PEMBANGUNAN
KOTA HIJAU (GREEN CITY)
Oleh: Alvi Syahrin
I. Pembangunan
kota saat ini lebih banyak ditentukan oleh sarana dan prasarana yang ada,
kecenderungan untuk meminimalkan ruang terbuka hijau dan menghilangkan wajah
alam. Lahan banyak dialihfungsikan menjadi pusat perbelanjaan (pertokoan),
pemukiman, tempat rekreasi, industri dan lain-lain, yang menjadikan kota tidak
lagi indah dan sejuk serta tidak terdapat lagi aspek kelestarian, keserasian,
keselarasan dan keseimbangan sumberdaya alam. Sementara diketahui aspek
kelestarian, keserasian, keselarasan dan keseimbangan di dalam kota akan
menjadikan kenyamanan, kesegaran, terbebasnya kota dari polusi dan kebisingan
serta sehat dan cerdasnya warga kota.
Aktifitas
perkotaan yang ada dewasa ini menimbulkan tingginya tingkat urbanisasi,
tingginya kebutuhan transportasi dan tingginya limbah yang dihasilkan kota,
menimbulkan dampak lingkungan yang kompleks dan berimplikasi luas untuk
aktifitas perkotaan berupa polusi udara. Kondisi tersebut menjadikan kota perlu
memiliki Green belt atau jalur hijau yang merupakan pemisah fisik daerah
perkotaan dan pedesaan yang berupa zona bebas bangunan atau ruang terbuka hijau
yang berada di sekeliling luar kawasan perkotaan atau daerah pusat
aktifitas/kegiatan yang menimbulkan
polusi. Jalur hijau tersebut juga merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
yang berfungsi sebagai daerah penyangga dan untuk membatasi perkembangan suatu
penggunaan lahan (batas kota, pemisah kawasan, dan lain-lain) atau membatasi
aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling mengganggu, serta
pengamanan dari faktor lingkungan sekitarnya.
Selanjutnya,
menciptakan Kota Hijau tidak hanya berbicara mengenai Jalur Hijau atau RTH
tetapi lebih dari itu. Kota hijau merupakan yang ramah lingkungan dengan
memanfaatkan secara efektif dan efesien (secara optimal) sumberdaya air dan
energi, mengurangi limbah, menerapkan sitem transportasi terpadu, menjamin
kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan
perencanaan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
II. Kota
hijau merupakan kota yang didesain dengan mempertimbangkan dampak terhadap
lingkungan, dihuni oleh orang-orang yang memiliki kesadaran untuk meminimalisir
(penghematan) penggunaan energi, air dan makanan serta memiminimalisir buangan
limbah, pencemaran udara dan pencemaran air. Selanjutnya, kota hijau ini
mengutamakan keseimbangan ekositem hanyati dengan lingkungan terbangun sehingga
terciptanya kenyamanan bagi penduduk kota yang tinggal di dalamnya maupun bagi
para pengunjung kota.
Memperhatikan
makna kota hijau tersebut, ada beberapat atribut menentukan kota hijau,
diantaranya terkait dengan:
1.
Energi:
- efesiensi energi,
- energi terbarukan,
- perubahan iklim.
2.
Pengurangan limbah
-
tanpa limbah
-
peningkatan tanggungjawab produsen
-
tanggungjawab konsumen.
3.
Tranportasi:
-
tranportasi umum
-
mobil bersih
-
pengurangan kemacetan.
4.
Urban desain:
-
green building
-
perencanaan kota
-
green jobs
5.
Urban Nature:
-
ruang terbuka hijau
-
restorasi habitat
-
konservasi cagar alam
6.
Kesehatan lingkungan:
-
pengurangan bahan beracun
-
sistem makanan sehat
-
udara bersih
7.
Air:
-
akses air bersih
-
konservasi sumber air
-
pengurangan limbah.
8. Green community:
berupa peningkatan kepekaan, kepedulian dan peran serta aktif
masyarakat dalam pengembangan atribut-atribut kota hijau.
Memperhatikan
uraian terdahulu, Green City
secara harfiah dapat diartikan sebagai kota hijau, yang diharapkan akan tumbuh
kembang sebagai kampanye pemanfaatan florikultura untuk cipta pasar dalam
negeri secara sistemik. Green City mempunyai 8 komponen yaitu green planning
and design, green open space, green waste, green transportation, green water,
green energy, green building dan green community. Dari kedelapan komponen
tersebut, Kementerian Pertanian berperan pada komponen green community. Dalam
hal ini green community ditujukan sebagai usaha untuk: (1) meningkatkan “public
awareness” tentang pentingnya Green City; (2) membangun “networking” untuk
kekuatan baru dan dalam satu kesatuan dan (3) merawat serta memelihara sehingga
mampu menuju “sustainable development”.
Program green city merupakan program yang
terintegrasi dengan instansi terkait lainnya, antara lain Kementerian Pekerjaan
Umum, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
Kementerian Lingkungan Hidup, Dinas Tata Kota, Dinas Kebersihan dan Pertamanan,
BAPPEDA, Perusahaan Swasta, BUMN, LSM dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan program green city, diperlukan sinergi dengan instansi terkait.
Dalam rangka sinergi antar instansi terkait, telah dilaksanakan koordinasi dan
sosialisasi baik di tingkat pusat maupun daerah.
Mewujudkan kota hijau sebagaimana yang
diinginkan dapat dilakukan, diantaranya dengan diakomodasikannya target
pencapaian 30% ruang terbuka hijau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
kota, keterlibatan sektor lainnya seperti: sektor perhubungan dalam rangka
menciptakan: green transportasion (pengembangan sistem transportasi yang
berkelanjutan seperti transpotasi publik, jalur sepeda dsb), sektor
pengembangan permukiman yang meliputi green waste yaitu usaha untuk
melaksanakan 3R (mengurangi sampah/limbah, mengembangkan proses daur ulang dan
meningkatkan nilai tamabah), green water, yaitu efesiensi pemanfaatan sumber
air dan bangunan hemat energi, sektor energi yaitu pemanfaatan sumber energi
yang efesien dan ramah lingkungan.
Memulai
untuk mewujudkan kota hijau dimulai dari diri kita sendiri. Sebagai anggota
masyarakat, kita semua merubah perilaku untuk ramah lingkungan, hemat energi,
tidak konsumtif terhadap energi, dan selanjutnya pemerintah serta dunia usaha
mendukung mewujudkan kota hijau tersebut. Secara umum, kota hijau merupakan
kota yang cerdas yang berpihak kepada pertumbuhan, penciptaan pekerjaan, meminimalkan
kemiskinan, pro lingkungan, dengan memanfaatkan secara optimal sumberdaya yang
memperhatikan keunikan budaya dan sistem lingkungan dengan jasa yang
dimilikinya.
Kota
hijau didalamnya terkandung equality dan diversity, artinya kota tersebut didasarkan
kepada kominitas yang dibangun dalam prinsip kekayaan dalam keanekaragaman
(diversitas), adanya persamaan dan kesamaan
(toleran) untuk pembangunan kawasan urban, memiliki keterbukan terhadap
seni dan budaya yang mewarnai kota, memperhatikan persoalan gender dan diseble,
environmental justice, urban democrary dan urban education. Mobilitas di green
city, kotanya tidak didominasi oleh kehidupan yang banyak menggunakan kenderaan
pribadi, kendaraan yang digunakan transportasi massal yang non polutif, penggunaan
sepeda yang banyak dan secara teratur bahkan mencintai pejalan (berjalan) kaki.
Kota
hijau sebagai kota yang sehat dan bersahabat diisi oleh orang dan atau penduduk
yang aktif dan bersahabat pada lingkungan (green community), dibangun dengan
memanfaatkan ruang publik (green spaces) yang lebih alami dan tidak
membahayakan kesehatan dan keselamatan penduduknya, serta memiliki ideologi
pangan yang ditranformasikan dari kebijakan konsumsi hijau penduduk kota (green consumerism).
Kota
hijau merupakan kota yang efesien dan itelligent yang mengandung makna:
balaikotanya dibangun dengan konsep hijau serta menjadi contoh bagi warganya,
persoalan limbah tidak didekati sebagai masalah tetapi limbah didekati dengan
pendekatan solusi limbah sebagai peluang ekonomi (zero waste conception),
pemanfaatan air secara bijak (zero run-off water conception), penggunaan energi
dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan pengetahuan yang dimilikinya (renewable
green and blue energy), menerapkan jasa lingkungan (environmental services)
sebagai topangan ekonomi, serta memaksimalkan jasa (services) sebagai modal
pembangunan dengan memanfaatkan sumberdaya manusia yang dimilikinya.
Kota
hijau mimiliki wawasan global namun tetap mempertahankan kekuatan lokalnya
dalam upayanya terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam kerangka perubahan iklim, mempunyai jejak ekologis yang kecil dengan
memperhitungkan keunikan sistem dan budaya yang dimilikinya, menjlankan
kesepakatan global sebagai komitmen indonesia dalam pengurangan emisi 26%,
serta memanfaatkan mekanisme pembangunan bersih (CDM).
Instrumen
pembangunan Kota Hijau, secara global memperhatikan: - LEED (Leadership in
Energy an Environmental Design), - GBC (Green Building Council), - LID (Low
Impact Development), dan secara nasional memperhatikan: Undang-Undang No. 5
Tahun 1990 tentang Keakaragaman ahayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang
No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan lainya termasuk ketentuan pelaksana dari
sejumlah undang-undang yang disebutkan diatas.
III. Pembangunan Kota hijau memerlukan komitmen
bersama dari seluruh stake holder, dan pimpinan daerah memiliki peran utama
sebagai pemimpin dalam menjaga keberlanjutan kota melalui kebijakan, program
dan rencana aksi yang berjangka dan terukur yang secara obyektif untuk
mensejahterakan rakyatnya/masyarakat.
Kota hijau dibangun dengan pendekatan pemanfaatan keunggulan
Indonesia dengan kota tropis beserta keunikan ekosistem dan budaya yang
dimilikinya dengan mengoptimalkan sumberdaya manusia, teknologi dan jasa
ekosistem yang memungkinkan kota dikelola secara cerdas dan berkelanjutan.
--o0o--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar