Minggu, 13 Juli 2014

Pertanggungjawaban pidana korporasi

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

Oleh: Alvi Syahrin


I. Meningkatnya kejahatan korporasi menandakan kegagalan penegakan hukum pidana secara optimal. Para ahli hukum pidana terus mengembangkan konsep pertanggungjawaban pidana dalam upaya penegakan hukum tersebut. Penegakan hukum di bidang korporasi terkait dengan norma-norma perilaku perusahaan yang dikombinasikan dengan struktur tata kelola internal penegakan hukum pidana. Secara sederhana, kejahatan korporasi sebagai perilaku korporasi, atau karyawan yang bertindak atas nama korporasi, dan perilaku tersebut merupakan perilaku yang dilarang dan dikenai sanksi hukum.


II. Penegakan hukum pidana korporasi mengalami kesulitan dalam hal melakukan penuntutan terhadap korporasi, diantaranya: bagaimana menghadirkan korporasi kehadapan persidangan pidana, apakah dan bagaimanakan korporasi secara nyata dapat dikatakan melakukan atau memberi izin kepada orang perorangan atau manusia untuk bertindak melakukan tindak pidana, bagaimana menentukan keadaan bersalah atau mens rea suatu korporasi. Selanjutnya, korporasi sebagai subyek hukum jelas berbeda dengan manusia dalam hal penjatuhan pidana, korporasi tidak mungkin dijatuhi penjara pidana, namun dapat dijatuhi hukum denda dan/atau tindakan tertentu.

Pertanggungjawaban pidan korporasi, setidak-tidaknya di bagi dalam beberapa bentuk, yaitu: pengurus korporasi sebagai pembuat penguruslah yang bertanggungjawab, korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, korporasi sebagai pembuat, korporasi yang bertanggungjawab, korporasi dan pengurus yang berbuat korporasi dan pengurus yang bertanggungjawab.

Menentukan pertanggungjawaban korporasi merupakan hal yang sulit bagi aparat penegak hukum. Aparatur penegak hukum dalam meminta pertanggungjawaban korporasi perlu memperhatikan apakah korporasi dalam menjalankan usahanya telah gagal melakukan tugas kewajibannya, apakah korporasi tersebut melakukan pelanggaran terhadap gangguan publik, dan apakah sanksi pidana yang dijatuhkan akan mencapai antara tujuan hukum pidana dan inefesiensi sosial ekonomi yang dihasilkan dari aplikasi pertanggungjawaban pidana korporasi.

Tindak pidana korporasi menjadi ultra vires yang menghambat kemajuan hukum pidana, sebab selalu diperdebatkan bahwa mens rea diperlukan, pengenaan kewajiban menjadi sasaran identifikasi dari korporasi yang melakukan tindak pidana. Artinya, unsur mens rea dan actus reus harus timbul dari pelaku tindak pidana, dan pelaku harus masuk ke dalam orang-orang yang mengarahkan pikiran (directing mind) atau otak atau pengendali karyawan (officers) korporasi. Memaksakan tanggungjawab pidana kepada korporasi harus secara individualistis, artinya perusahaan bertanggungjawab jika dan hanya jika pelanggaran dapat dikaitkan dengan petugas pengendalian dan tidak sebaliknya. Ketentuan ini berasal dari prinsip atribusi atau identifikasi. Konsep ini mengandung kelemahan, yaitu: bagaimana mengidentifikasi adanya mens rea secara individual dalam hal kesalahan terpenuhi secara kolektif atau secara kumulatif dari para pelaku, atau pelaku bukanlah seorang individu yang bertugas sebagai pengendali perusahaan.

Kesulitan lain yang dihadapi aparatur penegak hukum dalam meminta pertanggungjawaban korporasi terkait dengan perusahaan multinasional yang berskala besar yang berada di bawah manajer profesional, sehingga pemilik perusahaan atau para pengurus tidak/jarang memainkan peran pengawasan yang berarti terhadap karyawan dalam pengelolaan perusahaan. Dalam hal ini, kejaksaan (penuntut umum) selalu mengarahkan pertanggungjawaban tersebut kepada individu karyawan, bukan kepada perusahaan.

Pertanggungjawaban pidana korporasi pada rezim hukum di Amerika Serikat mengacu kepada konsep vicarious liability dalam hal tindak pidana terjadi atas perbuatan karyawan korporasi. Karyawan yang melakukan perbuatan tersebut haruslah individu yang: bertindak dalam lingkup dan pekerjaannya, bertindak setidaknya sebagian untuk mendapatkan keuntungan korporasi, dan bertindak dengan tindakan dan niat yang dapat diperhitungkan oleh korporasi. Artinya, untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, perbuatan tersebut haruslah dilakukan oleh karyawan yang memiliki kewenangan atau secara aktual terlibat dalam tindakan tersebut. Korporasi juga tetap bertanggungjawab atas tindakan karyawan walaupun perusahaansecara eksplisit  melarang perbuatan tersebut oleh karena perusahaan berkewajiban untuk melaksanakan pengawasan atas tindakan karyawannya.

Korporasi bertanggunggung jawab secara pidana atas perilaku karyawannya jika adanya kewajiban untuk melakukan pencegahan baik secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang, atau adanya toleransi yang dilakukan direksi atau para manager/karyawan pada level tinggi (senior official) yang bertindak atas nama korporasi dalam lingkup tugas-tugasnya. Namun demikian, jika perbuatan tersebut secara tegas merugikan korporasi atau pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditetapkan korporasi, maka korporasi dapat mengajukan adanya alasan pemaaf yang menghapuskan unsur kesalahan. Dengan demikian, korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam hal diabaikannya persyaratan atau kewajiban-kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh korporasi.

Pertanggungjawaban pidana korporasi juga terkait dengan perbuatan: a. yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanggungjawab dalam menjalankan operasional korporasi, kecuali korporasi dapat mengajukan argumen bahwa pelanggaran tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan dan bukan hal yang menguntungkan korporasi; b. yang dilakukan "dengan persetujuan diam-diam" atau "dari" atau "disebabkan" adanya pengabaian dari direksi, manajer, sektetaris atau petugas korporasi lainnya yang bertanggungjawab atas kepengurusan korporasi tersebut. Selanjutnya, direksi, manajer, sektetaris atau petugas korporasi lainnya yang bertanggungjawab atas kepengurusan korporasi juga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana secara individu atas perbuatan yang dilakukannya, namun demikian, jika perbuatan yang dilakukan oleh direksi, manajer, sektetaris atau petugas korporasi lainnya yang bertanggungjawab atas kepengurusan korporasi bukan sebagai tindakan untuk melakukan pengendalian atau pengurusan korporasi dan korporasi tidak mendapatkan keuntungan atas perbuatan tersebut, korporasi dapat mengajukan alasan pemaaf atas ketiadaan kesalahan.


III. Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanggungjawab dalam operasional korporasi. Korporasi dapat mengajukan alasan pemaaf untuk menghapus kesalahan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanggungjawab dalam operasional korporasi tersebut dengan mengajukan argumentasi bahwa perbuatan tersebut merupakan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditetapkan korporasi sehingga korporasi mengalami kerugian atas tindakan tersebut dan korporasi tidak mendapat keuntungan atas perbuatan tersebut. Sehingga jika korporasi telah melakukan tindakan yang wajar dalam mengendalikan perilaku karyawannya untuk melaksanakan apa yang diwajibkan oleh hukum, korporasi dapat mengajukan alasan pemaaf tiadanya kesalahan.

--o0o--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar