Senin, 01 Desember 2014

Pertanggungjawaban pidana bagi kasus pidana lingkungan hidup

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM PENERAPAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
BAGI KASUS-KASUS PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

Oleh:

Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS.
Fadlielah Hasanah, SH. MH.


I.   Hukum Pidana Indonesia, saat ini berorientasi pada “tiga masalah pokok”, yaitu ”tindak pidana”, ”pertanggungjawaban pidana”, dan ”pidana dan pemidanaan”. Pembagian permasalahan Hukum Pidana tersebut merefleksikan bahwa Hukum Pidana berdasarkan pandangan dualistis, artinya: dipisahkannya antara “tindak pidana” dengan “pertanggungjawaban pidana”. Pemisahan antara “tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana”, akan menjadikan adanya pemisahan mengenai ketentuan tentang ”alasan pembenar” dan ”alasan pemaaf”. Alasan pembenar ditempatkan dalam ”tindak pidana”, dan ”alasan pemaaf” ditempatkan ”Pertanggungjawaban Pidana”.
   Pemisahan “tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” menurut Barda Nawawi, di samping merupakan refleksi dari pandangan dualistis juga sebagai refleksi dari ide keseimbangan antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu/perseorangan, keseimbangan antara ”perbuatan” (”daad”/actus reus”, sebagai faktor objektif”) dan ”orang” (”dader” atau ”mensrea”/guilty mind”, sebagai faktor subjektif), keseimbangan antara kriteria formal dan material, keseimbangan kepastian hukum, kelenturan/elastisitas/fleksibilitas dan keadilan; dan keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/internasional/ universal. Dengan demikian, kita tidak hanya berorientasi semata-mata pada pandangan mengenai hukum pidana yang menitikberatkan pada ”perbuatan atau akibatnya” (Daadstrafrecht/Tatsrafrecht atau Erfolgstrafrecht) yang merupakan pengaruh dari aliran Klasik, namun harus berorientasi/berpijak pada ”orang” atau ”kesalahan” orang yang melakukan tindak pidana (Daadstrafrecht/ Tatsrafrecht/Schuldstrafrecht), yang merupakan pengaruh dari aliran Modern.
             Pertanggunganjawab pidana merupakan diteruskannya celaan yang secara objektif ada pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat dalam Undang-Undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Dengan diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan ketentuan yang berlaku dan yang secara subjektif kepada pelaku yang memenuhi syarat-syarat dalam Undang-Undang (pidana) untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu, maka timbullah hal pertanggungjawaban pidana. Dalam hal pelaku dapat dicela dengan melakukan perbuatan yang dilarang, maka ia dapat dipidana, dalam hal dapat dibuktikan kesalahannya, baik dalam arti sengaja atau tidak karena kealpaannya.

Rabu, 03 September 2014

Penegakan Hukum Lingkungan

MENDORONG PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
DI INDONESIA

Oleh: Alvi Syahrin

I.               Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum (Pasal 1:2 UUPPLH), dengan tujuan: a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan  manusia; c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j. mengantisipasi isu lingkungan global (Pasal 3 UUPPLH), yang ruang lingkupnya meliputi: a. perencanaan; b. pemanfaatan; c. pengendalian; d. pemeliharaan; e. pengawasan; dan f. penegakan hukum.

Selasa, 19 Agustus 2014

Meminta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

MEMINTA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI 


Oleh: Alvi Syahrin


Akhir-akhir ini muncul kritikan bahwa perkembangan diterapkannya pertanggungjawaban pidana korporasi telah menyebabkan ketakutan bagi para Direksi perusahaan karena mereka dapat dijutuhi hukuman pidana dalam menjalankan usahanya. Para pakar ada yang berpendapat hukuman (pemidanaan) bagi korporasi suatu kekeliruan atau sebuah kesalahan, pertanggungjawaban pidana tidak efesien dan harus dibatalkan cukup hanya menjatuhkan sanksi pidana dan meminta pertanggungjawaban kepada individu karyawan/pegawai korporasi dan agen korporasi. Akan tetapi, harus disadari bahwa korporasi bukan hanya sebagai suatu entitas fiksi belaka, namun perbuatan (usaha yang dilaksanakannya) sesuatu yang nyata dan dapat menyebabkan kerugian yang signifikan terhadap individu dan masyarakat luas.

Sabtu, 26 Juli 2014

Pertanggungjawaban pidana individu karyawan korporasi

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA INDIVIDU
KARYAWAN KORPORASI

Oleh: Alvi Syahrin


            Karyawan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi atas tindak pidana yang dilakukan  dalam lingkup pekerjaannya, dalam hal karyawan tersebut: a. merupakan pelaku langsung dalam tindak pidana, b. bertanggungjawab berdasarkan theory of accomplice liability; c. bersekongkol untuk melakukan tindak pidana atas nama korporasi; dan d. dilimpahkan kepada pejabat korporasi yang memiliki posisi yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.
           

Pertanggungjawaban pidana korporasi: Perbuatan karyawan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
ATAS PERBUATAN YANG DILAKUKAN KARYAWAN

Oleh: Alvi Syahrin


I.          Karyawan korporasi yang melakukan tindak pidana dalam lingkup kewenangannya dan perbuatan tersebut menguntungkan korporasi, maka korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan karyawannya tersebut. Karyawan dianggap bertindak dalam lingkup pekerjaannya, apabila ia memiliki atau di beri wewenang untuk melakukan perbuatan tersebut, termasuk dalam hal pihak ketiga mengakui (menyakini) bahwa perbuatan karyawan itu merupakan perbuatan yang telah mendapat kewenangan dari korporasi atas dasar kontrak (perjanjian) yang dibuat.
            

Minggu, 20 Juli 2014

Tindak Pidana dalam UUPPLH

TINDAK PIDANA DALAM UUPPLH
Oleh: Alvi Syahrin


Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) diatur dalam Bab XV, yaitu dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH.

Ketentuan Pasal 97 UUPPLH, menyatakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan. Kejahatan disebut sebagai “rechtsdelicten” yaitu tindakan-tindakan yang mengandung suatu “onrecht”  hingga orang pada umumnya memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas dihukum, walaupun tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang di dalam undang-undang. Kejahatan (rechtsdelicten) merupakan perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yaitu yang tidak tergantung dari suatu ketentuan hukum pidana, tetapi dalam kesadaran bathin manusia dirasakan bahwa perbuatan itu tidak adil, dengan kata lain kejahatan merupakan perbuatan tercela dan pembuatnya patut dipidana (dihukum) menurut masyarakat tanpa memperhatikan undang-undang pidana.

Komentar Pasal 100 UUPPLH

KOMENTAR PASAL 100 UUPPLH
Oleh: Alvi Syahrin


Ketentuan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), berbunyi: 
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimna dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan telah lebih satu kali.

Sabtu, 19 Juli 2014

Pembuktian: UUPPLH dan KUHAP

PEMBUKTIAN MENURUT UUPPLH DAN KAITANNYA DENGAN KUHAP

Oleh: Alvi Syahrin


Pembuktian merupakan suatu proses yang dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang diajukan ke pengadilan adalah benar atau tidak seperti yang dinyatakan.

Sistem pembuktian di dalam Hukum Acara Pidana menganut sistem negatif (negatief wettelijk bewijsleer) yang berarti yang dicari oleh Hakim yaitu kebenaran materil. Berdasarkan sistem pembuktian ini, pembuktian didepan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, harus memenuhi dua syarat mutlak, yaitu: alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim.

Pengertian “alat bukti yang cukup” dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”,
dan Pasal 96 UUPPLH, maka alat bukti yang cukup tersebut sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 96 UUPPLH.

Komentar Pasal 106 UUPPLH

KOMENTAR PASAL 106 UUPPLH
Oleh: Alvi Syahrin

I.          Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), berbunyi:
“Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).”.

Pasal 69 ayat (1) huruf d UUPPLH berbunyi: “Setiap orang dilarang: --- d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”.

Penjelasan Pasal 69 ayat (1) huruf d UUPPLH, berbunyi: “yang dilarang dalam huruf ini termasuk impor.”.
Penjelasan Pasal 106 UUPPLH, berbunyi: “cukup jelas”.

Komentar Pasal 105 UUPPLH

KOMENTAR PASAL 105 UUPPLH
Oleh: Alvi Syahrin


I.          Pasal 105 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) berbunyi:
“Setiap orang yang memasukkan limbah ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 12.000.000.000,00 (dua belas milyar rupiah).

Ketentuan Pasal 69 ayat (1) huruf c UUPPLH, berbunyi: “Setiap orang dilarang: ... c. Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia.”.

Penjelasan Pasal 69 ayat (1) huruf c, berbunyi: “Larangan dalam ketentuan ini dikecualikan bagi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Penjelasan Pasal 105 UUPPLH, berbunyi: “cukup jelas”.

Komentar Pasal 108 UUPPLH

KOMENTAR PASAL 108 UUPPLH
Oleh: Alvi Syahrin


I.       Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).”

Penjelasan Pasal 108 UUPPLH, berbunyi: “cukup jelas”.


Minggu, 13 Juli 2014

Pertanggungjawaban pidana korporasi

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

Oleh: Alvi Syahrin


I. Meningkatnya kejahatan korporasi menandakan kegagalan penegakan hukum pidana secara optimal. Para ahli hukum pidana terus mengembangkan konsep pertanggungjawaban pidana dalam upaya penegakan hukum tersebut. Penegakan hukum di bidang korporasi terkait dengan norma-norma perilaku perusahaan yang dikombinasikan dengan struktur tata kelola internal penegakan hukum pidana. Secara sederhana, kejahatan korporasi sebagai perilaku korporasi, atau karyawan yang bertindak atas nama korporasi, dan perilaku tersebut merupakan perilaku yang dilarang dan dikenai sanksi hukum.


Senin, 07 Juli 2014

Power point: Kota Hijau

Power point: 
            Kota Hijau
PEMBANGUNAN KOTA HIJAU (GREEN CITY)

Oleh: Alvi Syahrin


I.       Pembangunan kota saat ini lebih banyak ditentukan oleh sarana dan prasarana yang ada, kecenderungan untuk meminimalkan ruang terbuka hijau dan menghilangkan wajah alam. Lahan banyak dialihfungsikan menjadi pusat perbelanjaan (pertokoan), pemukiman, tempat rekreasi, industri dan lain-lain, yang menjadikan kota tidak lagi indah dan sejuk serta tidak terdapat lagi aspek kelestarian, keserasian, keselarasan dan keseimbangan sumberdaya alam. Sementara diketahui aspek kelestarian, keserasian, keselarasan dan keseimbangan di dalam kota akan menjadikan kenyamanan, kesegaran, terbebasnya kota dari polusi dan kebisingan serta sehat dan cerdasnya warga kota.

Minggu, 06 Juli 2014

Pertanggungjawaban pidana individual direksi

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA INDIVIDUAL DIREKSI
TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN
OLEH, UNTUK DAN ATAS NAMA KORPORASI

Oleh: Alvi Syahrin


I.       Ketentuan undang-undang di luar KUHP telah membebankan pertanggungjawaban pidana individual kepada direksi dan karyawan korporasi lainnya sebagai konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan oleh, untuk atau atas nama korporasi. Pengenaan pertanggungjawaban pidana individual direksi dan/atau karyawan korporasi sebagai konsekuensi atas terjadinya pelanggaran oleh, untuk dan atas nama korporasi dalam praktek penegakan hukum merupakan hal yang tidak mudah. Penerapan pertanggungjawaban individual tanpa penegakan hukum yang benar akan berakibat inkonsistensi dalam menerapkan tanggungjawab individual dan berujung kepada kesulitan yang berlebihan dalam penafsiran pertanggungjawaban individual dan syarat-syarat pemenuhannya.


Komentar Pasal 120 UUPPLH

Komentar Pasal 120 UUPPLH


Oleh: Alvi Syahrin


Pasal 120 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), berbunyi:
(1)   Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi.
(2)   Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Penjelasan:
Cukup jelas.



Komentar:

Ketentuan Pasal 120 UUPPLH mengatur mengenai tata cara melaksanakan eksekusi terhadap badan usaha, dalam hal badan usaha tersebut dijatuhkan pidana tambahan atau tindakan tata tertib.

Berdasarkan ketentuan Pasal 120 ayat (1) UUPPLH, dalam hal badan usaha dijatuhkan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindakan pidana, dan atau penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan atau kegiatan, dan atau perbaikan akibat tindak pidana, dan atau pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, maka pelaksanaan eksekusinya jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Instansi yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelelolaan lingkungan hidup, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup.

Berdasarkan ketentuan Pasal 120 ayat (2) UUPPLH, dalam hal badan usaha dijatuhkan pidana tindakan tata tertib berupa penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun, maka pelaksanaan eksekusinya jaksa menyerahkan kepada Pemerintah untuk mengelola badan usaha yang dijatuhkan sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pemerintah berdasarkan ketentuan UUPPLH yaitu Pemerintah Pusat. Ketentuan Pasal 1 angka (37) UUPPLH, berbunyi: Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

--o0o--

Komentar Pasal 119 UUPPLH

KOMENTAR PASAL 119 UUPPLH


Oleh: Alvi Syahrin


Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), berbunyi:
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a.     perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b.   penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c.    perbaikan akibat tindak pidana;
d.   pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Penjelasan Pasl 119 UUPPLH:
Cukup jelas.


Komentar:

Ketentuan Pasal 119 UUPPLH, sanksi pidana tambahan atau tindakan tata tertib dijatuhkan kepada badan usaha. Badan usaha disini sebagai pelaku tindak pidana. Sanksi tindakan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 119 UUPPLH hanya bersifat komplemen atau pelengkap yakni tidak ada ada bedanya dengan sanksi pidana tambahan yang bersifat fakultatif. Hal tersebut dapat di simak dari adanya kata “dapat” dalam rumusan Pasal 119 UUPPLH tersebut.

Komentar Pasal 118 UUPPLH

KOMENTAR PASAL 118 UUPPLH
Oleh: Alvi Syahrin

Ketentuan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), berbunyi:
“Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.”

Penjelasan Pasal 118 UUPPLH, berbunyi:
Yang dimaksud dengan pelaku fungsional dalam Pasal ini adalah badan usaha dan badan hukum.
Tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik tersebut. 
Yang dimaksud dengan menerima tindakan dalam Pasal ini termasuk menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut.


Komentar:

Ketentuan Pasal 118 UUPPLH mengatur bahwa pelaku tindak pidana lingkungan yaitu badan usaha, hal ini dapat disimak dari kata “sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a”.   Pasal 116 ayat (1) huruf a yaitu badan usaha. Oleh karena badan usaha sebagai pelaku tindak pidana maka yang dikenakan sanksi pidana adalah badan usaha tersebut. Kata “ ... yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional” diartikan sebagai dalam hal badan usaha sebagai pelaku tindak pidana (yang didakwakan) maka yang hadir di depan persidangan adalah pengurus yang berwenang mewakili badan usaha tersebut. Pengurus dihadirkan di depan persidangan pengadilan merupakan sebagai jabatannya di badan usaha, artinya pengurus tersebut dihadapkan di depan pengadilan karena jabatannya, bukan sebagai tanggungjawab pribadi.

Komentar Pasal 117 UUPPLH

KOMENTAR ATAS PASAL 117 UUPPLH

Oleh: Alvi Syahrin


Pasal 117 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), berbunyi:
“Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.”

Penjelasan Pasal 117 UUPPLH:
Cukup jelas.


Komentar:

Ketentuan Pasal 117 UUPPLH, menetapkan bahwa terhadap orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, ancaman pidana berupa penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana yaitu mereka-mereka yang merupakan atau sebagai pengurus dari badan usaha tersebut.

Selasa, 01 Juli 2014

Pasal 116 UUPPLH

KOMENTAR ATAS PASAL 116 UUPPLH

Oleh: Alvi Syahrin


Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), berbunyi:
(1)     Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a.     badan usaha; dan/atau
b.    orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2)     Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Penjelasan Pasal 116 UUPPLH:
Cukup jelas.


Komentar:

Pasal 116 UUPPLH mengatur tentang pertanggungjawaban pidana dalam hal tindak pidana dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha. Sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu mengenai siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, harus terlebih dahulu dipastikan siapa yang dinyatakan sebagai pembuat tindak pidana tersebut. Mengenai siapa yang dinyatakan sebagai pembuat tindak pidana (subjek tindak pidana) pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang.

Selasa, 17 Juni 2014

Tindak Pidana Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA

Oleh: Alvi Syahrin


I.                   Ketentuan pidana mengenai korupsi diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999), yang kemudian dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 20/2001). Kedua Undang-Undang ini (UU 31/1999 dan UU 20/2001) memiliki pertimbangan yang berbeda dalam memberantas korupsi. UU 31/1999 mengajukan dua alasan memberantas korupsi, yaitu a. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan b. menghambat pembangunan nasional. Sedangkan UU 20/2001 mengajukan tiga alasan memberantas korupsi, yaitu: a. tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, b. merugikan keuangan negara, dan c. merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.
            Secara yuridis, rumusan dan jenis tindak pidana korupsi diatur dalamm UU 31/1999 juncto UU 20/ 2001  dapat dimatrikkan berikut:

Sabtu, 07 Juni 2014

WISUDA MAHASISWA PROGRAM PROFESI DOKTER

WISUDA MAHASISWA PROGRAM PROFESI DOKTER
PASCA BERLAKUNYA PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN RI. NOMOR 30 TAHUN 2014

Oleh: Alvi Syahrin

I.                   Ketentuan Pasal 36 Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UUKedokteran), bagian ke dua belas mengenai Ujian Kompetensi mengatur bahwa:
a.    Untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, mahasiswa harus lulus Uji Kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai dokter atau dokter gigi;
b.    Mahasiswa yang lulus uji kompetensi sebagaiman dimaksud paada ayat (1) memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi;
c.    Uji kompetensi dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerjasama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi;
d.   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 59 UUKedokteran yang mengatur tentang Peraturan Peralihan mengatur, bahwa:

Minggu, 02 Maret 2014

Penelitian Hukum: Isu Hukum

PENELITIAN HUKUM: ISU HUKUM

Oleh: Alvi Syahrin

I. Penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang diajukan. Hasil yang hendak dicapai berupa preskripsi mengenai apa yang seyogianya. Dalam penelitian hukum terdapat 3 (tiga) tataran isu hukum yakni: 1. isu hukum pada tataran dogmatik hukum, yang  terkait/menyangkut ketentuan hukum yang relevan dengan fakta yang dihadap; 2. isu hukum pada tataran teori hukum, yang mengandung konsep hukum, dan 3. isu hukum pada tataran filosofis, yang terkait/menyangkut asas-asas hukum.

Isu hukum menduduki posisi sentral dalam penelitian hukum. Salah dalam mengindentifikasi isu hukum akan berakibat salah dalam mencari jawaban atas isu hukum tersebut dan selanjutnya akan salah pula dalam melahirkan suatu argumentasi yang diharapkan dapat memecahkan isu hukum tersebut. Untuk dapat menentukan isu hukum, perlu pemahaman yang mendalam mengenai ilmu hukum. Tidak mungkin seorang yang bukan ahli hukum (mengetahui dan memahami ilmu hukum) mampu mengangkat isu hukum.

Minggu, 09 Februari 2014

Bidang Penelitian Hukum

BIDANG PENELITIAN HUKUM

Oleh: Alvi Syahrin

I. Hukum dimaksudkan untuk mempertahankan ketertiban sosial dan menciptakan keadilan bagi setiap anggota masyarakat, dan ilmu hukum mempunyai karakter preskriptif serta sekaligus sebagi ilmu terapan. Tugas ilmu hukum membahas hukum dari semua aspek. Aspek aktif dari ilmu hukum, yaitu penelitian hukum. Penelitian hukum dapat dilakukan pada tataran penelitian dogmatik hukum dan penelitian teori hukum.

Selasa, 04 Februari 2014

Penelitian Hukum: Fungsi

FUNGSI PENELITIAN HUKUM

Oleh: Alvi Syahrin

I. Mempelajari hukum sebagai upaya mempelajari konsep-konsep yang berdasarkan konsep-konsep tersebut hukum bekerja dalam proses legislasi maupun regulasi (rule-making) maupun yudisial dan non-yudisial (rule adjudicating). Konsep hukum dalam terminologi Ius (Law) sebaiknya tidak dijumbuhkan dengan konsep peraturan atau lex (Laws). Hukum merupakan sesuatu yang lebih ideal, nilai, tentang keharusan (norma/kaidah) dalam rangka penataan suatu masyarakat, sedangkan peraturan baru ada setelah ia dibuat atau ditetapkan oleh otoritas yang berwenang (negara).

Peraturan sebagai usaha menusia untuk mengeksplisitkan hukum dalam rangka penataan suatu masyarakat melalui perantaraan otoritas yang berwenang. Oleh karena peraturan sebagai produk otoritas yang berwenang, ada kemungkinan peraturan tersebut sewenang-wenang. Dalam hukum tidak boleh ada sewenang-wenang (arbitary), hukum dibangun berdasarkan asas-asas/prinsip-prinsip (Law  is governed by principles).  Peraturan dinilai kelayakannya berdasarkan hukum, pinsip atau asas. Suatu peraturan harus sesuai dengan hukum supaya dapat berlaku atau mengikat sebagai sebuah keharusan untuk diikuti.

Minggu, 02 Februari 2014

Penelitian Hukum

PENELITIAN HUKUM (Suatu Pengantar)

Oleh: Alvi Syahrin

I. Para sarjana hukum mempunyai cara berpikir yang khas yaitu juridisch denken berdasarkan konsep, asas dan sistematika hukum yang dikenalnya. Cara berpikir seperti ini sulit dimengerti oleh mereka yang non-yurist (bukan ahli hukum), sebab kerangka berpikirnya berbeda.
      Pada saat ini berkembang dikalangan para ahli hukum, yaitu mengabaikan metode-metode penelitian hukum dan lebih ke arah penelitian sosiologis deskriptif atau penelitian sosio legal dalam rangka penemuan hukum (rechtsvinding).

Jumat, 31 Januari 2014

ILMU HUKUM

ILMU HUKUM: 
ILMU YANG BERSIFAT PRESKRIPTIF DAN TERAPAN

Oleh: Alvi Syahrin


I.    Karakter ilmu hukum yang sui generis yang memiliki karakter tersendiri sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan, sehingga ilmu hukum selalu berkaitan dengan apa yang seyogianya atau apa yang seharusnya.  Namun demikian, seorang yuris juga masih perlu memberikan perhatian pada pertanyaan hubungan antara kenyataan dan keharusan, antara kebenaran dan keadilan.

II.   Ilmu hukum sebagai ilmu preskriptif mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Kemudian sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
Hal substansial dari ilmu hukum yaitu sifat presktiptifnya tersebut. Perbincangan awal dari substansi ilmu hukum yaitu mengenai makna hukum didalam hidup bermasyarakat, artinya ilmu hukum masuk menusuk ke suatu hal yang esensial yakni sisi intrinsik dari hukum.

Kamis, 30 Januari 2014

Penemuan Hukum

PENEMUAN HUKUM
Oleh:  Alvi Syahrin


I.         Hukum dipahami sebagai suatu keharusan yang tidak berada dalam kekuasaan manusia, karena dalam diri manusia mempunyai kerinduan dan keterkaitan pada keadilan. Hukum adalah suatu keseluruhan aturan-aturan dan kewenangan-kewenangan yang tersusun secara logikal (suatu bangunan logikal) walau terus menerus berubah dan tidak pernah tertutup pada suatu masyarakat tertentu dalam suatu waktu tertentu.
Menemukan hukum merupakan tugas ahli hukum terdidik dalam hal menemukan apa hukumnya atas peristiwa konkrit (apa hukumnya in konkreto).


Rabu, 22 Januari 2014

Powerpoint AMDAL

Powerpoint AMDAL

AMDAL

PENEGAKAN HUKUM BERKAITAN DENGAN AMDAL*
Oleh: Alvi Syahrin, Prof. Dr. MS. SH.**

I.                Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) memberikan penguatan terhadap pengaturan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, diantaranya penguatan terhadap ketentuan Analisis Mengenai Dampak Lingungan (Amdal). Penguatan Amdal dilakukan melalui sertifikasi kompetensi penyusunan Amdal, lisensi Komisi Penilai Amdal dan keterpaduan Amdal dengan Izin Lingkungan. Penguatan ketentuan Amdal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup membawa konsekuensi terhadap aspek penegakan hukum, antara lain dalam aspek penegakan hukum adiministrasi dan penegakan hukum pidana.

II.              Amdal berdasarkan Pasal 1 angka (11) UUPPLH adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dan berdasarkan Pasal 14 UUPPLH, Amdal merupakan satu diantara instrumen pencegahan dan atau kerusakan lingkungan. Ketentuan lebih lanjut mengenai Amdal diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (PP No. 27/2012).