REFLEKSI HUKUM
Oleh: Alvi Syahrin, Prof.Dr.MS.SH.
A. Pendahuluan
Perkembangan terakhir saat ini, masyarakat mulai menilai kembali komitmennya terhadap tujuan hukum dan struktur-struktur birokratis serta struktur-struktur hukum yang tergabung di dalamnya.
Sistem hukum yang formal rasional menciptakan dan menerapkan seperangkat aturan umum, hukum yang rasional formal dan menyandarkan diri pada sejumlah ahli hukum yang menggunakan penalaran hukum yang khas guna memecahkan konflik-konflik yang terjadi.
Untuk meningkatkan pemahaman terhadap hukum responsif terlebih dahulu perlu memperhatikan masalah bagaimana integrasi normatif dapat terjadi dalam masya-rakat modren, terutama dalam hal terjadinya konflik rasionalitas dari sub-sub sistem yang sudah terspesialisasi.
Terjadinya konflik dalam konteks evolusi hukum dapat diinterpretasikan sebagai suatu yang saling meleng-kapi satu sama lain, misalnya antara sub-sub sistem politik, ekonomi dan kultural yang berbeda-beda satu sama lain.
Selanjutnya, di dalam kapitalis yang terorganisasi memiliki ciri-ciri adanya serangkaian krisis terus menerus di antara sub-sub sistem yang berbeda. Krisis ekonomi diselesaikan melalui campur tangan negara. Campur tangan negara akan membawa pada krisis lainnya, seperti krisis dalam sistem politik. Kondisi ini memunculkan masalah legitimasi politik yang mengakibatkan adanya politisasi sistem kultural. Krisis kultural ini akan dapat diselesaikan dengan melakukan perubahan-perubahan mendasar dalam struktur-struktur normatif.
Uraian di atas menunjukkan bahwa krisis tentang rasional legal formal sangat erat berkaitan dengan fenomena eksternal dan keadaan ini menimbulkan suatu paham tentang intervensi negara modern.
B. Intervensi negara dan krisis yang ditimbulkannya
Hukum saat ini mengembangkan rasionalitas substansinya yang bercirikan: kekhususan, orientasi pada hasil pendekatan sosial sebagai alat dan meningkatkan legalisasi proses sosial yang dahulunya otonom.
Kecenderungan ke arah hukum yang substantif menghadapi keterbatasannya yang ditimbulkan oleh tiga krisis yang saling berhubungan yang secara tajam membatasi potensial dari rasionalitas substantif hukum, dan politik.
Intervensi negara berhadapan dengan krisis rasio-nalitas yang disebabkan adanya kompleksitas proses-proses sosial, ekonomi dan batas-batas pengetahuan tentang mekanisme-mekanisme pengawasan hukum, politik.
Krisis yang pertama yaitu krisis rasionalitas berupa program intervensi negara. Terjadinya intervensi negara disebabkan oleh kompleksitasnya proses-proses sosial ekonomi, pertentangan perintah dalam memanajemen krisis ekonomi dan keterbatasan pengetahuan tentang mekanisme pengawasan hukum dan politik. Kondisi ini dapat dijelaskan dengan melihat jenis-jenis mekanisme kontrol intervensionis yang diciptakan.
Selanjutnya, struktur hukum dan birokratis tidak dapat masuk ke dalam model-model realitas sosial guna memecahkan secara efektif terhadap timbulnya krisis manajemen ekonomi maupun tantangan-tantangannya yang serupa. Keadaan ini akan menjadi ancaman bagi integritas dan dapat membahayakan integritas sosial serta kemungkinan-kemungkinan untuk rasionalisasi substantif di bidang hukum dan politik.
Krisis rasionalistas di atas, menimbulkan masalah kedua yaitu krisis legitimasi dalam kapitalisme yang terorganisasi. Pertumbuhan kekuatan monopoli dan meningkatnya peran negara dalam manajemen ekonomi menyebabkan mekanisme pasar kehilangan kekuatannya sebagai instrumen untuk melegitimasi apa yang telah digambarkannya sebagai akibat distributif yang dijustifikasi secara alamiah.
Akibat intervensi negara dalam mengambil alih tanggung jawab substitusi dari politik pasar dan kompensasi pasar menyebabkan: sistem politik menjadi sangat tergantung pada loyalitas masyarakat dalam mengambil keputusan politik ekonominya, dan terbatasnya produksi ideologi-ideologi politik yang diakibatkan oleh resistensi (daya tahan) yang dimiliki oleh struktur-struktur normatif.
Rasionalitas yang discursive timbul disebabkan proses-proses evolusioner otonom dibidang normative, oleh karena berdasarkan teori tentang legitimimasi politik bahwa perkembangan yang tidak dapat diubah dalam bidang normatif menjadikan prinsip-prinsip modren tentang legitimasi haruslah prosedural, artinya persyaratan-persyaratan formal dari justifikasi itu sendiri memperoleh kekuatan yang syah.
Selanjutnya Nonet dan Selznick mengemukakan bahwa hukum yang responsif membutuhkan partisipasi politik yang luas dalam desain ulang institusional yang menjamin terwakilnya berbagai kepentingan dalam organisasi inti yang terdapat dalam masyarakat.
Namun demikian, suatu hukum yang responsif melibatkan rasionalitas refleksif guna mengatasi masalah legitimasi dalam masyarakat post modren. Dalam hal hukum responsif didasarkan pada ekspansi/perluasan dari rasionalitas substantif maka ia akan menghadapi batas-batas yang ditentukan oleh krisis rasionalitas, legitimasi dan motivasi.
Komponen rasionalitas refleksif merupakan titik yang kuat dalam hukum responsif. Rasionalitas rekleksif dalam hukum mentaati suatu logika legitimasi prosedural. Orientasi ini menggambarkan prinsip operasional yang muncul dalam masyarakat modren.
Hukum dapat dibedakan sebagai “medium” dan sebagai “institusi”. Sebagai medium, hukum merupakan suatu proses penentu sosio teknologis yang mandiri (inde-penden) yang menggantikan struktur-struktur komunikatif yang terdapat dalam dunia kehidupan sub-sub sistem sosial yang sesuai dengan kriterianya sendiri. Selanjutnya, hukum sebagai institusi berfungsi sebagai konstitusi eksternal untuk bidang-bidang reproduksi sosialisasi, integritas sosial dan kultural. Namun demikian, hukum yang berfungsi sebagai institusi lebih bersifat memudahkan dan bukan menghambat terjadinya proses-proses self regulatory dari komunikasi dan pembelajaran.
C. Hukum dipengaruhi oleh diferensiasi fungsional masyarakat
Diferensiansi fungsional masyarakat mempengaruhi sub-sub sistem yang sudah terspesialisasi guna mengem-bangkan rasionalitas spesifiknya sampai pada tingkat ter-tentu sehingga terjadi konflik-konflik mendasar tidak terelakkan. Konflik-konflik tersebut misalnya:
- Dalam krisis motivasi dimana antara logika intervensionisme negara dan logika perkem-bangan kultural (budaya) tampak sebagai sesuatu yang terpinggirkan;
- Pertentangan antara struktur-struktur sosial universal (ekonomi, ilmu pengetahuan) dan struktur politik, hukum yang terikat secara teritorial;
- Pertentangan antara perencanaan saintifik de-ngan pengawasan produksi ekonomi;
- Pertentangan antara kebutuhan-kebutuhan sementara dari interdependensi sosial dengan proses-proses pendidikan yang berkembang lambat dan institusional.
Berkaitan dengan hukum yang responsif memun-culkan suatu krisis tentang rasionalitas legal formal dan menimbulkan suatu pertanyaan: “Bagaimana sistem hukum berpartisipasi dan bereaksi terhadap proses-proses sekuler dari deferensiasi fungsional?
Pemikiran tentang hukum otonom dalam pengertian Nonet dan Selznick menunjuk pada perubahan-perubahan yang krusial dari diferensiasi fungsional yaitu meningkatnya otonomi sistem hukum, terpisahnya sistem hukum dari struktur moral dan saitifik, dan kemandirian relatifnya dari proses-proses politik.
Dalam perkembangan di atas memunculkan gambaran-gambaran tentang formalitas hukum, yakni orientasi pada kaedah yang ketat, penalaran profesional (buatan) dan pengutamaan prosedur. Krisis hukum otonom ini terjadi karena hukum khususnya dalam struktur-struktur konseptualnya belum menyesuaikan diri dengan urgensi masyarakat yang sudah sangat terdiferensiasi, hal ini disebabkan:
- doktrin hukum masih terikat pada model hukum klassik, yaitu: hukum adalah seperangkat kaidah yang dapat dipaksakan berlakunya melalui proses pengadilan,.
- kekurangan dalam sumber daya manusia konseptual yang memiliki kemampuan untuk melakukan perencanaan, dan
- kekurangan konsep guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan kebijaksanaan sosial dalam timbulnya hubungan antar berbagai sub sistem sosial yang telah terspesialisasi.
Pembaharuan hukum melalui bidang ilmu penge-tahuan, moral dan politik akan merusak rasionalitas yuridis, karena rematerialisasi hukum tidak dapat menghindarkan adanya krisis rasionalitas dalam sistem politik hukum, sebab berbagai sub-sub sistem sosial dalam suatu masyarakat yang terdeferensiasi secara fungsional telah mengem-bangkan diri sampai ketingkat “kompleksitas internal”, sehingga tidak satupun dari bidang-bidang ilmu penge-tahuan, ekonomi, moral atau hukum secara sendiri-sendiri mampu bersama-sama dapat mengembangkan kemampuan kontrol yang diperlukan.
Dengan demikian, jika dimensi substantif dari hukum responsif menjadi gambaran dominan tentang tata hukum modren, maka hasilnya akan menjadi suatu de-diferensiasi masyarakat yang mundur dan bukannya menjadai re-integrasi.
Untuk mencapai integrasi dalam kondisi diferensiasi fungsional, berbagai sub sistem yang berbeda harus saling mendukung. Sub-sub sistem itu tidak hanya memenuhi fungsinya secara memadai, melainkan berdiri dalam suatu hubungan yang berarti bagi kesesuaiannya dengan fungsi dan struktur dari sistem-sistem lain, dimana mereka membentuk lingkungannya.
D. Pengembangan Hukum responsif
Diferensiasi fungsional membutuhkan pemindahan mekanisme yang integratif di mulai dari level masyarakat ke levelsub sistem–sub sistem. Selanjutnya, integrasi sosial yang terpusat akan dikesampingkan secara efektif, dan integrasi sosial ini tidak dapat dicapai melalui mekanisme-mekanisme hukum, ekonomi, moral, maupun ilmu.
Suatu cara integrasi yang terdesentralisasi tidak dapat dihindarkan, karena untuk memaksimalkan rasionalitas satu sub sistem berarti menciptakan masa-lah yang tak terselesaikan dalam sistem-sistem fungsional yang lain. Untuk menghindarkan hal ini, batasan-batasan yang berhubungan harus dibuat kedalam struktur bayangan setiap sub sistem fung-sional. Struktur bayangan ini bukan merupakan hal yang langsung dihasilkan dari hubungan yang sedang berlangsung dengan lingkungannya.
Struktur bayangan merupakan kunci untuk me-nentukan bagaimana hukum responsif dapat memainkan peran pentingnya dalam masyarakat yang terdiferensiasi secara fungsional.
Menurut Luhman, setiap sub sistem terbuka bagi tiga orientasi yang berbeda, antara lain: 1) kearah keseluruhan sistem sosial dalam istilah fungsinya ; 2) kearah subsistem masyarakat lainnya dalam istilah ‘performance input dan output’ ; dan 3) kearah dirinya sendiri, dalam istilah ‘reflexion’. Bila orientasi ini tidak sesuai, maka bisa menimbulkan masalah.
Orientasi-orientasi di atas tidak dapat dimasukkan dalam suatu tujuan bersama. Dalam sistem politik, mi-salnya, ada suatu tegangan yang melekat antara fungsi sosial (formulasi dan eksekusi keputusan-keputusan yang mengikat) dan performance (menjaga sumber-sumber kekuasaan dan promosi legitimasi) yang hanya dapat diperbaiki secara internal melalui proses refleksi politik (dengan menfokuskan pada politik, serta memberi batasan terhadap apa yang dapat dilakukan atas nama keputusan dan pemeliharaan kekuasaan.
Tugas struktur-struktur refleksi dalam setiap sub sistem sosial adalah menyelesaikan konflik antara fungsi dan performance dengan membuat batasan-batasan internal terhadap sub sistem yang bersangkutan, sehingga mereka cocok sebagai komponen lingkungan dari sub-sub sistem lainnya.
Dari contoh di atas dapat dikatakan bahwa: refleksi harus menjadi perantara antara performance dan fungsi, karena bagi sub sistem, masyarakat mewakili sistem yang ada dan lingkungan sosial”. Dengan mengadakan rekonsiliasi ketegangan antara fungsi dan performance (pelaksanaan), maka struktur refleksi dalam sub sistem sosial menjadi mekanisme-mekanisme integrasi utama dalam masyarakat yang terdiferensiasi secara fungsional. Dari perspektif ini, hukum responsif diperlukan mengembangkan ‘dimensi-dimensi refleksifnya jika akan bekerja sebagai mekanisme interaktif.
Interpretasi terhadap teori Nonet dan Selznick menjadikan untuk mengidentifikasikan suatu hubungan penting antara konsep prosedural tentang legitimasi dan teori tentang refleksi sistem internal.
Sebelum mengkaji peran hukum refleksif dalam sub sistem lain terlebih dahulu dikaji peran refleksi dan batas-batas yang dibuatnya dalam sistem hukum. Hal ini sangat mudah dilihat dengan mempertimbangkan, bagaimana tiga tipologi (fungsi, pelaksanaan dan refleksi) diterapkan pada sistem hukum. Fungsi hukum dapat didefinisikan sebagai kemampuannya untuk memberi generalisasi yang sesuai dengan harapan seluruh masyarakat. Pelaksanaannya untuk menyele-saikan konflik yang ditimbulkan dalam sub-sub sistem sosial dan konflik-konflik yang tak dapat dipecahkannya.
Dalam mengatasi konflik-konflik tersebut tidak cukup dengan menetapkan norma yang general, karena dalam proses penyelesaian konflik menghasilkan norma-norma yang tidak dapat digeneralisasikan secara memadai.
Peran refleksi hukum untuk mendamaikan konflik-konflik/ketegangan yang elekat antara fungsi dan pelak-sanaan dengan menetapkan batasan-batasan internal terhadap kapasitas sistem hukum.
Hukum dapat mengatasi konflik-konflik yang ada dengan menetapkan batasan-batasan terhadap dimensi pelaksanaan hukum dengan bentuk-bentuk kontrol sosial yang secara tidak langsung dan lebih abstrak.
Hubungan struktural antara norma-norma hukum dan struktur kesempatan dalam sub-sub sistem sosial merupakan hal yang krusial. Rasionalitas hukum substantif tidak mampu memperhatikan hal tersebut, sebab struktur-struktur sosial tidak selalu atau tidak mudah untuk tunduk pada pengaturan hukum, sehingga hukum sebagai medium negara kesejahterahan tidak efektif atau bisa efektif jika (harus) dibayar dengan merusak tatanan kehidupan sosial.
Dengan demikian, suatu orientasi refleksif tidak mempertanyakan apakah masalah sosial yang harus ditanggapi hukum atau tidak, akan tetapi berusaha untuk mengidentifikasi struktur-struktur peluang yang mengizinkan pengaturan hukum mengatasi masalah-masalah sosial tanpa merusak nilai-nilai tatanan kehidupan sosial.
Hukum sebagai “medium” pedoman kemasyarakatan walaupun akan membahayakan struktur-struktur komuni-katif dengan bidang-bidang kehidupan sosial yang dilegalkan namun hukum sebagai “institusi” yang berakar pada moralitas inti dari suatu masyarakat dapat mempermudah proses komunikatif dengan menjamin “konstitusi eksternal” dari bidang sosial yang terstruktur secara komunikatif.
Hukum sebagai konstitusi eksternal “dapat mendu-kung proses-proses pembuatan keputusan yang terputus-putus dan prosedur yang berorientasi pada konsensus hasil negosiasi dan pengambilan keputusan. Dalam hal ini hukum bertindak dengan cara menetapkan norma-norma tentang prosedur, organisasi dan kompetensi yang membantu sistem-sistem sosial lainnya dalam mencapai kemandirian dari demokrasi dan pengaturan hukum. Dan kondisi tersebut merupakan jantung dari legitinasi prosedual.
Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa hukum refleksif tidaklah sewenang-wenang menentukan fungsi-fungsi sosial dari sub-sub sistem lain dan tidak juga mengatur pelaksanaan input dan outputnya, namun memelihara mekanisme-mekanisme yang secara sistematis ditujukan untuk mengembangkan struktur-struktur refleksi dan sub-sub sistem sosial lainnya.
Selanjutnya, mengingat adanya diferensiasi fung-sional dalam sistem sosial maka tidak lagi dapat berharap adanya struktur-struktur legitinasi yang universal yang merupakan suatu moralitas diskursus yang dapat ditetapkan secara umum atau suatu prosedur refleksi bersama, misalnya dalam prasyarat legal untuk refleksi dibidang ekonomi, politik akan berbeda dengan apa yang diperlukan oleh sistem pendidikan.
Dengan demikian, hukum harus bertindak pada level spesifik subsistem tersebut untuk memasukkan, mengoreksi, dan mendefinisikan ulang mekanisme-mekanisme self-regulatory, dan menetapkan premis-premis struktural bagi keputusan di masa mendatang dalam istilah-istilah tentang organisasi, prosedur, dan kompetensi. Hasil spesifik dari sub-sub sistem lain akan dipengaruhi oleh peran hukum dalam menetapkan parameter untuk pengambilan keputusan, tetapi hasil-hasil tersebut tidak akan menjadi perintah-perintah hukum, karena hukum tidak telah menentukannya.
F. Penutup
Visi tentang tertib hukum yaitu hukum mewujudkan orientasi refleksifnya sejauh ia menetapkan premis-premis struktural bagi proses-proses refleksif dalam sub-sub sistem sosial lainnya. Inilah yang merupakan fungsi integratif dari hukum responsif saat ini.
Kepustakaan:
Allot, Antony, 1980, The limits of Law, Butterworths, London.
Aubert, Vilhelm, In Search of Law, Martin Robertson, Oxford.
Dias, 1980, Jurisprudence, Butterworth, London.
Gurvitch, Georges, 1988, Sosiologi Hukum, Bhratara, Jakarta.
Hall, Jerome, 1973, Fundations of Jurisprudence, The Bobbs-Merrill Company, Inc, New York.
Podgorecki, Adam, 1987, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, (ed.) PT. Bina Aksara, Jakarta.
Ritzer, George, Contemporary Sociological Theory, Alfred A Knopf, New York..
Teubner, Gunther, 1997, Global Law Without a State, (ed.) Dartmouth, USA.
Tie, Warwick, 1999, Legal Pluralis: toward a multicultural conception of law, Dartmouth Publishing Company Limited, Ashgate Publishing Ltd, England.
Unger, Roberto Mangabeira, 1976, Law in Modren Society: Toward a Criticism of Social Theory, The Free Press, Adivision of Macmillan Publishing Co. Inc, New York.
Zaper, M.R., 1994, Jurisprudence an outline, International Law Book Series, Genting maksud dan Raya SDN BHD, Kuala Lumpur.
Tulisan ini merupakan bagian dari buku: BEBERAPA MASALAH HUKUM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar