KETENTUAN PIDANA
PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)
Oleh: Alvi Syahrin, Prof. Dr. MS. SH.
I. Pengelolaan limbah B3 menjadi suatu keharusan tanpa memundurkan perkembangan dunia usaha, khususnya dunia industri. Pengelolaan limbah dilakukan dalam upaya mengurangi timbulan limbah, termasuk limbah B3 khususnya yang berasal dari kegiatan industri. Konsep pengelolaan limbah cradle-to-grave hendaknya secara konsisten diterapkan. Komitmen nasional yang telah dicanangkan sebagai konsep pengelolaan limbah yang bertumpu pada minimasi limbah perlu dilaksanakan dan ditingkatkan. Upaya penanganan limbah yang selama ini bersifat retroakfit, hendaknya secara bertahap melangkah pada pengelolaan limbah yang bersifat proaktif, yaitu melalui upaya produksi bersih. Aspek ekonomi teknologi yang selama ini didekati dengan cara reksternalitas, yang menganggap bahwa pengendalian pencemaran sebagai biaya tambahan produksi, secara bertahap hendaknya diinternalkan dalam ekonomi kegiatan industri.
Sudah menjadi paradigma baru bahwa produksi, teknologi dan manajemen penggunaan sumber daya yang tidak efisien dari residu bahan atau limbah akan mendatangkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, lingkungan serta produk yang dihasilkan. Melalui product life-cycle, maka teknologi, proses serta manajemen sumber daya perlu dievaluasi, dan diganti dengan lebih sesuai. Strategi produksi bersih dan minimasi limbah akan menjadi tumpuan utama dalam pengelolaan limbah B3 dari segala sektor kegiatan, tidak hanya dilihat dari sudut pengurangan besaran limbah B3 yang timbul tetapi lebih dititikberatkan pada upaya pengurangan daya toksik yang dikandungnya pengelolaan limbah B3 pada tahap ini sudah bersifat proaktif. Faktor-faktor yang selama ini dianggap eksternal, seperti biaya sosial dan lingkungan, sudah dimasukkan ke dalam kelayakan kegiatan ekonomi. Konsep pengelolaan limbah yang masih timbul secara konsisten tetap mengacu pada konsep cradle-to grave.
Sasaran bersifat program jangka panjang dengan target penurunan secara berarti timbulan limbah B3 dari seluruh penghasil limbah per unit produksi yang dibuang ke lingkungan, disertai penurunan yang berarti dari komponen-komponen berbahaya dari limbah tersebut dengan:
1. menerapkan konsep produksi bersih sebagai strategi utama dalam pengelolaan limbah B3 dan meningkatkan penggunaan sumber daya yang lebih efisien, termasuk peningkatan penggunaan kembali dan daur ulang residu, serta minimasi limbah yang terbentu per unit economic output.
2. memberlakukan secara ketat upaya pengolahan limbah, khususnya limbah B3, yang merupakan program yang menyatu dengan proses produksi bagi seluruh penghasil limbah.
3. menerapkan secara baik pengelolaan limbah terbentuk dengan konsep cradle-to-grave.
4. menyempurnakan dan memberdayakan peratruan-peraturan yang lebih mendorong ke arah aplikasi produksi bersih.
5. meningkatkan dan mengintensifkan upaya dunia usaha untuk memperhitungkan biaya yang berkaitan dengan lingkungan sebagai instrumen ekonomi, khususnya akibat dihasilkannya limbah B3 dari kegiatannya.
Pengelolaan limbah berbahaya yang berwawasan lingkungan terdiri dari program-program pokok, yaitu :
1. Penerapan konsep minimasi bersih dan produksi bersih melalui :
a. pengintegrasian pendekatan produksi bersih dan minimasi limbah dalam perancangan dan pengembangan insdutri diserati penerapannya pada penghasil limbah B3.
b. Pembuatan target nasional sampai mencapai 50% pada tahun 2020 untuk pengurangan secara berarti cemaran yang dikategorikan berbahaya.
2. Pengetatan pengolahan limbah B3 yang terbentuk, melalui :
a. Peningkatan fungsi pusat-pusat pengolah limbah 3 yang ada dan pembangunan pusat-pusat baru yang memenuhi syarat khususnya untuk daerah-daerah yang dinilai merupakan pusat pengembangan industri, atau di daerah-daerah kawasan industri yang menghasilkan limbah B3, khususnya di daerah jawa Tengah, Medan-Belawan, Ujung Pandang dan Palembang.
b. Pembangunan pengolahan limbah B3 yang memenuhi syarat bagi kegiatan yang menghasilkan limbah berbahaya lainnya.
c. Pengembangan fasilitas pengolahan limbah cair bersama bagi industri kecil, khususnya industri yang berpotensi menghasilkan limbah B3 seperti industri pelapisan logam, yang terletak dalam kawasan-kawasan dengan sasaran pengurangan sifat-sifat berbahaya (detoksifikasi) dari limbahnya.
d. Pengendalian dan penanggulangan pencemaran laut akibat tumpahan minyak di jalur pelayaran tanker.
e. Penataan ruang untuk menyusun dan engembangkan pola tata ruang dan mekanisme pengelolaanya khususnya di kawasan yang dinilai padat pembangunannya sehingga dapat membantu kegiatan peningkatan kualitas lingkungan hidup.
f. Peningkatan mutu dan fungsi sungai di beberapa aliran sungai serta peningkatan implementasi program aktualnya, terutama yang terkait dengan pengendalian limbah B3 serta perluasan cakupan sungai yang dikelola.
3. Pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan sesuai dengan tata cara yang memenuhi syarat :
a. Perbaikan kembali (bio-pemulihan) lahan tercemar akibat aplikasi lahan urug yang tidak memenuhi syarat dengan teknolohi yang cocok termasuk pemanfaatan bio teknologi.
b. Penerapan pengelolaan limbah B3 yang baik mulai di tingkat penghasil limbah deengan konsep cradle-to-grave, dan mendorong penghasil limbah B3 untuk mengolah, mendaur ulang serta menimbun limbahnya sedekat mungkin dengan sumber.
c. Relokasi industri-industri, khususnya industri kecil, yang keberadaannya selama ini tida sesuai dengan tata ruang.
4. Pengembangan,penyempurnaan dan pemberdayaan peraturan-peraturan tentang pengelolaan limbah B3 yang berwawasan lingkungan :
a. Perubahan peraturan-peraturan yang tidak mendorong pengelolaan limbah B3 pada produksi bersih dan minimasi limbah B3.
b. Pengembangan dan pemberdayaan peraturan-epraturan yang memungkinkan adanya insentif bagi industri yang menerapkan startegi minimasi dan produksi bersih dan pengembangan perangsang ekonomi untuk menjaga lingkungan melalui pengurangan secara berarti cemaran limbah B3.
c. Peningkatan dan penggalakan dunia industri dan dunia usaha lainnya untuk memperhitungkan biaya yang berkaitan dengan lingkungan sebagai instrumen ekonomi, khususnya akibat dihasilkannya limbah B3 dari kegiatannya.
d. Pengidentifikasian dan pemgimplementasian instrumen-instrumen ekonomi dan perangkat-perangkat normatif lainnya seperti undang-undang, peraturan-peraturan, standar-standar yang bertujuan memperkenalkan dan menerapkan konsep produksi bersih. Upaya khusus hednaknya juga dilakukan bagi pengusaha atau industri berskala kecil dan rumah tangga yang menghasilkan limbah B3, seperti dari industri penyamakan kulit dan industri pelapisan logam.
Selanjutnya, peningkatan kerjasama kemitraan antara usahawan, industri dan pemerintah, termasuk transnational corporation, dalam implementasi program-program pengelolaan limbah B3 yang berwawasan lingkungan sangat diperlukan. Untuk itu:
1. pemerintah, pengusaha dan industri termasuk transnasional corporation, dunia penelitian dan pendidikan tinggi, prganisasi-organisasi internasional hendaknya bekerjasama dalam pengembangan dan pengimlementasian konsep serta metodologi produksi bersih yang sesuai.
2. pemerintah hendaknya mendukung program-program kerjasama dan bantuan, termasuk yang disediakan oleh badan-badan dunia, organisasi internsional, badan-badan nasional, perguruan tinggi, badan-badan swasta dalam bidang penelitian dan pengembangan, pelatihan-pelatihan pengembangan kapasitas sumberdaya manusia dan sebagainya. Pemerintah menggalakkan pengkajian dan penilaian teknologi yang berwawasan lingkungan serta memungkinkan saling tukar menukar infomasi dan pengalaman dengan badan-badan dunia, organisasi-organisasi internasional terhadap suatu teknologi yang akan digunakan di Indonesia oleh sebagai investor. Informasi tersebut menyangkut pula penilaian terhadap analisis dampak lingkungan dan analisis risiko lingkungan.
Di samping meningkatnya timbulan limbah B3 khususnya dari kegiatan industri, maka Indonesia dihadapkan pada masalah kemungkinan masuknya limbah B3 dari luar negeri, terutama dari negara-negara industri. Sebab biaya penanganan limbah B3 di negara industri makin meningkat karena ketatnya sistem peraturan yang secara efektif mengatur pengelolaan limbah B3, sehingga pengusaha-pengusaha industri dari negara maju akan tetap cenderung berupaya mengelola limbahnya di negara berkembang.
Pada akhir tahun 2010 industri yang ada di Indonesia diharapkan sudah menggunakan proses yang berbasis pada produski bersih, sehingga kehadran bahan baku impor yang berupa limbah B3 sudah tidak sesuai lagi. Oleh karenanya, kebijakan Indonesia pada priode tahun 2008 adalah :
1. menghentikan sama sekali impor bahan baku yang mengandung limbah B3.
2. tetap tidak menerima limbah B3 dari luar negeri yang akan diolah di Indonesia.
Konsentrasi pemerintah Indonesia dalam periode tersebut lebih dititikberatkan dalam pengontrolan penyelundupan limbah B3, baik yang legal karena diklaim sebagai bahan baku atau sebagai limbah non-B3, maupun penyelundupan dalam arti yang sebenarnya termasuk pembuangan isi kapal yang mengangkut limbah B3 di perairan Indonesia dari luar negeri, serta lintas batas limbah B3 antar pulau di dalam negeri.
Berdasarkan pemikiran di atas, Agenda 21 Indonesia berkaitan dengan B3 tersebut, untuk Periode 2003-2020 mengusulkan kegiatan yang terkait dengan pencegahan lintas batas limbah B3 secara illegal dan kerjasama dalam pengelolaan lintas batas limbah dengan dasar tindak untuk:
1. menutup masuknya segala jenis limbah B3 ke Indonesia, baik sebagai bahan baku maupun sebagai limbah yang akan diolah lebih lanjut.
2. tetap memperkuat dan mengembangkan kerjasama regional dan internasional dalam pengelolaan limbah B3, khususnya dalam mengontrol dan memantau gerakan limbah tersebut antar negara, dengan penggunaan kriteria internasional yang harmonis dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasi limbah B3.
3. menerapkan larangan ekspor limbah B3 tehadap negara yang dianggap tidak mempunyai kemampuan dalam pengelolaan limbah sesuai dengan jenis limbahnya, atau terhadap negara yang telah melarang masuknya jenis limbah tersebut.
Sejalan dengan dasar tindak tersebut, maka kegiatan yang terkait dengan manajemen, dilakukan:
1. menyempurnakan peraturan-peraturan yang cocok dan tepat untuk pengaturan larangan masuknya limbah B3 ke Indonesia.
2. menyempurnakan program nasional dalan memonitor dan melaksanakan peraturan-peraturan yang relevan.
3. mengembangkan dan memperketat tata cara kontrol dan pemantauan lintas batas limbah B3 antar negara, termasuk penggunaan kriteria internasional yang harmonis dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasi limbah B3.
4. menyempurnakan panduan-panduan yang ada dalam mengidentifikasi limbah B3 dengan mengadopsi dan penyesuaikan dengan epraturan internasional dan regional yang telah ada, dan menyiapkan daftar bahaya dari limbah B3 yang tercantum dalam peraturan tentang limbah B3 Indonesia.
5. lebih meningkatkan kinerja perangkat lainnya untuk mendukung kegiatan ini, seperti pengembangan laboratrium yang handal untuk secara cepat dan tepat dapat menentukan apakah barang yang masuk di elabuhan adalah limbah B3.
Dengan demikian, kegiatan-kegiatan yang direncanakan dalam pengembangan dan pemberdayaan hukum, yaitu yang sesuai dengan :
1. menerapkan, mengembangkan dan memberdayakan hukum lingkungan hidup untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum lingkungan hidup dalam masyarakat.
2. Mengembangkan program penegakan hukum nasional yang dianggap cocok untuk memantau pelaksanaan peraturn yang ada dan mengembangkan mekanisme serta aturan-aturan yang bersifat hukuman (penalty) bagi yang melanggarnya.
3. Mengembangkan peraturan-peraturan beserta pelaksanaannya, dengan mengakomodasi strategi pengendalian pencemaran limbah melalui konsep produksi bersih dan minimasi limbah.
4. Menerapkan baku mutu lingkungan dan baku mutu limba B3 yang mengacu pada kemampuan daya dukung lingkungan.
II. Ketentuan yang terkait dengan pengaturan limbah B3 diantaranya: diatur dalam Pasal 1 angka (22), Pasal 59, Pasal 69 UUPPLH, PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun, PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan pemerintah No. 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan berbahaya dan Beracun, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 2009 tentang Tata Laksana Perizinan dan Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta Pengawasan Pemulihan akibat Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun oleh Pemerintah Daerah, Kep. No. 01/BAPEDAL/09/1995 tentang Tata Cara Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3, Kep. No. 02/BAPEDAL/09/1995 tentang Dokumen Limbah B3, Kep. No. 03/BAPEDAL/09/1995 tentang Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3, Kep. No.04/BAPEDAL/09/1995 tentang Tata Cara Persyaratan Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan, dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah B3, Kep. No. 05/BAPEDAL/09/1995 tentang Simbol dan Label Limbah B3, dan ketentuan lainnya.
Pengertian Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3) menurut Pasal 1 angka (22) UUPPLH adalah: “sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3”, sedangkan pengertian Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) menurut Pasal 1 angka (21) UUPPLH, adalah: “zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain”.
Berkaitan dengan pengelolaan limbah B3, Pasal 59 UUPPLH, menentukan bahwa:
1. Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
2. Dalam hal B3 yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan B3, mengangkut B3, mengedarkan B3, menyimpan B3, memanfaatkan B3, membuang B3, mengolah B3, dan atau menimbun B3 yang telah kedaluwarsa, maka pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3.
3. Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
4. Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
5. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin.
6. Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Kewajiban setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatannya, termasuk pengelolaan B3. Pengelolaan hasil dari usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat dilakukan secara sendiri atau diserahkan kepada pihak lain. Pengertian pengelolaan limbah tidak terbatas pada pengelolaan limbah belaka, tetapi merupakan kegiatan yang mencakup penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan pengolahan limbah termasuk penimbunan hasil limbah tersebut.
Pengelolaan limbah bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah usaha dan atau kegiatan serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan hidup yang tercemar dengan harapan bisa difungsikan kembali sesuai dengan peruntukkannya.
Pengelolaan limbah tidak saja meminimisasi limbahnya saja, melainkan memproses kembali limbah tersebut dengan menggunakan teknologi tertentu untuk menghilangkan atau mengurangi sifat bahan dan beracun limbah agar tidak membahayakan kesehatan manusia dan sekaligus dapat mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.
Membuang limbah secara langsung ke media lingkungan dapat menimbulkan bahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Mengingat resiko yang ditimbulkan dari limbah B3, maka perlu diupayakan agar setiap kegiatan industri dapat meminimalkan limbah yang dihasilkan dengan cara melakukan pengelolaan secara khusus.
Berdasarkan Pasal 69 ayat (1) huruf “b” sampai “f” UUPPLH ditegaskan bahwa:
1. setiap orang dilarang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wialayah Negara kesatuanRepublik Indonesia.
2. Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia
3. Memasukkan limbah B3 ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Membuang limbah ke media lingkungan hidup.
5. Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup.
Memperhatikan ketentuan Pasal 124 UUPPLH yang menetapkan masih berlakunya peraturan pelaksana UUPLH, sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti, maka PP No. 18/1999, yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan PP No. 85/1999. PP No. 18/1999 sebagaimana yang telah diubah dengan PP No. 85/1999 dinyatakan masih tetap berlaku.
Ketentuan PP No. 18/1999 jo PP No. 85/1999, dimaksudkan untuk mengimplementasikan Konvensi Basel mengenai pengawasan perpindahan lintas batas limbah B3 yang telah diratifikasi dengan Keppres No. 61/1993 tentang Pengesahan Basel Convention on the Control of Transboundry Movements of Hadardous Wastes and Their Disposal.
Pertimbangan dan tujuan Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Basel yaitu agar wilayah Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan limbah B3, mengingat secara geografis wilayah Indonesia terdiri atas pulau-pulau dengan perairan terbuka yang sangat potensial sebagai tempat pembuangan limbah B3 secara ilegal dari luar negeri.
Hirarki pengelolaan limbah B3 diantaranya dengan mengupayakan reduksi pada sumber, pengolahan bahan, substitusi bahan, pengaturan operasi kegiatan, dan digunakan teknologi bersih. Jika masih dihasilkan limbah B3, maka diupayakan pemanfaatan limbah B3. Pemanfaatan limbah B3, yang mencakup daur ulang (recycling), perolehan kembali (recovery) dan penggunaan kembali (reuse) merupakan suatu mata rantai penting dalam pengelolaan limbah B3. Selajutnya, dengan menggunakan teknologi dapat memanfaatkan limbah B3 sehingga dapat mengurangi jumlah limbah B3 serta biaya pengolahan limbah dapat di tekan dan di pihak lain akan meningkatkan bahan baku.
Ada beberapa prinsip yang mendasar yang harus diterapkan agar pendayagunaan pengelolaan limbah B3 dapat berjalan dengan baik, diantaranya:
1. Polluter must be pay principle, yaitu pencemar harus membayar semua biaya yang diakibatkannya;
2. Cradle to grave principle, yaitu pengawasan mulai dari dihasilkan sampai di buang atau ditimbunnya limbah B3;
3. Pengolahan dan penimbunan limbah B3 diusahakan dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya.
4. Nondiscriminatory principle, yaitu semua limbah B3 harus diberlakukan sesuai dengan persyaratan penangannya;
5. Sustainable development, yaitu pembangunan berkelanjutan.
III. Tata cara perizinan pengelolaan limbah B3, berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun (PermenLH No. 18/2009), ditetapkan:
1. Jenis kegiatan pengelolaan limbah B3 yang wajib dilengkapi dengan izin terdiri atas kegiatan:
a. pengangkutan;
b. penyimpanan sementara;
c. pengumpulan;
d. pemanfaatan;
e. pengolahan; dan
f. penimbunan.
