Kamis, 11 November 2010

ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA

ALASAN PENGHAPUSAN
PIDANA
(oleh: alvi syahrin)

            Pembentuk undang-undang (wetgever) menentukan  pengecualiandengan batasan tertentu bagi suatu perbuatan tidak dapat diterapkan peraturan hukum pidana sehingga terdapat alasan penghapus pidana.[1]
            Dasar peniadaaan pidana (strafuitluitingsgronden) harus dibedakan dengan dasar penghapusan penuntutan (verval van recht tot strafvordering). Yang pertama ditetapkan hakim dengan menyatakan sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat. Dalam hal ini hak menuntut jaksa tetap ada, namun terdakwa tidak dijatuhi pidana.  Dasar penghapusan pidana harus dibedakan dan dipisahkan dari dasar penghapusan penuntutan pidana menghapuskan hak menuntut jaksa karena adanya ketentuan undang-undang. [2]
            Dalam KUHP terdapat beberapa ketentuan yang memuat alasan-alasan yang mengecualikan atau menghapuskan pidana.
KUHP mengadakan pembagian antara :
  1. Dasar penghapusan pidana umum (Algemene Strafuitsluitingsgronden)
Algemene srtafuitsluitingsgronden berlaku untuk tiap delik, yang tercantum dalam pasal-pasal 44 dan 48-51 KUHP. [3](Utrecht, hal.343)
  1. Dasar penghapusan pidana khusus (Bijzondere Strafuitsluitingsgronden)
Bijzondere strafuitsluitingsgronden hanya berlaku untuk satu delik tertentu, yang tercantum dalam pasal-pasal 166, 221 ayat (2), 310 ayat (3) 367 ayat (1) KUHP dan dalam beberapa undang-undang lain dan peraturan-peraturan daerah.[4]
Keistimewaan bijzondere strafuitsluitingsgronden yaitu mengecualikan dijatuhkannya hukuman tidak berdasarkan tidak adanya wederrechtelijkheid atau tidak adanya schuld (kesalahan dalam arti kata luas) tetapi dasar bijzondere strafuitsluitingsgronden adalah kepentingan umum tidak akan tertolong oleh suatu penuntutan pidana, pembuat undang-undang pidana menganggap lebih baik dan lebih bijaksana tidak menuntut dimuka hakim pidana.[5](Utrecht, 343-344)

  1. Alasan penghapusan pidana umum (Algemene Strafuitsluitingsgronden)
Alasan penghapusan pidana menurut undang-undang adalah :[6]
-          Tidak mampu bertanggung jawab (Ontoerekeningsvatbaarheid) Pasal 44 KUHP
-          Daya paksa dan keadaan darurat (Overmacht ; Noodtoestand) Pasal 48 KUHP
-          Pembelaan terpaksa (Noodweer) Pasal 49 ayat (1) KUHP
-           Pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweerexces) Pasal 49 ayat (2)
-          Peraturan perundang-undang; Pasal 50 KUHP
-          Perintah jabatan; Pasal 51 KUHP

Dalam peradilan dan ilmu pengetahuan juga terdapat alasan penghapus pidana umum di luar undang-undang :[7]
-          izin;
-          tidak ada kesalahan sama sekali / tanpa sila (Avas)
-          tidak ada sifat melawan hukum materiel;
Alasan penghapus pidana tidak tertulis tidak bertentangan dengan asas legalitas, sebab ini hanya menyampingkan hukum tidak tertulis dalam hal menetapkan dapat dipidana, tetapi tidak dalam hal mengurangi atau menghapuskan dapat dipidana.[8]
            Diterimanya alasan penghapusan pidana diluar undang-undang sangat penting karena masih berlakunya hukum adat dan pengaruh hukum adat masih tetap ada dalam peradilan pidana.[9]

  1. Alasan penghapusan pidana khusus (Bijzondere Strafuitsluitingsgronden)
Di dalam Buku II KUHP terdapat dasar penghapusan pidana khusus yaitu :[10]
  1. Pasal 164 dan 165 KUHP yang tidak pada waktunya menyampaikan permufakatan jahat untuk melakukan atau niat untuk melakukan yang tertera pada pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan pada saat kejadian masih dapat dicegah dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman (kejaksaan) atau kepolisian atau kepada yang terancam apabila kejahatan benar-benar dilakukan. Pasal 166 KUHP menyatakan bahwa ketentuan pada kedua pasal tersebut tidak berlaku bagi orang yang dengan memberitahukan itu mungkin mendatangkan bahaya penuntutan pidana bagi dirinya atau keluarga sedarah atau semendanya, suami/istrinya atau bekas suami/istrinya, yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya, dimungkinkan pembebasan menjadi saksi terhadap orang tersebut. Ketentuan dalam pasal 166 KUHP merupakan dasar penghapus pidana khusus terhadap kejahatan-kejahatan tertentu.
  2. Pasal 221 ayat (1) ke 1 dan ke 2 KUHP mengancam barangsiapa yang menyembunyikan atau membantu untuk melepaskan diri dari penyidikan lanjutan atau penahanan seseorang yang telah melakukan delik atau dituntut karena melakukan kejahatan atau pun menghilangkan jejak kejahatan tersebut dengan maksud untuk menutup kejhatan tersebut atau untuk mempersulit penyidikan lanjutan perkara tersebut. Pasal 221 ayat (3) menyatakan pasal 221 ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang menyembunyikan atau membantu penjahat tersebut adalah anaknya atau kerabat semenda menurut garis lurus atau suami/istri ataupun bekas suami/istrinya.
  3. Pasal 310 ayat (3)  menyatakan : Barangsiapa yang mencemarkan nama baik orang lain baik lisan maupun tertulis, tidak dipidana jika ia melakukannya demi kepentingan umum atau terpaksa karena membela diri. Perbuatannya dengan demikian dianggap tidak melawan hukum.


C.  Pembagian Alasan Penghapusan Pidana
            Dalam literatur ilmiah alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden) lazim dibagi dalam dua jenis yaitu :[11]
  1. Rechtvaardigingsgronden (Alasan Pembenar) 
Alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Rechtvaardigingsgronden menghapuskan suatu peristiwa pidana yaitu kelakuan seseorang bukan suatu peristiwa pidana walaupun sesuai dengan ketentuan yang dilarang dalam undang-undang pidana.
  1. Schulduitsluitingsgronden (Alasan Pemaaf / Penghapus Kesalahan)
Alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, menghilangkan pertanggungjawaban (toerekenbaarheid) pembuat atas peristiwa yang dilakukannya. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, tetapi tidak dapat dipidana karena tidak ada kesalahan. Kelakuan seseorang tetap suatu peristiwa pidana tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan (toegerekend) kepada pembuat.
  1. Alasan Penghapus Penuntutan
Dalam hal ini yang dipersoalkan bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf, tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifat sifat orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan adalah kepentingan umum. Klau perkaranya tidak dituntut, tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dipidana.[12]
Contoh :
 A dengan sekoyong-koyong diserang oleh B dengan pisau. A membela diri dan dalam pembelaan diri itu a melukai B. menurut Pasal 49 ayat 1 KUHP, yang memuat suatu rechtvaardigingsgrond, maka perbuatan A melukai B bukan peristiwa pidana.
A, yang diserang oleh B dengan pisau, membela diri dan dalam pembelaan itu karena terbawa oleh suatu “hevige gemoedsbeweging” (sangat panas hati), A membunuh B. perbuatan A membunuh B adalah tetap suatu peristiwa pidana tetapi menurut Pasal 49 ayat (2) KUHP perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada A. disini ada suatu schulduitsluitingsgrond.[13]

catatan:
1.      tidak menjadi keharusan bahwa pembentuk undang-undang hanya menghendaki dihapuskannya pidana kalau sifat melawan hukum ataupun sifat dapat dicela tidak ada. Juga dapat dipikirkan bahwa dalam situasi-situasi tertentu karena alasan lain, yang bersifat politik hukum, pembentuk undang-undang tidak menghendaki dijatuhkannya pidana.
Memang ada alasan penghapus pidana khusus,agaknya karena alasan tersebut, yaitu pasal 136 bis ayat 2 KUHP.
Ayat pertama :
            Menetapkan dapat dipidana barang siapa mencoba menggerakkan orang lain untuk melakukan kejahatan meskipun tidak mengakibatkan terjadinya kejahatan itu (pembujukan gagal).
Ayat kedua :
            Aturan tersebut tidak berlaku, jika tidak mewujudkan kejahatan atau percobaan yang dapat dipidana tersebut disebabkan karena kehendaknya sendiri.

Contoh : kalau A menjanjikan sejumlah uang kepada B untuk membunuh C, tetapi kemudian menyesal dan menelepon polisi yang karena itu dapat mencegah B membunuh C, maka A tidak dapat dipidana menurut ketentuan tersebut di atas.
            Jelaslah bahwa dalam contoh tersebut, janji A kepada B bersifat melawan hukum dan dapat dicela dan perbuatan itu tidak kehilangan sifat melawan hukumnya maupun sifat dapat dicelanya karena pembicaraan telepon itu. Tetapi pembentuk undang-undang menganggap perlu untuk memberi dorongan kepada pertobatan pada waktu yang tepat dengan penghapusan pidana. Alasan penghapusan pidana jenis ini sulit dimasukkan dalam pembagian : alasan pembenar dan alasan pemaaf.[14]

2.      Meskipun alasan penghapus pidana pada umumnya mengenai sifat melawan hukum atau sifat dapat dicela, tetapi ini tidak berarti bahwa kedua sifat itu terhapus seluruhnya karena itu.
Contoh : daya paksa dianggap ada kalau orang berbuat di bawah suatu tekanan yang secara nalariah tidak perlu dilawan. Namun, masih ada celaan moral. Pada pembelaaan terpaksa yang melampaui batas, orang yang berhak membela diri tetapi karena luapan emosi mendadak memukul terlampau keras, tidak dapat dipidana, sekalipun dia sedikit banyak dapat dicela karena tidak dapat menahan diri.
Jadi alasan penghapusan pidana menurut undang-undang hanya mengimplikasikan bahwa sifat melawan hukum atau kesalahan dalam keadaan itu adalah demikian ringannya sehingga tidak relevan bagi hukum pidana.
            Perbaedaan alasan pembenar dan pemaaf adalah penting untuk dapat dipidananya pelaku peserta. Kalau A seorang pembuat, bersama-sama dengan orang lain dapat mengajukan alasan pemaaf (misalnya tidak dapat bertanggungjawab), maka alasan pembenar (misalnya karena peraturan undang-undang), maka hal ini menguntungkan semua pelaku peserta.
            Sehubungan dengan itu tampak juga perbedaan dalam bekerjanya preseden. Hakim yang memutuskan dihapusnya pidana karena adanya alasan pembenar ingin menyatakan bahwa dia akan memperlakukan sama semua orang yang dalam memutuskan adanya alasan pemaaf tidak ingin mengatakan lebih daripada bahwa pembuat indivdual ini karena keadaan khusus yang mengenai dirinya (tidak mampu bertanggungjawab, sesat yang dapat dimaafkan), deliknya tidak cukup dapat dicelakan padanya untuk dapat memidana dia.
            Dirangkum secara singkat : alasan pembenar menghapuskan dapat dipidananya perbuatan, alasan pemaaf menghapuskan dapat dipidananya pembuat.[15]

Alasan –alasan penghapus pidana umum yang tertulis (written defences)

Alasan Pembenar
(Rechtvaardigingsgronden)
Alasan Pemaaf
(Schulduitsluitingsgronden)
Yang Tertulis :
-          Keadaan darurat (noodtoestand) Pasal 48


-          Pembelaan terpaksa / darurat (Noodweer;Self-defense), Pasal 49 ayat
-          Menjalankan peraturan perundang-undangan (in according with regulation), Pasal 50 KUHP
-          Menjalankan perintah jabatan yang sah (lawful) , Pasal 51 ayat 1 KUHP



Yang tidak Tertulis :
-          Ketiadaan sifat melawan hukum materiil (absence of substantive unlawfulness)
-          Eksepsi Kedokteran (medical doctor)
-          Persetujuan (consent)
Yang Tertulis :
-          Tidak mampu bertanggung jawab (Ontoerekeningsvatbaarheid), Pasal 44 KUHP
-          Daya paksa (Overmacht), Pasal 48 KUHP
-          Pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweerexces), Pasal 49 ayat 2
-          Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah (unlawful order seeming to be lawful), Pasal 51 ayat 2 KUHP


Yang tidak Tertulis :
- Tanpasila / AVAS (no fault)



Alasan-alasan penghapus pidana di luar undang-undang (Unwritten defences)


Pembenar
Pemaaf
-          Izin


-          Norma-norma jabatan yang sudah diterima
-          Sesat yang dapat dimaafkan:
-    sesat fakta
-    sesat hukum
- ketidakmampuan yang dapat dimaafkan


Pembagian alasan penghapusan pidana dalam alasan pembenar dan alasan pemaaf sesuai dengan pemisahan antara sifat melawan hukum dan kesalahan sebagai unsur yang dianggap harus ada dalam tiap-tiap perbuatan pidana. Apabila dalam suatu keadaan tertentu satu unsur hilang, maka kepidanaan perbuatan itu juga hilang. Penghapusan pidana adalah akibat penghapusan sifat melawan hukum ditambah penghapusan kesalahan.[16]
            Termasuk alasan penghapus kesalahan umum yang tertulis yaitu :
  1. Kemampuan bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP);
  2. Daya paksa karena dorongan psikis (Pasal 48 KUHP);
  3. Pembelaan terpaksa melampaui batas (Pasal 49 ayat 2 KUHP);
  4. Kesesatan yang dapat dimaafkan mengenai kewenangan atas dasar suatu perintah jabatan yang diberikan (Pasal 51 ayat 2 KUHP);
Termasuk alasan penghapus sifat melawan hukum yaitu :
  1. Daya paksa dalam arti keadaan darurat (Pasal 48 KUHP);
  2. Daya paksa  dalam arti terpaksa memilih antara kewajiban-kewajiban yang bertentangan (Pasal 48 KUHP);
  3. Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat 1 KUHP);
  4. Peraturan perundang-undangan (Pasal 50 KUHP);
  5. Perintah Jabatan (Pasal 51 ayat 1 KUHP);


D.    Alasan-alasan penghapusan pidana umum menurut undang-undang
Ad.1 : Ketidakmampuan Bertanggungjawab (Ontoerekeningsvatbaarheid)
            Pasal 44 KUHP ayat (1) : “Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum”.
Pasal 44 KUHP menyatakan bahwa orang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam dua hal yakni :[17]
  1. Jiwanya cacad dalam pertumbuhan
  2. Terganggu karena penyakit. Ketidakmampuan bertanggungjawab meniadakan kesalahan dalam arti luas dan oleh karena itu termasuk dasar pemaaf (Sculduitsluitingsgrond).

            Yang dimaksudkan adalah gangguan sejak lahir atau timbul semasa remaja dan gangguan yang datang kemudian pada seseorang yang normal. Penyakit itu bisa berupa gangguan psikis atau gangguan kesadaran karena sebab fisik, misalnya serangan diabetes mendadak (H.R. 24-11-1964) atau akibat dari obet tidur yang tidak terduga (H.R. 16-11-1965).[18]
Hazewinkel – Suringa menyatakan bahwa orang yang terganggu jiwanya dapat saja mewujudkan delik, sebab apabila tidak demikian, maka tidak ada perlunya pasal 44 KUHP. [19]
            Ketidakmampuan bertanggung jawab memerlukan selain perkembangan jiwa yang tidak normal dan penyakit yang disebabkan gangguan kejiwaan, juga syarat adanya hubungan kausal antara penyakit jiwa dan perbuatan. Misalnya hanya orang yang disebut gila saja yang dianggap tidak mampu bertanggungjawab terhadap semua delik, tetapi semua penyakit jiwa tertentu yang hanya ada hubungan kausalnya dengan pencurian; seperti cleptomanie, tidak membebaskan pembuat dari tanggungjawab pidana terhadap delik-delik lain,contoh ; penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya. Oleh karena itu, kerjasama antara hakim dan psikiater menjadi syarat mutlak tentang penentuan bertanggung jawab atau ketidakmampuan bertanggungjawab. [20]
Cacat dalam pertubuhan dan gangguan karena penyakit harus sudah ada pada saat delik dilakukan dan perbuatan pidana harus merupakan akibat dari keadaan itu. Dengan perkataan lain, harus ada hubungan kausal antara penyakit dan perbuatan. Bukan gangguan jiwa sendiri yang menjadi dasar tidak dipidana, tetapi hanya cacat yang mengakibatkan bahwa perbuatan itu tidak dipertanggungjawabkan kepada pembuatnya.[21]

Ad. 2 : Pembelaan Terpaksa (Noodweer)
            Dengan istilah pembelaan terpaksa hendak diterangkan bahwa suatu delik dapat dilakukan karena pembelaan yang dibenarkan. Dalam pasal 49 ayat 1 KUHP ditentukan syarat-syarat dimana melakukan suatu delik untuk membel diri dapat dibenarkan. [22]
            Pasal 49 ayat 1 yang diterjemahkan Moeljatno (1959 : 47), sebagai berikut :
“Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.[23]
            Dalam Pasal 49 ayat (1) dapat dilihat ada enam unsur-unsur pembelaan darurat atau terpaksa yaitu : [24]
a.             suatu serangan
b.            serangan itu diadakan sekoyong-koyong (ogenblikkelijk) atau suatu ancaman yang kelak akan dilakukan (onmiddellijk dreigende aanranding)
c.             serangan itu melawan hukum (wederrechtelijk)
d.            serangan itu diadakan terhadap diri sendiri, diri orang lain, kehormatan diri sendiri, kehormatan orang lain, harta benda sendiri, harta benda orang lain.
e.             Pembelaan terhadap serangan itu harus perlu diadakan (noodzakelijk) yakni pembelaan itu bersifat “darurat”.
f.             Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus setimpal.

Menurut pasal 49 ayat 1 HUKP untuk pembelaan terpaksa diisyaratkan :[25]
-          Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan kesusilaan atau harta benda;
-          Serangan itu bersifat melawan hukum;
-          Pembelaan merupakan keharusan;
-          Cara pembelaan adalah patut (syarat ini tidak disebut dalam pasal 49 ayat 1)
            Menurut ketentuan pidana seperti yang telah dirumuskan di dalam pasal 49 ayat (1) KUHP, apabila kepentingan-kepentingan hukum tertentu dari seseorang itu mendapat serangan secara melawan hukum dari orang lain, maka pada dasarnya orang dapat dibenarkan untuk melakukan suatu pembelaan terhadap serangan tersebut walapun dengan cara yang merugikan kepentingan hukum dari penyerangnya, yang di dalam keadaan biasa cara tersebut merupakan suatu tindakan yang terlarang dimana pelakunya telah diancam dengan sesuatu hukuman.[26]
Itulah sebabnya mengapa Profesor van Bemmelen telah mengatakan bahwa di dalam suatu noodweer itu “undang-undang telah mengizinkan orang untuk main hakim sendiri”.[27]
            Profesor Pompe mengatakan : “ dalam keadaan normal untuk meniadakan serangan itu orang harus meminta bantuan dari penguasa, akan tetapi dalam keadaan darurat seperti yang dimaksud dalam  pasal 49 ayat (1) KUHP, ia tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat demikian”, dan oleh karena itulah maka ia dapat dibenarkan untuk meniadakan sendiri serangan tersebut tanpa bantuan dari alat-alat negara. [28]
Pembatasan dari pasal 49 ayat (1) KUHP untuk membela raga, kehormatan kesusilaan atau harta benda, dapat diartikan bahwa nyawa, integritas raga, kehormatan seksual boleh dibela, juga benda dan pemiliknya, tetapi bukan benda yang tidak berwujud seperti ketentraman rumah tangga.[29]
Syarat seketika adalah mengenai serangan yang sedang terjadi dan mengancam akan terjadi. Misalnya , pencuri sedang memaksa untuk membuka jendela, pembunuh akan menyerang korban dengan pisau. Kalau tidak ada keadaan seketika atau ancaman serangan seketika, maka juga tidak ada situasi pembelaan terpaksa.[30]
Menurut Profesor van Hamel, suatu serangan itu dapat disebut sebagai bersifat seketika yaitu bukan saja jika serangan itu telah benar-benar dimulai melainkan juga apabila serangan itu telah mengancam secara langsung walaupun serangannya itu sendiri belum dimulai. [31]
Menurut Vos bahwa serangan itu tidak terbatas pada selesainya perbuatan yang merupakan serangan itu. Karena serangan itu merupakan suatu delik, maka dapat dikatakan bahwa serangan tersebut tidak terbatas pada selesainya delik. Serangan itu ada selama masih ada kemungkinan bahwa pelaku serangan dapat melanjutkan perbuatan-perbuatannya merugikan orang yang telah diserangnya. Selama masih ada kemungkinan tersebut, maka juga masih tetap ada keperluan untuk membela diri sendiri, diri orang lain. [32]
 Sebagai suatu dasar pembenaran, noodweer harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh serangannya dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pembelaannya itu sendiri.
Menurut Profesor van Hammel, serangan itu harus :
  1. bersifat melawan hukum atau wederrechtelijk;
  2. mendatangkan suatu bahaya yang mengancam secara langsung;
  3. bersifat berbahaya bagi tubuh, kehormatan atau benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain;[33]

Serangan harus bersifat melawan hukum. Sebab serangan yang tidak bersifat melawan hukum pun mungkin terjadi. Tidak bersifat melawan hukum, misalnya, pelanggaran yang diperkenankan oleh undang-undang. Pembelaan atas dasar pembelaan terpaksa tidak mungkin dilakukan terhadap pejabat polisi yang berwenang yang menahan seseorang, Anjing pelacak yang digunakan polisi untuk melacak kejahatan tidak boleh dibunuh dengan alasan pembelaan terpaksa. (H.R. 03-05-1915). Juga tidak ada serangan melawan hukum kalau yang diserang tanpa paksaan atau ancaman mengizinkan “serangan” itu. Misalnya, dalam sirkus badut A membiarkan dirinya dianiaya oleh badut B atau dalam adegan “striptease” , artis X membiarkan dirinya ditelanjangi oleh rekannya (kehormatan kesusilaan).[34]
Menurut Profesor van Hamel suatu serangan bersifat melawan hukum apabila orang yang mendapat serangan itu mengalami suatu penderitaan atau dapat mengalami suatu penderitaan, padahal menurut hukum orang tersebut tidak mempunyai kewajiban untuk mendapatkan penderitaan semacam itu. Menurut sejarah, noodweer itu biasanya hanya dapat dilakukan terhadap serangan yang bersifat “subjectief  onrechtmatig” atau bersifat melawan hukum yang telah dilakukan oleh seseorang yang mempunyai sculd. Akan tetapi dalam hal ini cukup kiranya apabila serangan itu bersifat “objectief onrechtmatig” atau bersifat melawan hukum, hingga suatu serangan itu harus dianggap sebagai bersifat melawan hukum apabila penyerangnya itu tidak gerechtigd atau tidak mempunyai hak untuk berbuat demikian, walaupun mungkin benar bahwa ia telah merasa berhak untuk melakukan perbuatan semacam itu. [35]
Menurut Profesor van Hamel, pembelaan itu :[36]
  1. harus bersifat perlu atau bersifat noodzakelijk;
  2. perbuatan yang dilakukan untuk melakukan pembelaan itu haruslah dapat dibenarkan;
Mengenai cara pembelaan diperintahkan atau patut, membawa kita pada asas yang sangat penting untuk ajaran penghapus pidana, yaitu :[37]
1.            Asas Subsidiaritas. Melanggar kepentingan hukum seseorang untuk melindungi kepentingan hukum orang lain tidak diperkenankan, kalau perhitungan itu dapat dilakukan tanpa atau dengan kurang merugikan.
2.            Asas Proporsionalitas. Melanggar kepentingan hukum seseorang untuk melindungi kepentingan hukum orang lain dilarang kalau kepentingan hukum yang dilindungi tidak seimbang dengan pelanggarannya. Jadi harus ada keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dan kepentingan yang dilanggar.
3.            Asas “Culpa In Causa” : barang siapa yang keberadaannya dalam situasi darurat dapat dicelakan kepadanya tetap bertanggungjawab. Ini berarti bahwa seseorang yang karena perbuatannya sendiri diserang oleh orang lain secara melawan hukum, tidak dapat membela diri karena pembelaan terpaksa.

Ad. 3 : Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas
( Noodweerexces)
Kalau pembelaan terpaksa (noodweer) dinamakan alasan pembenar (perbuatannya tidak dapat dipidana), maka pembelaan terpaksa melampaui batas menyangkut dapat dicela (pelakunya tidak dapat dipidana). Masalahnya disini adalah pembelaan yang patut dapat dibenarkan, tetapi pelakunya telah melampaui batas-batas kepatutan.[38]
Alasan noodweerexces dicantumkan dalam Pasal 49 ayat (2), yang berbunyi : “Tiada boleh dihukum barangsiapa melampaui batas pembelaan yang perlu jika perbuatan itu dilakukannya karena sangat panas hatinya disebabkan oleh serangan itu”. [39]
Unsur- unsur noodweerexces yaitu :[40]
g.            melampaui batas pembelaan yang perlu;
h.            terbawa oleh suatu perasaan “sangat panas hati”
i.              antara timbulnya perasaan “sangat panas hati” dan serangan yang dilakukan ada suatu hubungan kausal.
Melampaui batas pembelaan yang perlu dapat disebabkan karena :
-          alat yang dipilih untuk membela diri atau cara membela diri terlalu keras. Misalnya yang menyerang dengan sebatang kayu dipukul kembali dengan sepotong besi.
-          Yang diserang sebetulnya harus melarikan diri atau mengelakkan ancaman jika dilakukan serangan tetapi ia masih juga memilih membela diri.

Pada yang diserang dirimbulkan suatu perasaan “sangat panas hati”. Disini pembuat undang-undang pidana menerima suatu kenaikan darah yang dapat disebabkan karena ketakutan, putus asa, kemarahan besar, kebencian; sebagai suatu strafuitsluitingsgrond atau suatu strafverminderingsgrond (alasan untuk mengurangi hukuman).
Pasal 49 ayat (2) KUHP menentukan syarat : harus ada suatu hubungan kausal antara ditimbulkannya kenaikan darah dan serangan yang dilakukan itu. Karena dalam hal noodweerexces tiada hak untuk membela diri, maka noodweerexces itu bukan suatu rechtvaardigingsgrond tetapi suatu schulduitsluitingsgrond.  Perbuatan yang melampaui batas pembelaan yang perlu itu tetap melawan hukum tetapi pembuat dapat dinyatakan tidak bersalah. [41]
            Ada dua syarat alasan pembelaan terpaksa melampaui batas, yaitu :[42]
  1. Harus ada situasi pembelaan terpaksa, yang berarti suatu situasi dimana pembelaan raga, kehormatan kesusilaan, atau harta benda terhadap serangan seketika bersifat melawan hukum. Kalau orang dapat menghindarkan diri dari serangan, maka pembelaan tidak menjadi keharusan; bantahan atas dasar pembelaan terpaksa harus ditolak. Demikian juga bantahan berdasarkan pembelaan terpaksa yang melampaui batas tidak akan berhasil. Bantahan itu hanya berhasil kalau pembelaannya sendiri merupakan keharusan.
  2. Pelampauan batas dari keharusan pembelaan, harus merupakan akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat, yang pada gilirannya disebabkan oleh serangan. “Kegocangan jiwa yang hebat” dapat mencakaup berbagai jenis emosi, seperti : takut, marah, panik. Kebencian yang sudah ada terlebih dahulu tidak disebabkan oleh serangan, maka tidak dapat dipakai untuk memaafkan. Juga kalau kegoncangan jiwa yang hebat tidak disebabkan oleh serangan, tetapi karena pengaruh alkohol atau narkotik, maka pembelaan terpaksa melampaui batas tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk tidak dipidana.

Perbedaan pembelaan terpaksa (noodweer) dan pelampauan pembelaan terpaksa (noodweerexces) adalah :[43]
Noodweer adalah pembelaan yang diberikan karena sangat mendesak terhadap serangan yang mendesak dan tiba-tiba serta mengancam dan melawan hukum.
Unsur-unsurnya adalah ;
  1. serangan yang nyata-nyata :
a.       melawan hukum;
b.      mendesak dan sengkoyong-koyong mengancam;
  1. serangan itu harus dilakukan terhadap :
a.       badan (lift) sendiri atau orang lain.
b.      Kehormatan kesusilaan (eerbaarheid).
c.       Barang (goed) milik sendiri atau orang lain.
Noodweerexces adalah pembelaan terpaksa melampaui batas, yang disebabkan oleh suatu tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang lain yang mengancam.
(1)       Pada noodweer, sifat melawan hukum perbuatan hilang, sedangkan pada noodweerexces perbuatan tetap melawan hukum tetapi dasar sehingga tidak dapat dipidananya pembuat terletak pada keadaan khusus  dimana pembuat berada, disebabkan karena serangan yang mengancam seketika.
(2)       Pada noodweer, penyerang tidak boleh ditangani atau dipukul lebih daripada maksud pembelaan yang perlu, sedangkan pada noodweerexces pembuat melampaui batas-batas pembelaan darurat oleh karena keguncangan jiwa yang hebat.
(3)       Noodweer adalah suatu dasar pembenar, sedangkan noodweerexces merupakan dasar pemaaf (schulduitsluitingsgrond).[44]

Ad. 4 : Daya Paksa ( Overmacht)
Daya paksa bukan alasan pembenar tetapi alasan pemaaf. Di sini tidak dilindungi kepentingan yang lebih tinggi nilainya, tetapi dilakukan suatu delik yang seharusnya tidak dilakukan. Jadi tidak ada masalah pembenaran. Tetapi dilakukannya menurut penalaran hukum pidana tidak dapat dicelakan kepadanya.[45]
Daya paksa oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam pasal 48 KUHP yang berbunyi :
“Tidaklah dapat dihukum barangsiapa telah melakukan sesuatu perbuatan di bawah pengaruh dari suatu keadaan yang memaksa”.[46]
Menurut Memorie van Toelichting, daya paksa adalah suatu kekuatan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan. [47]
Berdasarkan rumusan mengenai overmacht yang terdapat di dalam Memorie van Toelichting diatas, pembentuk undang-undang telah mengakui tentang adanya tiga macam peristiwa pokok dimana suatu overmacht dapat terjadi. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah :
1. peristiwa-peristiwa dimana terdapat pemaksaan secara fisik;
2.      peristiwa-peristiwa dimana terdapat pemaksaan secara psikis;
3.      peristiwa-peristiwa dimana terdapat suatu keadaan yang disebut noodtoestand yaitu keadaan dimana terdapat :
a.       suatu pertentangan antara kewajiban hukum yang satu dengan kewajiban hukum yang lain;
b.      suatu pertentangan antara suatu kewajiban hukum dengan suatu kepentingan hukum
c.       suatu pertentangan antara kepentingan hukum yang satu dengan kepentingan hukum yang lain;[48]

Jonkers berpendapat bahwa kata dwang (paksaan) berarti paksaan (physiek) sedangkan kata gedrongen (dorongan) berarti paksaan psychisch. Beliau membagi daya paksa  dalam tiga macam yaitu : [49]
  1. Daya paksa mutlak (absolute overmacht)
Yaitu orang yang mengalami sesuatu yang tidak dapat dilawan karena pengaruh yang dialami baik yang bersifat jasmaniah maupun kejiwaan.
  1. Daya paksa relatif (relatieve overmacht)
Yaitu orang yang mengalami pengaruh yang tidak mutlak akan tetapi paksaannya tidak dapat dilawan.
  1. Keadaan Darurat (noodtoestand)
Yaitu keadaan darurat karena seorang terpaksa melakukan didorong oleh keadaan dari luar untuk memilih diantara dua peristiwa yang sama jeleknya. Pilihan masih menjadi inisiatif pembuat.

Hazewinkel – Suringa juga mengenal tiga macam overmacht yaitu :[50]
  1. vis absoluta (daya paksa mutlak)
  2. vis compulsiva (daya paksa relatif)
  3. noodtoestand (keadaan darurat)

            Di bawah ini disajikan pokok-pokok pikiran Jonkers tentang ketiga macam daya paksa tersebut;
(1)   Absolute overmacht (daya paksa mutlak)
Paksaan yang bersifat absolut atau vis absoluta merupakan paksaan secara fisik dan dapat pula merupakan paksaan secara psikis.
Paksaan secara fisik dipandang sebagai absolute dwang yaitu apabila paksaan tersebut demikian kuat sehingga segala kegiatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu kegiatan pada orang yang dipaksa itu menjadi ditiadakan. (P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bangdung, 1984, Hal. 410). Misalnya : seseorang ditangkap oleh orang yang kuat, lalu dilemparkan keluar jendela, sehingga terjadi perusakan barang. Maka orang yang dilemparkan keluar jendela, tidak dapat dipidana menurut pasal 406 KUHP. [51]
Paksaan secara psikis dipandang sebagai absolute dwang yaitu apabila paksaan tersebut mempunyai pengaruh yang besar pada susunan syaraf (zenuwstelsel) dari orang yang mendapat paksaan, sehingga kemampuan dari orang itu sendiri menjadi tidak ada sama sekali. Misalnya seseorang yang karena pengaruh sugesti secara hipnotis telah melakukan sesuatu ataupun telah tidak melakukan sesuatu sesuai dengan yang diinginkan oleh orang yang telah menghipnotisnya.[52]
Dalam hal ini orang yang melempar keluar jendela dan yang menghypnotiseer-lah yang menjadi pembuat menurut pasal 55 KUHP (doen pleger).
            Kiranya sudah jelas apa sebabnya absolute overmacht telah menutup kemungkinan tentang dapat dijatuhkannya sesuatu hukuman terhadap pelakunya, yakni karena pelaku tersebut sebenarnya tidak melakukan sesuatu perbuatan. Ia hanyalah merupakan suatu manus ministra atau hanya merupakan suatu alat dari orang lain.[53]

(2)   Relatieve Overmacht (Daya Paksa Relatief )
Paksaan yang bersifat relatif atau vis compulsiva merupakan paksaan secara psikis dalam arti luas yang berupa “begeerten en voorstellingen” atau berupa “kenginan-keinginan dan pemikiran-pemikiran” yang telah bekerja sedemikian rupa sehingga ia mampu mempengaruhi orang untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu. [54]
Kekuasaan, kekuatan, dorongan atau paksaan physiek atau psychisch terhadap orang bersangkutan bersifat relatif atau nisbi. Misalnya pada perampokan bank, bankir diancam dengan pistol supaya menyerahkan uang. Bila tidak dilakukannya, maka pistol itu akan ditembakkan oleh perampok dan pelurunya mengenai dirinya. Secara teoritis, bankir itu dapat melawan dengan resiko mati ditembak. Bila ia tidak melawan dan menuruti kehendak perampok, maka ia tidak dapat dipidana sekalipun ia telah mewujudkan delik.[55]
Di dalam relatieve overmacht itu, overmacht merupakan suatu rechtvaardigingsgrond atau suatu dasar pembenar bagi perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan oleh orang yang mendapat paksaan. [56]
Menurut Jonkers perbedaan antara absolute overmacht dan relatieve overmacht yaitu :
Pertama, praktis orang yang memaksa atau mendoronglah yang berbuat,
Kedua, orang yang diancam, dipaksa atau didoronglah yang berbuat sekalipun ia berbuat karena ancaman atau dorongan itu.
Tidak semua paksaan atau dorongan terhadap seseorang dapat menimbulkan relatieve overmacht. Kekuatan, paksaan tau dorongan itu haruslah sedemikian rupa sehingga orang yang terkena tidak dapat atau tidak perlu mengadakan perlawanan. Misalnya perintah atasan belaka tidak melahirkan relatieve overmacht (H.R. 21-5-1918 hal.651).[57]

(3)   Noodtoestand (Keadaan Darurat)
 Para penulis umumnya berpendapat bahwa dalam suatu noodtoestand atau dalam suatu keadaan terpaksa, perbuatan dari pelakunya menjadi tidak dapat dipersalahkan kepadanya oleh karena pada diri pelaku tersebut tidak terdapat unsur schuld. [58]
Keadaan darurat (noodtoestand) dapat merupakan schulduitsluitingsgronden maupun rechtvaardigingsgronden. [59]
Suatu noodtoestand dapat terjadi apabila pada saat yang sama telah terdapat :[60]
  1. Suatu pertentangan antara dua macam kepentingan hukum yang berbeda;
Contoh klasik dalam De Republica et de officio yang berasal dari ahli filsafat Yunani Karneades : Dua orang yang hampir tenggelam saling merampas papan yang hanya dapat memuat satu orang. Yang seorang menolak yang lain sehingga tenggelam dan mati. Hal itu dilakukan hanya demi menyelamatkan nyawanya sendiri.
Menurut van Bemmelen (1971 : 183) bahwa sama dengan noodweer (pembelaan terpaksa atau darurat) maka untuk menetapkan adanya noodtoestand diperlukan dua asas yaitu : proportionaliteit dan subsidiariteit.
  1. Suatu pertentangan antara suatu kepentingan hukum dengan suatu kewajiban hukum.;
Misalnya : Putusan Optisien (Putusan Ahli kacamata ; H.R. 15-10-1923) Peristiwa yang menyangkut seorang pemilik toko kacamata yang melanggar peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah kotapraja Amsterdam tentang kewajiban untuk menutup perusahaan pada jam yang telah ditentukan, oleh karena tepat pada saat pemilik toko kacamata tersebut akan menutup pintu tokonya telah datang seorang tua yakni tuan de Grooth yang meminta pertolongannya untuk diperbolehkan membeli sebuah kacamata dengan alasan bahwa kacamatanya telah hilang di jalan dan tidak dapat menemukannya lagi, sehingga tuan de Grooth tidak dapat melihat sesuatu tanpa kacamata. Walaupun pemilik toko kacamata menyadari mempunyai kewajiban hukum (rechtsplicht) untuk menaati peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah Amsterdam, akan tetapi ia juga memiliki kepentingan hukum (rechtsbelang) yaitu menolong seseorang yang memang perlu ditolong. Hoge Raad berpendapat bahwa Pengadilan Negeri tidak merusak secara yuridis pengertian daya paksa oleh karena menuru sejarah undang-undang, daya paksa meliputi keadaan darurat.[61]
  1. Suatu pertentangan antara dua macam kewajiban hukum yang berbeda;
Contoh ; A dipanggil sebagai saksi pada hari yang sama dan jam yang sama di Jakarta dan di Bogor. Ia hanya dapat tampil di salah satu tempat. Ia bebas memilih diantara kedua kewajiban hukum yang sederajat itu. Pada umumnya kewajiban hukum yang paling pentinglah yang harus dipilihnya. Dalam praktek sulit ditentukan yang paling penting dalam hal ada bahaya. Misalnya pada kebakaran di suatu bioskop, orang-orang merusak pintu-pintu untuk melarikan diri, sedangkan sebenarnya terdapat banyak pintu-pintu darurat.[62]
. Profesor van Hamel tidak membuat suatu perbedaan antara overmacht dengan noodtoestand, karena menurut sistematika beliau, noodtoestand itu juga merupakan overmacht yang telah terjadi karena adanya psychische dwang atau adanya tekanan psikis. Menurut Profesor van Hamel, tekanan secara psikis tersebut dapat ditimbulkan oleh ancaman yang datang dari seorang manusia maupun dari keadaan-keadaan (nothstand). Dalam pengertian seperti ini, overmacht merupakan suatu rechtvaardigingsgrond atau merupakan suatu dasar pembenaran mengenai apa yang telah dilakukan oleh seseorang yang berada di dalam keadaan seperti itu.[63]
Menurut Profesor Noyon mengenai noodtoestand adalah tidak berbeda samasekali dengan pendapat Profesor van Hamel, yang berpendapat bahwa noodtoestand sebenarnya merupakan suatu dasar pembenaran atau suatu rechtvaardigingsgrond bagi apa yang telah dilakukan oleh seseorang yang berada di dalam keadaan yang terpaksa seperti itu.
Mengenai hubungan antara suatu “perbuatan yang dapat dibenarkan” di dalam suatu noodtoestand dengan suatu “perbuatan yang tidak dapat dipersalahkan kepada pelakunya” didalam suatu overmacht, menurut Profesor Noyon yaitu :
Apabila di dalam suatu peristiwa yang konkrit, antara kepentingan-kepentingan hukum (termasuk kewajiban-kewajiban hukum) terdapat pertentangan-pertentangan, sehingga salah satu dari kepentingan-kepentingan hukum atau salah satu dari kewajiban-kewajiban hukum itu terpaksa harus dikorbankan, maka perbuatan mengorbankan kepentingan hukum atau kewajiban hukum hanya dapat dibenarkan yaitu apabila kepentingan hukum atau kewajiban hukum yang dikorbankan itu dipandang menurut tertib hukum adalah yang paling ringan. Apabila orang tidak dapat memutuskan tentang kepentingan hukum atau kewajiban hukum yang mana merupakan kepntingan hukum atau kewajiban hukum yang terberat, maka ia harus memperhatikan kepentingan hukum atau kewajiban hukum yang mana yang telah berada dalam bahaya seandainya ia telah melakukan sesuatu. Pemilihan atas kepentingan hukum atau kewajiban hukum yang mana yang akan ia korbankansebenarnya merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipersalahkan kepadanya karena suatu overmacht dan bukan merupakan suatu perbuatan yang dibenarkan karena suatu noodtoestand. [64]
Profesor Simons menjelaskan tentang apa sebabnya sesuatu perbuatan yang telah dilakukan dalam suatu noodtoestand membuat pelakunya tidak dapat dihukum :
a.       bahwa di dalam suatu noodtoestand, perbuatan yang telah dilakukan telah kehilangan sifatnya sebagai perbuatan yang melanggar hukum;
b.      bahwa pelakunya tidak dapat dihukum oleh karena perbuatan yang telah ia lakukan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya;
c.       bahwa perbuatan yang telah dilakukan di dalam suatu noodtoestand membuat pelkunya tidak dapat dihukum oleh karena sifatnya sebagai perbuatan yang terlarang telah ditiadakan walaupun perbuatannya itu sendiri tetap bersifat melanggar hukum.
Menurut Profesor Simons jawaban yang paling tepat atas pertanyaan apa sebabnya seorang yang telah melakukan sesuatu perbuatan di dalam suatu noodtoestand tidak dapat dihukum adalah karena pembentuk undang-undang telah menganggap bahwa larangannya itu tidaklah berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan di dalam keadan-keadan yang bersifat khusus, sehingga norma-normanya itu juga telah dinyatakan sebagai tidak berlaku bagi keadaan-keadaan semacam itu.
Profesor Pompe berpendapat, noodtoestand dapat dimasukkan ke dalam pengertian “relatieve overmacht”. Dan sebagai suatu dasar yang meniadakan hukuman (strafuitsluitingsgrond), noodtoestand itu sama halnya dengan semua dasar yang meniadakan hukuman tidak meniadakan sifatnya yang terlarang dari suatu perbuatan, melainkan ia hanya meniadakan hal dapat dihukumnya seseorang.
Profesor van Hattum berpendapat bahwa suatu perbuatan yang telah dilakukan di dalam suatu overmacht atau di dalam suatu noodtoestand tetap bersifat melanggar hukum akan tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya oleh karena pada diri pelaku tidak terdapat unsur schuld.
Hazewinkel – Suringa berpendapat bahwa overmacht dalam arti sempit merupakan “schulduitsluitingsgrond” atau suatu dasar yang meniadakan unsur schuld, sedang perbuatan yang telah dilakukan di dalam suatu noodtoestand itu membuat perbuatan tersebut kehilangan sifatnya sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum.
Apabila seseorang menginginkan agar sesuatu perbuatan yang telah dilakukan di dalam suatu noodtoestand tidak dapat membuat pelakunya dapat dihukum, maka perbuatannya itu harus memenuhi dua syarat yaitu :
  1. Proportionaliteits-beginsel atau asas proporsionalitas;
  2. Subsidiariariteits-beginsel atau asas subsidiaritas;
Untuk memenuhi syarat proporsionalitas, diisyaratkan tentang adanya suatu keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dengan kepentingan yang dikorbankan. Apabila pada suatu saat tertentu terdapat suatu pertentangan antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain maka kepentingan yang mempunyai nilai yang lebih tinggi itu haruslah ditolong, sedang kepentingan-kepentingan yang mempunyai nilai yang lebih rendah dapat dikorbankan. Untuk memenuhi syarat subsidiaritas, diisyaratkan bahwa pengorbanan dari kepentingan yang mempunyai nilai yang lebih rendah itu haruslah dapat mencegah agar kepentingan yang mempunyai nilai yang lebih tinggi jangan sampai harus ikut dikorbankan.  
Menurut Profesor van Bemmelen, yang dapat membuat seorang pelaku menjadi tidak dapat dihukum bukan saja karena prbuatn yang telah ia lakukan di dalam suatu noodtoestand itu telah memenuhi syarat proporsionalitas dan subsidiaritas tetapi juga apabila perbuatan yang telah ia lakukan merupakan suatu perbuatan yang telah terjadi sebagai akibat dari adanya suatu noodtoestand-exces.
Noodtoestandexces terjadi apabila keadaan darurat itu menimbulkan kegoncangan pikiran yang begitu hebat sehingga dari orang yang di dalam keadaan demikian tidak dapat dituntut untuk secara tenang menilai yang mana diantara kepentingan-kepentingan hukum atau kewajiban-kewajiban hukum yang lebih bernilai atau apakah keduanya masih sebanding atau senilai. Orang demikian tidak mampu lagi berpikir untuk menggunakan upaya lain gun mempertahankan kepentingannya sehingga ia mewujudkan delik. Menurut van Bemmelen apabila seseorang tidak dapat dituntut, dan apabila ia melewati batas-batas yang diperkenankan oleh ketentuan tentang overmacht (noodtoestandexces), maka ia tidak bersalah dan tidak boleh dipidana. Meskipun undang-undang tidak menyebut noodtoestandexces, namun menurut van Bemmelen ia harus diakui sebagai dasar penghapus kesalahan. Dengan kata lain dasar penghapusan pidana sama dengan noodweerexces yang diatur dalam pasal 49 ayat 2 KUHP. [65]

Ad. 5 : Peraturan Perundang-undangan (Wettelijk voorschrift)
Pasal 50 KUHP menentukan bahwa : “Tiada boleh dihukum barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan”.
Apakah yang menjadi “peraturan perundang-undangn”? (lihat pasal 219 KUHP). Pada permulaan Hoge Raad menerima suatu penafsiran sempit :”Peraturan perundang-undangan berarti undang-undang dalam arti formil” (wet in formele zin) yaitu peraturan yang dibuat oleh pembuat undang-undang pusat”.
Penafsiran luas : Dalam keputusan Hoge Raad tertanggal 26 Juni 1899, W. Belanda Nr. 7307, maka ditentukan bahwa “peraturan perundang-undangan” itu berarti undang-undang dalam arti materil yaitu peraturan umum. [66]
            Perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan itu harus suatu perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan guna kepentingan umum (algemen belang). Perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan guna kepentingan sendiri (eigen belang) tidak dibenarkan menurut pasal 50 KUHP. Pasal 50 KUHP hanya dapat membenarkan suatu perbuatan untuk menjalankan suatu kewajiban saja.[67]
Contoh dari peraturan perundang-undangan yang membenarkan hal itu adalah pasal 25 W.V.W. pasal ini (di Belanda) melarang membahayakan keamanan di jalan dan harus lebih diutamakan dari peraturan lalu lintas lainnya. Misalnya : seorang pengendara sepeda yang menurut Pasal 27 R.V.V. wajib menggunakan jalur untuk sepeda, harus bersepeda di jalan cepat untuk menghindari situasi berbahaya. Pasal 25 W. V.W. yang merupakan aturan inti lalu lintas mengharuskan dia berbuat demikian. (H.R. 9-5-1950). [68]
Sama seperti pada pembelaan terpaksa dan keadaan darurat, di sini berperan asas-asas subsidiaritas dan proporsionalitas. Asas subsidiaritas dalam hubungan ini berarti bahwa pembuat delik hanya akan berhasil dengan pembelaannya bedasarkan pelaksanaan peraturan undang-undang kalau dia diwajibkan untuk berbuat demikian. Asas proporsionalitas berarti bahwa dilakukannya delik hanya dapat dibenarkan apabila dalam pertentangan antara dua kewajiban hukum, yang lebih besar diutamakan perbandingan yang tepat harus dilakukan antara tujuan yang hendak dicapai dan sarana yang digunakan. [69]
Contoh. Putusan Jurusita. Dalam rangka menjalankan tugasnya, seorang jurusita mengosongkan sebuah rumah dan bertentangan dengan peraturan daerah menaruh perabot rumah tangga di jalan. Hoge Raad berpendapat bahwa jurusita itu secara tidak sah dipidana berdasarkan peraturan (kepolisian) daerah dengan motivasi bahwa pelaksanaan putusan hakim untuk mengosongkan rumah bagi jurusita yang ditunjuk merupakan tugas yang diperintahkan oleh undang-undang. Ini berarti bahwa jurusita berwenang dan berkewajiban untuk berbuat yang menurut pikiran sehat harus dilakukan untuk melaksanakan pengosongan. (H.R. 30-1-1928).[70]
            Peraturan perundang-undangan memberi kepada pembuat suatu hak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Hak ini menghapuskan unsur melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan oleh karena itu menjalankan suatu peraturan perundang-undangan adalah suatu rechtvaardigingsgrond. [71]

Ad.6 : Perintah Jabatan
            Pasal 51 KUHP mengadakan perbedaan antara suatu perintah yang dikeluarkan oleh suatu jabatan yang sah (ayat 1) dan suatu perintah yang dikeluarkan oleh suatu jabatan yang tidak sah (ayat 2). Yang dimaksud dengan “perintah” bukan saja suatu perintah konkrit (concreet bevel) tetapi juga suatu instruksi umum. [72]

Perintah Jabatan yang sah (Bevoegd gezag)
Pasal 51 ayat (1) KUHP : “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melakukan perintah jabatan, perintah yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak dipidana”.
Keputusan Hoge Raad tertanggal 27 November 1933 menyatakan bahwa hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah harus ada suatu hubungan menurut hukum publik (publiekrechtelijke verhouding). Tetapi baik yang memerintah maupun yang diperintah tidak perlu berstatus pegawai negeri dan tidak perlu yang diperintah  hierarkis dibawah yang memerintah.[73]
Perintah jabatan yang sah yaitu suatu perintah yang sah, memberi hak kepada yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Hak ini menghapuskan unsur melawan hukum, karena perintah jabatan tersebut adalah suatu rechtvaardigingsgrond. [74]

Perintah Jabatan yang Tidak Sah (Ambtelijk bevel door onbevoegd gezag)
Baik peraturan undang-undang maupun perintah jabatan dengan wewenang menghasilkan alasan pembenar. Tetapi ada bedanya. Pembuat boleh percaya bahwa peraturan perundang-undangan telah dibuat dan diumumkan secara sah. Tetapi dia harus waspada bahwa suatu perintah jabatan dapat diberikan tanpa wewenang, khususnya kalau perintah itu tidak sesuai dalam rangka tugasnya yang biasa. Hanya perintah yang sah yang harus ditaati, apabila seseorang tidak ingin melakukan perbuatan yang dapat dipidana. Jadi kepatuhan buta tidak menghalalkan. [75]
Pasal 51 ayat (2) KUHP menentukan bahwa pembuat harus memenuhi dua syarat agar ia dapat dikecualikan dari hukuman yaitu :[76]
  1. yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah yang dikeluarkan adalah suatu perintah yang tidak sah (syarat subjektif).
  2. menjalankan perintah itu harus diadakan dalam batas-batas lingkunganondergeschiktheid” dari yang diperintah pada yang memerintah. Yang diperintah harus hierarkis dibawah yang memerintah dan yang diperintah tidak boleh bertindak diluar batas-batas “ondergeschiktheid” nya.
Dalam hal perintah jabatan yang tidak sah, maka perbuatan yang bersangkutan adalah suatu perbuatan yang melawan hukum karena suatu perintah yang tidak sah tidak memberi suatu hak kepada pembuat perbuatan itu yang dapat membenarkan perbuatannya dan tidak ada suatu hak yang dapat menghapuskan unsur melawan hukum. [77]
            Pembentuk undang-undang telah memberikan ketentuan bahwa perintah jabatan yang tidak sah menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika dipenuhi syarat subjektif adanya itikad baik dan syarat objektif masuk dalam lingkungan pekerjaan orang yang diperintah, maka syarat-syarat yang demikian dapat menghapuskan kesalahan. Moelyatno berpendapat bahwa Pasal 51 ayat (2) KUHP merupakan alasan penghapus penuntutan, karena dalam hati pembuat tidak pernah menghadapi tekanan dari luar dan pemerintah mendasarkan atas pertimbangan utilitasuntuk tidak memidana.[78]

E.     Alasan-alasan penghapusan pidana di luar undang-undang
Alasan penghapusan pidana di luar undang-undang, yaitu :
1.      Tidak ada kesalahan sama sekali / Avas
Meskipun dikatakan tidak ada kesalahan sama sekali, alasan penghapusan pidana tidak menghendaki bahwa semua kesalahan, semua celaan tidak ada sama sekali. Maksudnya bahwa pembuat telah cukup berusaha untuk tidak melakukan delik, yang disebut : sesat yang dapat dimaafkan.[79]
2.      Tidak ada sifat melawan hukum materil
Perbuatn yang dituduhkan kepada terdakwa tidak melanggar kepentingan hukum yang hendak dilindungi pembentuk undang-undang meskipun semua bagian tertulis dari rumusan delik terpenuhi.[80]
Contoh : Putusan Dokter Hewan (HR. 20-02-1933)


Kesimpulan :
Alasan penghapusan pidana terbagi atas :
1. Schulduitsluitingsgronden (Alasan Penghapus Kesalahan / Alasan Pemaaf)

   a.  Ketidakmampuan Bertanggungjawab (Ontoerekeningsvatbaarheid)
Tercantum dalam Pasal 44 KUHP yang menyatakan bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya karena kurang sempurna akalnya atau
karena sakit berubah akal.

b.  Daya Paksa (Overmacht)
Tercantum dalam Pasal 48 KUHP     yang menyatakan seseorang yang telah melakukan sesuatu perbuatan karena suatu keadaan yang memaksa tidak dapat dihukum. Daya paksa yang dimaksud berupa paksaan psikis, phisik, dan keadaan darurat (noodtoestand).

c.   Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas ( Noodweerexces)
Tercantum  dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang menyatakan seseorang yang melakukan pembelaan melampaui batas yang dilakukannya karena sangat panas hatinya disebabkan adanya suatu serangan tidak dapat dihukum.
Noodweerexces adalah pembelaan terpaksa melampaui batas, yang disebabkan oleh suatu tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang lain yang mengancam. Pembelaan terpaksa yang dilakukan yaitu pembelaan raga, kehormatan kesusilaan, atau harta benda terhadap serangan seketika yang melawan hukum. Serangan menyebabkan kegoncangan jiwa yang meliputi rasa marah, takut, panik, dsb.

d.      Perintah Jabatan yang Tidak Sah (Ambtelijk bevel door onbevoegd gezag)
Tercantum dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP yang mengandung unsur-unsur, yaitu :
-                yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah yang dikeluarkan adalah suatu perintah yang tidak sah (syarat subjektif).
-                menjalankan perintah itu harus diadakan dalam batas-batas lingkunganondergeschiktheid” dari yang diperintah pada yang memerintah. Yang diperintah harus hierarkis dibawah yang memerintah dan yang diperintah tidak boleh bertindak diluar batas-batas “ondergeschiktheid” nya.



2. Rechtvaardigingsgronden (Alasan Pembenar)
a.   Pembelaan Terpaksa (Noodweer)
Tercantum dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP yang menyatakan seseorang yang melakukan suatu perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan seketika yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, kehormatan kesusilaan, harta benda sendiri atau orang lain, tidak dapat dipidana.tidak dapat dihukum
Dalam Pasal 49 ayat (1) dapat dilihat ada enam unsur-unsur pembelaan darurat atau terpaksa yaitu : [81]
-          suatu serangan
-          serangan itu diadakan sekoyong-koyong (ogenblikkelijk) atau suatu ancaman yang kelak akan dilakukan (onmiddellijk dreigende aanranding)
-          serangan itu melawan hukum (wederrechtelijk)
-          serangan itu diadakan terhadap diri sendiri, diri orang lain, kehormatan diri sendiri, kehormatan orang lain, harta benda sendiri, harta benda orang lain.
-          Pembelaan terhadap serangan itu harus perlu diadakan (noodzakelijk) yakni pembelaan itu bersifat “darurat”.
-          Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus setimpal.

b.    Noodtoestand (Keadaan Darurat)
Noodtoestand merupakan bagian dari Overmacht yang tercantum dalam Pasal 48 KUHP. Dalam suatu noodtoestand atau dalam suatu keadaan terpaksa, perbuatan dari pelakunya menjadi tidak dapat dipersalahkan kepadanya oleh karena pada diri pelaku tersebut tidak terdapat unsur schuld.
Keadaan darurat (noodtoestand) dapat merupakan schulduitsluitingsgronden maupun rechtvaardigingsgronden.
Suatu noodtoestand dapat terjadi apabila pada saat yang sama telah terdapat : Suatu pertentangan antara dua macam kepentingan hukum yang berbeda; Suatu pertentangan antara suatu kepentingan hukum dengan suatu kewajiban hukum.; Suatu pertentangan antara dua macam kewajiban hukum yang berbeda;

c.   Peraturan Perundang-undangan (Wettelijk voorschrift)
Tercantum dalam Pasal 50 KUHP menentukan bahwa : “Tiada boleh dihukum barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan”.
Perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan itu harus suatu perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan guna kepentingan umum (algemen belang). Perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan guna kepentingan sendiri (eigen belang) tidak dibenarkan menurut pasal 50 KUHP. Pasal 50 KUHP hanya dapat membenarkan suatu perbuatan untuk menjalankan suatu kewajiban saja.

d.   Perintah Jabatan yang sah (Bevoegd gezag)
Tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP yang menyatakan seseorang melakukan perbuatan untuk melakukan perintah jabatan, perintah yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak dipidana.
Perintah jabatan yang sah yaitu suatu perintah yang sah, memberi hak kepada yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Hak ini menghapuskan unsur melawan hukum, karena perintah jabatan tersebut adalah suatu rechtvaardigingsgrond.


[1] Bambang Poenomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1978, Hal.191
[2] A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, Hal. 189
[3] Utrecht, Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas Djakarta, tidak bertahun, Hal.343
[4] Bambang Poernomo, Op. Cit, Hal.192
[5] Utrecht, Op. Cit, Hal.344
[6] J.E.Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995, Hal. 55
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Utrecht, Loc.Cit.
[10] A. Zainal Abidin Farid, Op.Cit, Hal.201-202
[11] Utrecht, Op.Cit, Hal.345.,  lihat  J.E.Sahetapy, Op.Cit, Hal.56
[12] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, Hal.137
[13] Utrecht, Loc.Cit
[14] J.E.Sahetapy, Loc.Cit.
[15] Ibid, Hal.57
[16] Ibid, Hal.150
[17] A.Zainal Abidin Farid, Op.Cit, Hal.189-190., lihat Utrecht, Op.Cit, Hal. 69
[18] J.E.Sahetapy, Op.Cit, Hal. 69
[19] A. Zainal Abidin Farid, Op.Cit, Hal. 191
[20] Ibid, Hal.192
[21] J.E.Sahetapy, Op.Cit, Hal.69-70
[22] Ibid, Hal.58
[23] A. Zainal Abidin Farid, Op.Cit, Hal.198
[24] Utrecht, Op.Cit, Hal. 364
[25] J.E.Sahetapy, Op.Cit, Hal.59
[26] P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, Hal.441
[27] Ibid, Hal.442
[28] Ibid.
[29] J.E.Sahetapy, Loc.Cit.
[30] Ibid.
[31] P.A.F.Lamintang, Op.Cit,Hal.457
[32] Utrecht, Op.Cit, Hal.364
[33] P.A.F.Lamintang, Op.Cit,Hal.443
[34] J.E.Sahetapy, Op.Cit,Hal.60
[35] P.A.F.Lamintang, Op.Cit,Hal.447
[36] Ibid.
[37] J.E.Sahetapy, Op.Cit,Hal.60
[38] Ibid, Hal.62
[39] Utrecht, Op.Cit, Hal.373
[40] Ibid.
[41] Ibid, Hal.374
[42] J.E.Sahetapy, Op.Cit, Hal.62
[43] A.Zainal Abidin Farid, Op.Cit, Hal.200
[44] Ibid, Hal.201
[45] J.E.Sahetapy, Op.Cit, Hal.64
[46] P.A.F.Lamintang, Op.Cit, Hal. 407
[47] A.Zainal Abidin Farid, Op.Cit, Hal.192
[48] P.A.F.Lamintang, Op.Cit, Hal. 408

[49] Bambang Poernomo, Op.Cit,Hal. 195
[50] A.Zainal Abidin Farid, Op.Cit, Hal.192-193
[51] Ibid, Hal.193
[52] P.A.F.Lamintang, Op.Cit, Hal. 410


[53] Ibid.
[54] Ibid.
[55] A.Zainal Abidin Farid, Loc.Cit.
[56] P.A.F.Lamintang, Loc.Cit,
[57] A.Zainal Abidin Farid, Op.Cit, Hal.194
[58] P.A.F.Lamintang, Op..Cit, Hal.421
[59] Utrecht, Op.Cit, Hal.348
[60] P.A.F.Lamintang, Op..Cit, Hal.421-423., lihat A. Zainal Abidin Farid, Op.Cit,Hal.195-196

[61] J.E.Sahetapy, Op.Cit,Hal.64
[62] Utrecht, Op.Cit, Hal. 361
[63] P.A.F.Lamintang, Op..Cit, Hal.424
[64] Ibid, Hal.425
[65] Ibid, Hal.433., lihat A.Zainal Abidin Farid, Op.Cit, Hal. 197-198
[66] Utrecht, Op.cit, Hal.374
[67] Ibid, Hal.375
[68] J.E.Sahetapy, Op.Cit, Hal.66
[69] Ibid.
[70] Ibid. Hal.67
[71] Utrecht, Op.cit, Hal.376
[72] Ibid.
[73] Ibid, lihat J.E.Sahetapy, Op.Cit, Hal.67
[74] Utrecht, Op.Cit, Hal.377
[75] J.E.Sahetapy, Op.Cit., Hal.68
[76] Utrecht, Op.Cit, Hal.378., lihat Bambang Poernomo, Op.Cit, Hal. 202
[77] Ibid.
[78] Bambang Poernomo, Op.Cit, Hal.202
[79] J.E.Sahetapy, Op.Cit, Hal.70
[80] Ibid, Hal.71
[81] Utrecht, Op.Cit, Hal. 364

Terimakasih kepada "Poetri" yang telah mengedit tulisan ini

1 komentar: