PEMBUKTIAN MENURUT UUPPLH DAN
KAITANNYA DENGAN KUHAP
Oleh: Alvi Syahrin
Pembuktian merupakan suatu proses
yang dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah dilakukan tindakan dengan
prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya
fakta atau pernyataan yang diajukan ke pengadilan adalah benar atau tidak
seperti yang dinyatakan.
Sistem pembuktian di dalam Hukum
Acara Pidana menganut sistem negatif (negatief
wettelijk bewijsleer) yang berarti yang dicari oleh Hakim yaitu kebenaran
materil. Berdasarkan sistem pembuktian ini, pembuktian didepan pengadilan agar
suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, harus memenuhi dua syarat mutlak,
yaitu: alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim.
Pengertian “alat bukti yang cukup”
dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan:
“Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”,
dan Pasal 96 UUPPLH, maka alat bukti yang cukup tersebut
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 96
UUPPLH.
Dipenuhinya sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah, belum cukup untuk menjatuhkan hukuman pada tersangka, perlu adanya
keyakinan hakim untuk itu. Sebaliknya, jika hakim sudah cukup yakin akan
kesalahan tersangka, namun tidak tersedia alat bukti yang cukup, hakim juga
tidak dapat menjatuhkan pidana, artinya hakim tidak dapat menjatuhkan pidana
hanya didasarkan kepada keyakinannya saja tanpa dibarengi dua alat bukti yang
sah.
Suatu alat bukti bukti yang
dipergunakan di pengadilan perlu memenuhi beberapa syarat, diantaranya:
a. diperkenankan oleh
undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
b. reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya.
c. necessity, yakni alat bukti yang diajukan memang diperlukan untuk
membuktikan suatu fakta.
d. relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta
yang akan dibuktikan.
Alat bukti yang diperkenankan
undang-undang, berdasarkan Pasal 96 UUPPLH, terdiri atas:
a. keterangan
saksi;
b. keterangan
ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan
terdakwa; dan/atau
f. alat
bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Alat
bukti lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf “f” UUPPLH, yaitu meliputi, informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik,
dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau
informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan
dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak
terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna
atau yang dapat dipahami atau dibaca.
Suatu alat bukti yang akan diajukan ke
pengadilan merupakan alat bukti yang harus relevan dengan yang akan dibuktikan.
Alat bukti yang tidak relevan akan membawa resiko dalam proses pencarian
keadilan, diantaranya: akan menimbulkan praduga-praduga yang tidak perlu sehingga
membuang-buang waktu, penilaian terhadap masalah yang diajukan menjadi tidak
proporsional karena membesar-besarkan masalah yang kecil atau mengecilkan
masalah yang sebenarnya besar, yang hal ini akan menyebabkan proses peradilan
menjadi tidak sesuai lagi dengan asas peradilan yang dilakukan dengan cepat,
sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak.
Untuk melihat apakah suatu alat bukti yang
diajukan relevan atau tidak dengan fakta yang akan dibuktikan, terlebih dahulu
perlu menjawab beberapa pertanyaan, diantaranya:
a. apakah
yang akan dibuktikan oleh alat bukti tersebut?
b. Apakah
yang dibuktikan itu merupakan hal yang material/substansial bagi kasus
tersebut?
c. Apakah
bukti tersebut memiliki hubungan secara logis dengan masalah yang akan
dibuktikan?
d. Apakah
bukti tersebut cukup menolong menjelaskan persoalan atau cukup memiliki unsur
pembuktian?
Setelah menjawab pertanyaan diatas, dan
jawabannya positif, dilanjutnya dengan pertanyaan tahap kedua, yaitu apakah ada
ketentuan lain yang merupakan alasan untuk menolak alat bukti yang diajukan
tersebut. Alasan atau aturan yang harus dipertimbangkan tersebut, antara lain:
a. Bagaimana
dengan penerimaan alat bukti secara terbatas?
b. Alat
bukti tersebut ditolak manakala penerimanya dapat menyebabkan timbulnya praduga
yang tidak fair atau dapat menyebabkan kebingungan.
c. Merupakan
saksi de auditu yang harus ditolak.
d. Ada
alasan instrinsik yang dapat membenarkan alat bukti tersebut, misalnya adanya
perbaikan yang dilakukan kemudian.
e. Adanya
pembatasan-pembatasan untuk menggunakan bukti karakter.
Selain pertanyaan-pertanyaan yang disebutkan
di atas, hal lain yang juga perlu diperhatikan (pengetahuan yang dimiliki)
PPNS-LH atau penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana
lingkungan, yaitu ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh alat-alat bukti,
sebagaimana diatur dalam Pasal 185 KUHAP sampai Pasal 189 KUHAP.
Ketentuan Pasal 185 KUHAP, berbunyi:
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa
yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri
sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai
suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu
dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu
kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh
dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang
saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu
dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan
alat bukti lain;
c.
alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang
tertentu;
d.
cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah
meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun
apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat
dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Penjelasan Pasal 185 KUHAP:
Ayat (1)
“dalam keterangan saksi tidak
termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu”.
Ayat (2) sampai dengan ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dalam ayat ini ialah untuk mengingatkan hakim agar
memperhatikan keterangan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur,
dan objektif.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Memperhatikan ketentuan Pasal 185 KUHAP,
ditegaskan bahwa keterangan saksi untuk dapat dipandang sebagai alat bukti yang
sah harus dinyatakan (diberikan) di sidang pengadilan. Namun demikian, jika
diperhatikan ketentuan Pasal 116 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan:
“saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada bukti cukup
alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di
pengadilan”,
terlihat bahwa,
keterangan saksi di tingkat penyidikan dapat diberikan di bawah sumpah. Akan
tetapi, apakah keterangan saksi yang diberikan di bawah sumpah di depan
penyidik tersebut mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah, KUHAP tidak
ada menjelaskannya. Namun demikian, keterangan saksi yang diberikan di atas
sumpah yang dituangkan dalam berita acara, dipandang sebagai alat bukti dan
juga mempunyai kekuatan pembuktian untuk diajukan sebagai alat bukti
dipersidangan pengadilan.
Berdasarkan Pasal 1 angka (27) KUHAP,
keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana, yang
berupa keterangan dari seorang (saksi) mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, yang ia lihat sendiri atau ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu. Hal ini berarti, saksi tidak boleh memberikan
keterangan mengenai terjadinya suatu tindak pidana yang ia dengar dari orang
lain, atau yang disebut sebagai suatu kesaksian de auditu atau suatu testimonium de auditu. Kesaksian de auditu, tidak mempunyai kekuatan
hukum sebagai suatu kesaksian.
Ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, menyatakan
bahwa “keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa”, ini terkandung asas unus
testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). Keterangan saksi baru dapat
dipandang sebagai cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, jika keterangan
saksi tersebut disertai dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang sah
lainnya. Untuk tindak pidana lingkungan, alat bukti yang dimaksud sebagaimana
yang dirumuskan dalam Pasal 96 UUPPLH.
Keterangan ahli, sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka (28) KUHAP, yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya, Pasal 186 KUHAP,
menyatakan: keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan. Kemudian, penjelasan Pasal 186 KUHAP menyatakan: keterangan ahli
ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu
tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka
pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam
berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan
sumpah atau janji dihadapan hakim.
Ketentuan Pasal 187 KUHAP,menyatakan bahwa
”surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf “c”, di buat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi
yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat
atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang
diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.”
Penjelasan Pasal 187 KUHAP, menyatakan “cukup
jelas”, sehingga memunculkan berbagai penafsiran dalam praktek terhadap
pengertian “surat” sebagaimana dimaksud pada huruf “a”, “b”, “c” dan “d” dalam Pasal
187 KUHAP.
Menurut Lamintang, surat-surat yang dimaksud
dalam Pasal 187 huruf a dan b KUHAP, yaitu surat-surat yang biasanya disebut
dengan akta-akta resmi atau officiele
akten berupa akta-akta otentik atau authentikeke
akten ataupun akta-akta jabatan atau ambtelijke
akten. Surat atau berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf a
KUHAP, misalnya: akta notaris atau berita acara pemeriksaan surat. Surat dalam
Pasal 187 huruf b, misalnya: sertifikat tanah, berita acara pemeriksaan di
tempat kejadian yang dibuat penyidik, putusan pengadilan. Surat dalam Pasal 187 huruf c,merupakan surat
keterangan dari ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal atau suatu keadaan, dan menjadi alat bukti yann dari ahli yang
memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu
keadaan, dan menjadi alat bukti yang sah apabila pendapatnya mengenai hal atau
keadaan tersebut telah diminta secara resmi kepada ahli tersebut. Keterangan
ahli dipandang sebagai suatu permintaan yang resmi, apabila permintaan tersebut
diminta oleh pejabat-pejabat tertentu yang disebutkan dalam KUHAP dalam
kualitas mereka sebagai penyidik, penuntut umum, hakim. Surat dalam Pasal 187
huruf d KUHAP, merupakan surat yang ada hubungannya dengan alat bukti yang
lain.
Menurut Yahya Harahap, bentuk surat sebagaimana
yang disebut dalam Pasal 187 huruf d KUHAP, dari tinjauan teoritis bukan
merupakan alat bukti yang sempurna. Bentuk surat ini tidak mempunyai sifat
bentuk formil yang sempurna. Karena itu baik isi dan bentuknya, bukan merupakan
alat bukti yang bernilai sempurna dan dapat dikesampingkan begitu saja.
Ketentuan Pasal 188 KUHAP, mengatur tentang
petunjuk sebagai alat bukti. Petunjuk berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP,
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Kemudian, petunjuk tersebut, berdasarkan Pasal 188 ayat (2) KUHAP hanya dapat
diperoleh dari: keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
Memperhatikan ketentuan Pasal 188 ayat (1) dan
(2) KUHAP, kemudian dikaitkan dengan Pasal 96 UUPPLH yang menyatakan: “alat bukti yang sah dalam tuntutan
tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas:
a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c.
surat; d. petunjuk; e. keterangan
terdakwa; dan/atau f. alat bukti lain,
termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.”, maka
petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 96 huruf “d” UUPPLH, juga hanya dapat
diperoleh dari: keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (sebagaimana
diatur dalam Pasal 96 huruf “a”, “c” dan “e” UUPPLH). Dengan demikian, “tidak dapat” atau
“dilarang” untuk mencari dan memperoleh petunjuk dalam tuntutan tindak pidana
lingkungan dari keterangan ahli.
Kententuan alat
bukti berupa keterangan terdakwa, diatur dalam Pasal 189 KUHAP, yang
menyebutkan:
(1)
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2)
Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu
alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3)
Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4)
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan
alat bukti yang lain.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 189 KUHAP, keterangan terdakwa harus dinyatakan di sidang
pengadilan, jika keterangan tersebut dinyatakan di luar sidang, maka keterangan
terdakwa tersebut dapat dipergunakan untuk “membantu” menemukan bukti
dipersidangan, dengan syarat keterangan terdakwa diluar sidang tersebut di
dukung oleh suatu alat bukti yang sah dan keterangan yang dinatakannya di luar
sidang tadi sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
Bentuk
keterangan yang dapat diklassifikasi sebagai keterangan terdakwa yang diberikan
di luar sidang, yaitu: keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan,
dan keterangan tersebut dicatat dalam berita acara penyidikan, serta berita
acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa. Hal ini
sejalan dengan Pasal 75 ayat (1) huruf “a” yang menyatakan : “berita acara
dibuat untuk setiap tindakan tentang pemeriksaan tersangka” dan Pasal 75 ayat
(3) KUHAP, yang menetapkan: berita acara tersebut selain ditandatangani pejabat
yang melakukan pemeriksaan tersangka, juga ditandatangani oleh pihak terlibat
dalam hal ini tersangka.
Penandatangan
berita acara penyidikan oleh tersangka tidak merupakan syarat mutlak, karena
berdasarkan Pasal 118 ayat (2) KUHAP, dinyatakan bahwa: dalam hal tersangka dan
atau saksi tidak mau membubuhkan tanda tangannya, penyidik mencatat hal itu
dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya. Berita acara penyidikan
tersebut tetap dianggap sah sesuai ketentuan Pasal 118 KUHAP dan Pasal 75
KUHAP.
--o0o--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar