Selasa, 17 Juni 2014

Tindak Pidana Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA

Oleh: Alvi Syahrin


I.                   Ketentuan pidana mengenai korupsi diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999), yang kemudian dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 20/2001). Kedua Undang-Undang ini (UU 31/1999 dan UU 20/2001) memiliki pertimbangan yang berbeda dalam memberantas korupsi. UU 31/1999 mengajukan dua alasan memberantas korupsi, yaitu a. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan b. menghambat pembangunan nasional. Sedangkan UU 20/2001 mengajukan tiga alasan memberantas korupsi, yaitu: a. tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, b. merugikan keuangan negara, dan c. merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.
            Secara yuridis, rumusan dan jenis tindak pidana korupsi diatur dalamm UU 31/1999 juncto UU 20/ 2001  dapat dimatrikkan berikut:

NO
Jenis Korupsi
Pelakunya
Dasar hukum
1
Dengan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Setiap orang
Pasal 2
2
Menyalahgunakan kewenangan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
Pasal 3
3
Suap: (memberi  atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, hakim, advokat)
 Setiap orang
Pasal 5, 6
4
Perbuatan curang
Badan usaha atau perorangan
Pasal 7
5
Menggelapkan, memalsukan, menghilangkan, menghancurkan: uang, barang, akta, surat, atau daftar untuk pemeriksaan administrasi
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, perorangan, notaris
Pasal 8, 9, 10
6
Menerima hadiah atau janji
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, perorangan
Pasal 11,12
7
Gratifikasi
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
Pasal 12B
8
Memberi hadiah atau janji
Setiap orang
Pasal 13
9
Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi:



a.    Mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung terhadap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan perkara korupsi
Setiap orang
Pasal 21

b.    Tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan pada penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan perkara korupsi
Setiap orang
Pasal 22

c.    Laporan palsu, merusak, atau menghancurkan barang sitaan, memaksa orang untuk mengaku, menyuruh orang menunjukan dokumen rahasia.
Setiap orang, Pegawai Negeri
Pasal 23

d.   Larangan menyebutkan nama dan alamat pelapor
Saksi
Pasal 24

            Pengadaan barang dan jasa merupakan upaya pemerintah yang diwakili oleh PPK untuk mendapatkan barang dan jasa yang diinginkannya, dengan menggunakan metode dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan mengenai harga, waktu dan kualitas barang dan jasa.  Agar esensi pengadaan barang dan jasa tersebut dapat dilakukan sebaik-baiknya, maka kedua belah pihak yaitu PPK dan penyedia barang dan jasa haruslah berpedoman kepada aturan hukum pengadaan barang dan jasa.

Aturan hukum mengenai pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah di mulai pada tahun 2000 dengan keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 18 Tahun 2003, Keppres 80 Tahun 2003 dan yang sekarang berlaku yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2010, yang kemudian telah disesuaikan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2011 (perubahan pertama) dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 (perubahan kedua) beserta petunjuk teknisnya  serta ketentuan teknis operasional pengadaan barang/jasa secara elektronik. Aspek hukum yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah meliputi: aspek hukum administrasi, aspek hukum perdata, dan aspek hukum pidana.


II.                Tahapan pengadaan barang dan jasa setidak-tidaknya dapat dibagi dalam 4 (empat) tahapan kegiatan, yaitu: Pertama, tahap persiapan pengadaan yang meliputi: a. perencanaan pengadaan barang dan jasa, b. pembentukan panitia pengadaan barang dan jasa, c. penetapan sistem pengadaan barang dan jasa, d. penyusunan jadwal pengadaan barang dan jasa, e. Penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS), f. penyusunan dokumen pengadaan barang dan jasa, Kedua, tahap proses pengadaan yang meliputi: a. pemilihan penyedia barang dan jasa, b. penetapan penyedia barang dan jasa, Ketiga, Tahap penyusunan kontrak, dan Keempat: tahap pelaksanaan kontrak.
        Pola penyimpangan yang mungkin terjadi dalam tahap pengadaan barang dan jasa yang berimplikasikan tindak pidana korupsi, diantaranya:
1. Tahap persiapan pengadaan, misalnya: pada kegiatan perencanaan pengadaan terjadi penggelembungan (mark up), mengarahkan kepada kepentingan produk atau penyedia barang jasa tertentu, pemakekatan agar hanya kelompok tertentu yang mampu melaksanakan pekerjaan (sehingga mempermudah korupsi, kolusi dan nepotisme), perencanaan yang tidak realistis terutama dari sudut pelaksanaan; pada kegiatan pembentukan panitia tender, panitia bekerja secara tertutup, tidak adil, tidak jujur, dikendalikan pihak tertentu; pada kegiatan penetuan harga perkiraan sendiri (HPS), gambaran HPS ditutup-tutupi, penggelembungan (mark up), harga dasar tidak standar, penetuan estimasi harga tidak sesuai aturan; pada kegiatan penyusunan dokumen tender, spesifikasi teknis mengarah pada suatu produk tertentu, kriteria evaluasi dalam dokumen lelang diberikan penambahan yang tidak diperlukan, dokumen lelang tidak standar, dokumen lelang tidak lengkap.
2.   Tahap proses pengadaan, misalnya: pada kegiatan pemilihan penyedia barang dan jasa pada saat pengumuman tender: terjadi pengumuman lelang yang semu dan palsu, materi pengumuman ambigius, jangka waktu pengumuman terlalu singkat, pengumuman tidak lengkap; pada saat pengambilan dokumen tender: dokumen tender yang diserahkan tidak sama (partial), waktu pendistribusian informasi terbatas, penyebarluasan dokumen yang cacat; pada saat penjelasan tender (Aanwijzing) terjadi pembatasan informasi oleh panitia agar kelompok dekat saja yang memperoleh informasi yang lengkap, penjelasan dirubah menjadi tanya jawab; pada kegiatan penyerahan penawaran dan pembukaan penawaran, terjadi relokasi penyerahan dokumen penawaran dilakukan oleh panitia pengadaan dalam rangka pengaturan tender (agar tersingkirnya peserta tender yang bukan teman/kelompok dari panitia), penerimaan dokumen penawaran yang terlambat, menghalang-halangi peserta tertentu agar terlambat menyampaikan penawarannya; pada kegiatan evaluasi penawaran: terjadi penggantian dokumen dengan cara menyisipkan revisi dokumen ke dalam dokumen awal, pemenang bukan mewakili penawaran yang terbaik karena kolusif, panitia bekerja secara tertutup dan akses terhadap kontrol dilakukan, pada kegiatan pengumunan calon pemenang: pengumunan yang disebarluaskan sangat terbatas, pengumaman dengan tanggal ditunda; pada kegiatan sanggahan peserta tender, tidak semua sanggahan ditanggapi, seluruh sanggahan diarahkan pada klausula mengenai evaluasi penawaran dan hak panitia tentang kerahasiaan dokumen evaluasi; pada kegiatan penetapan penyedia barang dan jasa terjadi surat penetapan diterbitkan sebelum berakhir waktu sanggah, surat penetapan sengaja ditunda pengeluarannya guna mendapat uang pelicin.
3.      Tahap penyusunan dan penandatangan kontrak, misalnya: terjadi penandatangan kontrak yang tidak dilengkapi dengan dokumen pendukung (dokumen fiktif); penandatangan kontrak yang ditunda-tunda, karena jaminan pelaksanaan yang belum ada.
4.      Tahap pelaksanaan kontrak dan penyerahan barang dan jasa, misalnya terjadi pada penyerahan barang, barangnya tidak sesuai dengan spesifikasi atau volume sebagaimana dalam dokumen tender, pengawas tidak melaksanakan pengawasan secara benar dan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dilakukan penyedia barang.

            Potensi terjadinya tindak pidana korupsi dari pengadaan barang dapat terjadi mulai tahap persiapan sampai tahap pelaksanaan kontrak pengadaan barang dan jasa berdasarkan UU 31/1999 jo UU 10/2001 setidak-tidaknya dapat diidentifikasikan ke dalam 7 (tujuh) bentuk tindak pidana korupsi, diantaranya: 1. Merugikan keuangan negara dengan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang  (Pasal 2 dan Pasal 3);  2. Suap  (Pasal 6, 11, 12 huruf a, b, c, d dan Pasal 13); 3. Penggelapan dalam jabatan (Pasal 8 dan Pasal 10); 4. Pemerasan (Pasal 12 huruf e, f, g); 5. Perbuatan curang (Pasal 7 dan Pasal 12 huruf h); 6. Konflik kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf j; dan 7. Gratifikasi (Pasal 12 B dan Pasal 12 C).
           
III.             Kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, pada umumnya para pelaku didakwa melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999, yaitu a. secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dan b. dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada jabatan atau kedudukan.
            Pengaturan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999, ada kesamaan dalam rumusannya yaitu mengenai keuangan negara atau perekonomian negara, dan perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 3 UU 31/1999 tidak disebutkn secara eksplisit sebagaimana dalam rumusan Pasal 2 UU 31/1999, namun demikian perbuatan melawan hukum itu melekat secara in heren dalam unsur perbuatan: menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Unsur melawan hukum pada Pasal 2 UU No. 31/1999 berdiri sendiri atau disebut bestanddelen, sedangkan unsur melawan hukum dalam Pasal 3 UU 31/1999 yang terbenih atau tersirat (inhaeren) disebut element. Perbedaan lain antara Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999 yaitu dalam Pasal 2 UU 31/1999 disebutkan unsur “memperkaya diri sendiri” sedangkan Pasal 3 UU 31/1999 disebutkan unsur “menguntungkan diri sendiri”. Unsur “memperkaya diri sendiri” atau “menguntungkan diri sendiri” pada dasarnya ditujukan pada suatu perbuatan yang menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan negara, atau mengutamakan kepentingan pelaku di atas kepentingan negara, yang perbuatan tersebut dapat berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
            Kata “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999, menunjukkan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 31/1999 dan Pasal 3 UU 31/1999 merupakan tindak pidana formil, yaitu adanya tindak pidana cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan (Pasal 2 UU 31/1999 yaitu secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi; Pasal 3 UU 31/1999 yaitu menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi). Kerugian keuangan atau perekonomian negara dalam tindak pidana korupsi merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pelaku, sehingga walaupun belum dapat dipastikan adanya kerugian negara atau perekonomian negara akan tetapi unsur-unsur Pasal 2 UU 31/1999 atau Pasal 3 UU 31/1999 telah terpenuhi, maka perbuatan tersebut sudah merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU 31/1999 atau Pasal 3 UU 31/1999.
            Menjadikan unsur kerugian negara sebagai unsur yang perlu dibuktikan dalam tindak pidana korupsi, sehingga dengan dikembalikannya kerugian negara oleh pelaku dijadikan pertimbangan untuk menghentikan penyidikan atau penuntutan merupakan suatu kekeliruan. Oleh karena, berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU 31/1999 dinyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.  Ketentuan Pasal 4 UU 31/1999 ini juga makin membuktikan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana formil.


IV.             Pengkajian mengenai pertanggungjawaban jabatan dan pertanggungjawaban pribadi dalam hal pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, akan terkait dengan kapan seorang pejabat terbukti sebagai melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa menjadi pertanggungjawaban jabatan dan kapan ia menjadi pertanggungjawaban pribadi.
            Pertanggungjawaban jabatan merupakan tanggungjawab menurut hukum yang dibebankan kepada negara/pemerintah atas kesalahan atau akibat dari tindakan jabatan. Sedangkan pertanggungjawaban pribadi merupakan pertanggungjawaban pidana yakni tanggungjawab menurut hukum yang dibebankan kepada seseorang dalam atas kesalahan atau akibat dari perbuatannya secara pribadi.
            Secara hukum administrasi, parameter pertanggungjawaban jabatan yaitu asas legalitas (keabsahan) tindakan pejabat, dan persoalan legalitas tindakan pejabat berkaitan dengan pendekatan kekuasaan. Legalitas tindakan pejabat bertumpu pada wewenang, prosedur dan substansi. Setiap tindakan pejabat (termasuk dalam hal pengadaan barang dan jasa) harus bertumpu pada wewenang yang sah. Kewenangan tersebut diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi (kewenangan yang dietapkan oleh peraturan perundang-undangan bagi Badan atau Pejabat Pemerintahan), delegasi (bersumber dari pelimpahan), dan mandat (bersumber dari penugasan).
       Pertanggungjawaban pribadi merupakan pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan pendekatan fungsionaris atau pendekatan pelaku. Pertanggungjawab pribadi atau tanggungjawab pidana ini berkaitan dengan malaadministrasi dalam penggunaan wewenang maupun public service. Parameter pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld). Sehingga, berkaitan dengan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa yang menjadi parameternya adanya pertanggungjawaban pidana dalam pengadaan barang dan jasa yaitu melakukan perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) dan melakukan penyalahgunaan wewenang (detournement de pavoir). Penyalahgunaan wewenang hanya dapat dilakukan oleh pejabat dan badan pemerintah.
         Jabatan merupakan suatu lingkungan pekerjaan tetap yang diadakan dan dilakukan untuk kepentingan negara (kepentingan umum). Tiap jabatan merupakan pekerjaan tetap yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi yang diberi nama negara. Jabatan sebagai subyek hukum (persoon), yakni pendukung hak dan kewajiban (suatu personifikasi), sehingga jabatan itu dapat melakukan tindakan hukum (rechshandelingen).

V.                Pengadaan barang/jasa selalu dipertanyakan mengenai: “apakah pengadaan barang/jasa dilaksanakan secara sewenang-wenang” dan “apakah pelaksanaan pengadaan bawang/jasa telah sesuai dengan tujuannya”. Pertanyaan pertama berkaitan dengan tindakan sewenang-wenang (willekeur) dan pertanyaan kedua berkaitan dengan tindakan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir). yakni tidak terpenuhinya syarat legalitas (prosedur, wewenang, dan substansi) menghakibatkan cacat yuridis pengadaan barang/ jasa.  
      Wewenang dan substansi merupakan landasan bagi legalitas formal dalam pelaksanaan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Oleh sebab itu, dengan bertumpu kepada asas praesumptio iustae causa (gugat tidak memnunda atau menghalani dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tatat Usaha Negara yang digugat), maka setiap gugatan atas tindakan PPK yang berkenaan dengan keputusan pemenang tender misalnya, tidak menghalangi dilaksanakannya keputusan pejabar yang memutuskan pemenangan tender yang digugat. Asas Presumptio iustea causa telah dinormakan dalam Pasal 67 ayat (1) UU no.5 Tahun 1986.
            Ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf d UU No. 5 Tahun 1986 juncto UU No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, telah ditentukan parameter penyalahgunaan wewenang yang meliputi: a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; b. bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf B UU No5 Tahun 1986 juncto UU No. 9 Tahun 2004 adalah meliputi asas: Kepastian hukum; Tertib penyelenggaraan negara; Keterbukaan; Proporsionalitas; Profesionalitas; Akuntabilitas.
Menentukan ada atau tidaknya kesalahan terdakwa dalam tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa, tidak saja ditinjau dari aspek hukum pidana, tetapi juga harus ditinjau dari aspek hukum administrasi. Dalam hukum administrasi, kesalahan jabatan menjadi pertanggungjawaban jabatan, dan kesalahan pribadi menjadi pertanggungjawaban pribadi, kesalahan pribadi adalah tanggung jawab pidana. Apabila terjadi kesalahan maka kesalahan itu merupakan kesalahan jabatan dan pada gilirannya adalah menjadi pertanggungjawaban jabatan. Pertanggungjawaban pidana adalah tanggung jawab pribadi. Apa yang dilakukan terdakwa, tidak termasuk tindakan maladministrasi. Pejabat Negara yang mengemban wewenang Pemerintahan pada dasarnya tunduk pada norma hukum administrasi. Dari hukum administrasi ada 3 (tiga) isu yang perlu ditelaah yaitu isu keadaan darurat, isu kewenangan diskresioner (discretionary power), dan isu penyalahgunaan wewenang.

VI.             Secara melawan hukum berdasarkan penjelasan pasal 2 ayat (1) UU 31/1999, mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formiel maupun dalam arti materiel, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur didalam peraturan perundangundangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sesuai dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formiel, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Dalam literatur hukum pidana, “melawan hukum” diartikan beda-beda seperti bertentangan dengan hukum, bertentangan dengan hak orang lain, tanpa hak.(in strijd met het objective recht, in strijd met het subjective recht van een ander, zonder eigenrecht).
Schaffmeister et.al membedakan pengertian “melawan hukum” kedalam 4 (empat) kelompok, yaitu: Sifat melawan hukum umum; Sifat melawan hukum khusus; Sifat melawan hukum formal; Sifat melawan hukum materiel.
Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat umum untuk dapat  dipidana yang tersebut didalam rumusan pengertian perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Misalnya Pasal 3 UU PTPK tidak ada “melawan hukum: sebagai bagian inti (bestanddeel) delik, karena “menyalahgunakan wewenang” dengan sendirinya “melawan hukum”.
Terkait dengan sifat melawan hukum khusus, ada kalanya kata “bersifat melawan hukum” tercantum secara tertulis dalam rumusan delik. Jadi sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidana. Misalnya pasal 2 UU PTPK yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” sebagai bagian inti (bestanddeel) delik. Dengan demikian, “melawan hukum” harus tercantum didalam surat dakwaan sehingga harus dapat dibuktikan adanya “melawan hukum”.
Setelah putusan MK tanggal 24 Juli 2006 No.003/PUU-IV/2006, membawa konsekuensi legis terhadap pengertian “melawan hukum” dalam UU 31/1999. Semula pengertian “melawan hukum” dalam tindak pidana korupsi adalah mencakup pengertian melawan hukum formiel dan materiel menjadi pengertian melawan hukum formiel saja.
Dalam UU 31/1999 maupun UU No. 10/2001, tidak ada keterangan atau penjelasan mengenai arti “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”. Untuk menelaah dari sudut pandang bahasa, “memperkaya, ...” berasal dari suku kata “kaya”. “Kaya” artinya mempunyai harta yang banyak atau banyak harta. “Memperkaya” artinya menjadikan lebih kaya.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 144/ Pid.B/ 1987 tangal 23 april 1988 dalam ratio decendi-nya menyatakan bahwa hasil tindak pidana korupsi yang dipergunakan untuk membayar utang dan biaya pergi berkeliling ke Eropa adalah memenuhi unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain”.
Putusan MA-RI No. 241 K/Pid/1987 tanggal 21 Januari 1989, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa hasil tindak pidana korupsi yang dipergunakan membeli tanah dan membangun Kantor KUD adalah memenuhi unsur “memperkaya suatu korporasi”.
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 8/Pid/B/1992/PN/TNG tanggal 13 Mei 1992 dalam ratio decendi nya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “memperkaya” adalah menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya bertambah kaya.
Dengan demikian, untuk dapat dikatakan “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 UU PTPK diisyaratkan bahwa perolehan atau penambahan kekayaan itu harus nyata ada.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK dinyatakan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formiel, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dapat dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Kerugian keuangan atau perekonomian negara dalam suatu kasus korupsi merupakan suatu akibat dari perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pelaku, sehingga meskipun belum dapat dipastikan adanya kerugian negara atau perekonomian negara akan tetapi unsur-unsur pasal telah terpenuhi, maka perbuatan tersebut sudah merupakan perbuatan korupsi.
Keuangan negara dalam penjelasan umum UU 31/1999, dinyatakan sebagai seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada Seluruh kehidupan masyarakat.
Berdasarkan Pasal 1 angka (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (UU 17/2003) Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Selanjutnya, Pasal 2 UU 17/2003 mengatur bahwa yang termasuk keuangan negara, meliputi: a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. Penenrimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah, f. Pengeluaran Daerah; g. Kekayaan Negara/Daerah yang dikelola sendiri atau oleh orang lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

               
VII.          Konsep petanggungjawaban jabatan dan pertanggungjawaban pribadi dalam pengadaan barang dan jasa adalah sangat penting. Karena, kedua konsep tersebut berimplikasi terhadap pertanggungjawaban pidana, tanggung gugat perdata dan tanggung gugat tata usaha negara (TUN). Oleh sebab itu,  parameter untuk menilai pertanggungjawaban jabatan (PA, KPA, PPK, atau Panitia Pengadaan) adalah penggunaan wewenang. Keabsahan (legalitas) penggunaan wewenang – pengadaan barang dan jasa – bertumpu kepada wewenang, prosedur, substansi tindakan pejawabt (PA, KPA, PPK, atau Panitia Pengadaan) merupakan tangung jawab jabatan. Pertanggungjawaban jabatan melahirkan tanggung jawab gugat pemerintah/ negara. Sedangkan parameter untuk menilai pertanggungjawaban pribadi pejabat (PA, KPA, PPK atau Panitia Pengadaan) adalah tindakan maladministrasi dalam penggunaan wewenang. Tindakan maladministrasi pejabat merupakan pertanggungjawaban pribadi. Pertanggungjawaban pribadi melahirkan pertanggungjawaban pidana.
Parameter perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi – pengadaan barang dan jasa adalah melanggar undang-undang. Sedangkan parameter penyalahgunaan wewenang tindak pidana korupsi – pengadaan barang dan jasa adalah tujuan yang melekat pada wewenang tersebut (asas spesialitas).


Kepustakaan:

Amiruddin, 2010, Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa,  Genta Publishing, Yogyakarta.
Herlambang, 2013, Tindak Pidana Penerima Hasil Korupsi, IPB Press, Bogor.
Komariah Emong Spardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung.
Nurdjana, IGM, 2010, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: “Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi: Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung.

3 komentar: