Sabtu, 19 Juli 2014

Pembuktian: UUPPLH dan KUHAP

PEMBUKTIAN MENURUT UUPPLH DAN KAITANNYA DENGAN KUHAP

Oleh: Alvi Syahrin


Pembuktian merupakan suatu proses yang dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang diajukan ke pengadilan adalah benar atau tidak seperti yang dinyatakan.

Sistem pembuktian di dalam Hukum Acara Pidana menganut sistem negatif (negatief wettelijk bewijsleer) yang berarti yang dicari oleh Hakim yaitu kebenaran materil. Berdasarkan sistem pembuktian ini, pembuktian didepan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, harus memenuhi dua syarat mutlak, yaitu: alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim.

Pengertian “alat bukti yang cukup” dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”,
dan Pasal 96 UUPPLH, maka alat bukti yang cukup tersebut sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 96 UUPPLH.



Dipenuhinya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, belum cukup untuk menjatuhkan hukuman pada tersangka, perlu adanya keyakinan hakim untuk itu. Sebaliknya, jika hakim sudah cukup yakin akan kesalahan tersangka, namun tidak tersedia alat bukti yang cukup, hakim juga tidak dapat menjatuhkan pidana, artinya hakim tidak dapat menjatuhkan pidana hanya didasarkan kepada keyakinannya saja tanpa dibarengi dua alat bukti yang sah.

Suatu alat bukti bukti yang dipergunakan di pengadilan perlu memenuhi beberapa syarat, diantaranya:
a. diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
b. reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya.
c. necessity, yakni alat bukti yang diajukan memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
d. relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.

Alat bukti yang diperkenankan undang-undang, berdasarkan Pasal 96 UUPPLH, terdiri atas:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa; dan/atau
f.  alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Alat bukti lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf “f” UUPPLH, yaitu meliputi, informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca.

Suatu alat bukti yang akan diajukan ke pengadilan merupakan alat bukti yang harus relevan dengan yang akan dibuktikan. Alat bukti yang tidak relevan akan membawa resiko dalam proses pencarian keadilan, diantaranya: akan menimbulkan praduga-praduga yang tidak perlu sehingga membuang-buang waktu, penilaian terhadap masalah yang diajukan menjadi tidak proporsional karena membesar-besarkan masalah yang kecil atau mengecilkan masalah yang sebenarnya besar, yang hal ini akan menyebabkan proses peradilan menjadi tidak sesuai lagi dengan asas peradilan yang dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak.

Untuk melihat apakah suatu alat bukti yang diajukan relevan atau tidak dengan fakta yang akan dibuktikan, terlebih dahulu perlu menjawab beberapa pertanyaan, diantaranya:
a.  apakah yang akan dibuktikan oleh alat bukti tersebut?
b.  Apakah yang dibuktikan itu merupakan hal yang material/substansial bagi kasus tersebut?
c.  Apakah bukti tersebut memiliki hubungan secara logis dengan masalah yang akan dibuktikan?
d.  Apakah bukti tersebut cukup menolong menjelaskan persoalan atau cukup memiliki unsur pembuktian?

Setelah menjawab pertanyaan diatas, dan jawabannya positif, dilanjutnya dengan pertanyaan tahap kedua, yaitu apakah ada ketentuan lain yang merupakan alasan untuk menolak alat bukti yang diajukan tersebut. Alasan atau aturan yang harus dipertimbangkan tersebut, antara lain:
a.  Bagaimana dengan penerimaan alat bukti secara terbatas?
b.  Alat bukti tersebut ditolak manakala penerimanya dapat menyebabkan timbulnya praduga yang tidak fair atau dapat menyebabkan kebingungan.
c.  Merupakan saksi de auditu yang harus ditolak.
d.  Ada alasan instrinsik yang dapat membenarkan alat bukti tersebut, misalnya adanya perbaikan yang dilakukan kemudian.
e.  Adanya pembatasan-pembatasan untuk menggunakan bukti karakter.

Selain pertanyaan-pertanyaan yang disebutkan di atas, hal lain yang juga perlu diperhatikan (pengetahuan yang dimiliki) PPNS-LH atau penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan, yaitu ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh alat-alat bukti, sebagaimana diatur dalam Pasal 185 KUHAP sampai Pasal 189 KUHAP.

Ketentuan Pasal 185 KUHAP, berbunyi:
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a.  persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b.  persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Penjelasan Pasal 185 KUHAP:
Ayat (1)
 “dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu”.
Ayat (2) sampai dengan ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dalam ayat ini ialah untuk mengingatkan hakim agar memperhatikan keterangan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur, dan objektif.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Memperhatikan ketentuan Pasal 185 KUHAP, ditegaskan bahwa keterangan saksi untuk dapat dipandang sebagai alat bukti yang sah harus dinyatakan (diberikan) di sidang pengadilan. Namun demikian, jika diperhatikan ketentuan Pasal 116 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan:
“saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada bukti cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan”,
terlihat bahwa, keterangan saksi di tingkat penyidikan dapat diberikan di bawah sumpah. Akan tetapi, apakah keterangan saksi yang diberikan di bawah sumpah di depan penyidik tersebut mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah, KUHAP tidak ada menjelaskannya. Namun demikian, keterangan saksi yang diberikan di atas sumpah yang dituangkan dalam berita acara, dipandang sebagai alat bukti dan juga mempunyai kekuatan pembuktian untuk diajukan sebagai alat bukti dipersidangan pengadilan.

Berdasarkan Pasal 1 angka (27) KUHAP, keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana, yang berupa keterangan dari seorang (saksi) mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, yang ia lihat sendiri atau ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Hal ini berarti, saksi tidak boleh memberikan keterangan mengenai terjadinya suatu tindak pidana yang ia dengar dari orang lain, atau yang disebut sebagai suatu kesaksian de auditu atau suatu  testimonium de auditu. Kesaksian de auditu, tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai suatu kesaksian.

Ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, menyatakan bahwa “keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa”, ini terkandung asas unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). Keterangan saksi baru dapat dipandang sebagai cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, jika keterangan saksi tersebut disertai dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang sah lainnya. Untuk tindak pidana lingkungan, alat bukti yang dimaksud sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 96 UUPPLH.

Keterangan ahli, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (28) KUHAP, yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya, Pasal 186 KUHAP, menyatakan: keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Kemudian, penjelasan Pasal 186 KUHAP menyatakan: keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim.

Ketentuan Pasal 187 KUHAP,menyatakan bahwa ”surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf “c”, di buat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.”
Penjelasan Pasal 187 KUHAP, menyatakan “cukup jelas”, sehingga memunculkan berbagai penafsiran dalam praktek terhadap pengertian “surat” sebagaimana dimaksud pada huruf “a”, “b”, “c” dan “d” dalam Pasal 187 KUHAP.

Menurut Lamintang, surat-surat yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf a dan b KUHAP, yaitu surat-surat yang biasanya disebut dengan akta-akta resmi atau officiele akten berupa akta-akta otentik atau authentikeke akten ataupun akta-akta jabatan atau ambtelijke akten. Surat atau berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf a KUHAP, misalnya: akta notaris atau berita acara pemeriksaan surat. Surat dalam Pasal 187 huruf b, misalnya: sertifikat tanah, berita acara pemeriksaan di tempat kejadian yang dibuat penyidik, putusan pengadilan.  Surat dalam Pasal 187 huruf c,merupakan surat keterangan dari ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan, dan menjadi alat bukti yann dari ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan, dan menjadi alat bukti yang sah apabila pendapatnya mengenai hal atau keadaan tersebut telah diminta secara resmi kepada ahli tersebut. Keterangan ahli dipandang sebagai suatu permintaan yang resmi, apabila permintaan tersebut diminta oleh pejabat-pejabat tertentu yang disebutkan dalam KUHAP dalam kualitas mereka sebagai penyidik, penuntut umum, hakim. Surat dalam Pasal 187 huruf d KUHAP, merupakan surat yang ada hubungannya dengan alat bukti yang lain.

Menurut Yahya Harahap, bentuk surat sebagaimana yang disebut dalam Pasal 187 huruf d KUHAP, dari tinjauan teoritis bukan merupakan alat bukti yang sempurna. Bentuk surat ini tidak mempunyai sifat bentuk formil yang sempurna. Karena itu baik isi dan bentuknya, bukan merupakan alat bukti yang bernilai sempurna dan dapat dikesampingkan begitu saja.

Ketentuan Pasal 188 KUHAP, mengatur tentang petunjuk sebagai alat bukti. Petunjuk berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Kemudian, petunjuk tersebut, berdasarkan Pasal 188 ayat (2) KUHAP hanya dapat diperoleh dari: keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

Memperhatikan ketentuan Pasal 188 ayat (1) dan (2) KUHAP, kemudian dikaitkan dengan Pasal 96 UUPPLH yang menyatakan: “alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa; dan/atau f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.”, maka petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 96 huruf “d” UUPPLH, juga hanya dapat diperoleh dari: keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (sebagaimana diatur dalam Pasal 96 huruf “a”, “c” dan “e” UUPPLH).  Dengan demikian, “tidak dapat” atau “dilarang” untuk mencari dan memperoleh petunjuk dalam tuntutan tindak pidana lingkungan dari keterangan ahli.

Kententuan alat bukti berupa keterangan terdakwa, diatur dalam Pasal 189 KUHAP, yang menyebutkan:
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Berdasarkan ketentuan Pasal 189 KUHAP, keterangan terdakwa harus dinyatakan di sidang pengadilan, jika keterangan tersebut dinyatakan di luar sidang, maka keterangan terdakwa tersebut dapat dipergunakan untuk “membantu” menemukan bukti dipersidangan, dengan syarat keterangan terdakwa diluar sidang tersebut di dukung oleh suatu alat bukti yang sah dan keterangan yang dinatakannya di luar sidang tadi sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

Bentuk keterangan yang dapat diklassifikasi sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, yaitu: keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan, dan keterangan tersebut dicatat dalam berita acara penyidikan, serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa. Hal ini sejalan dengan Pasal 75 ayat (1) huruf “a” yang menyatakan : “berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang pemeriksaan tersangka” dan Pasal 75 ayat (3) KUHAP, yang menetapkan: berita acara tersebut selain ditandatangani pejabat yang melakukan pemeriksaan tersangka, juga ditandatangani oleh pihak terlibat dalam hal ini tersangka.

Penandatangan berita acara penyidikan oleh tersangka tidak merupakan syarat mutlak, karena berdasarkan Pasal 118 ayat (2) KUHAP, dinyatakan bahwa: dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda tangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya. Berita acara penyidikan tersebut tetap dianggap sah sesuai ketentuan Pasal 118 KUHAP dan Pasal 75 KUHAP.


--o0o--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar