Senin, 29 November 2010


NOTARIS PELAKU TINDAK PIDANA
PASAL 266 ayat  (1) KUHP Jo. PASAL 55 ayat (1) ke-1 KUHP ?

Oleh: Alvi Syahrin


I.            Menarik untuk menyimak Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1099 K/PID/2010, tanggal 29 Juni 2010, yang menolak Kasasi Seorang Notaris di Medan, sehingga Notaris tersebut dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 82/PID/2010/PTMDN, tanggal 25 Februari 2010, yang menjatuhi hukuman yang lebih tinggi dan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 3036 / PID.B / 2009 / PN. Mdn dan menambah hukuman bagi sang notaris dari hukumannya 1 (satu) tahun menjadi 2 (dua) tahun.

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap sang Notaris, yaitu Primair melanggar Pasal diancam pidana dalam Pasal 266 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, dan Subsidair melanggar Pasal 263 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1KUH Pidana.

Tulisan ini, tidak sampai masuk kedalam pokok perkara, namun hanya membahas isu hukumnya, yaitu mungkinkah seorang Notaris yang membuat Akte Para Pihak (Akte partie) dapat di jatuhi hukuman pidana berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP?


II.         Pasal 266 ayat (1) KUHP,  berbunyi:
 Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

Pasal 55 ayat (1)ke-1  KUHP, berbunyi:
“1.  Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
ke-1  mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.”;

Memperhatikan ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, adapun yang menjadi unsur-unsurnya yaitu: a. Barang siapa; b Menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik; c. dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, kemudian memperhatikan bunyi Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, menetapkan bahwa sebagai pelaku tindak pidana yaitu: a, mereka yang melakukan, b. Mereka yang menyuruh melakukan, dan c. Mereka yang turut serta dalam melakukan perbuatan, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur hukumnya, yaitu:
a.    Barang siapa;
b.    Menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik;
c.    Dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangan sesuai dengan kebenaran;
d.    Pelakunya:
-        Mereka yang melakukan;
-        Mereka yang menyuruh melakukan
-        Mereka yang turut melakukan.

Berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, kemudian dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1099 K/PID/2010, tanggal 29 Juni 2010, yang menolak Kasasi Seorang Notaris di Medan, sehingga Notaris tersebut dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 82/PID/2010/PTMDN, tanggal 25 Februari 2010, tersebut dapat dikemukakan, “barangsiapa” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP dan pelaku tindak pidana sebagaimana yang disebut dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tersebut adalah Notaris. Apakah sudah tepat bahwa yang dimaksud sebagai pelaku dalam Pasal 266 ayat (1) adalah seorang Notaris?


III.      Ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, yang menjadi subyek (pelaku), yaitu “yang menyuruh memasukkan keterangan palsu”, dan kata “menyuruh” merupakan bagian yang sangat penting (bestanddeel) dari Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pembuat akte dalam hal ini Notaris, ia (notaris) bukan sebagai subyek (pelaku) dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi para pihak pembuat akte otentik tersebutlah yang sebagai subyek (pelaku), karena merekalah yang sebagai menyuruh memasukkan keterangan palsu.

Pejabat notaris tidak dapat dinyatakan sebagai pelaku (menyuruh melakukan) menurut Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi ia hanyalah “orang yang disuruh melakukan”. Kemudian, berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP, tindakan subjek (pelaku) yaitu menyuruh memasukkan suatu keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik, sehingga kata “menyuruh” dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP ditafsirkan bahwa kehendak itu hanya ada pada si penyuruh (pelaku/subjek), sedangkan pada yang disuruh tidak terdapat kehendak untuk memasukkan keterangan palsu dan seterusnya.

Dalam dunia Notaris, dikenal adagium: “setiap orang yang datang menghadap notaris telah benar berkata tidak berbanding lurus dengan berkata benar, yang artinya suatu kebohongan atau memberikan keterangan palsu, hal itu menjadi tanggung jawab yang bersangkutan (para pihak)”. Kemudian, akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga para pihak yang membaca akta tersebut harus melihat apa adanya dan notaris tidak perlu membuktikan apa pun atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris. Karenanya, orang lain yang menilai atau menyatakan akta notaris itu tidak benar, maka mereka yang menilai atau menyatakan tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Notaris, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) merupakan pejabat umum  yang diantaranya mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik. Selanjutya, Notaris dalam menjalankan tugasnya perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum, sehingga dalam menjalankan tugasnya Notaris diatur dalam ketentuan UUJN, sehingga UUJN merupakan lex specialis dari KUHP, dan bentuk hubungan Notaris dengan para penghadap harus dikaitkan dengan Pasal 1869 KUHPerdata.

Berdasarkan konstruksi Hukum Kenotariatan, salah satu tugas jabatan Notaris yaitu “memformulasikan keinginan/tindakan para penghadap/para penghadap ke dalam bentuk akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku”. Kemudian Yurisprudensi Mahkamah Agung (Putusan Mahkamah Agung No. 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973) menyatakan: “Notaris fungsinya hanya mencatat/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan notaris tersebut”;

Dengan demikian, menjadikan perbuatan notaris dalam melaksanakan kewenangan membuat akta sebagai perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta, menunjukkan telah terjadi kesalahanpahaman atau salah menafsirkan tentang kedudukan notaris dan juga akta notaris adalah sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata.

Keterangan atau pernyataan dan keinginan para pihak yang diutarakan dihadapan notaris merupakan bahan dasar bagi notaris untuk membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak yang menghadap notaris, tanpa ada keterangan atau pernyataan dan keinginan dari para pihak tidak mungkin notaris untuk membuat akta. Kalaupun ada pernyataan atau keterangan yang diduga palsu dicantumkan dimasukkan ke dalam akta otentik, tidak menyebabkan akta tersebut palsu, serta tidak berarti notaris memasukkan atau mencantumkan keterangan palsu ke dalam akta notaris. Secara materil kepalsuan atas hal tersebut merupakan tanggungjawab para pihak yang bersangkutan, dan tindakan hukum yang harus dilakukan adalah membatalkan akta yang bersangkutan melalui gugatan perdata.

Menafsirkan atau menerapkan Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP tentang kedudukan Pejabat Notaris sebagai “pelaku” turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta autentik, merupakan suatu kekeliruan (karena telah terjadi error in persona). Kedudukan Pejabat Notaris sebagaimana dalam dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP) tidak lebih sebagai “orang yang disuruh melakukan”. “Orang yang disuruh melakukan” menurut ilmu hukum pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya, sehingga oleh karenanya tidak dapat dihukum.

Unsur  “barang siapa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, harus diartikan sebagai pelaku atau subyek  tindak pidana dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pelaku atau subjek dari tindak pidana Pasal 266 ayat (1) KUHP, yaitu yang menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta autentik ...”. “Yang menyuruh” memasukkan suatu keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik” ditafsirkan ada pada si penyuruh (pelaku/subjek) dalam hal ini para pihak yang membuat akta autentik tersebut, sehingga pembuat akta otentik (notaris) hanyalah sebagai “orang yang disuruh melakukan memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta autentik ...”, sebab dalam dunia notaris dikenal adagium bahwa setiap orang yang datang menghadap notaris telah benar berkata tidak berbanding lurus dengan berkata benar, yang artinya suatu kebohongan atau memberikan keterangan palsu, hal itu menjadi tanggung jawab yang bersangkutan.

Pejabat Notaris, akan membuat akta (akta partie) dari para pihak yang menghadap, tanpa ada permintaan dari para pihak, notaris tidak akan dapat membuat akta apapun, dan notaris  membuatkan akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti atau keterangan atau pernyataan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan atau diperlihatkan kepada atau dihadapan notaris. Akta yang dibuat oleh Notaris tersebut merupakan akta partie atau akta yang dibuat oleh notaris atas permintaan para pihak agar notaris mencatat atau menuliskan segala sesuatu hal yang dibicarakan oleh pihak berkaitan dengan tindakan hukum atau tindakan lainnya yang dilakukan oleh para pihak, agar tindakan tersebut dibuat atau dituangkan dalam suatu akta notaris

Notaris tidak dapat dinyatakan sebagai “orang yang menyuruh melakukan” dalam membuat akta otentik yang dibuat tersebut berupa akta partie, oleh karena tidak mungkin seorang notaris akan menyuruh dirinya sendiri untuk melakukan perbuatan “menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ...”, kalaupun terjadi “adanya keterangan palsu yang dimasukkan ke dalam suatu akta autentik”, notaris hanya dapat dinyatakan sebagai “orang yang disuruh melakukan”.

 Unsur “barang siapa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP adalah “orang yang menyuruh melakukan memasukkan keterangan palsu dalam akta ...”. “Orang yang menyuruh melakukan memasukkan keterangan palsu dalam akta ...” dalam akta partie yaitu para pihak dalam akta partie tersebut, sedangkan notaris hanya sebagai “orang yang disuruh melakukan memasukkan keterangan palsu dalam akta ...”. Penerapan hukum yang benar mengenai unsur barang siapa dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, tidak dapat dikenakan kepada seorang Notaris. Notaris tidak dapat dinyatakan sebagai “orang” yang memenuhi unsur “barang siapa” menurut Pasal 266 ayat (1) KUHP, artinya notaris dalam hal ini hanyalah sebagai “orang yang di suruh melakukan” bukan “orang yang menyuruh melakukan”.

Selanjutnya, “penyertaan” sebagaimana diatur Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang kemudian dihubungan dengan Pasal 266 ayat (1) KUHP, menunjukkan telah terjadi kekeliruan menerapkan peraturan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya. Ketentuan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, mengklasifikasikan “pelaku tindak pidana” yaitu mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang ikut serta melakukan tindak pidana. Sehingga jika seorang Notaris didakwakan sebagai pelaku “Penyertaaan” yang dihubungkan dengan Pasal 266 ayat (1) KUHP, maka dapat dikontruksikan bahwa Notaris tersebut adalah sebagai pelaku:
-      “melakukan menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ....”;
-      “menyuruh melakukan menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ...”;
-      “ikut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ...”.

Jika seorang Notaris dinyatakan sebagai “orang yang melakukan menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ...”, adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh seorang Notaris, oleh karena:
a.    akta yang dibuat berupa akta partie, yaitu akta  yang dibuat oleh notaris berdasarkan atas permintaan para pihak untuk mencatat atau menuliskan segala sesuatu hal yang dibicarakan oleh pihak berkaitan dengan tindakan hukum.
b.    “orang yang menyuruh melakukan” menurut Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yaitu adalah mereka yang melakukan semua unsur tindak pidana, artinya:
-     jika dikaitkan dengan kedudukan seorang notaris yang membuat akte partie, adalah suatu hal yang berlebihan dan tidak mungkin bisa dilakukan, sebab tidak mengkin terdakwa akan menyuruh ke dua belah pihak untuk menempatkan keterangan palsu di dalam akta otentik yang dibuat oleh notaris tersebut.
-     jika Notaris, dinyatakan sebagai “orang yang menyuruh melakukan menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ...”, juga suatu hal yang mustahil dilakukan oleh seorang Notaris, oleh karena ke dua belah pihak yang datang kepada Notaris untuk membuatkan akta tersebut, dan hal tersebut merupakan kesepakatan ke dua belah pihak untuk dituangkan di dalam akta, serta suatu hal yang aneh juga notaris sebagai pejabat yang berwenang merupakan orang yang mempunyai kehendak melakukan tindak pidana menyuruh ke dua belah pihak untuk menempatkan keterangan palsu pada akta yang mereka kehendaki bersama, karena keterangan yang ada di dalam akta  merupakan kesepakatan ke dua belah pihak.
-     jika Notaris dinyatakan sebagai “orang yang turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik...”, juga suatu hal yang mustahil dilakukan, oleh karena menempatkan keterangan palsu tersebut harus ada kesadaran kerjasama antara Notaris dengan para pihak, dan kerjasama tersebut harus secara fisik. Suatu pertanyaan bahwa mungkinkah para pihak pembuat akta akan mau disuruh Notaris untuk menempatkan keterangan palsu dalam akta yang mereka buat dan akta itu merupakan kesepakatan mereka bersama yang merupakan kehendak para pihak, dan apa untungnya maupun apa yang menjadi motifasi Notaris tersebut untuk menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta tersebut.


IV.         Menjatuhkan hukuman terhadap seorang Notaris yang membuat akta partie berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP (apalagi di junctokan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP), merupakan keliruan dalam menerapkan hukum dan telah terjadi kriminalisasi terhadap pekerjaan/tugas notaris.


10 komentar:

  1. Yth. Prof Dr. Alvi Syahrin, S.H., MS
    saya salah satu mahasiswa program doktor yang sedang menulis tentang tindak pidana pemalsuan surat notaris.
    dimana saya memiiki sudut pandang yang sama dengan bapak.
    kalau bisa apakah saya bisa menghubungi bapak melalui email?
    untuk mengumpulkan bahan-bahan penulisan saya
    Terima Kasih sebelumnya

    BalasHapus
  2. Mksh atas pencerahannya...namun bila akya tsb blom dipergunakan utk melakukana sesuatu perbuatan ..apakah hal tab sdh termasuk melakikan perbuatan pidana..mksh

    BalasHapus
  3. Iya. Apabila akta tersebut belum di pergunakan untuk melakukan suatu perbuatan yg menimbulkan kerugian, apakah sudah memenuhi unsur pasal 266 tersebut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum, Krn unsur menimbulkan kerugian belum terpenuhi

      Hapus
  4. Anda salah menafsirkannya pak dikarenakan tasfiran bapak hanya lebih mengarah pada kode etik bukan perbuatan hukum jd seakan-akan smua tindakan notaris di anggap benar

    BalasHapus
  5. Bagaimana jika si notaris sudah mengetahui bahwa keterangan tersebut bukan yang sebenarnya, apakah sinotaris bisa dipidana????

    BalasHapus
  6. Memahami tugas dan wewenang seorang notaris sangat perlu dipahami dan memang wajib. Terima kasih sebelumnya Prof.

    BalasHapus
  7. Pertanyaannya apakah Notaris hanya sbg pencatat saja atas data yg diberikan kliennya? Lalu dimana letak tugas verifikasi dan pemeriksaan atas data" tsb, saya yakin notaris tidak seceroboh ini, kalaupun ada itu hanya pembelaan diri saja...

    BalasHapus