Rabu, 17 November 2010

IZIN LINGKUNGAN

IZIN LINGKUNGAN
oleh: alvi syahrin

I.                   Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewajiban bagi negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.
  Ketentuan Pasal 1 angka (3) UUPPLH, menetapkan bahwa pembangunan berkelanjutan sebgai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Keberlanjutan memerlukan integrasi antara ekonomi, sosial dan lingkungan, yang berarti menghubungkan pencapaian kemajuan ekonomi yang kita perlukan saat sekarang sejalan dengan kemajuan lingkungan dan sosial. Untuk mencapai integrasi ketiga hal tersebut  merupakan tantangan, dan diperlukan cara pendekatan baru untuk mencapai konsep keberlanjutan. Cara baru yang dilakukan yakni dengan bentuk pemikiran transdisiplin yang fokus pada hubungan diantara satu bidang dengan bidang lainnya dan isi bidang itu sendiri, dengan mengembangan konsep baru, metode-metode dan alat alat yang terintegerasi dan sintetis, sehingga akan menghasilkan synergi.
Keberlanjutan dikatakan kuat (Strong Sustainability) karena menunjukkan keunggulan dalam aspek ekologi,dan menganggap kerangka kerja sosial berada dalam aspek ekologi, dan faktor ekonomi merupakan bagian dari  kerangka kerja sosial. Keberlanjutan yang kuat menolak ekuivalensi semua kapital, dan mempertahankan asset ekologi penting untuk kelangsungan hidup manusia. Melindungi kritikal natural kapital, tidak boleh berkurang atau musnah
Keberlanjutan dikatakan lemah (Weak Sustainability), karena memaksa/menekankan aspek ekonomi dan sosial untuk setiap pemakaian/pengorbanan lingkungan.  Keberlanjutan yang lemah,tidak menempatkan lingkungan sebagai faktor penting, menganggap bahwa semua faktor kapital dapat digantikan satu dengan yang lain.
Pengelolaan lingkungan hidup memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya serta perlu dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan, sehingga lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan.


II.           Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehingga perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain.
Mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana, diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.
Ketentuan Pasal 65 UUPPLH, menetapkan bahwa:
(1)   Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
(2)   Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(3)   Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
(4)   Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.
(5)   Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Kemudian, Pasal 66 UUPPLH, menyatakan: setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Ketentuan Pasal 67 UUPLH, menetapkan bahwa, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Selanjutnya, Pasal 68 UUPPLH, menyatakan: setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
            Ketentuan Pasal 69 UUPPLH, mengatur tentang larangan bagi setiap orang untuk:
a.         melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b.         memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c.         memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.        memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e.         membuang limbah ke media lingkungan hidup;
f.          membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
g.         melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;
h.         melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
i.           menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau
j.           memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.
Larangan untuk melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
Terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, kebanyakan dilakukan dalam konteks menjalankan suatu usaha ekonomi dan sering juga merupakan sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan atau melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Kapan dimintakannya pertanggungjawaban pidana kepada badan usaha itu sendiri, atau kepada pengurus badan usaha atau kepada pengurus beserta badan usaha, ini menjadi permasalahan dalam praktek, karena dalam kasus lingkungan hidup. ada kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam struktur usaha dan prilaku/ perbuatan yang secara konkrit telah dilakukan.


III.             Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan ketentuan Pasal 3 UUPPLH, bertujuan:
a.     melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b.    menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan  manusia;
c.    menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d.   menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e.    mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f.     menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g.    menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h.    mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i.      mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j.      mengantisipasi isu lingkungan global.
Kemudian, Pasal 13 UUPPLH, menetapkan bahwa pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup, yang meliputi: a. pencegahan; b. penanggulangan; dan c. pemulihan, yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.
Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 14 UUPPLH terdiri atas:
a.         KLHS;
b.         tata ruang;
c.         baku mutu lingkungan hidup; 
d.        kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e.         amdal;
f.          UKL-UPL;
g.         perizinan;
h.         instrumen ekonomi lingkungan hidup;  
i.           peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j.           anggaran berbasis lingkungan hidup;
k.         analisis risiko lingkungan hidup;
l.           audit lingkungan hidup; dan
m.       instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.

Berdasarkan Pasal 20 UUPPLH, penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Baku mutu lingkungan hidup meliputi: a. baku mutu air; b. baku mutu air limbah; c. baku mutu air laut; d. baku mutu udara ambien; e. baku mutu emisi; f. baku mutu gangguan; dan g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketentuan Pasal 20 UUPPLH juga menetapkan setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah dan dalam peraturan menteri.
Menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 21 UUPPLH, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi:
a.         kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
b.         kriteria baku kerusakan terumbu karang;
c.         kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan;
d.        kriteria baku kerusakan mangrove;
e.         kriteria baku kerusakan padang lamun;
f.          kriteria baku kerusakan gambut;
g.         kriteria baku kerusakan karst; dan/atau
h.         kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada paramater antara lain:
a.         kenaikan temperatur;
b.         kenaikan muka air laut;
c.         badai; dan/atau
d.        kekeringan.

IV.        Ketentuan Pasal 36 UUPPLH, menetapkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. Izin lingkungan diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 UUPPLH atau rekomendasi UKL-UPL. Izin lingkungan wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Berdasarkan Pasal 39 UUPPLH, permohonan izin lingkungan dan izin lingkungan wajib diumumkan, dan dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat.
Izin lingkungan berdasarkan Pasal 40 UUPPLH merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha. Jika izin lingkungan dicabut, berdasarkan Pasal 40 ayat (2) UUPPLH, maka izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. Kemudian, jika usaha dan atau kegiatan mengalami perubahan berdasarkan Pasal 40 ayat (3) UUPPLH maka penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbaharui izin lingkungan.
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan Pasal 37 UUPPLH,  wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL. Izin lingkungan dapat dibatalkan apabila:
a.    persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b.  penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atau
c.  kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 38 UUPPLH, izin lingkungan juga dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara. Ketentuan Pasal 93 UUPPLH, menetapkan bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila:
a.    badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal;
b.    badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau
c.    badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berdasarkan Pasal 76 UUPPLH  menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Sanksi administratif terdiri atas:  a. teguran tertulis; b. paksaan pemerintah; c. pembekuan izin lingkungan; atau d. pencabutan izin lingkungan. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 77 UUPPLH, Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sanksi administratif tersebut berdasakan Pasal 78 UUPPLH tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan berdasarkan Pasal 79 UUPPLH, dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
Paksaan pemerintah berdasarkan Pasal 80 UUPPLH, berupa:
a. penghentian sementara kegiatan produksi;
b.       pemindahan sarana produksi;
c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d. pembongkaran;
e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;
f.  penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a.    ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
b.    dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
c.    kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah berdasarkan Pasal 81 UUPPLH dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berdasarkan Pasal 82 UUPPLH berwenang  untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya.  Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat  menunjuk pihak ketiga untuk  melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pemegang izin lingkungan berdasarkan Pasal 55 UUPPLH, wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup. Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan. Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar