Sabtu, 25 Desember 2010

PENGADUAN MASYARAKAT TERHADAP DUGAAN TERJADINYA
PENCEMARAN  DAN ATAU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

oleh: Alvi Syahrin


            Setiap orang dalam rangka melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mempunyai hak dan berperan dalam mengajukan pengaduan terhadap dugaan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 63 ayat (1) huruf ‘r’ dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Linkungan Hidup (UUPPLH) Pemerintah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertugas dan berwenang mengembangkan dan melaksanakan pengelolaan pengaduan masyarakat. Tugas dan wewenang tersebut dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Minggu, 19 Desember 2010

KETENTUAN PASAL 124  -  126 UUPPLH DAN
PENANGANAN KASUS PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

oleh: Alvi Syahrin

          Ketentuan Pasal 124 – Pasal 126 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) diatur dalam Bab XVII dengan di beri titel Ketentuan Penutup. Adapun bunyi dari Pasal 124 – 126 UUPPLH, sebagai berikut:

Pasal 124 UUPPLH:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 125 UUPPLH:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 126 UUPPLH:
Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.

ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL)

oleh: Alvi Syahrin



Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) berdasarkan Pasal 1 angka (11) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dan berdasarkan Pasal 14 UUPPLH, Amdal merupakan satu diantara instrumen pencegahan dan atau kerusakan lingkungan. Ketentuan lebih lanjut mengenai Amdal diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (PP No. 27/1999).

Berdasarkan Pasal 22 UUPPLH, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:
a.    besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b.    luas wilayah penyebaran dampak;
c.    intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d.    banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e.    sifat kumulatif dampak;
f.    berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau 
g.    kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi Amdal berdasarkan Pasal 23 ayat (1) UUPPLH terdiri atas:
a.    pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b.   eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;
c.    proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d.   proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e.    proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; 
f.     introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g.    pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
h.   kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau
i.     penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UUPPLH, diatur dengan peraturan Menteri. Adapun peraturan Menteri yang dimaksud pada saat ini yaitu: Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (PermenLH No. 11/2006).

Dokumen Amdal berdasarkan Pasal 24 UUPPLH merupakan dasar keputusan kelayakan lingkungan hidup. Dan berdasarkan Pasal 25 UUPPLH, dokumen Amdal memuat:
a.    pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b.    evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;
c.    saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;
d.    prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan;
e.    evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan
f.      rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dimuat dalam dokumen Amdal dimaksudkan untuk menghindari, meminimalkan, memitigasi, dan/ata mengompensasikan dampak suatu usaha dan/atau kegiatan.
Penyusunan dokumen Amdal berdasarkan Pasal 26 UUPPLH, disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. Pelibatan masyarakat dilaksanakan dalam proses pengumuman dan konsultasi publik dalam rangka menjaring saran dan tanggapan. Masyarakat yang dimaksud meliputi masyarakat yang terkenan dampat, pemerhati lingkungan hidup dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. Selanjutnya, Masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal.

Dalam menyusun dokumen Amdal, pemrakarsa berdasarkan Pasal 27 UUPPLH, dapat meminta bantuan kepada pihak lain. Pihak lain yang dimaksud antara lain lembaga penyusun amdal atau konsultan. Penyusun Amdal, berdasarkan Pasal 28 UUPPLH, wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun Amdal. Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun amdal, meliputi: a. Penguasaan metodologi penyusunan amdal; b. kemampuan melakukan pelingkupan, prakiraan, dan evaluasi dampak serta pengambilan keputusan; dan c. kemampuan menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Sertifikat kompetensi penyusun Amdal diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi penyusun amdal yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi penyusun Amdal diatur dengan peraturan Menteri. Peraturan Menteri dimaksud yaitu Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor  07 Tahun 2010 Tentang Sertifikasi Kompetensi Penyusunan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyususn Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (PermenLH No. 07/2010).

Penyusun Amdal Penyusun dokumen Amdal adalah orang yang memiliki kompetensi pada kualifikasi tertentu dan bekerja di bidang penyusunan dokumen Amdal. Kompetensi merupakan kemampuan personil untuk mengerjakan suatu tugas dan pekerjaan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang dapat dipertanggungjawabkan. Sertifikat kompetensi adalah tanda pengakuan kompetensi seseorang yang memenuhi standar kompetensi tertentu setelah melalui uji kompetensi. Uji kompetensi merupakan kegiatan untuk mengukur tingkat pengetahuan, ketrampilan personil dan sikap kerja dalam mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan. Standar kompetensi yaitu suatu ukuran atau kriteria yang berisi rumusan mengenai kemampuan personil yang dilandasi oleh pengetahuan, ketrampilan dan didukung sikap kerja serta penerapannya di tempat kerja yang mengacu pada unjuk kerja yang dipersyaratkan.

Lembaga penyedia jasa penyusunan dokumen Amdal berdasarkan Pasal 3 PermenLH No. 07/2010, wajib memenuhi persyaratan:
a.    berbadan hukum;
b.     memiliki paling sedikit 2 (dua) orang tenaga tetap penyusun dokumen Amdal yang memiliki sertifikat kompetensi dengan kualifikasi ketua tim penyusun dokumen Amdal;
c.    memiliki perjanjian kerja dengan tenaga tidak tetap penyusun dokumen Amdal yang memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen Amdal dan seluruh personil yang terlibat dalam penyusunan dokumen Amdal yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, termasuk dalam hal ketidakberpihakan;
d.    memiliki sistem manajemen mutu; dan
e.     melaksanakan pengendalian mutu internal terhadap pelaksanaan penyusunan dokumen Amdal, termasuk menjaga prinsip ketidakberpihakan dan/atau menghindari konflik kepentingan.

Dokumen Amdal, berdasarkan Pasal 29 UUPPLH, dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Persyaratan dan tatacara lisensi dengan Peraturan Menteri.

Komisi Penilai Amdal, berdasarkan Pasal 30 UUPPLH, terdiri atas wakil dari unsur:
a.    instansi lingkungan hidup;
b.   instansi teknis terkait;
c.    pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;
d.   pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;
e.    wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan
f.     organisasi lingkungan hidup.

Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas pakar independen yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk untuk itu. Pakar independen dan sekretariat ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Ketentuan Pasal 31 UUPPLH mengatur bahwa, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal.

Pemerintah dan pemerintah daerah berdasarkan Pasal 32 UUPPLH, membantu penyusunan amdal bagi usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup.  Bantuan penyusunan amdal dimaksud berupa fasilitasi, biaya, dan/atau penyusunan amdal. Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal berdasarkan Pasal 36 UUPPLH, wajib memiliki izin lingkungan. Izin lingkungan dimaksud diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Izin lingkungan tersebut wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup. Dan izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan Pasal 37 UUPPLH, wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal. Dan Izin lingkungan dapat dibatalkan apabila: a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi; b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atau c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, diantaranya bertugas dan berwenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai Amdal dan UKL-UPL.

Masyarakat berdasarkan Pasal 93 ayat (1) huruf ‘a’ UUPPLH, dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal. Dan tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara berdasarkan Pasal 93 ayat (2) UUPPLH, mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Berdasarkan Pasal 69 ayat (1) huruf  ‘i’ UUPPLH, setiap orang dilarang, menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun Amdal.  Jika menyusun Amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun Amdal, berdasarkan Pasal 110 UUPPLH, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Kemudian,  berdasarkan Pasal 111 ayat (1) UUPPLH, Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL, dipidana dengan pidana penjara paling lama  3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).


alviprofdr.blogspot.com



Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan



 
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana dan atau Kegiatan Usaha Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup


 

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2010 tentang Sertifikasi Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

Sabtu, 18 Desember 2010

UNSUR “MEMILIKI BARANG” DALAM TINDAK PIDANA PENGGELAPAN

oleh: Alvi Syahrin


       Tindak pidana penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP, dan berbunyi sebagai berikut:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”.

       Memperhatikan rumusan Pasal 372 KUHP, dapat di uraikan bahwa satu diantara unsur-unsur Pasal 372 KUHP tersebut, yaitu: unsur “memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain”’

       Unsur “memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 KUHP, harus diartikan sebagai: menguasai  suatu benda bertentangan dengan sifat dari hak yang dimiliki atas benda itu (Putusan Mahkamah Agung No. 69 K/Kr/1959 tanggal 11-8-1959) atau juga menguasai sesuatu barang bertentangan dengan sifat dari hak yang dijalankan seseorang atas barang-barang tersebut (Putusan Mahkamah Agung No. 83 K/Kr/1956 tanggal 8-5-1957). Artinya, pengertian memiliki pada seseorang dalam penggelapan ia (seakan) sebagai pemiliknya. Seakan sebagai pemilik yang dimaksud dapat dilihat jika orang yang disebut dalam Pasal 374 KUHP itu menjual barang tersebut, atau menggadaikan barang tersebut, atau menghadiahkan barang tersebut, atau menukarkan barang tersebut kepada orang lain, sehingga kepemilikan atas barang tadi menjadi berpindah dari si penggelap kepada pihak ketiga (pihak lain).

Unsur “memiliki” dalam tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP) merupakan unsur yang penting, dan penggelapan tersebut di pandang sudah sempurna jika tindakan kepemilikan itu sudah terjadi. Menurut SR Sianturi (dalam bukunya: Tindak Pidana di KUHP berikut uraiannya, Penerbit Alumni AHM-PTHM Jakarta, 1983, hal.: 626) menyatakan: penggelapan dipandang sudah sempurna jika tindakan pemilikan itu sudah terjadi. Demikian juga pendapat R. Soesilo (dalam bukunya: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap Pasal Demi Pasal, Politea Bogor, 1988, hal. 258) menyatakan: “memiliki” = menurut arrest Hoge Raad 16 Oktober 1905 dan 26 Maret 1906 ialah pemegang barang yang menguasai atau bertindak sebagai pemilik barang itu berlawanan dengan hukum yang mengikat padanya, sebagai pemegang barang itu. Dipandang sebagai “memiliki” misalnya: menjual, memakan, membuang, menggadaikan, membelanjakan uang dsb.”, sehingga dapat diartikan bahwa dalam penggelapan harus telah terjadi adanya kepemilikan atas barang yang digelapkan tersebut, jika belum terjadi kepemilikan atas barang tersebut maka penggelapan belum terjadi, karena unsur memiliki tidak terpenuhi.

Bagaimana halnya, jika terjadi seseorang (A) menitipkan surat-surat kepemilikan atas suatu barang kepada (B),  kemudian ternyata (B) tidak mau mengembalikan surat-surat tersebut kepada (A), dan terhadap surat-surat kepemilikan tersebut hanya di simpan oleh si (B),  apakah si (B) dapat dikatakan sebagai orang yang telah melakukan penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP?

Dalam kasus yang dikemukakan di atas, tidak serta merta si (B) dapat dikatakan telah melakukan penggelapan (Pasal 372 KUHP). Ada fakta-fakta hukum yang harus diperhatikan, oleh karena, jika belum sampai kepada “memiliki” terhadap barang sebagaimana yang disebut dalam surat kepemilikan tersebut maka belum dapat dinyatakan sebagai telah melakukan penggelapan. Surat-surat kepemilikan barang merupakan keterangan terhadap suatu kepemilikan barang, dengan disimpan saja surat-surat tersebut oleh si (B) tidak menjadikan terjadinya perubahan kepemilikan atas barang tersebut, dan surat-surat kepemilikan suatu barang bukanlah sebagai pengertian barang dalam Pasal 372 KUHP.

Jika pengertian memiliki suatu barang diartikan sebagai pengertian “penguasaan”, maka pengertian “penguasaan” tersebut harus dikaitkan dengan (hak) kepemilikan, artinya penguasaan seolah-olah ia sebagai pemilik, sehingga jika kepemilikan belum pernah beralih, tidak menjadikan perbuatan penggelapan sudah terjadi. Penguasaan atas surat-surat pada si (B) belum sampai menjadi suatu “penguasaan dengan melawan hukum”, sebab penguasaan terhadap surat-surat kepemilikan tersebut hanya disimpan oleh si (B) dan tidak terjadi adanya peralihan kepemilikan. Tindak pidana penggelapan dipandang sempurna jika tindakan pemilikan itu sudah terjadi.

Mengartikan “surat-surat bukti kepemilikan” sebagai “barang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP merupakan penafsiran yang keliru. Oleh karena “surat-surat bukti kepemilikan” hanya menunjukkan siapa yang menjadi pemilik suatu barang (hanya menerangkan kepemilikan) bukan sebagai barang (benda obyek kepemilikan). Kalau  surat-surat kepemilikan tersebut disimpan tidak akan menyebabkan hilangnya kepemilikan suatu barang.

Selanjutnya, jika tidak pernah menjadikan surat-surat tersebut untuk dimiliki atau dalam penguasaan sebagai pemilik, karena si (B) tidak pernah menggunakan surat-surat tersebut untuk dijadikan jaminan, atau dijual, atau menggadaikannya atau melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan telah terjadinya kepemilikan atas barang-barang yang disebutkan dalam surat-surat yang menjadi barang bukti dalam perkara ini, maka unsur “memiliki barang” sebagaimana dalam Pasal 372 KUHP tidak akan terpenuhi.

Berdasarkan ketentuan Hukum Pidana, untuk dapat dikatakan seseorang itu telah melakukan suatu tindak pidana apabila yang bersangkutan telah melakukan perbuatan (memenuhi unsur obyektif) sebagaimana yang di atur dalam ketentuan hukum pidana.  Hal ini bersesuaian dengan pendapat Dr Ny Komariah Emong Sapardjaja yang menyatakan: “ ... dalam kasus konkret, pelanggaran terhadap norma-norma hukum pidana yang dilakukan oleh seseorang yang harus dibuktikan oleh seorang penuntut umum adalah unsur-unsur yang ada dalam perumusan tindak pidana.”.

Terhadap surat-surat kepemilikan tersebut, apabila si (B) tidak pernah mengalihkan kepemilikannya atau telah melakukan pemilikan atas obyek yang diterangkan dalam surat-surat tersebut ataupun melakukan tindakan hukum atas surat tersebut sehingga si (B) seolah-olah telah memiliki obyek surat tersebut seperti menjual, menggadaikan atau menjadikan surat tersebut memiliki nilai ekonomis sehingga terdakwa/pemohon kasasi mendapat keuntungan atas tindakan tersebut, maka si (B) tidak dapat dikatakan sebagai “memiliki”.

Menurut Hukum pidana, tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Dengan demikian perbuatan si (B) baru bisa dikatakan telah melakukan tindak pidana jika telah memenuhi semua unsur perbuatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 372 KUHP. Si (B) sebenarnya belum melaksanakan apa yang diinginkan oleh Pasal 372 KUHP, yaitu memiliki barang yang digelapkan. Jikapun ada perbuatan yang dilakukan oleh si (B) belum sampai kepada perbuatan yang menyebabkan telah terjadinya kepemilikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 372 KUHP. Artinya si (B) belum mulai mewujudkan perbuatan memiliki, penguasaan terhadap surat-surat si (A) masih sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (sebagai orang yang dititipkan surat), perbuatan si (B) kalaupun ada hanya baru sampai kepada perbuatan persiapan, belum sampai kepada perbuatan pelaksanaan.

Perbuatan persiapan melakukan tindak pidana hanya terjadi apabila pembuat berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana, mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan atau melakukan tindakan-tindakan serupa yang dimaksudkan menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian tindak pidana. Dan perbuatan persiapan ini tidak dapat dipidana sebagaimana yang dikemukakan oleh Jan Remmelink (dalam buku terjemahan Tristam P Moeliono, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal.304) yang menyatakan: “... persiapan untuk melakukan persiapan juga tidak layak diancam pidana”. Dan pandangan Prof. Dr D. Schaffmeister, Prof Dr N Keijzer, Mr E PH Sutorius (dalam editor Prof. Dr JE Sahetapy, SH.MA, Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen P & K, Liberty Yogyakarta, 1995, hal. 219) yang menyatakan: “tidak dapat dipidana karena belum ada permulaan pelaksanaan dalam arti Pasal 53 KUHP ...”.

Selasa, 07 Desember 2010

KETENTUAN PIDANA
UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2006
TENTANG PENATAAN RUANG

Oleh: Alvi Syahrin


Pasal 69 UU No. 27/2006:
(1)  Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 61 huruf ‘a’ UU No. 27/2006:
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;

Penjelasan Pasal 61 Huruf  ‘a’:
Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang untuk memiliki izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang.

Unsur-unsur Pasal 69 ayat (1) UU No. 27/2006, yaitu:
-            Melakukan suatu perbuatan;
-            Tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
(kewajiban setiap orang untuk memiliki izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang;
Pemanfaatan ruang  berdasarkan Pasal 1 angka (14), yaitu upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
Izin pemanfaatan ruang berdasarkan Pasal 1 angka (32) UU No. 27/2006, adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Ketentuan tentang pemanfatan ruang perhatikan Pasal 32  sampai dengan  Pasal 40 UU No. 27/2006.
-            Mengakibatkan perubahan fungsi ruang;
Perubahan fungsi ruang yaitu perubahan fungsi ruang sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang.
-            Dengan sengaja.
   Tindak pidana yang merupakan “kesengajaan” disyaratkan bahwa tindak pidana itu dilakukan dengan sengaja, dan opzet tersebut hanya dapat ditujukan kepada:
1.      Tindakan-tindakan, baik tindakan untuk melakukan sesuatu maupun tindakan untuk tidak melakukan sesuatu;
2.     Tindakan untuk menimbulkan sesuatu akibat yang dilarang oleh undang-undang;
3.     Dipenuhinya unsur-unsur selebihnya dari tindak pidana yang bersangkutan.
Dengan sengaja didalamnya terkandung elemen volitief (kehendak) dan intelektual (pengetahuan). Tindakan dengan sengaja selalu willens (dikehendaki) dan wetens (disadari atau diketahui). Perkatan “willens en wetens”  memberikan suatu kesan bahwa seseorang pelaku itu baru dapat dianggap sebagai telah melakukan kejahatannya dengan sengaja, apabila ia memang benar-benar berkehendak untuk melakukan kejahatan tersebut dan mengetahui tentang maksud dari perbuatannya itu sendiri.
Secara umum ada tiga bentuk kesengajaan (opzet), yaitu:
a. kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk);
b.  kesengajaan dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewustheid van zekerheid of noodzakelijkheid);
c. kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan terjadi (opzet met mogelijkheidsbewustzijn);
Kesengajaan sebagai maksud merupakan jika pembuat menghendaki akibat perbuatannya, ia tidak akan pernah melakukan perbuatannya apabila akibat perbuatan itu tidak akan terjadi.
Bentuk kesengajaan dengan kesadaran tentang kepastian merupakan bahwa  pembuat yakin akibat yang dimaksudkannya tidak akan terjadi atau tercapai tanpa terjadinya akibat yang dimaksud atau akibat yang tidak dapat dielakkan terjadi.
Bentuk sengaja dengan kesadaran kemungkinan terjadi merupakan pembuat tetap melakukan yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain yang sama sekali tidak diinginkannya terjadi.
Pengertian orang dalam Pasal 69 UU No. 27/2006, berdasarkan Pasal 1 angka (33), yaitu orang perseorangan dan/atau korporasi.


Unsur-Unsur Pasal 69 ayat (2) UU No. 27/2006, yaitu:
Selain keseluruhan unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 69 ayat (1) UU No. 27/2006, ditambah dengan unsur:
-            Mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang.

Unsur-unsur Pasal 69 ayat (3) UU No. 27/2006, yaitu:
Selain keseluruhan unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 69 ayat (1) UU No. 27/2006, ditambah dengan unsur:
-            Mengakibatkan kematian.




Pasal 70 UU No. 27/2006
(1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu  miliar lima ratus juta rupiah).
(4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 61 huruf ‘b’ UU No. 27/2006:
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;

Unsur-Unsur Pasal 70 ayat (1) UU No. 27/2006, yaitu:
-            Memanfaatkan ruang;
-            Tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
-            Dengan sengaja.

Unsur-Unsur Pasal 70 ayat (2) UU No. 27/2006, yaitu:
-            Memanfaatkan ruang;
-            Tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
-            Mengakibatkan perubahan fungsi ruang;
-            Dengan sengaja.

Unsur-Unsur Pasal 70 ayat (3) UU No. 27/2006, yaitu:
-            Memanfaatkan ruang;
-            Tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
-            Mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang
-            Dengan sengaja.

Unsur-Unsur Pasal 70 ayat (4) UU No. 27/2006, yaitu:
-            Memanfaatkan ruang;
-            Tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
-            Mengakibatkan kematian orang
-            Dengan sengaja.



Pasal 71 UU No. 27/2006.
Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 61 huruf ‘c’ UU No. 27/2006:
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan

Unsur-Unsur Pasal 71 UU No. 27/2006, yaitu:
-           Melakukan perbuatan;
-          Tidak mematuhi ketentuan yang ditetaokan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang;
-            Dengan sengaja.



Pasal 72 UU No. 27/2006.
Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 61 huruf ‘d’ UU No. 27/2006:
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
d.   memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Unsur-unsur Pasal 72 UU No. 27/2006, yaitu:
-         Melakukan perbuatan;
-        Tidak memberi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum;
-         Dengan sengaja.



Pasal 73 UU No. 27/2006:
(1) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)  Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.

Pasal 37 ayat (7) UU No. 27/2006:
Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

Unsur-unsur Pasal 73 UU No.27/2006, yaitu:
-          Menerbitkan izin pemanfaatan ruang;
-          Izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan tidak sesuai dengan rencana tata ruang;
-          Dengan sengaja
Dilakukan oleh pejabat yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang



Pasal 74 UU No. 27/2006:
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72.
(2)     Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Ketentuan Pasal 74 UU No. 27/2006, mengatur tentang pertanggung-jawaban pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi dalam hal korporasi tersebut melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 69 s/d Pasal 72 UU No. 27/2009.
Berdasarkan Pasal 74 UU No. 27/2006, tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, yaitu terhadap:
a.    Korporasi;
b.    Pengurus korporasi;
c.    Korporasi dan pengurus korporasi.
Selanjutnya, terhadap pengurus korporasi di jatuhi hukuman sebagaimana yang tercantum dalam ancaman pidana pada pasal-pasal ketentuan pidana dalam Pasal 69 s/d Pasal 72 UU No. 27/2009.
Hukuman terhadap korporasi yaitu berupa denda sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 69 s/d Pasal 72 UU No. 27/2006. Besarnya ancaman  denda yang dijatuhkan (dikenakan) terhadap korporasi yaitu tiga kali dari jumlah denda yang dicatumkan dalam Pasal 69 s/d Pasal 72 UU No. 27/2006. Selain hukuman denda tersebut, korporasi juga dapat dikenakan hukuman tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum.



Pasal 75 UU No. 27/2006
(1) Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72, dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak pidana.
(2) Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana.

Berdasarkan Pasal 75 UU No. 27/2006, setiap orang dalam hal ini baik orang perorangan maupun korporasi yang menderita kerugian akibat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 s/d Pasal 72 UU No. 27/2006, dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian secara perdata. Namun demikian, tuntutan ganti kerugian secara perdata tersebut pelaksanaannya berdasarkan ketentuan yang di atur dalam hukum acara pidana.
Hukum Acara Pidana yang dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) UU No. 27/2006, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (yang disingkat dengan KUHAP). Ketentuan ganti kerugian tersebut diatur dalam Bab XIII KUHAP yaitu dari Pasal 98 sampai Pasal 101 KUHAP.
Memperhatikan ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP, maka tuntutan ganti kerugian tersebut merupakan tuntutan ganti kerugian:
-      yang ditimbulkan oleh tindak pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 69 s/d Pasal 72 UU No. 27/2006;
-       kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang tercantum dalam Pasal 69 sampai 72 UU No. 27/2006 atau orang lain menderita kerugian akibat dari tindak pidana yang tercantum dalam Pasal 69 sampai 72 UU No. 27/2006;
-      tuntutan ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 69 sampai 72 UU No. 27/2006, ditujukan kepada “sipelaku tindak pidana yang tercantum dalam Pasal 69 sampai 72 UU No. 27/2006”. Artinya, tuntutan ganti rugi diajukan kepada terdakwa.
-      tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa digabung atau diperiksa dan diputus sekaligus bersamaan dengan pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang didakwakan kepada terdakwa.

Ketentuan Pasal 98 KUHAP, menetapkan bahwa jka suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. Permintaan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum, mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Selanjutnya, Pasal 99 KUHAP, menetapkan bahwa apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 98 KUHAP, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut. Namun demikian, jika pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) KUHAP atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Selanjutnya, Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.
Memperhatikan ketentuan Pasal 99 ayat (2) KUHAP yang menetapkan bahwa putusan hakim hanya terbatas tentang penetapan hukuman pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan, maka tuntutan ganti rugi yang dapat diajukan korban atau yang menderita kerugian akibat tindak pidana yang tercantum dalam Pasal 69 sampai 72 UU No. 27/2006, hanya terbatas pada jumlah kerugian materiel yang dialami oleh korban atau orang yang menderita kerugian, sedangkan untuk gugatan kerugian im-materiel harus lagi digugat tersendiri dalam gugatan perkara biasa.
Menurut ketentuan Pasal 100 KUHAP, apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding. Dan apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.
Kemudian, berdasarkan Pasal 101 KUHAP, ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain.