjuk sebagai memiliki tanggung jawab organisasi atau operasional untuk
spesifik perilaku atau yang memiliki kewajiban untuk mencegah, suatu
pelanggaran oleh badan usaha dalam hal ini melaksanakan kewajiban untuk
melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur
dalam Pasal 68 UUPPLH dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas
terjadinya tindak pidana lingkungan.
Bahan
bacaan:
Alvi Syahrin, 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT Sofmedia.
Jakarta.
Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni; Dasar-dasar Ilmu Hukum
Normatif, (terjemahan Raisul Muttaqien), Penerbit Nusamedia & Penerbit
Nuansa, Bandung.
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana: Komentar atas pasal-pasal
terpenting dari Kitab Undang-Undang Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (terjemahan Tristam Pascal Moeliono),
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Muladi dan Diah
Sulistyani RS, 2013, Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi (Corporate Criminal Responsibility), PT Almuni, Bandung.
Muladi dan Dwidja
Priyatno, 2013, Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.
Sutan Remy Sjahdeini,
2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
Grafiti Pers, Jakarta.
Schaffmeister D,
Keizer N, Sutorius E. PH, 1995, Hukum
Pidana, (Editor penerjemahan: Sahetapy), Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Takdir Rahmadi, 2011,
Hukum Lingkungan di Indonesia, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Zainal Abidin Farid,
H.A., 2010, Hukum Pidana 1, Sinar
Grafika, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar