TINDAK
PIDANA KORUPSI DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA
Oleh: Alvi Syahrin
I.
Ketentuan pidana mengenai korupsi diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999), yang kemudian dirubah dan
ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU 20/2001). Kedua Undang-Undang ini (UU 31/1999 dan UU
20/2001) memiliki pertimbangan yang berbeda dalam memberantas korupsi. UU
31/1999 mengajukan dua alasan memberantas korupsi, yaitu a. merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dan b. menghambat pembangunan nasional.
Sedangkan UU 20/2001 mengajukan tiga alasan memberantas korupsi, yaitu: a.
tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, b. merugikan keuangan
negara, dan c. merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas.
Secara
yuridis, rumusan dan jenis tindak pidana korupsi diatur dalamm UU 31/1999 juncto UU 20/ 2001 dapat dimatrikkan berikut:
NO
|
Jenis Korupsi
|
Pelakunya
|
Dasar hukum
|
1
|
Dengan
melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
|
Setiap
orang
|
Pasal
2
|
2
|
Menyalahgunakan
kewenangan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
|
Pegawai
Negeri atau Penyelenggara Negara
|
Pasal
3
|
3
|
Suap:
(memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, hakim, advokat)
|
Setiap orang
|
Pasal
5, 6
|
4
|
Perbuatan
curang
|
Badan
usaha atau perorangan
|
Pasal
7
|
5
|
Menggelapkan,
memalsukan, menghilangkan, menghancurkan: uang, barang, akta, surat, atau
daftar untuk pemeriksaan administrasi
|
Pegawai
Negeri atau Penyelenggara Negara, perorangan, notaris
|
Pasal
8, 9, 10
|
6
|
Menerima
hadiah atau janji
|
Pegawai
Negeri atau Penyelenggara Negara, perorangan
|
Pasal
11,12
|
7
|
Gratifikasi
|
Pegawai
Negeri atau Penyelenggara Negara
|
Pasal
12B
|
8
|
Memberi
hadiah atau janji
|
Setiap
orang
|
Pasal
13
|
9
|
Tindak
pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi:
|
|
|
|
a.
Mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung terhadap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
sidang pengadilan perkara korupsi
|
Setiap
orang
|
Pasal
21
|
|
b.
Tidak memberikan keterangan atau memberikan
keterangan pada penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan
perkara korupsi
|
Setiap
orang
|
Pasal
22
|
|
c.
Laporan palsu, merusak, atau menghancurkan barang
sitaan, memaksa orang untuk mengaku, menyuruh orang menunjukan dokumen
rahasia.
|
Setiap
orang, Pegawai Negeri
|
Pasal
23
|
|
d.
Larangan menyebutkan nama dan alamat pelapor
|
Saksi
|
Pasal
24
|
Pengadaan barang dan jasa merupakan upaya pemerintah yang diwakili oleh PPK untuk mendapatkan barang dan jasa yang diinginkannya, dengan menggunakan metode dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan mengenai harga, waktu dan kualitas barang dan jasa. Agar esensi pengadaan barang dan jasa tersebut dapat dilakukan sebaik-baiknya, maka kedua belah pihak yaitu PPK dan penyedia barang dan jasa haruslah berpedoman kepada aturan hukum pengadaan barang dan jasa.
Aturan hukum mengenai pengadaan barang
dan jasa oleh pemerintah di mulai pada tahun 2000 dengan keluarnya Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 18 Tahun 2003, Keppres 80 Tahun 2003 dan yang sekarang berlaku yaitu Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 54 tahun 2010, yang kemudian telah disesuaikan dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2011 (perubahan pertama) dan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 (perubahan kedua) beserta petunjuk teknisnya serta
ketentuan teknis operasional pengadaan barang/jasa secara elektronik. Aspek
hukum yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah meliputi:
aspek hukum administrasi, aspek hukum perdata, dan aspek hukum pidana.
II.
Tahapan pengadaan barang dan jasa
setidak-tidaknya dapat dibagi dalam 4 (empat) tahapan kegiatan, yaitu: Pertama,
tahap persiapan pengadaan yang meliputi: a. perencanaan pengadaan barang dan
jasa, b. pembentukan panitia pengadaan barang dan jasa, c. penetapan sistem
pengadaan barang dan jasa, d. penyusunan jadwal pengadaan barang dan jasa, e.
Penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS), f. penyusunan dokumen pengadaan
barang dan jasa, Kedua, tahap proses pengadaan yang meliputi: a. pemilihan
penyedia barang dan jasa, b. penetapan penyedia barang dan jasa, Ketiga, Tahap
penyusunan kontrak, dan Keempat: tahap pelaksanaan kontrak.
Pola
penyimpangan yang mungkin terjadi dalam tahap pengadaan barang dan jasa yang
berimplikasikan tindak pidana korupsi, diantaranya:
1. Tahap
persiapan pengadaan, misalnya: pada kegiatan perencanaan pengadaan terjadi
penggelembungan (mark up),
mengarahkan kepada kepentingan produk atau penyedia barang jasa tertentu,
pemakekatan agar hanya kelompok tertentu yang mampu melaksanakan pekerjaan
(sehingga mempermudah korupsi, kolusi dan nepotisme), perencanaan yang tidak
realistis terutama dari sudut pelaksanaan; pada kegiatan pembentukan panitia
tender, panitia bekerja secara tertutup, tidak adil, tidak jujur, dikendalikan
pihak tertentu; pada kegiatan penetuan harga perkiraan sendiri (HPS), gambaran
HPS ditutup-tutupi, penggelembungan (mark up), harga dasar tidak standar,
penetuan estimasi harga tidak sesuai aturan; pada kegiatan penyusunan dokumen
tender, spesifikasi teknis mengarah pada suatu produk tertentu, kriteria
evaluasi dalam dokumen lelang diberikan penambahan yang tidak diperlukan,
dokumen lelang tidak standar, dokumen lelang tidak lengkap.
2. Tahap proses pengadaan, misalnya: pada
kegiatan pemilihan penyedia barang dan jasa pada saat pengumuman tender: terjadi
pengumuman lelang yang semu dan palsu, materi pengumuman ambigius, jangka waktu
pengumuman terlalu singkat, pengumuman tidak lengkap; pada saat pengambilan
dokumen tender: dokumen tender yang diserahkan tidak sama (partial), waktu
pendistribusian informasi terbatas, penyebarluasan dokumen yang cacat; pada
saat penjelasan tender (Aanwijzing)
terjadi pembatasan informasi oleh panitia agar kelompok dekat saja yang
memperoleh informasi yang lengkap, penjelasan dirubah menjadi tanya jawab; pada
kegiatan penyerahan penawaran dan pembukaan penawaran, terjadi relokasi
penyerahan dokumen penawaran dilakukan oleh panitia pengadaan dalam rangka
pengaturan tender (agar tersingkirnya peserta tender yang bukan teman/kelompok
dari panitia), penerimaan dokumen penawaran yang terlambat, menghalang-halangi
peserta tertentu agar terlambat menyampaikan penawarannya; pada kegiatan
evaluasi penawaran: terjadi penggantian dokumen dengan cara menyisipkan revisi
dokumen ke dalam dokumen awal, pemenang bukan mewakili penawaran yang terbaik
karena kolusif, panitia bekerja secara tertutup dan akses terhadap kontrol
dilakukan, pada kegiatan pengumunan calon pemenang: pengumunan yang
disebarluaskan sangat terbatas, pengumaman dengan tanggal ditunda; pada
kegiatan sanggahan peserta tender, tidak semua sanggahan ditanggapi, seluruh
sanggahan diarahkan pada klausula mengenai evaluasi penawaran dan hak panitia
tentang kerahasiaan dokumen evaluasi; pada kegiatan penetapan penyedia barang
dan jasa terjadi surat penetapan diterbitkan sebelum berakhir waktu sanggah,
surat penetapan sengaja ditunda pengeluarannya guna mendapat uang pelicin.
3. Tahap
penyusunan dan penandatangan kontrak, misalnya: terjadi penandatangan kontrak
yang tidak dilengkapi dengan dokumen pendukung (dokumen fiktif); penandatangan
kontrak yang ditunda-tunda, karena jaminan pelaksanaan yang belum ada.
4. Tahap
pelaksanaan kontrak dan penyerahan barang dan jasa, misalnya terjadi pada
penyerahan barang, barangnya tidak sesuai dengan spesifikasi atau volume
sebagaimana dalam dokumen tender, pengawas tidak melaksanakan pengawasan secara
benar dan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dilakukan penyedia barang.
Potensi
terjadinya tindak pidana korupsi dari pengadaan barang dapat terjadi mulai
tahap persiapan sampai tahap pelaksanaan kontrak pengadaan barang dan jasa
berdasarkan UU 31/1999 jo UU 10/2001 setidak-tidaknya dapat diidentifikasikan
ke dalam 7 (tujuh) bentuk tindak pidana korupsi, diantaranya: 1. Merugikan
keuangan negara dengan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang (Pasal 2 dan Pasal 3); 2. Suap
(Pasal 6, 11, 12 huruf a, b, c, d dan Pasal 13); 3. Penggelapan dalam
jabatan (Pasal 8 dan Pasal 10); 4. Pemerasan (Pasal 12 huruf e, f, g); 5.
Perbuatan curang (Pasal 7 dan Pasal 12 huruf h); 6. Konflik kepentingan dalam pengadaan
(Pasal 12 huruf j; dan 7. Gratifikasi (Pasal 12 B dan Pasal 12 C).
III.
Kasus korupsi dalam pengadaan barang dan
jasa, pada umumnya para pelaku didakwa melakukan perbuatan sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999, yaitu a. secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dan b. dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada jabatan atau
kedudukan.
Pengaturan
tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999, ada kesamaan dalam
rumusannya yaitu mengenai keuangan negara atau perekonomian negara, dan
perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 3 UU 31/1999
tidak disebutkn secara eksplisit sebagaimana dalam rumusan Pasal 2 UU 31/1999,
namun demikian perbuatan melawan hukum itu melekat secara in heren dalam unsur perbuatan: menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Unsur
melawan hukum pada Pasal 2 UU No. 31/1999 berdiri sendiri atau disebut bestanddelen, sedangkan unsur melawan
hukum dalam Pasal 3 UU 31/1999 yang terbenih atau tersirat (inhaeren) disebut element.
Perbedaan lain antara Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999 yaitu dalam Pasal 2 UU
31/1999 disebutkan unsur “memperkaya diri sendiri” sedangkan Pasal 3 UU 31/1999
disebutkan unsur “menguntungkan diri sendiri”. Unsur “memperkaya diri sendiri”
atau “menguntungkan diri sendiri” pada dasarnya ditujukan pada suatu perbuatan
yang menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan negara, atau
mengutamakan kepentingan pelaku di atas kepentingan negara, yang perbuatan
tersebut dapat berakibat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Kata
“dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam rumusan Pasal
2 dan Pasal 3 UU 31/1999, menunjukkan bahwa kata “dapat” sebelum frasa
“merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 31/1999 dan Pasal 3 UU 31/1999
merupakan tindak pidana formil, yaitu adanya tindak pidana cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan (Pasal 2 UU 31/1999
yaitu secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang
lain atau suatu korporasi; Pasal 3 UU 31/1999 yaitu menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi). Kerugian
keuangan atau perekonomian negara dalam tindak pidana korupsi merupakan akibat
dari perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh
pelaku, sehingga walaupun belum dapat dipastikan adanya kerugian negara atau
perekonomian negara akan tetapi unsur-unsur Pasal 2 UU 31/1999 atau Pasal 3 UU
31/1999 telah terpenuhi, maka perbuatan tersebut sudah merupakan tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU 31/1999 atau Pasal 3 UU 31/1999.
Menjadikan unsur kerugian negara
sebagai unsur yang perlu dibuktikan dalam tindak pidana korupsi, sehingga
dengan dikembalikannya kerugian negara oleh pelaku dijadikan pertimbangan untuk
menghentikan penyidikan atau penuntutan merupakan suatu kekeliruan. Oleh
karena, berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU 31/1999 dinyatakan bahwa pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal
3. Ketentuan Pasal 4 UU 31/1999 ini juga
makin membuktikan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana formil.
IV.
Pengkajian mengenai pertanggungjawaban
jabatan dan pertanggungjawaban pribadi dalam hal pelaksanaan pengadaan barang
dan jasa, akan terkait dengan kapan seorang pejabat terbukti sebagai melakukan
penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa menjadi pertanggungjawaban
jabatan dan kapan ia menjadi pertanggungjawaban pribadi.
Pertanggungjawaban
jabatan merupakan tanggungjawab menurut hukum yang dibebankan kepada
negara/pemerintah atas kesalahan atau akibat dari tindakan jabatan. Sedangkan pertanggungjawaban
pribadi merupakan pertanggungjawaban pidana yakni tanggungjawab menurut hukum
yang dibebankan kepada seseorang dalam atas kesalahan atau akibat dari
perbuatannya secara pribadi.
Secara
hukum administrasi, parameter pertanggungjawaban jabatan yaitu asas legalitas
(keabsahan) tindakan pejabat, dan persoalan legalitas tindakan pejabat
berkaitan dengan pendekatan kekuasaan. Legalitas tindakan pejabat bertumpu pada
wewenang, prosedur dan substansi. Setiap tindakan pejabat (termasuk dalam hal
pengadaan barang dan jasa) harus bertumpu pada wewenang yang sah. Kewenangan
tersebut diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi (kewenangan yang
dietapkan oleh peraturan perundang-undangan bagi Badan atau Pejabat
Pemerintahan), delegasi (bersumber dari pelimpahan), dan mandat (bersumber dari
penugasan).
Pertanggungjawaban
pribadi merupakan pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan pendekatan
fungsionaris atau pendekatan pelaku. Pertanggungjawab pribadi atau
tanggungjawab pidana ini berkaitan dengan malaadministrasi dalam penggunaan
wewenang maupun public service. Parameter
pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld). Sehingga, berkaitan dengan tindak pidana
korupsi dalam pengadaan barang dan jasa yang menjadi parameternya adanya pertanggungjawaban
pidana dalam pengadaan barang dan jasa yaitu melakukan perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) dan melakukan
penyalahgunaan wewenang (detournement de
pavoir). Penyalahgunaan wewenang hanya dapat dilakukan oleh pejabat dan
badan pemerintah.
Jabatan
merupakan suatu lingkungan pekerjaan tetap yang diadakan dan dilakukan untuk
kepentingan negara (kepentingan umum). Tiap jabatan merupakan pekerjaan tetap
yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi yang diberi nama negara.
Jabatan sebagai subyek hukum (persoon), yakni pendukung hak dan kewajiban
(suatu personifikasi), sehingga jabatan itu dapat melakukan tindakan hukum (rechshandelingen).
V.
Pengadaan barang/jasa selalu dipertanyakan
mengenai: “apakah pengadaan barang/jasa dilaksanakan secara sewenang-wenang”
dan “apakah pelaksanaan pengadaan bawang/jasa telah sesuai dengan tujuannya”.
Pertanyaan pertama berkaitan dengan tindakan sewenang-wenang (willekeur) dan pertanyaan kedua
berkaitan dengan tindakan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir). yakni tidak terpenuhinya syarat legalitas
(prosedur, wewenang, dan substansi) menghakibatkan cacat yuridis pengadaan
barang/ jasa.
Wewenang
dan substansi merupakan landasan bagi legalitas formal dalam pelaksanaan dalam
pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Oleh sebab itu, dengan bertumpu kepada asas praesumptio iustae causa (gugat
tidak memnunda atau menghalani dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tatat Usaha Negara yang
digugat), maka setiap gugatan atas tindakan PPK yang berkenaan dengan keputusan
pemenang tender misalnya, tidak menghalangi dilaksanakannya keputusan pejabar
yang memutuskan pemenangan tender yang digugat. Asas Presumptio iustea causa telah dinormakan
dalam Pasal 67 ayat (1) UU no.5 Tahun 1986.
Ketentuan
Pasal 53 ayat (2) huruf d UU No. 5 Tahun 1986 juncto UU No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
telah ditentukan parameter penyalahgunaan wewenang yang meliputi: a. bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan; b. bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Yang dimaksud dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf B
UU No5 Tahun 1986 juncto UU No. 9
Tahun 2004 adalah meliputi asas: Kepastian hukum; Tertib penyelenggaraan
negara; Keterbukaan; Proporsionalitas; Profesionalitas; Akuntabilitas.
Menentukan ada atau tidaknya kesalahan
terdakwa dalam tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa, tidak saja
ditinjau dari aspek hukum pidana, tetapi juga harus ditinjau dari aspek hukum
administrasi. Dalam hukum administrasi, kesalahan jabatan menjadi pertanggungjawaban
jabatan, dan kesalahan pribadi menjadi pertanggungjawaban pribadi, kesalahan
pribadi adalah tanggung jawab pidana. Apabila terjadi kesalahan maka kesalahan
itu merupakan kesalahan jabatan dan pada gilirannya adalah menjadi pertanggungjawaban
jabatan. Pertanggungjawaban pidana adalah tanggung jawab pribadi. Apa yang
dilakukan terdakwa, tidak termasuk tindakan maladministrasi. Pejabat Negara
yang mengemban wewenang Pemerintahan pada dasarnya tunduk pada norma hukum
administrasi. Dari hukum administrasi ada 3 (tiga) isu yang perlu ditelaah
yaitu isu keadaan darurat, isu kewenangan diskresioner (discretionary power), dan isu penyalahgunaan wewenang.
VI.
Secara melawan hukum berdasarkan penjelasan
pasal 2 ayat (1) UU 31/1999, mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti
formiel maupun dalam arti materiel, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak
diatur didalam peraturan perundangundangan, namun apabila perbuatan tersebut
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sesuai dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau
perekonomian negara” menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik
formiel, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya
unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Dalam literatur hukum pidana, “melawan
hukum” diartikan beda-beda seperti bertentangan dengan hukum, bertentangan
dengan hak orang lain, tanpa hak.(in
strijd met het objective recht, in strijd met het subjective recht van een
ander, zonder eigenrecht).
Schaffmeister
et.al membedakan pengertian “melawan hukum” kedalam 4
(empat) kelompok, yaitu: Sifat melawan hukum umum; Sifat melawan hukum khusus; Sifat
melawan hukum formal; Sifat melawan hukum materiel.
Sifat melawan hukum umum diartikan
sebagai syarat umum untuk dapat dipidana
yang tersebut didalam rumusan pengertian perbuatan pidana. Perbuatan pidana
adalah kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum
dan dapat dicela. Misalnya Pasal 3 UU PTPK tidak ada “melawan hukum: sebagai
bagian inti (bestanddeel) delik,
karena “menyalahgunakan wewenang” dengan sendirinya “melawan hukum”.
Terkait dengan sifat melawan hukum
khusus, ada kalanya kata “bersifat melawan hukum” tercantum secara tertulis
dalam rumusan delik. Jadi sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk
dapat dipidana. Misalnya pasal 2 UU PTPK yang secara tegas mencantumkan
“melawan hukum” sebagai bagian inti (bestanddeel)
delik. Dengan demikian, “melawan hukum” harus tercantum didalam surat dakwaan
sehingga harus dapat dibuktikan adanya “melawan hukum”.
Setelah putusan MK tanggal 24 Juli 2006
No.003/PUU-IV/2006, membawa konsekuensi legis terhadap pengertian “melawan
hukum” dalam UU 31/1999. Semula pengertian “melawan hukum” dalam tindak pidana
korupsi adalah mencakup pengertian melawan hukum formiel dan materiel menjadi
pengertian melawan hukum formiel saja.
Dalam UU 31/1999 maupun UU No. 10/2001, tidak
ada keterangan atau penjelasan mengenai arti “memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi”. Untuk menelaah dari sudut pandang bahasa,
“memperkaya, ...” berasal dari suku kata “kaya”. “Kaya” artinya mempunyai harta
yang banyak atau banyak harta. “Memperkaya” artinya menjadikan lebih kaya.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan No. 144/ Pid.B/ 1987 tangal 23 april 1988 dalam ratio decendi-nya menyatakan bahwa hasil tindak pidana korupsi yang
dipergunakan untuk membayar utang dan biaya pergi berkeliling ke Eropa adalah
memenuhi unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain”.
Putusan MA-RI No. 241 K/Pid/1987 tanggal
21 Januari 1989, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa hasil tindak pidana
korupsi yang dipergunakan membeli tanah dan membangun Kantor KUD adalah
memenuhi unsur “memperkaya suatu korporasi”.
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No.
8/Pid/B/1992/PN/TNG tanggal 13 Mei 1992 dalam ratio decendi nya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
“memperkaya” adalah menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang
yang sudah kaya bertambah kaya.
Dengan demikian, untuk dapat dikatakan
“memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 UU
PTPK diisyaratkan bahwa perolehan atau penambahan kekayaan itu harus nyata ada.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU
PTPK dinyatakan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara” menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan
delik formiel, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya
unsur-unsur perbuatan yang sudah dapat dirumuskan bukan dengan timbulnya
akibat.
Kerugian keuangan atau perekonomian
negara dalam suatu kasus korupsi merupakan suatu akibat dari perbuatan melawan
hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pelaku, sehingga
meskipun belum dapat dipastikan adanya kerugian negara atau perekonomian negara
akan tetapi unsur-unsur pasal telah terpenuhi, maka perbuatan tersebut sudah
merupakan perbuatan korupsi.
Keuangan negara dalam penjelasan umum UU
31/1999, dinyatakan sebagai seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak
dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak
dan kewajiban yang timbul karena: a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban pejabat Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; b.
berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang
menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan Perekonomian Negara adalah
kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada
kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan
manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada Seluruh kehidupan masyarakat.
Berdasarkan
Pasal 1 angka (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (UU 17/2003)
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Selanjutnya, Pasal 2 UU 17/2003 mengatur bahwa yang termasuk keuangan negara,
meliputi: a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman; b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas
layanan umum pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c.
Penenrimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah, f. Pengeluaran
Daerah; g. Kekayaan Negara/Daerah yang dikelola sendiri atau oleh orang lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaan daerah; h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah
dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i.
Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah.
VII.
Konsep petanggungjawaban jabatan dan pertanggungjawaban
pribadi dalam pengadaan barang dan jasa adalah sangat penting. Karena, kedua
konsep tersebut berimplikasi terhadap pertanggungjawaban pidana, tanggung gugat
perdata dan tanggung gugat tata usaha negara (TUN). Oleh sebab itu, parameter untuk menilai pertanggungjawaban
jabatan (PA, KPA, PPK, atau Panitia Pengadaan) adalah penggunaan wewenang.
Keabsahan (legalitas) penggunaan wewenang – pengadaan barang dan jasa –
bertumpu kepada wewenang, prosedur, substansi tindakan pejawabt (PA, KPA, PPK,
atau Panitia Pengadaan) merupakan tangung jawab jabatan. Pertanggungjawaban
jabatan melahirkan tanggung jawab gugat pemerintah/ negara. Sedangkan parameter
untuk menilai pertanggungjawaban pribadi pejabat (PA, KPA, PPK atau Panitia
Pengadaan) adalah tindakan maladministrasi dalam penggunaan wewenang. Tindakan
maladministrasi pejabat merupakan pertanggungjawaban pribadi. Pertanggungjawaban
pribadi melahirkan pertanggungjawaban pidana.
Parameter perbuatan melawan hukum dalam
tindak pidana korupsi – pengadaan barang dan jasa adalah melanggar
undang-undang. Sedangkan parameter penyalahgunaan wewenang tindak pidana
korupsi – pengadaan barang dan jasa adalah tujuan yang melekat pada wewenang tersebut
(asas spesialitas).
Kepustakaan:
Amiruddin,
2010, Korupsi dalam Pengadaan Barang dan
Jasa, Genta Publishing, Yogyakarta.
Herlambang,
2013, Tindak Pidana Penerima Hasil
Korupsi, IPB Press, Bogor.
Komariah
Emong Spardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum
Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan
Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung.
Nurdjana,
IGM, 2010, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya
Laten Korupsi: “Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Romli
Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah
Korupsi: Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung.
Menarik sekali tulisan ini, bisa shering.
BalasHapusBoleh 🤝
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus