Kamis, 11 November 2010

REFLEKSI HUKUM


REFLEKSI HUKUM
Oleh: Alvi Syahrin, Prof.Dr.MS.SH.
A.           Pendahuluan

          Perkembangan terakhir saat ini, masyarakat mulai menilai kembali komitmennya terhadap tujuan hukum dan struktur-struktur birokratis serta struktur-struktur hukum yang tergabung di dalamnya.
          Sistem hukum yang formal rasional menciptakan dan menerapkan seperangkat aturan umum, hukum yang rasional formal dan menyandarkan diri pada sejumlah ahli hukum yang menggunakan penalaran hukum yang khas guna memecahkan konflik-konflik yang terjadi.
          Untuk meningkatkan pemahaman terhadap hukum responsif terlebih dahulu perlu memperhatikan masalah bagaimana integrasi normatif dapat terjadi dalam masya-rakat modren, terutama dalam hal terjadinya konflik rasionalitas dari sub-sub sistem yang sudah terspesialisasi.
          Terjadinya konflik dalam konteks evolusi hukum dapat diinterpretasikan sebagai suatu yang saling meleng-kapi satu sama lain, misalnya antara sub-sub sistem politik, ekonomi dan kultural yang berbeda-beda satu sama lain.
          Selanjutnya, di dalam kapitalis yang terorganisasi memiliki ciri-ciri adanya serangkaian krisis terus menerus di antara sub-sub sistem yang berbeda. Krisis ekonomi diselesaikan melalui campur tangan negara. Campur tangan negara akan membawa pada krisis lainnya, seperti krisis dalam sistem politik. Kondisi ini memunculkan masalah legitimasi politik yang mengakibatkan adanya politisasi sistem kultural. Krisis kultural ini akan dapat diselesaikan dengan melakukan perubahan-perubahan mendasar dalam struktur-struktur normatif.
          Uraian di atas menunjukkan bahwa krisis tentang rasional legal formal sangat erat berkaitan dengan fenomena eksternal dan keadaan ini menimbulkan suatu paham tentang intervensi negara modern.

         
B.       Intervensi negara dan krisis yang ditimbulkannya

Hukum saat ini mengembangkan rasionalitas substansinya yang bercirikan: kekhususan, orientasi pada hasil pendekatan sosial sebagai alat dan meningkatkan legalisasi proses sosial yang dahulunya otonom.
          Kecenderungan ke arah hukum yang substantif menghadapi keterbatasannya yang ditimbulkan oleh tiga krisis yang saling berhubungan yang secara tajam membatasi potensial dari rasionalitas substantif  hukum, dan politik.
          Intervensi negara berhadapan dengan krisis rasio-nalitas yang disebabkan adanya kompleksitas proses-proses sosial, ekonomi dan batas-batas pengetahuan tentang mekanisme-mekanisme pengawasan hukum, politik.
          Krisis yang pertama yaitu krisis rasionalitas berupa program intervensi negara. Terjadinya intervensi negara disebabkan oleh kompleksitasnya proses-proses sosial ekonomi, pertentangan perintah dalam memanajemen krisis ekonomi dan keterbatasan pengetahuan tentang mekanisme pengawasan hukum dan politik. Kondisi ini dapat dijelaskan dengan melihat jenis-jenis mekanisme kontrol intervensionis yang diciptakan.
Selanjutnya, struktur hukum dan birokratis tidak dapat masuk ke dalam model-model realitas sosial guna memecahkan secara efektif terhadap timbulnya krisis manajemen ekonomi maupun tantangan-tantangannya yang serupa. Keadaan ini akan menjadi ancaman bagi integritas dan dapat membahayakan integritas sosial serta kemungkinan-kemungkinan untuk rasionalisasi substantif di bidang hukum dan politik.
Krisis rasionalistas di atas, menimbulkan masalah kedua yaitu krisis legitimasi dalam kapitalisme yang terorganisasi. Pertumbuhan kekuatan monopoli dan meningkatnya peran negara dalam manajemen ekonomi menyebabkan mekanisme pasar kehilangan kekuatannya sebagai instrumen untuk melegitimasi apa yang telah digambarkannya sebagai akibat distributif yang dijustifikasi secara alamiah.
Akibat intervensi negara dalam mengambil alih tanggung jawab substitusi dari politik pasar dan kompensasi pasar menyebabkan: sistem politik menjadi sangat tergantung pada loyalitas masyarakat dalam mengambil keputusan politik ekonominya, dan terbatasnya produksi ideologi-ideologi politik yang diakibatkan oleh resistensi (daya tahan) yang dimiliki oleh struktur-struktur normatif.
          Rasionalitas yang discursive timbul disebabkan proses-proses evolusioner otonom dibidang normative, oleh karena berdasarkan teori tentang legitimimasi politik bahwa perkembangan yang tidak dapat diubah dalam bidang normatif menjadikan prinsip-prinsip modren tentang legitimasi haruslah prosedural, artinya persyaratan-persyaratan formal dari justifikasi itu sendiri memperoleh kekuatan yang syah.
          Selanjutnya Nonet dan Selznick mengemukakan bahwa hukum yang responsif membutuhkan partisipasi politik yang luas dalam desain ulang institusional yang menjamin terwakilnya berbagai kepentingan dalam organisasi inti yang terdapat dalam masyarakat.
          Namun demikian, suatu hukum yang responsif melibatkan rasionalitas refleksif guna mengatasi masalah legitimasi dalam masyarakat post modren. Dalam hal hukum responsif didasarkan pada ekspansi/perluasan dari rasionalitas substantif maka ia akan menghadapi batas-batas yang ditentukan oleh krisis rasionalitas, legitimasi dan motivasi.
          Komponen rasionalitas refleksif merupakan titik yang kuat dalam hukum responsif. Rasionalitas rekleksif dalam hukum mentaati suatu logika legitimasi prosedural. Orientasi ini menggambarkan prinsip operasional yang muncul dalam masyarakat modren.
          Hukum dapat dibedakan sebagai “medium” dan sebagai “institusi”. Sebagai medium, hukum merupakan suatu proses penentu sosio teknologis yang mandiri (inde-penden) yang menggantikan struktur-struktur komunikatif yang terdapat dalam dunia kehidupan sub-sub sistem sosial yang sesuai dengan kriterianya sendiri. Selanjutnya, hukum sebagai institusi berfungsi sebagai konstitusi eksternal untuk bidang-bidang reproduksi sosialisasi, integritas sosial dan kultural. Namun demikian, hukum yang berfungsi sebagai institusi lebih bersifat memudahkan dan bukan menghambat terjadinya proses-proses self regulatory dari komunikasi dan pembelajaran.


C.       Hukum dipengaruhi oleh diferensiasi fungsional masyarakat
         
          Diferensiansi fungsional masyarakat mempengaruhi sub-sub sistem yang sudah terspesialisasi guna mengem-bangkan rasionalitas spesifiknya sampai pada tingkat ter-tentu  sehingga terjadi konflik-konflik mendasar tidak terelakkan. Konflik-konflik tersebut misalnya:
-          Dalam krisis motivasi dimana antara logika intervensionisme negara dan logika perkem-bangan kultural (budaya) tampak sebagai sesuatu yang terpinggirkan;
-          Pertentangan antara struktur-struktur sosial universal (ekonomi, ilmu pengetahuan) dan struktur politik, hukum yang terikat secara teritorial;
-          Pertentangan antara perencanaan saintifik de-ngan pengawasan produksi ekonomi;
-          Pertentangan antara kebutuhan-kebutuhan sementara dari interdependensi sosial dengan proses-proses pendidikan yang berkembang lambat dan institusional.
Berkaitan dengan hukum yang responsif memun-culkan suatu krisis tentang rasionalitas legal formal dan menimbulkan suatu pertanyaan: “Bagaimana sistem hukum berpartisipasi dan bereaksi terhadap proses-proses sekuler dari deferensiasi fungsional?
Pemikiran tentang hukum otonom dalam pengertian Nonet dan Selznick menunjuk pada perubahan-perubahan yang krusial dari diferensiasi fungsional yaitu meningkatnya otonomi sistem hukum, terpisahnya sistem hukum dari struktur  moral dan saitifik, dan kemandirian relatifnya dari proses-proses politik.
Dalam perkembangan di atas memunculkan gambaran-gambaran tentang formalitas hukum, yakni orientasi pada kaedah yang ketat, penalaran profesional (buatan) dan pengutamaan prosedur. Krisis hukum otonom ini terjadi karena hukum khususnya dalam struktur-struktur konseptualnya belum menyesuaikan diri dengan urgensi masyarakat yang sudah sangat terdiferensiasi, hal ini disebabkan:
-          doktrin hukum masih terikat pada model hukum klassik, yaitu: hukum adalah seperangkat kaidah yang dapat dipaksakan berlakunya melalui proses pengadilan,.
-          kekurangan dalam sumber daya manusia konseptual yang memiliki kemampuan untuk melakukan perencanaan, dan
-          kekurangan konsep guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan kebijaksanaan sosial dalam timbulnya hubungan antar berbagai sub sistem sosial yang telah terspesialisasi.
Pembaharuan hukum melalui bidang ilmu penge-tahuan, moral dan politik akan merusak rasionalitas yuridis, karena rematerialisasi hukum tidak dapat menghindarkan adanya krisis rasionalitas dalam sistem politik hukum, sebab berbagai sub-sub sistem sosial dalam suatu masyarakat yang terdeferensiasi secara fungsional telah mengem-bangkan diri sampai ketingkat “kompleksitas internal”, sehingga tidak satupun dari bidang-bidang ilmu penge-tahuan, ekonomi, moral atau hukum secara sendiri-sendiri mampu bersama-sama dapat mengembangkan kemampuan kontrol yang diperlukan.
Dengan demikian, jika dimensi substantif dari hukum responsif menjadi gambaran dominan tentang tata hukum modren, maka hasilnya akan menjadi suatu de-diferensiasi masyarakat yang mundur dan bukannya menjadai re-integrasi.
Untuk mencapai integrasi dalam kondisi diferensiasi fungsional, berbagai sub sistem yang berbeda harus saling mendukung. Sub-sub sistem itu tidak hanya  memenuhi fungsinya secara memadai, melainkan berdiri dalam suatu hubungan yang berarti bagi kesesuaiannya dengan fungsi dan struktur dari sistem-sistem lain, dimana mereka membentuk lingkungannya.

D.      Pengembangan Hukum responsif

Diferensiasi  fungsional  membutuhkan pemindahan mekanisme yang integratif di mulai dari  level  masyarakat  ke levelsub sistem–sub sistem. Selanjutnya, integrasi  sosial  yang  terpusat akan dikesampingkan  secara efektif, dan integrasi sosial ini tidak dapat  dicapai  melalui  mekanisme-mekanisme  hukum,  ekonomi,  moral, maupun  ilmu.
Suatu  cara  integrasi  yang  terdesentralisasi  tidak dapat dihindarkan,  karena  untuk  memaksimalkan  rasionalitas satu  sub  sistem  berarti  menciptakan  masa-lah  yang  tak  terselesaikan  dalam  sistem-sistem  fungsional  yang  lain.  Untuk  menghindarkan  hal  ini, batasan-batasan  yang  berhubungan  harus  dibuat  kedalam  struktur  bayangan  setiap  sub  sistem  fung-sional. Struktur bayangan ini bukan merupakan hal yang langsung dihasilkan dari hubungan yang sedang berlangsung dengan lingkungannya.
Struktur bayangan  merupakan kunci  untuk  me-nentukan  bagaimana  hukum  responsif  dapat  memainkan  peran  pentingnya dalam  masyarakat  yang  terdiferensiasi  secara  fungsional. 
Menurut Luhman,  setiap  sub  sistem  terbuka  bagi  tiga  orientasi  yang  berbeda, antara lain: 1)  kearah  keseluruhan  sistem  sosial  dalam  istilah  fungsinya ;  2)  kearah  subsistem  masyarakat  lainnya  dalam  istilah  ‘performance  input  dan  output’ ;  dan  3)  kearah  dirinya  sendiri,  dalam  istilah  ‘reflexion’.  Bila  orientasi  ini  tidak  sesuai,  maka  bisa  menimbulkan masalah.  
Orientasi-orientasi  di atas tidak  dapat  dimasukkan  dalam  suatu  tujuan  bersama.  Dalam  sistem  politik, mi-salnya, ada  suatu  tegangan  yang  melekat  antara  fungsi  sosial  (formulasi  dan  eksekusi  keputusan-keputusan  yang  mengikat)  dan  performance  (menjaga  sumber-sumber  kekuasaan  dan  promosi  legitimasi)  yang  hanya  dapat  diperbaiki  secara  internal  melalui  proses  refleksi  politik  (dengan  menfokuskan  pada  politik, serta  memberi  batasan terhadap  apa  yang  dapat  dilakukan  atas  nama  keputusan  dan  pemeliharaan  kekuasaan. 
Tugas  struktur-struktur  refleksi  dalam  setiap  sub sistem sosial  adalah  menyelesaikan  konflik  antara  fungsi  dan performance  dengan  membuat  batasan-batasan  internal  terhadap  sub sistem  yang  bersangkutan,  sehingga  mereka  cocok  sebagai  komponen  lingkungan  dari  sub-sub  sistem  lainnya.
Dari contoh di atas dapat dikatakan bahwa: refleksi  harus  menjadi  perantara  antara  performance  dan  fungsi,  karena  bagi  sub sistem,  masyarakat  mewakili  sistem  yang  ada  dan  lingkungan  sosial”.  Dengan  mengadakan  rekonsiliasi  ketegangan  antara  fungsi  dan  performance  (pelaksanaan),  maka  struktur  refleksi  dalam  sub sistem  sosial  menjadi  mekanisme-mekanisme  integrasi  utama  dalam  masyarakat  yang  terdiferensiasi  secara  fungsional.  Dari  perspektif ini,  hukum  responsif  diperlukan  mengembangkan  ‘dimensi-dimensi  refleksifnya  jika  akan  bekerja  sebagai  mekanisme  interaktif. 


E.       Hukum responsif yang reflektif

Interpretasi terhadap teori Nonet dan Selznick menjadikan untuk mengidentifikasikan suatu hubungan penting antara konsep prosedural tentang legitimasi dan teori tentang refleksi sistem internal.
Sebelum  mengkaji  peran  hukum  refleksif  dalam  sub sistem  lain  terlebih dahulu dikaji  peran  refleksi  dan  batas-batas  yang  dibuatnya  dalam  sistem  hukum.  Hal  ini  sangat  mudah  dilihat  dengan  mempertimbangkan,  bagaimana  tiga  tipologi  (fungsi, pelaksanaan dan  refleksi)  diterapkan  pada  sistem  hukum.  Fungsi  hukum  dapat  didefinisikan  sebagai  kemampuannya  untuk  memberi  generalisasi  yang  sesuai  dengan  harapan  seluruh  masyarakat.  Pelaksanaannya  untuk  menyele-saikan  konflik  yang  ditimbulkan  dalam  sub-sub  sistem  sosial  dan  konflik-konflik yang  tak  dapat  dipecahkannya.
Dalam mengatasi konflik-konflik tersebut tidak cukup dengan menetapkan norma yang general, karena dalam proses penyelesaian konflik menghasilkan norma-norma yang tidak dapat digeneralisasikan secara memadai.
Peran refleksi hukum untuk mendamaikan konflik-konflik/ketegangan yang elekat antara fungsi dan pelak-sanaan dengan menetapkan batasan-batasan internal terhadap kapasitas sistem hukum.
Hukum dapat mengatasi konflik-konflik yang ada dengan menetapkan batasan-batasan terhadap dimensi pelaksanaan hukum dengan bentuk-bentuk kontrol sosial yang secara tidak langsung dan lebih abstrak. 
     Hubungan struktural antara norma-norma hukum dan struktur kesempatan dalam sub-sub sistem sosial merupakan hal yang krusial. Rasionalitas hukum substantif tidak mampu memperhatikan hal tersebut, sebab struktur-struktur sosial tidak selalu atau tidak mudah untuk tunduk pada pengaturan hukum, sehingga hukum sebagai medium negara kesejahterahan tidak efektif atau bisa efektif jika (harus) dibayar dengan merusak tatanan kehidupan sosial.
     Dengan demikian, suatu orientasi refleksif tidak mempertanyakan apakah masalah sosial yang harus ditanggapi hukum atau tidak, akan tetapi berusaha untuk mengidentifikasi struktur-struktur peluang yang mengizinkan pengaturan hukum mengatasi masalah-masalah sosial tanpa merusak nilai-nilai tatanan kehidupan sosial.
     Hukum sebagai “medium” pedoman kemasyarakatan walaupun akan membahayakan struktur-struktur komuni-katif dengan bidang-bidang kehidupan sosial yang dilegalkan namun hukum sebagai “institusi” yang berakar pada moralitas inti dari suatu masyarakat dapat mempermudah proses komunikatif dengan menjamin “konstitusi eksternal” dari bidang sosial yang terstruktur secara komunikatif.
     Hukum sebagai konstitusi eksternal “dapat mendu-kung proses-proses pembuatan keputusan yang terputus-putus dan prosedur yang berorientasi pada konsensus hasil negosiasi dan pengambilan keputusan. Dalam hal ini hukum bertindak dengan cara menetapkan norma-norma tentang prosedur, organisasi dan kompetensi yang membantu sistem-sistem sosial lainnya dalam mencapai kemandirian dari demokrasi dan pengaturan hukum. Dan kondisi tersebut merupakan jantung dari legitinasi prosedual.
     Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa hukum refleksif tidaklah sewenang-wenang menentukan fungsi-fungsi sosial dari sub-sub sistem lain dan tidak juga mengatur pelaksanaan input dan outputnya, namun memelihara mekanisme-mekanisme yang secara sistematis ditujukan untuk mengembangkan struktur-struktur refleksi dan sub-sub sistem sosial lainnya.
     Selanjutnya, mengingat adanya diferensiasi fung-sional dalam sistem sosial maka tidak lagi dapat berharap adanya struktur-struktur legitinasi yang universal yang merupakan suatu moralitas diskursus yang dapat ditetapkan secara umum atau suatu prosedur refleksi bersama, misalnya dalam prasyarat legal untuk refleksi dibidang ekonomi, politik akan berbeda dengan apa yang diperlukan oleh sistem pendidikan.
     Dengan demikian, hukum  harus  bertindak  pada  level  spesifik  subsistem  tersebut  untuk  memasukkan,  mengoreksi,  dan  mendefinisikan  ulang  mekanisme-mekanisme  self-regulatory,  dan  menetapkan  premis-premis  struktural  bagi  keputusan  di masa  mendatang  dalam  istilah-istilah  tentang  organisasi, prosedur, dan kompetensi. Hasil spesifik  dari  sub-sub  sistem  lain  akan  dipengaruhi  oleh  peran  hukum  dalam  menetapkan  parameter  untuk  pengambilan  keputusan,  tetapi  hasil-hasil  tersebut  tidak  akan  menjadi  perintah-perintah  hukum,  karena  hukum  tidak  telah  menentukannya.


F.       Penutup
         
Visi  tentang  tertib  hukum yaitu  hukum  mewujudkan  orientasi  refleksifnya  sejauh  ia  menetapkan  premis-premis  struktural  bagi  proses-proses  refleksif  dalam  sub-sub  sistem  sosial  lainnya.  Inilah  yang  merupakan  fungsi  integratif  dari  hukum  responsif  saat  ini.             


Kepustakaan:

Allot, Antony, 1980, The limits of Law, Butterworths, London.
Aubert, Vilhelm, In Search of Law, Martin Robertson, Oxford.
Dias, 1980, Jurisprudence, Butterworth, London.
Gurvitch, Georges, 1988, Sosiologi Hukum, Bhratara, Jakarta.
Hall, Jerome, 1973, Fundations of Jurisprudence, The Bobbs-Merrill Company, Inc, New York.
Podgorecki, Adam, 1987, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, (ed.) PT. Bina Aksara, Jakarta.
Ritzer, George, Contemporary Sociological Theory, Alfred A Knopf, New York..
Teubner, Gunther, 1997, Global Law Without a State, (ed.) Dartmouth, USA.
Tie, Warwick, 1999, Legal Pluralis: toward a multicultural conception of law, Dartmouth Publishing Company Limited, Ashgate Publishing Ltd, England.
Unger, Roberto Mangabeira, 1976, Law in Modren Society: Toward a Criticism of Social Theory, The Free Press, Adivision of Macmillan Publishing Co. Inc, New York.
Zaper, M.R., 1994, Jurisprudence an outline, International Law Book Series, Genting maksud dan Raya SDN BHD, Kuala Lumpur.


Tulisan ini merupakan bagian dari buku: BEBERAPA MASALAH HUKUM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar