Senin, 29 November 2010


NOTARIS PELAKU TINDAK PIDANA
PASAL 266 ayat  (1) KUHP Jo. PASAL 55 ayat (1) ke-1 KUHP ?

Oleh: Alvi Syahrin


I.            Menarik untuk menyimak Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1099 K/PID/2010, tanggal 29 Juni 2010, yang menolak Kasasi Seorang Notaris di Medan, sehingga Notaris tersebut dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 82/PID/2010/PTMDN, tanggal 25 Februari 2010, yang menjatuhi hukuman yang lebih tinggi dan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 3036 / PID.B / 2009 / PN. Mdn dan menambah hukuman bagi sang notaris dari hukumannya 1 (satu) tahun menjadi 2 (dua) tahun.

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap sang Notaris, yaitu Primair melanggar Pasal diancam pidana dalam Pasal 266 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, dan Subsidair melanggar Pasal 263 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1KUH Pidana.

Tulisan ini, tidak sampai masuk kedalam pokok perkara, namun hanya membahas isu hukumnya, yaitu mungkinkah seorang Notaris yang membuat Akte Para Pihak (Akte partie) dapat di jatuhi hukuman pidana berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP?


II.         Pasal 266 ayat (1) KUHP,  berbunyi:
 Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

Pasal 55 ayat (1)ke-1  KUHP, berbunyi:
“1.  Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
ke-1  mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.”;

Memperhatikan ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, adapun yang menjadi unsur-unsurnya yaitu: a. Barang siapa; b Menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik; c. dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, kemudian memperhatikan bunyi Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, menetapkan bahwa sebagai pelaku tindak pidana yaitu: a, mereka yang melakukan, b. Mereka yang menyuruh melakukan, dan c. Mereka yang turut serta dalam melakukan perbuatan, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur hukumnya, yaitu:
a.    Barang siapa;
b.    Menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik;
c.    Dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangan sesuai dengan kebenaran;
d.    Pelakunya:
-        Mereka yang melakukan;
-        Mereka yang menyuruh melakukan
-        Mereka yang turut melakukan.

Berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, kemudian dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1099 K/PID/2010, tanggal 29 Juni 2010, yang menolak Kasasi Seorang Notaris di Medan, sehingga Notaris tersebut dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 82/PID/2010/PTMDN, tanggal 25 Februari 2010, tersebut dapat dikemukakan, “barangsiapa” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP dan pelaku tindak pidana sebagaimana yang disebut dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tersebut adalah Notaris. Apakah sudah tepat bahwa yang dimaksud sebagai pelaku dalam Pasal 266 ayat (1) adalah seorang Notaris?


III.      Ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, yang menjadi subyek (pelaku), yaitu “yang menyuruh memasukkan keterangan palsu”, dan kata “menyuruh” merupakan bagian yang sangat penting (bestanddeel) dari Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pembuat akte dalam hal ini Notaris, ia (notaris) bukan sebagai subyek (pelaku) dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi para pihak pembuat akte otentik tersebutlah yang sebagai subyek (pelaku), karena merekalah yang sebagai menyuruh memasukkan keterangan palsu.

Pejabat notaris tidak dapat dinyatakan sebagai pelaku (menyuruh melakukan) menurut Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi ia hanyalah “orang yang disuruh melakukan”. Kemudian, berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP, tindakan subjek (pelaku) yaitu menyuruh memasukkan suatu keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik, sehingga kata “menyuruh” dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP ditafsirkan bahwa kehendak itu hanya ada pada si penyuruh (pelaku/subjek), sedangkan pada yang disuruh tidak terdapat kehendak untuk memasukkan keterangan palsu dan seterusnya.

Dalam dunia Notaris, dikenal adagium: “setiap orang yang datang menghadap notaris telah benar berkata tidak berbanding lurus dengan berkata benar, yang artinya suatu kebohongan atau memberikan keterangan palsu, hal itu menjadi tanggung jawab yang bersangkutan (para pihak)”. Kemudian, akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga para pihak yang membaca akta tersebut harus melihat apa adanya dan notaris tidak perlu membuktikan apa pun atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris. Karenanya, orang lain yang menilai atau menyatakan akta notaris itu tidak benar, maka mereka yang menilai atau menyatakan tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Notaris, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) merupakan pejabat umum  yang diantaranya mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik. Selanjutya, Notaris dalam menjalankan tugasnya perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum, sehingga dalam menjalankan tugasnya Notaris diatur dalam ketentuan UUJN, sehingga UUJN merupakan lex specialis dari KUHP, dan bentuk hubungan Notaris dengan para penghadap harus dikaitkan dengan Pasal 1869 KUHPerdata.

Berdasarkan konstruksi Hukum Kenotariatan, salah satu tugas jabatan Notaris yaitu “memformulasikan keinginan/tindakan para penghadap/para penghadap ke dalam bentuk akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku”. Kemudian Yurisprudensi Mahkamah Agung (Putusan Mahkamah Agung No. 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973) menyatakan: “Notaris fungsinya hanya mencatat/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan notaris tersebut”;

Dengan demikian, menjadikan perbuatan notaris dalam melaksanakan kewenangan membuat akta sebagai perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta, menunjukkan telah terjadi kesalahanpahaman atau salah menafsirkan tentang kedudukan notaris dan juga akta notaris adalah sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata.

Keterangan atau pernyataan dan keinginan para pihak yang diutarakan dihadapan notaris merupakan bahan dasar bagi notaris untuk membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak yang menghadap notaris, tanpa ada keterangan atau pernyataan dan keinginan dari para pihak tidak mungkin notaris untuk membuat akta. Kalaupun ada pernyataan atau keterangan yang diduga palsu dicantumkan dimasukkan ke dalam akta otentik, tidak menyebabkan akta tersebut palsu, serta tidak berarti notaris memasukkan atau mencantumkan keterangan palsu ke dalam akta notaris. Secara materil kepalsuan atas hal tersebut merupakan tanggungjawab para pihak yang bersangkutan, dan tindakan hukum yang harus dilakukan adalah membatalkan akta yang bersangkutan melalui gugatan perdata.

Menafsirkan atau menerapkan Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP tentang kedudukan Pejabat Notaris sebagai “pelaku” turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta autentik, merupakan suatu kekeliruan (karena telah terjadi error in persona). Kedudukan Pejabat Notaris sebagaimana dalam dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP) tidak lebih sebagai “orang yang disuruh melakukan”. “Orang yang disuruh melakukan” menurut ilmu hukum pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya, sehingga oleh karenanya tidak dapat dihukum.

Unsur  “barang siapa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, harus diartikan sebagai pelaku atau subyek  tindak pidana dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pelaku atau subjek dari tindak pidana Pasal 266 ayat (1) KUHP, yaitu yang menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta autentik ...”. “Yang menyuruh” memasukkan suatu keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik” ditafsirkan ada pada si penyuruh (pelaku/subjek) dalam hal ini para pihak yang membuat akta autentik tersebut, sehingga pembuat akta otentik (notaris) hanyalah sebagai “orang yang disuruh melakukan memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta autentik ...”, sebab dalam dunia notaris dikenal adagium bahwa setiap orang yang datang menghadap notaris telah benar berkata tidak berbanding lurus dengan berkata benar, yang artinya suatu kebohongan atau memberikan keterangan palsu, hal itu menjadi tanggung jawab yang bersangkutan.

Pejabat Notaris, akan membuat akta (akta partie) dari para pihak yang menghadap, tanpa ada permintaan dari para pihak, notaris tidak akan dapat membuat akta apapun, dan notaris  membuatkan akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti atau keterangan atau pernyataan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan atau diperlihatkan kepada atau dihadapan notaris. Akta yang dibuat oleh Notaris tersebut merupakan akta partie atau akta yang dibuat oleh notaris atas permintaan para pihak agar notaris mencatat atau menuliskan segala sesuatu hal yang dibicarakan oleh pihak berkaitan dengan tindakan hukum atau tindakan lainnya yang dilakukan oleh para pihak, agar tindakan tersebut dibuat atau dituangkan dalam suatu akta notaris

Notaris tidak dapat dinyatakan sebagai “orang yang menyuruh melakukan” dalam membuat akta otentik yang dibuat tersebut berupa akta partie, oleh karena tidak mungkin seorang notaris akan menyuruh dirinya sendiri untuk melakukan perbuatan “menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ...”, kalaupun terjadi “adanya keterangan palsu yang dimasukkan ke dalam suatu akta autentik”, notaris hanya dapat dinyatakan sebagai “orang yang disuruh melakukan”.

 Unsur “barang siapa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP adalah “orang yang menyuruh melakukan memasukkan keterangan palsu dalam akta ...”. “Orang yang menyuruh melakukan memasukkan keterangan palsu dalam akta ...” dalam akta partie yaitu para pihak dalam akta partie tersebut, sedangkan notaris hanya sebagai “orang yang disuruh melakukan memasukkan keterangan palsu dalam akta ...”. Penerapan hukum yang benar mengenai unsur barang siapa dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, tidak dapat dikenakan kepada seorang Notaris. Notaris tidak dapat dinyatakan sebagai “orang” yang memenuhi unsur “barang siapa” menurut Pasal 266 ayat (1) KUHP, artinya notaris dalam hal ini hanyalah sebagai “orang yang di suruh melakukan” bukan “orang yang menyuruh melakukan”.

Selanjutnya, “penyertaan” sebagaimana diatur Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang kemudian dihubungan dengan Pasal 266 ayat (1) KUHP, menunjukkan telah terjadi kekeliruan menerapkan peraturan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya. Ketentuan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, mengklasifikasikan “pelaku tindak pidana” yaitu mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang ikut serta melakukan tindak pidana. Sehingga jika seorang Notaris didakwakan sebagai pelaku “Penyertaaan” yang dihubungkan dengan Pasal 266 ayat (1) KUHP, maka dapat dikontruksikan bahwa Notaris tersebut adalah sebagai pelaku:
-      “melakukan menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ....”;
-      “menyuruh melakukan menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ...”;
-      “ikut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ...”.

Jika seorang Notaris dinyatakan sebagai “orang yang melakukan menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ...”, adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh seorang Notaris, oleh karena:
a.    akta yang dibuat berupa akta partie, yaitu akta  yang dibuat oleh notaris berdasarkan atas permintaan para pihak untuk mencatat atau menuliskan segala sesuatu hal yang dibicarakan oleh pihak berkaitan dengan tindakan hukum.
b.    “orang yang menyuruh melakukan” menurut Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yaitu adalah mereka yang melakukan semua unsur tindak pidana, artinya:
-     jika dikaitkan dengan kedudukan seorang notaris yang membuat akte partie, adalah suatu hal yang berlebihan dan tidak mungkin bisa dilakukan, sebab tidak mengkin terdakwa akan menyuruh ke dua belah pihak untuk menempatkan keterangan palsu di dalam akta otentik yang dibuat oleh notaris tersebut.
-     jika Notaris, dinyatakan sebagai “orang yang menyuruh melakukan menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ...”, juga suatu hal yang mustahil dilakukan oleh seorang Notaris, oleh karena ke dua belah pihak yang datang kepada Notaris untuk membuatkan akta tersebut, dan hal tersebut merupakan kesepakatan ke dua belah pihak untuk dituangkan di dalam akta, serta suatu hal yang aneh juga notaris sebagai pejabat yang berwenang merupakan orang yang mempunyai kehendak melakukan tindak pidana menyuruh ke dua belah pihak untuk menempatkan keterangan palsu pada akta yang mereka kehendaki bersama, karena keterangan yang ada di dalam akta  merupakan kesepakatan ke dua belah pihak.
-     jika Notaris dinyatakan sebagai “orang yang turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik...”, juga suatu hal yang mustahil dilakukan, oleh karena menempatkan keterangan palsu tersebut harus ada kesadaran kerjasama antara Notaris dengan para pihak, dan kerjasama tersebut harus secara fisik. Suatu pertanyaan bahwa mungkinkah para pihak pembuat akta akan mau disuruh Notaris untuk menempatkan keterangan palsu dalam akta yang mereka buat dan akta itu merupakan kesepakatan mereka bersama yang merupakan kehendak para pihak, dan apa untungnya maupun apa yang menjadi motifasi Notaris tersebut untuk menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta tersebut.


IV.         Menjatuhkan hukuman terhadap seorang Notaris yang membuat akta partie berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP (apalagi di junctokan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP), merupakan keliruan dalam menerapkan hukum dan telah terjadi kriminalisasi terhadap pekerjaan/tugas notaris.


Jumat, 26 November 2010

PENDIDIKAN MAGISTER KEADVOKATAN (Suatu Wacana)
Oleh : Alvi Syahrin


I.       Pembangunan di bidang hukum juga menyangkut sumber daya manusia, terlebih-lebih profesionalisme para penegak hukum. Dan profesionalisme ini berkaitan erat dengan penegakan etika profesi hukum.
Kualitas pengemban profesi tercermin dalam sikapnya yang memiliki keahlian yang berkeilmuan dan motivasi dalam mewujudkan/melaksanakan tugas profesinya merupakan amanah  bukan kekuasaan.
Pengemban profesi yang berkualitas bercirikan memiliki ketrampilan yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya, mempunyai ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah, peka di dalam membaca situasi, cepat dan tepat serta cermat di dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan, punya sikap orientasi ke depan sehingga mampu mengantisipasi perkembangan yang terjadi maupun di masa depan, punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pihak lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan pribadinya guna mengambil keputusan yang adil yang didasari kebenaran.

II.      Advokat berdasarkan Pasal 1 angka (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU 2003/18) adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Selanjutnya,  berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU 2003/18 dinyatakan yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
          Pendidikan khusus yang diselenggarakan oleh organisasi advokat hendaknya diselenggarakan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan di bidang pendidikan yaitu UU No. 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU 2003/23).
          Mengingat untuk dapat diangkat menjadi advokat adalah mereka yang telah lulus sarjana di bidang hukum, maka pendidikan yang diselenggarakan oleh organisasi advokat adalah pendidikan tinggi. Penyelenggaraan pendidikan tinggi dilakukan oleh perguruan tinggi yang telah memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan program pendidikan.
          Organisasi Advokat dalam hal menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat hendaknya melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi yang dapat menyelenggaran pendidikan lanjutan dari tingkat sarjana yaitu program magister. Program magister tersebut adalah pendidikan akademik yang merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan.
          Mengapa program akademik yang dipilih untuk pendidikan profesi advokat? Oleh karena profesi advokat harus memiliki keahlian yang berkenan dengan ilmunya, khususnya dalam bidangnya, sebab setiap profesional harus secara  mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang memerlukan pelayanan di bidang hukum, serta memiliki kepribadian bertanggungjawab penuh atas pelayanan profesinya.
         
III.         Pendidikan keadvokatan tidaklah semata-mata pendidikan yang semata-mata berkaitan dengan proses advokasi, namun lebih dari itu mereka (advokat) harus berpengetahuan yang luas, memiliki ketrampilan hukum dan keahlian bernegosiasi serta perencanaan hukum.
Advokat pada saat ini dalam era globalisasi, sehingga ia perlu mengetahui berbagai peraturan hukum negara lain dan bagaimana ia (advokat) berjalan dalam perbedaan sistem hukum, budaya dan tradisi. Kondisi ini menjadikan pendidikan keadvokatan mampu mengasilkan calon advokat yang mempunyai ketrampilan dalam praktek hukum yang mengandung internasional dan kemampuan menghadapi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, termasuk memberikan jalan bantuan hukum bagi mereka yang terkena proses globalisasi.
Memperhatikan, hal di atas, maka maka kuliah yang diajarkan pada pendidikan keadvokatan, sekurang-kurangnya:
1.    Etika Profesi Advokat
2.    Teori Hukum
3.    Penemuan Hukum
4.    Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Hukum
5.    Perbandingan Hukum
6.    Alternative Dispute Resulation (ADR) dan Teknik Bernegosiasi
7.    Aspek Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi dan Globalisasi
8.    Hukum Lingkungan
9.    Hukum Perdagangan Internasional dan Kontrak Dagang Internasional
10. Hak Asasi Manusia
11. Aspek Hukum Akutansi
12. Sistem Penegakan Hukum
(Hukum Administrasi, Hukum Perdata, Hukum Pidana)
13. Hukum Bisnis/Hukum Ekonomi
14. Hukum Kepailitan
15. Hukum Kesehatan
16. Hukum Katenagakerjaan/Perburuhan
17. Hukum Pasar Modal
18. Manajemen Kantor Advokat
19. Proposal Tesis
20. Tesis

Dengan memperhatikan jumlah mata kuliah yang ditawarkan, maka pendidikan keadvokatan diselenggarakan dalam masa 3 sampai 4 semester.
Semester I,    mata kuliah nomor urut 1 s/d 6
Semester II,   mata kuliah nomor urut 7 s/d 12
Semester III,  mata kuliah nomor urut 13 s/d 18
Semester IV, mata kuliah nomor urut 19 s/d 20, dalam peserta tidak dapat menyelesaikannya pada semester III.
Magang ?
1.    Jika pendidikan dilakukan sampai Semester IV, maka pemagangan mulai dilakukan pada Semester I, sehingga selesai pendidikan peserta program dinyatakan telah magang,
2.    Magang dilaksanakan di Kantor Advokatan yang ditentukan, atau di Laboratorium Hukum dengan dibimbing oleh Advokat dan Dosen;
3.    Magang di laboratorium dilaksanakan dengan menganalisis kasus hukum yang terjadi pada negara penganut aliran Anglo saxon dan Eropa kontinental, serta kasus yang terjadi di Indonesia.

Catatan:
Dalam melaksanakan profesi, dituntut adanya moralitas yang tinggi dari pelakunya. Moralitas yang tinggi tersebut bercirikan kepada berani berbuat dengan tekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi, sadar akan kewajibannya, dan memiliki idealisme yang tinggi.
Ketiga ciri yang disebutkan di atas, menjadikan subjek dalam mengambil keputusan  berangkat dari kesadaran moralnya sendiri, yaitu yang disebut dengan suara hati [1]. Suara hati ini memerlukan nalar , dan nalar baru dapat dilakukan dengan baik apabila mendapat informasi atau data sebanyak mungkin tentang konflik moral yang terjadi. Artinya, suara hati dapat saja keliru, terutama jika tidak di dukung oleh informasi atau data yang memadai.
Pengemban profesi hukum melaksanakan tugasnya berdasarkan landasan keagamaan, yang melihat profesinya sebagai tugas kemasyarakatan dan sekaligus sebagai sarana mewujudkan kecintaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tindakan nyata. Artinya, pengemban profesi hukum dalam menjalankan fungsinya harus selalu mengacu kepada tujuan hukum untuk memberikan pengayoman kepada setiap manusia dalam mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu kepada martabat manusia.
          Peningkatan mutu pendidikan bidang hukum berarti memasuki masalah yang kompleks. Sudah banyak cara yang ditempuh dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang hukum, diantaranya penyempurnaan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan saat ini, penambahan mata kuliah penunjang, kerjasama bidang hukum dengan berbagai negara baik perturan staf pengajar maupun pertukaran bahan kepustakaan, peningkatan kualitas dosen dalam penguasaan bahasa asing maupun materi, konsolidasi organisasi profesi hukum, penyelanggaraan seminar, penataran, perbaikan sarana dan prasarana, dan lain-lain.
          Usaha yang dilakukan di atas belum menunjukkan hasil yang maksimal. Sehingga dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia bidang hukum memerlukan adanya rasa tanggungjawab bersama bagi semua pihak yang terkait untuk bersikap keteladanan.
          Sumber daya manusia bidang hukum yang baik memiliki moral dan professional dalam menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya. Sebelum mengharapkan terciptanya suatu masyarakat yang sadar dan taat hukum, tentunya terlebih dahulu para pelaku di bidang hukum memberikan teladan yang baik. Tanpa keteladanan, sulit untuk mengharapkan masyarakat sadar dan taat hukum.
          Untuk sikap keteladanan ini, sumber daya manusia di bidang hukum harus mempunyai:
1.    Sikap kemanusiaan, supaya ia jangan menanggapi hukum secara formal belaka.
2.    Sikap keadilan, untuk mencari apa yang layak bagi masyarakat.
3.    Sikap kepatutan, sebab diperlukan pertimbangan tentang apa yang sungguh-sungguh adil dalam suatu perkara konkrit.

Untuk mencapai hal di atas, sumber daya manusia di bidang hukum (khususnya calon sarjana hukum), tentunya harus menempuh kegiatan mengikuti pelajaran teoritis, mengadakan penelitian lapangan guna mengetahui kebutuhan masyarakat, mengabdikan diri kepada masyarakat dengan selalu membela keadilan.
Selanjutnya, untuk membentuk sumber daya manusia bidang hukum yang mampu melakukan pelayanan hukum masyarakat dan turut serta mendisain tatanan masyarakat dalam menciptakan ketertiban umum, secara ideal diperlukan standar tertentu, berupa:
1.    Kemampuan profesional, yang meliputi kemampuan teknis yuridis dan prosedur beracara dalam melaksanakan bidang tugasnya.
2.    Intergritas kepribadian dalam pengertian bebas dari pengaruh kepentingan guna menjaga keobyektivitas dan kemandirian.
3.    Disiplin yang meliputi kecepatan dan ketetapan dalam melaksanakan tugas.
4.    Mempunyai idealisme dan visi untuk mengarahkan kemampuan professional bagi kepentingan penegakan hukum yang aspiratif dengan perkembangan masyarakat dan selalu actual.

Mewujudkan sumber daya manusia di bidang hukum sebagaimana diharapkan di atas, dunia pendidikan di bidang hukum perlu mengajarkan tentang tanggungjawab dan etika professional.
Ketrampilan teknis di bidang hukum yang mengabaikan segi yang menyangkut tanggungjawab seseorang terhadap orang yang dipercayakan kepadanya dan profesinya pada umumnya, serta nilai-nilai dan ukuran etika yang harus menjadi pedoman dalam menjalankan profesinya, hanya akan menghasilkan tukang-tukang yang trampil belaka di bidang hukum dan profesinya namun tidak melayani sesama manusia.
Dengan demikian, sumber daya manusia di bidang hukum sebagai pengemban profesi hukum harus memiliki keahlian yang berkenan dengan ilmunya, khususnya dalam bidangnya, sebab setiap profesional harus secara  mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang memerlukan pelayanan di bidang hukum, serta memiliki kepribadian bertanggungjawab penuh atas pelayanan profesinya. Sehingga, kualitas para professional hukum tercermin dalam sikap yang menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, dan keadilan, bersih dan beribawa dan bertanggungjawab dalam prilaku ketauladanan.


[1] Suara hati merupakan kesadaran moral kita dalam situasi konkrit; pertimbangan akal yang ditanamkan Tuhan pada manusia tentang apa yang baik dan buruk; pernyataan dari budi kesusilaan.
PENEGAKAN HUKUM  TINDAK PIDANA BIDANG KEHUTANAN*

Oleh: Alvi Syahrin**[1]


Pendahuluan:

Penanganan tindak pidana kehutanan, perlu dipahami sebagai bagian mendorong terciptanya tujuan pembangunan kehutanan dalam rangka memenuhi kesejahteraan rakyat Indonesia dan tetap menjaga fungsi hutan sebagai konservasi, lindung dan produksi. Sehingga, penanganan permasalahan kehutanan harus lintas sektoral, termasuk keberanian untuk memahami tindak pidana kehutanan bukan sekadar bagian dari tindak pidana umum, serta tidak mereduksinya menjadi sebuah pelanggaran administratif, melainkan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan yang memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia.
Pemahaman terhadap akar persoalan munculnya tindak pidana kehutanan, akan membuahkan hasil menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sebab, penanganan tindak pidana kehutanan, tidak terlepas dari upaya bangsa Indonesia dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran yang ditujukkan bagi pemenuhan kesejahteraan rakyat  (baik secara ekonomi maupun sosial dan budaya) melalui pembangunan di sektor kehutanan.
Menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan tindak pidana kehutanan, maka  penanganannya tidak hanya berpijak pada ketentuan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disingkat UUKehutanan). Sebab, isi UUKehutanan tidak akan mampu menjerat perbuatan-perbuatan lain yang sesungguhnya menjadi bagian dari kejahatan kehutanan. Kejahatan kehutanan tidak hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dilapangan dan atau di wilayah ekploitasi kehutanan, tetapi tidak menutup kemungkinan yang menjadi bagian dari rangkaian kejahatan kehutanan di dalamnya terdapat perbuatan pegawai kehutanan yang korup, keterlibatan personel TNI dan polisi di lapangan, broker kayu ilegal, dan pemegang hak konsensi hutan yang beroperasi di luar kontrak HPH, adanya penggelapan pajak dengan melakukan tindak pidana kejahatan perbankan yaitu melakukan mark-up biaya investasi mereka serta penyelundupan, bahkan, untuk menjangkau mereka perlu diterapkan pula Undang-Undang Anti Pencucian Uang, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Penataan Ruang.


Penegakan Hukum

Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif berperan memberikan jaminan, perlindungan, kepastian, dan arah pembangunan, serta instrumen kebijakan.
Hukum ada atau diadakan untuk mengatur dan menciptakan keseimbangan atau harmonisasi kepentingan manusia. Artinya, hukum ditujukan untuk menciptakan keamanan, perdamaian, kesejahteraan, keselamatan alam dan keterlanjutan manusia.  Selanjutnya, sebagai suatu keseluruhan perundang-undangan itu merupakan satu kesatuan tanpa pertentangan. Ini tidak lain karena sifat dari hukum itu sendiri adalah memerintah dan mengatur atau menata.
Hukum mengendalikan keadilan. Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan, hak asasi individu, kebenaran, kepatutan, dan melindungi masyarakat. Selain itu, hukum mengemban fungsinya sebagai memelihara stabilitas, memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diajukan anggota masyarakat, menciptakan kaidah-kaidah, serta jalinan antar institusi.
Dapat berfungsinya sistem hukum, ada 4 hal yang perlu diselesaikan terlebih dahulu, yaitu: masalah legitimasi (yang menjadi landasan bagi pentaatan kepada aturan-aturan), masalah interpretasi (yang akan menyangkut soal penetapan hak dan kewajiban subyek, melaui proses penerapan aturan tertentu), masalah sanksi (menegaskan sanksi apa, bagaimana penerapannya dan siapa yang menerapkannya), dan masalah yuridiksi (menetapkan garis kewenangan yang kuasa menegakkan norma hukum, dan golongan apa yang hendak diatur oleh perangkat norma itu).
Peran dan fungsi hukum yang penting adalah memberikan prediktabilitas, artinya melalui pembacaan terhadap teks hukum dapat diketahui apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang diharapkan dari suatu tindakan.
Kemudian, pembangunan di bidang hukum juga menyangkut sumber daya manusia, terlebih-lebih profesionalisme para penegak hukum. Dan profesionalisme ini berkaitan erat dengan penegakan etika profesi hukum.
Melaksanakan profesi hukum, dituntut adanya moralitas yang tinggi dari pelakunya. Moralitas yang tinggi tersebut bercirikan kepada:
a.    berani berbuat dengan tekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi,
b.    sadar akan kewajibannya, dan
c.    memiliki idealisme yang tinggi.
Ketiga ciri yang disebutkan di atas, menjadikan subjek dalam mengambil keputusan  berangkat dari kesadaran moralnya sendiri, yaitu yang disebut dengan suara hati. Suara hati merupakan kesadaran moral kita dalam situasi konkrit; pertimbangan akal yang ditanamkan Tuhan pada manusia tentang apa yang baik dan buruk; pernyataan dari budi kesusilaan. Suara hati ini memerlukan nalar, dan nalar baru dapat dilakukan dengan baik apabila mendapat informasi atau data sebanyak mungkin tentang konflik moral yang terjadi. Artinya, suara hati dapat saja keliru, terutama jika tidak di dukung oleh informasi atau data yang memadai.
Kualitas pengemban profesi tercermin dalam sikapnya yang memiliki keahlian yang berkeilmuan dan motivasi dalam mewujudkan/melaksanakan tugas profesinya merupakan amanah bukan kekuasaan.
Pengemban profesi hukum melaksanakan tugasnya berdasarkan landasan keagamaan, yang melihat profesinya sebagai tugas kemasyarakatan dan sekaligus sebagai sarana mewujudkan kecintaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tindakan nyata. Artinya, pengemban profesi hukum dalam menjalankan fungsinya harus selalu mengacu kepada tujuan hukum untuk memberikan pengayoman kepada setiap manusia dalam mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu kepada martabat manusia.
Pengemban profesi yang berkualitas bercirikan memiliki ketrampilan yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya, mempunyai ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah, peka di dalam membaca situasi, cepat dan tepat serta cermat di dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan, punya sikap orientasi ke depan sehingga mampu mengantisipasi perkembangan yang terjadi maupun di masa depan, punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pihak lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan pribadinya guna mengambil keputusan yang adil yang didasari kebenaran.
Penegakan  hukum yang semata-mata mengacu pada kepentingan hukum atau umum tanpa mempertimbangkan kepentingan pembangunan, dapat menimbulkan situasi dan kondisi yang justru akan menghambat pembangunan berkelanjutan, sebaliknya kegiatan pembangunan dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.
Ada dua tugas  berat yang dilaksanakan secara arif  dan bijaksana  dalam era pembangunan dan bidang kehutanan saat ini,  yaitu  meletakkan pada  titik keseimbangan dan keserasian yang saling  menunjang secara sinergik antara  penegakan hukum di bidang kehutanan dengan pelaksanaan pembangunan
Penegakan hukum merupakan kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat aktif berperan dalam penegakan hukum. Penegakan hukum di bidang kehutanan sebagai suatu tindakan dan/atau proses paksaan untuk mentaati hukum yang didasarkan kepada ketentuan, peraturan perundang-undangan dan/atau persyaratan-persyaratan di bidang kehutanan maupun ketentuan perundang-undangan lainnya yang terkait.


Ketentuan Pidana UUKehutanan

Ketentuan pidana dalam UUKehutanan diatur dalam Pasal 78 UUKehutanan,  yang berbunyi sebagai berikut:
(1)   Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
(2)  Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(3)   Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(4)  Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
(5)  Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(6)  Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(7)  Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
(8)  Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(9)  Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(10)   Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(11)   Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(12)   Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(13)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.
(14)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
(15)   Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 78 UUKehutanan tersebut, tindak pidana yang dimaksud, yaitu melanggar ketentuan:
F Psl. 50 ayat (1) dan (2)   à 78 ayat (1)
-      Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan,
-      yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan
Diancam pidana (10 tahun dan denda Rp. 5 M)

F Pasal 50 ayat (3) huruf a, b, atau c à 78 ayat (2)
-          Mengerjakan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah
-          Merambah kawasan hutan
-          Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan  radius atau jarak s/d
à 500 m dari tepi waduk atau danau;
à 200 m dari tepi mata air dan kiri kiri kanan sungai di daerah rawa
à 100 m dari kiri kanan tepi sungai
à 50 m dari kiri kanan tepi anak sungai
à 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang
à 130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai
(Sengaja à 10 tahun dan denda Rp. 5 M)

F Pasal 50 ayat (3) d à 78 ayat (3) dan (4)
-          Membakar hutan
(sengaja  à 15 tahun dan denda Rp. 5 M
kelalaian à  5 tahun dan denda Rp. 1,5 M)

F Pasal 50 ayat (3) huruf e, f  à Pasal 78 (5)
-          Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang
-          Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yg diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah
(Sengaja à 10 Tahun dan denda Rp. 5 M)
F Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g à Pasal 78 (6)
-          Pada kawasan hutang lindung dilarang melakukan pertambangan dengan pola pertambangan terbuka
-          Melakukan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin menteri
(Sengaja à 10 Tahun dan denda Rp. 5 M)

F Pasal 50 ayat (3) huruf h à Pasal 78 (7)
-          Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yg tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan
(Sengaja à 5 Tahun dan denda Rp. 10 M)

F Pasal 50 ayat (3) huruf  i à Pasal 78 (8)
-          Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yg tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tsb oleh pejabat yg berwenang
(Sengaja à 3 bulan dan denda Rp. 10 jt)

F Pasal 50 ayat (3) huruf  j à Pasal 78 (9)
-          Membawa alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut di duga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang
(Sengaja à 5 tahun dan denda Rp. 5 M)

F Pasal 50 ayat (3) huruf k à Pasal 78 (10)
-          Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang
(Sengaja à 3 tahun dan denda Rp. 1 M)

F Pasal 50 ayat (3) huruf  l à Pasal 78 (11)
-          Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan
(Sengaja à 3 tahun dan denda Rp. 1 M)

F Pasal 50 ayat (3) huruf m à Pasal 78 (12)
-          Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbahan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang
(sengaja à 1 tahun dan denda Rp. 1 M)

F Pasal 78 ayat (13)
    KEJAHATAN        à Tindak Pidana dalam ayat (1) s/d (7),  (9) s/d (11)
    PELANGGARAN             à Tindak Pidana dalam ayat (8) dan (12)

F Pasal 78 ayat (14)
Badan Hukum à melanggar Pasal 50 ayat (1) – (3)
                                                    HUKUMAN  di tambah 1/3
                 dikenakan kepada:
                            Pengurusnya baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama

F Pasal 78 (ayat 15)
 semua hasil kejahatan dan pelanggaran alat-alat termasuk alat angkutnya
è dirampas untuk negara

Suatu hal yang perlu diperhatikan rumusan Pasal 50 ayat (3) UUKehutanan antara huruf l dan m, menggunakan kata sambung “dan”, hal ini secara hukum akan dapat ditafsirkan (di interpretasikan) bahwa tindakan yang dilarang dalam Pasal 50 ayat (3) UUKehutanan adalah secara kumulatif artinya semua perbuatan yang dilarang harus dilakukan, bukan secara alternatif ataupun gabungan dari beberapa perbuatan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 50 ayat (3) Kehutanan. Seharusnya rumusan Pasal tersebut menggunakan kata sambung “dan atau”, guna menghindari perbedaan penafsiran tindakan yang dilarang jika dikaitkan dengan Pasal 78 UUKehutanan dan ketentuan Bab VI Tentang Perbarengan (concursus) dalam Buku Kesatu KUHP.


Proses Penegakan Hukum Pidana Kehutanan

Penyidikan tindak pidana kehutanan, selain dilakukan oleh Penyidik Polri, PPNS Kehutanan juga mempunyai kewenangan dalam penyidikan berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999. Meskipun PPNS mempunyai kewenangan dalam melakukan penyidikan, namun untuk melanjutkan hasil penyidikannya ke Jaksa Penuntut Umum, PPNS Kehutanan harus melalui Penyidik Polri sebagaimana diatur dalam Pasal 107 KUHAP dan Pasal 77 ayat (3) UUKehutanan.
            Proses pelimpahan berkas perkara melalui Penyidik Polri adakalanya menjadi kurang optimal jika PPNS dan Polri tidak saling melakukan koordinasi dalam penyidikan, sehingga adakalanya proses pelimpahan perkara menjadi lambat. Selain itu, ketika berkas perkara sudah sampai di tangan Jaksa Penuntut Umum, berdasarkan Pasal 138 KUHAP Jaksa Penuntut Umum di beri peluang untuk mengembalikan berkas pada penyidik jika dianggap belum cukup untuk dapat diajukan kepersidangan. Pengembalian berkas tersebut disertai dengan petunjuk untuk melengkapi berkas tersebut, akan tetapi KUHAP tidak mengatur sampai berapa kali proses ini dapat berlangsung. Hal ini juga menjadi kendala dalam penanganan tindak pidana kehutanan. Seharusnya, PPNS, Polri dan Jaksa Penuntut Umum memiliki rasa kebersamaan dan koordinasi yang baik sesuai dengan semangat yang tergambar dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system).
            Kendala lainnya yang dihadapi dalam penanganan tindak pidana kehutanan, diantaranya:
1.  Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai mekanisme penanganan tindak pidana dan proses pelaporannya jika menemukan indikasi tindak pidana kehutanan;
2. Kurangnya koordinasi diantara PPNS, Polri dan Penuntut Umum;
3. Tidak digunakannya kewenangan pemeriksaan ulang oleh Jaksa Penuntut Umum dalam memeriksa tindak pidana kehutanan guna membantu Penyidik dalam pemberkasan, dan tak jarang pula ditemukan kurang memadainya pemahaman Jaksa Penuntut Umum terhadap aturan-aturan hukum yang dapat dipakai untuk menjerat pelaku tindak pidana kehutanan,
4. Lamanya proses pemeriksaan perkara hingga putusan hakim, sehingga sulit untuk memenuhi asas peradilan yang cepat,
5. Terbatasnya ahli di bidang kehutanan,
6. Masih ditemukannya sikap oknum yang arogan dengan kewenangan yang dimiliki, yang seharusnya masing-masing dapat memperbaiki kapasitasnya dan saling mendukung kelancaran setiap tahap penanganan perkara.
7. Adanya kecenderungan untuk saling menyalahkan antara satu aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Kehutanan, yang seharusnya mereka saling berkoordinasi dalam menegakkan hukum,
8. Kurang melibatkan para pakar yang ahli dalam bidang kehutanan, lingkungan hidup, korporasi dan lainnya yang seharusnya dilibatkan sejak awal pada tahap penyelidikan atau setidak-tidaknya pada tahap penyidikan guna membantu melakukan kajian atau audit kehutanan dan lingkungan hidup guna membantu memberikan kesimpulan telah terjadinya kerusakan kehutanan dan atau kerusakan lingkungan hidup, sebab kerusakan hutan bisa mengganggu kelestarian fungsi lingkungan hidup,
9. Adanya backing dari oknum pejabat baik dari pemerintah daerah, dinas atau departemen kehutanan, oknum aparat keamanan, dan lain-lain, sehingga penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Selanjutnya, juga ditemukan adanya indikasi yang sarat dengan muatan korupsi dalam penanganan tindak pidana kehutanan, seperti adanya bentuk backing oknum penegak hukum ataupun penyuapan terhadap aparat penegak hukum dalam hal mengurangi sanksi pidana atau melepaskan jeratan hukum pidana si pelaku. Hal yang disebutkan terakhir ini, sebenarnya pelaku bersama-sama oknum penegak hukum, telah melakukan tindak pidana korupsi.
Penanganan tindak pidana kehutanan baik secara preventif maupun secara represif, setidak-tidaknya akan melibatkan beberapa instansi maupun lembaga yang berada dalam mata rantai pemberantasan tindak pidana kehutanan, diantaranya: Menteri Negara Koordinator Bidang Politik, Sosial dan Keamanan, TNI AD/Hankam, TNI AL, Kepolisian RI, Departemen Kehutanan, Departemen Industri, Departeman Perdagangan, Departemen Perhubungan, Departemen Keuangan, Departemen Informatika dan Komunikasi, Bea Cukai, Kejaksaan, Badan Peradilan, Kementrian Lingkungan Hidup, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, organisasi non pemerintah dan donor. Banyaknya pihak yang terlibat memerlukan adanya koordinasi dan komitmen bersama semua pihak.


Strategi Penegakan Hukum Pidana Kehutanan

Upaya penegakan hukum yang dilakukan secara preventif dan represif, belum berjalan optimal,  dikarenakan masih ditemuinya beberapa kendala, diantaranya:
1.      terdapatnya kerancuan atau duplikasi antara peraturan perundang-undangan satu dengan lainnya;
2.      ketidak seimbangan antara pasokan dan kebutuhan industri perkayuan;
3.      rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan;
4.      lemahnya komitmen para pihak dalam mendukung upaya pemberantasan tindak pidana kehutanan;
5.      belum terbentuknya sistem penanggulangan gangguan hutan secara sinergi dan komprehensif.
Untuk dapat dilaksanakannya penegakan hukum kehutanan secara sistematik, efektif dan efesien, guna penegakan hukum yang optimal, perlu adanya pedoman yang memberikan arahan dalam upaya penegakan hukum kehutanan.
Tindak pidana di bidang kehutanan, biasanya dilakukan dalam skala besar dan ada yang mengorganisasikan serta membiayainya. Untuk kasus tersebut, perlu mempercepat proses peradilan sebagai tindakan “shock terapi”, melakukan penahanan, menjatuhkan sanksi administrasi dan  sanksi pidana terhadap pelaku.
Sejalan dengan tindakan “shock terapi” tersebut, perlu di bangun kerangka kerja yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum kehutanan, antara lain:
1.      membentuk sistem monitoring pelacakan kasus untuk memonitor kejahatan yang dilaporkan, melakukan investigasi kejahatan dan memantau proses jalannya pengadilan;
2.      memperbaiki komunikasi dan penyelesaian perbedaan diantara pemangku kepentingan, terutama yang terkait dengan: otoritas pemberi izin, sumber-sumber kayu yang legal dan illegal, kepemilikan hutan dan tanah, hak adat atas hutan dan hasil-hasil tanah;
3.      meningkatkan kesadaran guna memerangi dan mengurangi terjadinya tindak pidana dibidang kehutanan melalui berbagai media massa;
Peluang terjadinya pemanfatan kayu secara illegal, disebabkan masih adanya pahamanan yang tidak sama atau adanya perbedaan pandangan mengenai makna “kayu legal” dan belum adanya standar data hutan yang disepakati bersama. Keseragaman pemahaman (persepsi yang sama) multi pihak tentang defenisi kayu legal menjadi hal yang krusial dan penting serta perlu adanya petunjuk praktis yang jelas guna membedakan antara kayu legal dan illegal.
Selanjutnya, pemanfaatan kayu secara illegal, juga disebabkan masih terjadinya tumpang tindih dalam hal pemberian ijin pemungutan hasil hutan kayu mulai dari penebangan, pemrosesan sampai pengangkutannya, antara pusat dengan yang diterapkan oleh daerah. Dengan demikian, perlu adanya kesepakatan dan komitmen antara pusat dan daerah dalam pemberian ijin, sehingga dapat secara jelas diketahui pihak-pihak yang berwenang dan punya otorita menerbitkan ijin tersebut.
Kegiatan yang dilakukan dalam mengeluarkannya pedoman yang jelas mengenai sumber-sumber kayu legal dan otoritas pemberi ijin melalui proses konsultasi yang luas kesepahaman multi pihak, berupa:
1.      Menyetujui sumber kayu yang legal saat ini (termasuk HPH, HTI, IPK, HTI, IPK Kebun, Hutan Rakyat, dll) melalui pembangunan kesepakatan dan konsultasi berbagai pemangku kepentingan;
2.      Membuat pedoman umum bagi instusi-instusi yang berwenang memberikan ijin pemanfaatan kayu melalui proses konsultasi dan konsensus bersama dengan pemerintah daerah;
3.      Mengidentifikasikan dan mengesahkan sumber kayu lain yang dihasilkan kegiatan pengelolaan hutan secara tradisional, seperti hutan adat yang dikelola secara lestari;
4.      Menetapkan jumlah tebangan tahunan secara berkesinambungan untuk semua sumber kayu yang legal;
5.      Menyelesaikan pemetaan, penatabatasan dan pengukuhan batas kawasan hutan, HPH dan HTI sebagai dasar yang sah dan untuk memberi kepastian hukum terhadap sumber kayu legal.
Untuk mendeteksi pelanggaran tindak pidana kehutanan perlu dikumpulkan informasi dan dilakukan analisis data tersebut bekerjasama dengan Departemen Kehutanan yang mempunyai kewenangan dalam:
1. Memberikan ijin untuk pengumpulan data;
2. Memutuskan standar teknis dan proses administrasinya untuk menjamin akurasi data,
3. Menyatakan informasi yang dikumpulkan tersebut legal dan mempunyai kekuatan hukum, jika diperlukan untuk kepentingan pengadilan,
4. Mengijinkan data yang dikumpulkan dapat diakses oleh publik, kecuali yang digunakan untuk pembuktian di pengadilan.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam mendeteksi pelanggaran tindak pidana kehutanan terhadap kegiatan:
1. pelanggaran penebangan:
a. melakukan identifikasi dengan berbagai alat deteksi, seperti citra satelit dan analisa batas areal kerja, ijin konsesi dan surat pengangkutan,
b. analisis data untuk mengindentifikasi kegiatan kehutanan di luar areal yang telah ditetapkan.
 2. industri yang memproses kayu ilegal:
-    mengumpulkan data dan mengidentifikasi serta analisis pabrik yang tidak menyerahkan laporan dan yang beroperasi tanpa ijin,
-    identifikasi pabrik yang menggunakan bahan baku dari sumber-sumber yang tidak jelas atau  pabrik yang punya izin namun produksi tahunannya lebih 30% dari batas yang diijinkan.
3. mendeteksi pelanggaran dalam pengangkutan:
- identifikasi pengiriman kayu dari unit manajemen hutan atau sumber-sumber lain yang telah melampaui batas produksi, pengiriman kayu dengan nomer seri SKKH atau faktur yang tidak sama dengan kode provinsi atau kabupaten asal pengirim;
- identifikasi pelanggaran cukai dengan cara menganalisa data dan informasi yang dikumpulkan di sistem perukaran data elektronik Bea dan Cukai Indonesia;
- identifikasi penyeludupan kayu ilegal dengan cara patroli rutin di perairan Indonesia dan meneingkatkan pemeriksaan fisik kayu eksport.
4. kumpulkan dan susun secara sistematis sebagai data base dan sebarkan kepada publik.
Selanjutnya, dalam mengantisipasi ketidak seimbangan kebutuhan kayu untuk industri perkayuan yang disebabkan persediaan bahan kayu legal yang semakin kecil, serta memperkecil dampak sosial dan ekonomi, ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan:
-       Susun rencana yang menunjukkan besarnya penurunan kapasitas industri.
-       Hentikan sementara untuk ijin baru terhadap industri primer hasil hutan;
-       Susun rencana bantuan industri yang dikurangi atau ditutup dalam rangka menyeimbangkan kapasitas industri dengan sumber bahan baku;
-       Susun rencana kompensasi bagi pegawai yang terkena dampak pengurangan kapasitas pabrik
-       Susun rencana peningkatan produktifitas HTI bubur kayu;
-       Tingkatkan keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan pencegahan ilegal loging dan beri kesempatan untuk terlibat dalam social forestry.
Selanjutnya lagi, selain melakukan langkah pemberian hak kepemilikan yang jelas bagi masyarakat lokal dan tingkatkan partisipasi aktif mereka dalam pengelolaan hutan melalui skema kehutanan sosial, juga lakukan promosi perdagangan kayu legal.
Berkaitan dengan membangun kapasitas untuk melaksanakan penegakan hukum kehutanan perlu dilakukan kegiatan:
1.      Pelatihan meningkatkan kapasitas dan pengetahuan aparat penegak hukum , tentang ilmu dan teknologi serta alat-alat deteksi analisis sehingga mampu memformulasikan strategi yang handal dalam mengungkapkan jaringan keterlibatan aktor dalam tindak pidana ilegal logging;
2.      Pelatihan dalam persiapan kasus dokumen perkara, pengetahuan tentang hukum kehutanan, hukum lingkungan, penerapan undang-undang pencucian uang, korupsi, dan membangkitkan kesadaran aparat penegak hukum tentang pentingnya fungsi hutan;
3.      Memberikan dukungan finasial dalam proses pelatihan dan penegakan hukum.
4.      Menciptakan sistem pengamanan sipil pesisir nasional yang tersentralisasi untuk menjaga wilayah perairan Indonesia.
5.      Meningkatkan kesadaran dan pelatihan bagi petugas cukai regional Negara pengimport dan negara yang dilalui.
Ketentuan UUKehutanan telah mengatur mekanisme untuk menghukum pelanggar yang terlibat dalam kegiatan tindak pidana kehutanan, untuk itu beberapa langkah penegakan hukum yang perlu dilaksanakan, yaitu:
1.      Tuntut dan tutup semua unit manajemen hutan yang diberi ijin atau ijinnya diperpanjang oleh pejabat kabupaten/kota, atau perkebunan yang mempunyai ijin dari pemerintah pusat , yang secara fisik lokasinya berada dalam kawasan hutan. Laporankan nama-nama Bupati yang menandatangani ijin tersebut ke Presiden.
2.      Tuntut dan tutup unit manajemen hutan yang membangun akses jalan yang melintasi kawasan konservasi atau hutan lindung tanpa ijin dari instansi yang berwenang.
3.      Tuntut dan tutup semua HPH atau HTI jika batas yang ada di peta kerja dan atau dilapangan terdapat tumpang tindih dengan kawasan konservasi dan hutan lingdung.
4.      Tuntut semua HTI dan perkebunan yang terdapat “titik api” yang berasal dari areal tebangannya.
5.      Tuntut dan tutup semua HPH atau HTI yang melampaui batas quota produksi tahunan.
6.      Gunakan konsep penyertaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 55 dan 56 KUHP guna menjerat dan menuntut pelaku tindak pidana kehutanan.
7.      Laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan dalam hal terjadinya pengiriman kayu yang ditebang melebihi batas, kemudian lakukan penuntutan terhadap HPH atau HTI yang telah menebang yang melebihi ketentuan, dan tuntut pejabat yang telah mengeluarkan SKSHH yang ilegal tersebut dengan tindak pidana korupsi.
8.      Hentikan produksi semua pabrik pengolahan yang memiliki ijin atau kapasitas terpasang kurang dari 6.000 m3 namun tidak menyerahkan laporan yang rinci tentang sumber bahan baku kayu (Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri, disingkat RPBI) ke Departemen Kehutanan.
9.      Hentikan produksi semua pabrik pengolahan yang memiliki ijin atau kapasitas terpasang lebih dari 6.000m3 namun tidak menyerahkan RPBI ke Direktorat Pengolahan Hasil Hutan dan Pemasaran, Departemen Kehutanan.
10.       Tuntut dan tutup pabrik pengolahan yang memiliki ijin dengan kapasitas terpasang kurang dari 6.000m3 yang tidak berasal dari Dinas Kehutanan Provinsi atau Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan’
11.       Tuntut dan tutup pabrik pengolahan yang memiliki ijin dengan kapasitas terpasang lebih dari 6.000m3 yang tidak berasal dari Departemen Kehutanan atau Departemen.
12.       Sebelum ada keputusan Pengadilan, hentikan produksi di sawmill atau industri kayu lapis.

Selanjutnya, masih terdapat ketentuan yang tidak tegas untuk menindak HPH atau HTI yang membangun jalan ke kawasan konservasi atau hutan lindung, HPH atau HTI yang melanggar batas kawasan konservasi atau hutan lindung, pejabat yang melanggar peraturan kehutanan dengan mengeluarkan ijin ilegal, maka perlu ada revisi terhadap UUKehutanan. Adapun revisi UUKehutanan, diantaranya:
1.      Menyatakan izin HPH, HTI atau perkebunan yang diterbitkan pemerintah pusat dapat ditarik kembali sewaktu-waktu tanpa ada peringatan, jika:
a.       Pemegang izin membangun jalan melintasi kawasan konservasi atau hutan lindung
b.      Batas di lapangan melebihi yang ada pada peta areal kerja, sehingga terjadi tumpang tindih dengan batas wilayah konservasi atau hutan lindung.
2.      Menyatakan sebagai orang yang melakukan tindak pidana terhadap:
a.       Pejabat kabupaten/Kota yang mengeluarkan izin penebangan tidak sah, izin untuk pabrik-pabrik kayu gergajian, kayu lapis, bubur kayu dan kayu serpihan (chip wood);
b.      pejabat P2SKSHH yang menerbitkan SKSHH yang tidak sah.
3.      Menyatakan kayu yang bersumber dari ijin kabupaten adalah ilegal jika tidak dapat dibuktikan bahwa arealnya berlokasi diluar kawasan hutan dan tidak dapat dibuktikan berdasarkan peta geo-reference yang ada.
4.      Merevisi Pasal 97 ayat (5) huruf d UUKehutanan yang menyebutkan “menerima, mengakomodasi dan memproses bahan baku dari sumber ilegal” ditambahkan keterangan “apabila ditemukannya satu atau lebih log di lokasi yang:
a.       Tidak ada nomornya
b.      Nomor seri tidak dapat ditemukan di SKSHH-DHH sesuai dengan bukti pengiriman;
c.       Ada nomor seri yang benar, tetapi:
-       Jenis kayu tidak sama dengan yang tertulis di SKSHH-DHH
-       Panjangnya tidak sesuai dengan yang tertulis di SKSHH-DHH, dengan tingkat kesalahan lebih dari 10 cm
-       Diameter tidak sesuai dengan yang tertulis di SKSHH-DHH dengan tingkat kesalahan lebih dari 5 cm.
5.      Memberikan ketetapan hukum untuk pembentukan “gugus tugas khusus/special task force” untuk menyelidiki, menangkap dan mengadili pelanggaran bidang kehutanan.
Selanjutnya, perlu pemahaman yang benar mengenai ketentuan Pasal79 sampai Pasal 80 UUKehutanan. Pasal 79 UUKehutanan harus diartikan sebagai melelang hasil kejahatan atau pelanggaran Pasal 78 UUKehutanan, bukan mengutip hasil “suatu budi daya tanaman perkebunan yang melanggar UUKehutanan (Perkebunan yang lahannya berada pada kawasan hutan). Mengutip hasil budi daya tanaman perkebunan pada lahan kawasan hutan selain melanggar UUKehutanan juga melanggar ketentuan Pasal 46 UUPerkebunan, juga melanggar ketentuan Pasal 69 UU No. 26 tahun 2006 tentang Penataan Ruang (UUPR), dan pejabat yang memberikan izin mengutip hasil budi daya tanaman perkebunan pada kawasan hutan melanggar Pasal 73 UUPR. 
Kemudian ketentuan Pasal 80 UUKehutanan, harus ditafsirkan bahwa pengenaan sanksi administrasi bukan menyebabkan hilangnya atau hapusnya penerapan Pasal 78 UUKehutanan. Penerapan Pasal 78 UUKehutanan dalam rangka penegakan hukum pidana, sedangkan Pasal 80 dalam rangka penegakan hukum administrasi.


Kawasan Hutan di Sumatera Utara

Kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara, didasarkan beberapa ketentuan, seperti:
1.      Keputusan Menteri Pertanian No. 923/Kpts/Um/12/1982, tanggal 23 Desember 1982 tentang Penunjukan Areal Hutan di Provinsi Dati I Sumatera Utara, seluas +  3.780.132,02 ha;
2.      Kepmenhut RI No. 44/Menhut-II/2005 tanggal 16 Februari 2005 tentang Penunjukan kawasan hutan di wilayah provinsi sumatera utara seluas + 3.742.120 ha
3.      Kepmenhut RI no. 201/Menhut-II/2006, tanggal 5 Juni 2006 tentang Perubahan Keputusan Kepmenhut RI No. 44/Menhut-II/2005, tanggal 16 Februari 2005 dan  Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan di Wilayah Sumatera Utara, yaitu:
a.       Kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas + 1.109.507 ha
b.      Bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan di wilayah Provinsi Sumatera Utara + seluas 336.395 ha,
saat ini seluas  + 2.969.452 ha.
Penerbitan Kepmenhut RI no. 201/Menhut-II/2006, antara lain didasarkan pada Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No. 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara tahun 2003 – 2018,  tertanggal 28 Agustus 2003. Artinya, secara konseptual penunjukan kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara telah memenuhi salah satu unsur pengukuhan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UUKehutanan, dan selanjutnya masih perlu dilanjutkan dengan proses penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan.
Secara faktual, penunjukan kawasan hutan di provinsi Sumatera Utara berdasarkan Kepmenhut RI No. 201/Menhut-II/2006,  kurang dilaksanakan dengan perencanaan yang baik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 11 UUKehutanan yang menegaskan perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu dan memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. Hal ini dapat dilihat dari tidak terdengarnya aktifitas instansi kehutanan dalam melakukan sosialisasi untuk mendapatkan umpan balik dari masyarakat sebagai wujud adanya partisipasi masyarakat, sehingga banyak areal pemukiman penduduk yang sudah berbentuk desa dan ibukota kecamatan dimasukkan dalam kawasan hutan. Selain itu juga, tidak dilaksanakannya inventarisasi hutan guna mengetahui dan memperoleh data serta informasi tentang sumberdaya, potensi kekayaan alam hutan dan lingkungannya secara lengkap yang pelaksanaannya dilakukan dengan survey mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumberdaya manusia serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
Kondisi obyektif pada kawasan hutan di provinsi sumatera utara sebelum dikeluarkannya Kepmenthut RI No. 201/Menhut-II/2006, ternyata pada kawasan tersebut telah berubah menjadi kawasan perkebunan yang dimiliki perorangan, badan usaha, adanya pemukiman penduduk, bangunan perkantoran Pemerintah Daerah, misalnya:
1.      Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas yang terletak di Tapsel Provinsi Sumatera Utara, seluas + 178.508 ha sudah menjadi kawasan perkebunan, dan 90%-nya telah memiliki alas Hak HGU, SHM, izin usaha perkebunan dll;
2.      Kawasan hutan Register 4/KL Labuhan Batu Provinsi Sumatera Utara, seluas +  10.000 ha sudah menjadi menjadi kawasan perkebunan, dan 90%-nya telah memiliki alas Hak HGU, SHM, izin usaha perkebunan, yang dimiliki oleh perorangan, badan hukum, dan telah terjadi sejak tahun 1996.
3.      Kawasan hutan Regiter 18 Simalungun Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara, sebagian besar sudah menjadi perkebunan masyarakat.
4.      Kawasan hutan di Kabupaten Humbahas Provinsi Sumatera Utara, di dalam kawasan hutan tersebut telah ada bangunan perkantoran.
5.      Kawasan hutan di Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara, telah ada perkebunan perorangan dan badan usaha.
6.      Kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara, telah ada perkebunan kelapa sawit.
Selain hal yang disebutkan di atas, terdapat juga berbagai permasalahan yang menyangkut hak-hak atas tanah, antara lain:
1.      Terdapat pemukiman penduduk berupa desa dan ibukota kecamatan, misalnya: Kota Labuhan Bilik dan Kota Sei Berombang di Kabupaten Labuhan Batu, Kota Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu di Kabupaten Langkat, dan Ibukota Kabupaten (Kota Tarutung di Kabupaten Tapanuli Utara) masuk dalam kawasan hutan.
2.      Fasilitas publik yang dibangun oleh pemerintah seperti: Kantor Bupati Labuhan Batu, Markas Polres Simalungun, masuk dalam kawasan hutan register.
3.      Telah diterbitkannya sertifikat kepemilikan tanah warga, yang diindikasikan masuk dalam kawasan hutan register.
4.      Terdapat tanah-tanah yang diusahai oleh Badan Hukum perkebunan, dan telah terbit HGU-nya, seperti yang terjadi di Kabupaten Labuhan Batu, misalnya:
a.       PT Graha Dura Leidong Prima, telah diberikan HGU berdasarkan SK No. 26/HGU/BPN/2002 atas tanah seluas 8.323 ha, yang seluruhnya masuk areal kawasan hutan.
b.      PT Sri Perlak telah diberikan HGU berdasarkan SK No. 38/HGU/DA/1985 atas tanah seluas 991 ha, yang sebagian masuk areal kawasan hutan.
c.       PT Antari Raya telah diberikan HGU berdasarkan SK No. 45/HGU/BPN/1995 atas tanah seluas 2.890, 14 ha, yang sebagian areal masuk kawasan hutan.
d.      PT Surya Sakti telah diberikan HGU berdasarkan SK No. 31/HGU/DA/1966 atas seluas 570 ha yang sebagian masuk areal kawasan hutan.
e.       PT Karet Majumas, telah diberikan HGU berdasarkan SK No. 12/HGU/DA/1986  atas tanah seluas 460,8 ha, yang sebagian termasuk kawasan hutan.
f.       PTP-III Kebun Labuhan Haji/Hanna telah diberikan HGU berdasarkan SK No. 19/HGU/DA/1980 atas tanah seluas 3.359 ha, yang sebagian masuk kawasan hutan.
g.      PT Socfindo Kebun Aek Natas telah diberikan HGU berdasarkan SK No. 88/HGU/BPN/1997 atas tanah seluas 569,29 ha yang sebagian areal termasuk kawasan hutan.
h.      PT Socfindo Kebun Aek Kuo, telah diberikan HGU berdasarkan SK No. 88/HGU/BPN/1997 atas tanah seluas 180,12 ha yang sebagian areal termasuk kawasan hutan.
Kondisi diatas menjadi pemicu permasahan bagi pemegang hak atas tanah, mereka menjadi resah dan mendapatkan ketidakpastian hukum, karena terhadap areal yang telah termasuk kawasan hutan tidak dapat dilakukan perbuatan hukum termasuk memasang hak tanggungan. Selanjutnya, jika dilakukan penyidikan terhadap kasus perambahan hutan di provinsi sumatera utara berdasarkan Kepmenhut RI No. 44 tahun 2005, didapati kendala-kendala sebagai berikut:
a.       Tidak terpenuhinya unsur “kawasan hutan” sebab areal yang diusahakan oleh pelaku bukan kawasan hutan, melainkan kawasan budidaya tanaman perkebunan, contohnya Perda No. 4 Tahun 1993 Kab. Labuhan Batu tentang RTRW Kab dan Perda No. 6 tahun 2003 tentang RTRW Provinsi Sumatera Utara.
b.      Tidak terpenuhinya unsur “tanpa izin”, sebab para pelaku dapat membuktikan bahwa mereka telah memiliki izin yang berkaitan dengan usaha perkebunan berupa izin usaha perkebunan, ijin prinsip, HGU atau SHM.



Sub Tema Yang Perlu Didiskusikan

            Memperhatikan manajemen penanganan tindak pidana lingkungan dan melihat kasus kondisi kawasan hutan yang ada di Provinsi Sumatera Utara, ada bebarapa hal yang dapat dijadikan Sub Tema Diskusi, diantaranya:
1.      Bagaimana upaya penyidikan terhadap pemilik ijin (HPH, HPH HTI, IPK) yang nyatanya telah melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
2.      Bagaimana upaya penyidikan terhadap pelaku tindak pidana kehutanan untuk dijerat dengan ketentuan tindak pidana korupsi dan/atau tindak pidana pencucian uang, UUPenataan Ruang
3.      Bagaimana penegakan hukumnya bagi para pemilik usaha perkebunan yang telah memiliki alas hak dan/atau perizinan namun areal usaha mereka berada dikawasan hutan.

Penutup

Kebijakan merupakan solusi atas masalah, dan seringkali tidak efektif akibat tidak cermat dalam merumuskan masalah, dan masalah selalu timbul dari pelaku-pelaku yang dalam kesehariannya mengambil keputusan sebagai dasar bertindak.
Tindak pidana bidang kehutanan merupakan masalah yang serius yang dihadapi karena tidak hanya terjadi di hutan produksi tetapi sudah merambah ke kawasan lindung dan konservasi.  
Tindak pidana di bidang kehutanan dan konservasi menimbulkan dampak yang berbeda dengan tindak pidana secara umum, tidak saja merugikan masyarakat dan negara, akan tetapi memberikan dampak buruk luar biasa pada lingkungan dan sumberdaya alam itu sendiri dalam jangka panjang
Proses pembuktian yang lebih kompleks karena melibatkan aspek-aspek teknis di bidang dan konservasi yang tidak ditemui tindak pidana di bidang kehutanan dan konservasi tidak dapat dilakukan oleh pihak kepolisian saja, namun juga harus melibatkan Pegawai Penyelidik Negeri Sipil (PPNS) di bidang kehutanan, konservasi, juga lingkungan hidup.
Ancaman sanksi pidana di bidang kehutanan dan konservasi tidak hanya berlaku pada individu namun juga terhadap perusahaan pemegang ijin HPH dan industri kayu gergajian (sawmill) dalam illegal logging, perusahaan yang memperdagangkan hidupan liar atau badan hukum lainnya yang melakukan tindak pidana di bidang kehutanan dan konservasi.
Ketentuan pidana di bidang kehutanan dan konservasi menerapkan sanksi kumulatif (penerapan hukuman penjara sekaligus denda).


Kepustakaan:

Alvi Syahrin, 2003, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU, Universitas Sumatera Utara, Medan.
----------, 2008, Beberapa Masalah Hukum, PT Sofmedia, Jakarta.
----------, 2009, BeberapaIsu Hukum Lingkungan Kepidanaan, PT Sofmedia, Jakarta.
Arief Sidharta, B., 2003, Struktur Hukum, Alumni, Bandung.
Budi Riyanto dan Dudy Mempawardi Saragih, 2004, Himpunan Ringkasan Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Kehutanan dan Konservasi Hayati, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Jakarta.
Budi Riyanto dan Samedi, 2004, Dinamika Kebijakan Konservasi Hayati di Indonesia, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Jakarta.
Butar-Butar, M, 2007, Kondisi dan Masalah Penunjukan Kawasan Hutan di Sumatera Utara, Kasat IV/Tipiter Dit Reskrim Polda Sumut, tidak dipublikasikan.
John Z. Loedoe, 1985, Menentukan hukum melalui tafsir dan fakta,  Bina Aksara, Jakarta.
Koesnadi Hardjasoemantri, 2006, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, IB, 1993, Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nurdjana, Teguh Prasetyo, Sukardi, 2005, Korupsi & Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Otje Salaman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, mengingat, mengumpulkan dan membuka kembali, Refika Aditama, Bandung.
Ratih Chandradewi dan Wulan Pratiwi, 2003, Kajian Hukum Penanganan Tindak Pidana Illegal Logging dan Perdagangan Hidupan Liar, Lebah, Vol. 2 No. 2 Oktober 2003.
Saryono, 2002, Pengelolaan Hutan, Tanah &  Air dalam Perspektif Al Qur’an, Pustaka Al Husna Baru, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi lain Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
http://my.opera.com/andikosutanmancayo/blog/2006/12/07/illegal-logging, Illegal Logging & Perubahan UU 41 Tahun 1999.
http://www.harianterbit.com/artikel/rubrik/artikel.php?aid=24261, Penanganan Tindak Pidana Kehutanan.   
http://www.fkt.ugm.ac.id/download/11stepindoversion_6April06.pdf Strategi Nasional Untuk Pemberantasan Penebangan dan Peredaran Kayu Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Republik Indonesia.


  *Guru Besar Fakultas Hukum USU Medan, Ketua Program Studi Magister dan Doktor Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana USU Medan.
 **Disampaikan pada Lokarkarya/Focus Group Discussion “Tantangan Penegakan Hukum Illegal Logging dan Reformasi Sektor Kehutanan”, Pusat Studi Konstitusi, Otonomi Daerah dan Kebijakan Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (PUSKOLING-FHUA) Surabaya, diselenggarakan tanggal 27 – 28 Mei 2009, Hotel IBIS RAJAWALI, Surabaya..