2. Penghasil limbah B3 tidak dapat melakukan kegiatan pengumpulan limbah B3.
3. Kegiatan pengumpulan limbah B3 hanya dapat diberikan izin apabila:
a. telah tersedia teknologi pemanfaatan limbah B3; dan/atau
b. telah memiliki kontrak kerja sama dengan pihak pengolah dan/atau penimbun limbah B3.
4. Kontrak kerja sama penyimpanan sementara limbah B3 wajib memuat tanggung jawab masing-masing pihak bila terdapat pencemaran lingkungan.
5. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 dapat berupa a. kegiatan utama; atau b. bukan kegiatan utama.
Ketentuan Pasal 3 PermenLH 18/2009, menetapkan bahwa:
1. kegiatan pengangkutan limbah B3 wajib memiliki izin dari Menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
2. kegiatan penyimpanan sementara limbah B3 wajib memiliki izin dari Bupati/Walikota.
3. kegiatan pengumpulan limbah wajib memiliki izin dari:
a. Menteri untuk pengumpulan limbah B3 skala nasional setelah mendapat rekomendasi dari gubernur;
b. Gubernur untuk pengumpulan limbah B3 skala provinsi; atau
c. Bupati/Walikota untuk pengumpulan limbah B3 skala kabupaten/kota.
4. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 wajib memiliki izin dari instansi terkait sesuai kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
5. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 wajib memiliki izin dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
6. Kegiatan pengolahan dan penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Permohonan rekomendasi Menteri Negara Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) PermenLH No. 18/2009 wajib dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I PermenLH No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PermenLH No. 18/2009.
Pengangkutan limbah B3 hanya diperkenankan jika penghasil telah melakukan kontrak kerja sama dengan perusahaan pemanfaatan limbah B3, penimbun limbah B3, pengolah limbah B3, dan/atau pengumpul limbah B3.
Pengelolaan limbah B3 yang membutuhkan uji coba alat, instalasi pengolahan, metode pengolahan, dan/atau pemanfaatan harus lebih dahulu mendapat persetujuan uji coba dari Menteri. Kewenangan penerbitan persetujuan uji coba yang dimaksud didelegasikan kepada Deputi Menteri. Dan pelaksanaan uji coba tersebut disaksikan oleh staf Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan produk dan/atau produk antara yang dihasilkan dari usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan limbah B3 tidak diwajibkan memiliki izin, namun Produk tersebut harus telah melalui suatu proses produksi dan memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), standar internasional, atau standar lain yang diakui oleh nasional atau internasional.
Berdasarkan Pasal 7 PermenLH 18/2009, kewenangan penerbitan surat rekomendasi kegiatan pengangkutan, penyimpanan sementara, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, penimbunan limbah B3 dan kontrk kerjasama penyimpanan sementara limbah B3 serta izinnya dapat didelegasikan kepada Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Berdasarkan Pasal 8 PermenLH No. 18/2009, Perusahaan yang kegiatan utamanya pengelolaan limbah B3 dan/atau mengelola limbah B3 yang bukan dari kegiatan sendiri wajib memiliki asuransi pencemaran lingkungan hidup terhadap atau sebagai akibat pengelolaan limbah B3. Batas pertanggungan/tanggung jawab asuransi ditetapkan paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 9 PermenLH No. 18/2009, Perusahaan yang kegiatan utamanya berupa pengelolaan limbah B3 dan/atau mengelola limbah B3 yang bukan dari kegiatan sendiri wajib memiliki :
a. laboratorium analisa atau alat analisa limbah B3 di lokasi kegiatan; dan
b. tenaga yang terdidik di bidang analisa dan pengelolaan limbah B3.
Kewajiban memiliki laboratorium analisa atau alat analisa limbah B3 di lokasi kegiatan dan tenaga yang terdidik di bidang analisa dan pengelolaan limbah B3, dikecualikan terhadap jenis kegiatan pengangkutan limbah B3.
Permohononan mengajukan surat permohonan izin pengelolaan limbah B3, berdasarkan Pasal 10 PermenLH No. 18/2009 kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Dan permohonan izin tersebut dilakukan dengan mengisi formulir permohonan izin pengelolaan limbah B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II PermenLH No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Permohonan izin tersebut wajib dilengkapi dengan persyaratan minimal sebagaimana tercantum dalam Lampiran III PermenLH No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PermenLH No. 18/2009. Selanjutnya, permohonan uji coba pengelolaan limbah B3 wajib dilengkapi dengan persyaratan minimal dan menggunakan formulir permohonan uji coba pengelolaan limbah B3 sebagaimana tercantum dalam lampiran IV PermenLH No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Proses keputusan izin, berdasarkan Pasal 11 PermenLH No. 18/2009, dilakukan melalui tahapan:
1. penilaian administrasi yaitu penilaian kelengkapan persyaratan administrasi yang diajukan pemohon.
2. verifikasi teknis yaitu penilaian kesesuaian antara persyaratan yang diajukan oleh pemohon dengan kondisi nyata di lokasi kegiatan yang dilengkapi dengan Berita Acara.
3. penetapan persyaratan dan ketentuan teknis yang dimuat dalam izin yang akan diterbitkan, dan
4. finalisasi keputusan izin oleh Menteri.
Terhadap permohonan izin tersebut, berdasarkan Pasal 12 PermenLH No. 18/2009 dapat berupa penerbitan atau penolakan izin. Penolakan izin harus disertai dengan alasan penolakan. Kewenangan penolakan izin dapat didelegasikan kepada Deputi Menteri. Keputusan izin dimaksud dalam Pasal 11 PermenLH N0.18/2009 diterbitkan paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permohonan izin secara lengkap. Dalam hal permohonan izin belum lengkap atau belum memenuhi persyaratan, surat permohonan izin dikembalikan kepada pemohon.
Izin yang dikeluarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d PermenLH No. 18/2009 berbentuk Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Surat Keputusan Menteri tersebut paling sedikit memuat:
a. identitas perusahaan yang meliputi nama perusahaan, alamat, bidang usaha, nama penanggung jawab;
b. jenis pengelolaan limbah B3;
c. lokasi/area kegiatan pengelolaan limbah B3;
d. jenis dan karakteristik limbah B3;
e. kewajiban yang harus dilakukan;
f. persyaratan sebagai indikator dalam melakukan kewajiban;
g. masa berlaku izin;
h. sistem pengawasan; dan
i. sistem pelaporan.
Masa berlaku izin 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Permohonan perpanjangan izin diajukan kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota 2 (dua) bulan sebelum masa berlaku izin berakhir. Permohonan perpanjangan izin menggunakan formulir permohan perpanjangan izin sebagaimana tercantum dalam Lampiran V PermenLH No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Apabila terjadi perubahan terhadap jenis, karakteristik, jumlah, dan/atau cara pengelolaan limbah B3, berdasarkan Pasal 16 PermenLH 18/2009, pemohon wajib mengajukan permohonan izin baru.
Pengawasan terhadap penaatan izin pengelolaan limbah B3 sesuai dengan Pasal 17 PermenLH No. 18/2009 dilakukan oleh Menteri, Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) dan/atau Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD).
Berdasarkan Pasal 18 PermenLH No. 18/2009, usaha dan/atau kegiatan pengangkutan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3 sebagai kegiatan utama dan/atau mengelola limbah B3 yang bukan dari kegiatan sendiri yang telah memiliki izin wajib menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 ayat (1) PermenLH No. 18/2009 paling lama 6 (enam) bulan. PermenLH 18/2009 mulai berlaku pada tanggal 22 Mei 2009.
Selanjutnya, tata laksana perizinan dan pengawasan pengelolaan limbah B3 serta pengawasan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 yang dilakukan oleh pemerintah daerah, diatur dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 2009 tentang Tata Laksana Perizinan dan Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta Pengawasan Pemulihan akibat Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun oleh Pemerintah Daerah (PermenLH No. 30/2009), yang mulai berlaku 5 Agustus 2009.
Ruang lingkup PermenLH No. 30/2009, berdasarkan Pasal 2 PermenLH No. 30/2009, meliputi:
a. perizinan yang meliputi:
1. izin penyimpanan sementara limbah B3; dan
2. izin pengumpulan limbah B3 skala provinsi dan kabupaten/kota (tidak termasuk minyak pelumas/oli bekas).
b. rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional;
c. pengawasan pengelolaan limbah B3;
d. pengawasan pemulihan akibat pencemaran limbah B3; dan
e. pembinaan.
Berdasarkan Pasal 3 PermenLH No. 30/2009, Gubernur berwenang menerbitkan: a. izin pengumpulan limbah B3 skala provinsi; dan b. rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional. Sedangkan, Bupati/walikota berwenang menerbitkan izin penyimpanan sementara limbah B3 dan pengumpulan limbah B3 skala kabupaten/kota.
Badan Usaha yang kegiatan utamanya berupa pengumpulan limbah B3, berdasarkan Pasal 4 PermenLH No. 30/2009, wajib memiliki: a. laboratorium analisa atau alat analisa limbah B3 di lokasi kegiatan pengumpulan limbah B3; dan b. tenaga yang terdidik di bidang analisa dan pengelolaan limbah B3. Kemudian, Badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan sementara dan/atau pengumpulan limbah B3, berdasarkan Pasal 5 PermenLH No. 30/2009, wajib mengajukan permohonan izin kepada: a. gubernur untuk izin pengumpulan limbah B3 skala Provinsi; atau b. bupati/walikota untuk izin penyimpanan sementara dan izin pengumpulan limbah B3 skala kabupaten/kota.
Permohonan izin penyimpanan sementara dan/atau pengumpulan limbah B3, diajukan oleh pemohon dengan mengisi dan melengkapi formulir permohonan izin serta persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II PermenLH No. 30/2009.
Berdasarkan Pasal 6 PermenLH No.30/2009, kegiatan pengumpulan limbah B3 hanya diperbolehkan apabila: a. jenis limbah B3 tersebut dapat dimanfaatkan, dan/atau b. badan usaha pengumpul limbah B3 telah memiliki kontrak kerjasama dengan pihak pemanfaat, pengolah, dan/atau penimbun limbah B3 yang telah memiliki izin.
Proses keputusan izin penyimpanan sementara dan/atau pengumpulan limbah B3, berdasarkan Pasal 7 PermenLH No. 30/2009, dilakukan melalui tahapan:
a. penilaian administrasi yaitu penilaian kelengkapan persyaratan administrasi yang diajukan pemohon.
b. verifikasi teknis yaitu penilaian kesesuaian antara persyaratan yang diajukan oleh pemohon, dengan kondisi nyata di lokasi kegiatan sesuai dengan acuan kerja laporan verifikasi perizinan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III PermenLH No. 30/2009. yang dilengkapi dengan Berita Acara.
c. penetapan persyaratan dan ketentuan teknis yang dimuat dalam izin yang akan diterbitkan; dan
d. keputusan permohonan izin oleh gubernur atau bupati/walikota.
Keputusan permohonan izin tersebut, dapat dapat berupa penerbitan atau penolakan. Izin diterbitkan apabila permohonan izin penyimpanan sementara dan/atau pengumpulan limbah B3 memenuhi persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 PermenLH No. 30/2009. Keputusan tersebut diterbitkan paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permohonan izin secara lengkap. Namun jika permohonan izin yang dimaksud belum lengkap atau belum memenuhi persyaratan, surat permohonan izin dikembalikan kepada pemohon. Apabila dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari gubernur atau bupati/walikota tidak mengeluarkan/menerbitkan keputusan permohonan izin, maka permohonan izin dianggap disetujui.
Berdasarkan Pasal 10 PermenLH No. 30/2009, Gubernur atau bupati/walikota wajib menyampaikan status pemenuhan persyaratan administrasi permohonan izin kepada pemohon paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah permohonan izin dan dokumen administrasi diterima. Selanjutnya, Gubernur atau bupati/walikota wajib menyampaikan status pemenuhan persyaratan teknis kepada pemohon paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah verifikasi teknis dilaksanakan.
Keputusan penerbitan izin yang diterbitkan dalam bentuk keputusan gubernur atau keputusan bupati/walikota, ditembuskan kepada: a. Menteri untuk keputusan gubernur; atau b. Menteri dan gubernur untuk keputusan bupati/walikota. Selanjutnya, keputusan izin tersebut paling sedikit memuat:
a. identitas badan usaha yang meliputi nama badan usaha, alamat, bidang usaha, nama penanggung jawab kegiatan;
b. sumber limbah B3;
c. lokasi/area kegiatan pengelolaan limbah B3;
d. jenis dan karakteristik limbah B3;
e. kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan, antara lain:
1. mematuhi jenis limbah B3 yang disimpan/dikumpulkan;
2. mengikuti persyaratan penyimpanan dan/atau pengumpulan limbah B3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
3. mengikuti persyaratan penyimpanan dan/atau pengumpulan sesuai dengan jenis dan karakteristik limbah B3;
4. mencegah terjadinya tumpahan/ceceran limbah B3;
5. mencatat neraca limbah B3;
6. mematuhi jangka waktu penyimpanan dan/atau pengumpulan limbah B3; dan
7. menyampaikan laporan kegiatan perizinan penyimpanan /atau pengumpulan limbah B3.
f. sistem pengawasan; dan
g. masa berlaku izin.
Pencatatan neraca limbah B3 dilakukan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PermenLH No. 30/2009.
Penolakan permohonan izin izin penyimpanan sementara dan/atau pengumpulan limbah B3, dilakukan apabila permohonan izin tidak memenuhi persyaratan administrasi dan/atau teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 PermenLH No. 30/2009 dan penolakan tersebut diterbitkan dalam bentuk surat gubernur atau surat bupati/walikota dengan disertai alasan penolakan.
Izin penyimpanan dan/atau pengumpulan limbah B3 berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Permohonan perpanjangan izin diajukan kepada gubernur atau bupati/walikota paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sebelum masa berlaku izin berakhir. Permohonan perpanjangan izin tersebut menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran V PermenLH No. 30/2009. Proses perpanjangan izin dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 PermenLH No. 30/2009.
Berdasarkan Pasal 14 PermenLH No. 30/2009, pabila terjadi perubahan terhadap jenis, karakteristik, dan/atau cara penyimpanan dan pengumpulan limbah B3, pemohon wajib mengajukan permohonan izin baru.
Izin pengumpulan dan/atau penyimpanan limbah B3 berdasarkan Pasal 15 PermenLH No. 30/2009, berakhir apabila: a. telah habis masa berlaku izin; atau b. dicabut oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pencabutan izin dilakukan apabila ditemukan pelanggaran terhadap pelaksanaan pengelolaan limbah B3 sebagaimana diatur di dalam izin. Pencabutan izin tersebut harus lebih dahulu diberikan surat peringatan berturut-turut 2 (dua) kali
dalam kurun waktu 2 (dua) bulan.
Selanjutnya, setiap badan usaha yang melakukan pengumpulan limbah B3 skala nasional
wajib memiliki izin dari Menteri setelah mendapat rekomendasi izin pengumpulan dari gubernur.
Pengajuan permohonan rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional kepada gubernur, dan untuk itu Gubernur setelah menerima permohonan rekomendasi izin
wajib:
a. melakukan penilaian terhadap kelengkapan administrasi;
b. melakukan verifikasi teknis untuk meneliti kebenaran persyaratan administrasi dan teknis dengan kondisi di lokasi usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan acuan kerja laporan verifikasi perizinan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III PermenLH No. 30/2009 yang dilengkapi dengan Berita Acara; dan
c. menerbitkan keputusan rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional.
Keputusan rekomendasi izin dapat berupa persetujuan atau penolakan permohonan rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional. Keputusan tersebut diterbitkan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan rekomendasi izin. Apabila dalam jangka waktu tersebut gubernur tidak mengeluarkan/menerbitkan keputusan rekomendasi izin, permohonan rekomendasi izin dianggap disetujui. Penolakan permohonan rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional harus disertai dengan alasan penolakan.
Gubernur berdasarkan Pasal 22 PermenLH 30/2009, berwenang melakukan pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3 dan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 skala provinsi. Sedangkan, Bupati/walikota berwenang melakukan pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3 dan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3 dan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 Berdasarkan Pasal 23 PermenLH 30/2009, dilakukan oleh tim pengawas. Tim pengawas terdiri atas ketua tim dan paling sedikit 1 (satu) orang anggota tim. Ketua tim haruslah Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD) yang memenuhi persyaratan: a. telah mengikuti pelatihan pengelolaan limbah B3; dan/atau b. telah bekerja paling sedikit 2 (dua) tahun di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian, Anggota tim harus memenuhi persyaratan: a. telah mengikuti pelatihan pengelolaan limbah B3; dan/atau b. telah bekerja paling sedikit 1 (satu) tahun di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Tim pengawas dalam melaksanakan tugasnya wajib dilengkapi dengan surat tugas yang diterbitkan oleh kepala instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup provinsi atau kabupaten/kota. Dalam melaksanakan tugas pengawasannya, tim pengawas berpedoman pada tata laksana pengawasan pengelolaan limbah B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII dan tata laksana pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII PermenLH No. 30/2009.
Pembinaan terhadap pelaksanaan perizinan dan pengawasan pengelolaan limbah B3 serta pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 di tingkat provinsi dilakukan oleh Menteri. Sedangkan, pembinaan terhadap pelaksanaan perizinan dan pengawasan pengelolaan limbah B3 serta pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 di tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh Menteri dan/atau gubernur.
Biaya permohonan izin dan rekomendasi izin dibebankan kepada pemohon izin atau rekomendasi. Sedangkan, biaya penyelenggaraan pengawasan dibebankan kepada: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi untuk pengawasan di tingkat provinsi; atau b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota untuk pengawasan di tingkat kabupaten/kota.
IV. Hukum pidana memainkan peranan penting dalam upaya penegakan hukum lingkungan, namun demikian beban yang ditimpakan pada hukum pidana tidak berarti harus melebihi kapasitas yang dimilikinya dan perlu diperhatikan pembatasan-pembatasan secara in heren terkandung dalam penerapan hukum pidana tersebut, seperti asas legalitas maupun asas kesalahan.
Berlakunya hukum pidana dalam suatu masyarakat, pada dasarnya berkait dengan tiga unsur/komponen hukum yang satu sama lainnya terkait erat, yaitu:
Pertama, adanya seperangkat peraturan yang berfungsi mengatur perilaku manusia, juga berfungsi menyelesaikan sengketa yang timbul diantara anggota masyarakat tersebut, juga berfungsi mendidik. Khususnya fungsi yang terakhir mengingat setiap peraturan yang dibuat dengan sengaja selalu bertujuan untuk mengatur perilaku anggota masyarakat untuk waktu mendatang (sifat preventif suatu peraturan hukum) berdasarkan suatu tujuan tertentu dan oleh karena itu harus dilaksanakan atau dipatuhi. Sedang fungsinya yang kedua juga merupakan sifat setiap peraturan hukum yang refresif, menyelesaikan permasalahan bila terjadi pelanggaran atas peraturan perundang-undangan yang dibuat dengan sengaja untuk mengatur perilaku anggota masyarakat itu.
Kedua, adanya seperangkat orang/lembaga yang melaksanakan tugas agar peraturan-peraturan yang dengan sengaja dibuat itu ditaati dan tidak dilanggar. Dalam hal dilanggar, maka seperangkat orang/lembaga tersebut diberi kewenangan untuk menyelesaikannya. Kewenangan ini tercermin dalam sanksi/akibat (pelanggaran) hukum yang menyertainya.
Ketiga, adanya orang/orang-orang yang dikenai oleh peraturan itu, yaitu anggota masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok.
Ketentuan pidana yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan limbah B3, yaitu Pasal 63 PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun (PPLB3), yang berbunyi:
“Barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 60 yang mengakibatkan dan/atau dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup diancam dengan pidana sebagaimana diatur pada Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, asal 46, dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.”
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), dengan demikian sejak berlakunya UUPPLH tanggal 3 Oktober 2009, maka ancaman pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63 PPLB3 yaitu ketentuan pidana yang diatur dalam UUPPLH. Adapun ketentuan-ketentuan UUPPLH yang terkait dengan Pasal 63 PPLB3 yaitu Pasal 102, Pasal 103, Pasal 106, Pasal 107 UUPPLH, dan Pasal 117 UUPPLH, Pasal 119 UUPPLH jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh badan usaha.
Pasal 3 PPLB3
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan hidup, tanpa pengelolaan terlebih dahulu.
Penjelasan
Yang dimaksud dengan membuang limbah B3 langsung ke dalam tanah, air atau udara adalah pembuangan limbah B3 tanpa pengolahan terlebih dahulu. Ketentuan ini dimaksudkan agar limbah B3 yang dihasilkan dapat dikelola dengan baik sehingga tidak berbahaya dan/atau beracun lagi terhadap kesehatan manusia dan/atau lingkungan hidup.
Pasal 4 PPLB3
Setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3 dilarang melakukan pengenceran untuk maksud menurunkan konsentrasi racun dan bahaya limbah B3.
Penjelasan
Yang dimaksud dengan pengenceran adalah menambahkan cairan atau zat lainnya pada limbah B3 sehingga konsentrasi zat racun dan/atau tingkat bahayanya turun, tetapi beban pencemarannya masih tetap sama dengan sebelum dilakukan pengenceran. Hal ini dilarang karena pengenceran tidak akan menghilangkan sifat berbahaya dan beracunnya limbah B3.
Pasal 9 PPLB3
(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah B3 wajib melakukan reduksi limbah B3, mengolah limbah B3 dan/atau menimbun limbah B3.
(2) Apabila kegiatan reduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih menghasilkan limbah B3, dan limbah B3 tersebut masih dapat dimanfaatkan, penghasil dapat memanfaatkannya sendiri atau menyerahkan pemanfaatannya kepada pemanfaat limbah B3.
(3) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib mengolah limbah B3 yang dihasilkannya sesuai dengan teknologi yang adan dan jika tidak mampu diolah di dalam negeri dapat diekspor ke negara lainyang memiliki teknologi pengolahan limbah B3.
(4) Pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sendiri oleh penghasil limbah B3 atau penghasil limbah B3 dapat menyerahkan pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 yang dihasilkannya kepad pengolah dan/atau penimbun limbah B3.
(5) Penyerahan limbah B3 kepada pemanfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3), serta kepada pengolah dan/atau penimbun limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mengurangi tanggung jawab penghasil limbah B3 untuk mengolah limbah B3 yang dihasilkannya.
(6) Ketentuan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangga dan kegiatan skala kecil ditetapkan kemudian oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Penjelasan
Ayat (1) s/d (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Pada prinsipnya pengahsil tetap bertanggung jawab terhadap limbah B3 yang dihasilkannya.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 10 PPLB3
(1) Penghasil limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari sebelum menyerahkannya kepada pengumpul atau pemanfaat atau pengolah atau penimbun limbah B3.
(2) Bila limbah B3 yang dihasilkan kurang ari 50 (lima puluh) kilogram per hari, penghasil limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya lebih dari sembilan puluh hari sebelum diserahkan kepad pemanfaat atau pengolah ata penimbun limbah B3, dengan persetujuan Kepala instansi yang bertanggungjawab.
Penjelasan
Cukup jelas
Pasal 14 PPLB3
(1) Pengumpul limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dikumpulkannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari sebelum diserahkan kepada pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3.
(2) Pengumpul limbah B3 bertanggung jawab terhadap limbah B3 yang dikumpulkan.
Penjelasan
Cukup jelas
Pasal 15 PPLB3
(1) Pengangkut limbah B3 dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan limbah B3.
(2) Pengangkutan limbah B3 dapat dilakukan oleh penghasil limbah B3 untuk limbah yang dihasilkannya sendiri.
(3) Apabila penghasil limbah B3 bertindak sebagai pengangkut limbah B3, maka wajib memenuhi ketentuan yang berlaku bagi pengangkut limbah B3.
Penjelasan
Cukup jelas
Pasal 19 PPLB3
(1) Pemanfaatan limbah B3 yang menhasilkan limbah B3 wajib mmenuhi ketentuan mengenai penghasil limbah B3.
(2) Pemanfaat limbah B3 yang dalam kegiatannya melakukan pengumpulan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan mengenai pengumpul limbah B3.
(3) Pemanfaat limbah B3 yang melakukan pengangkutan limbah B3 wajib meemnuhi ketentuan mengenai pengangkutan limbah B3.
Penjelasan
Cukup jelas
Pasal 20 PPLB3
Pemanfaatan limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 sebelum dimanfaatkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
Penjelasan
Cukup jelas
Pasal 30 PPLB3
(1) Kegiatan pengumpulan limbah B3, wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Memperhatikan karakteristik limbah B3;
b. Mempunyai laboratorium yang dapat mendeteksi karakteristik limbah B3 kecuali untuk toksikologi;
c. Memiliki perlengkapan untuk penanggulangan terjadinya kecelakaan;
d. Memiliki konstruksi bangunan kedap air dan bahan bangunan disesuaikan dengan karateristik limbah B3.
e. Mempunyai lokasi pengumpulan yang bebas banjir.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Penjelasan
Cukup jelas
Pasal 32 PPLB3
Pengangkutan limbah B3 dilakukan dengan alat angkut khusus yang memenuhi persyaratan dengan tata cara pengangkutan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan
Cukup jelas
Pasal 34 PPLB3
(1) Pengolahan limbah B3 dapat dilakukan dengan cara thermal, stabilisasi dan solidifiaksi secara fisika, kimia, biologi dan/atau cara lainnya sesuai dengan perkembangan teknologi.
(2) Pemilihan lokasi untuk pengolahan limbah B3 harus memenuhi ketentuan:
a. Bebas dari banjir, tidak rawan bencana alam dan bukan kawasan hutan lindung;
b. Merupakan lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan peruntukan industri berdasarkan rencana tata ruang.
(3) Pengolahan limbah B3 dengan cara stabilisasi dan solidifikasi wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Melakukan analisis dengan prosedur ekstraksi untuk menentukan mobilitas senyawa organik dan anorganik (Toxicity Characteristic).
b. Melakukan penimbunan hasil pengolahan stabilisasi dan solidifikasi dengan ketentuan penimbunan limbah B3 (landfill).
(4) Pengolahan limbah B3 secara fisika dan/atau kimia yang menghsilkan :
a. Limbah cair, maka limbah cair tersebut wajib memenuhi baku mutu limbah cair;
b. Limbah padat, maka limbah padat tersebut wajib memenhi ketentuan tentang pengelolaan limbah B3.
(5) Pengolahan limbah B3 dengan cara thermal dengan mengoperasikan insinerator wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Mempunyai insenerator dengan spesifikasi sesuai dengan karakteristik dan jumlah limbah B3 yang diolah;
b. Mempunyai insinerator yang dapat memenuhi efisiensi sesuai dengan minimal 99,99 % dan efisiensi penghancuran dan penghilangan sebagai berikut:
1) efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Principle Organic Hazard Constituent (POHCs) 99,99 %.
2) efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyclorinated Biphenyl (PCBs) 99,99%.
3) Efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyclorinated Dibenzofurans 99,99 %.
4) Efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyclorinated Dibenso-P-dioxins 99,99%.
c. Memenuhi standar emisi udara;
d. Residu dari kegiatan pembakaran berupa abu dan cairan wajib dikelola dengan mengikuti ketentuan tentang pengelolaan limbah B3.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pengelolan limbah B3 ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Penjelasan
Ayat (1) s/d (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan efisiensi penghancuran dan penghilangan limbah Be adalah “Dectruction Removal Efficiency (DRE)”. Penentuan standar emisi udara didasarkan pada standar emisi peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi parameter konvensional (CO, NO, SO2 Hidrkarbon, TSP, Amonia). Sedangkan penentuan standar emisi lainnya didasarkan karakteristik limbah B3, jenis insinerator, kualitas udara setempat dan lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 36 PPLB3
Lokasi penimbunan limbah B3 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Bebas banjir;
b. Permeabilitas tanah maksimum 10 pangkat 7 centimeter per detik;
c. Merupakan lokasi yang ditetapkan sebagai lokasi penimbunan limbah B3 berdasarkan rencana tata ruang;
d. Merupakan daerah yang secara geologis dinyatakan aman, stabil, tidak rawan bencana dan di luar kawasan lindung;
e. Tidak merupakan daerah resapan air tanah khususnya yang digunakan untuk air minum.
Penjelasan
Untuk jenis-jenis limbah B3 yang LD 50-nya lebih besar dari 50 mg/kg berat badan dapat dilakukan penimbunan pada lokasi dengan permeabilitas tanah maksimum 10 pangkat negatif 5 cm per detik. Apabila peruntukkan lokasi penimbunan limbah B3 belum ditetapkan berdasarkan rencana penataan tata ruang, Instansi yang bertanggung jawab dapat mengajukannya kepada Menteri.
Pasal 37 PPLB3
(1) Penimbunan limbah B3 wajib menggunakan sistem pelapis yang dilengkapi dengna saluran untuk pengaturan aliran air permukaan pengumpulan air lindi dan pengolahannya, sumur pantau dan lapisan penutup akhir yang telah disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan penimbunan limbah B3 ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Penjelasan
Ayat (1)
Penimbunan dalam ketentuan ini merupakan rangkaian kegiatan pengolahan. Penimbunan hasil pengolahan limbah B3 adalah tindakan membuang dengan cara penimbunan, dimana penimbunan tersebut dirancang sebagai tahap akhir dari pengolahan limbah B3 sesuai dengan karakteristik limbah B3 tersebut.
Pelapis pelindung adalah lapisan yang dibangun untuk mencegah terpaparnya limbah B3 atau air lindi dari limbah B3 ke lingkungan, pelapis pelindung dapat berupa sintetic liner atau compacted clay atau lapisan lain yang setara yang memiliki permeabilitas yang sama.
Pelapisan pelindung dapat diberikan dengan double liner dan atau satu liner atau hanya dengan compacted clay sesuai dengan standar penimbunan limbah B3 yang ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39 PPLB3
(1) Terhadap lokasi penimbunan limbah B3 yang telah dihentikan kegiatannya wajib memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a. Menutup bagian paling atas tempat penimbunan dengan tanah setebal minimum 0,60 meter;
b. Melakukan pemagaran dan memberi tanda tempat penimbunan limbah B3;
c. Melakukan pemantauan kualitas ait tanah dan menanggulangi dampak negatif yang mungkin timbul akibat keluarnya limbah B3 ke lingkungan, selama minimum 30 tahun terhitung sejak ditutupnya seluruh fasilitas penimbunan limbah B3;
d. Peruntukan lokasi penimbunan yang telah dihentikan kegiatannya tidak dapat dijadikan pemukiman atau fasilitas umum lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Penjelasan
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan lokasi penimbunan limbah B3 yang telah dihentikan kegiatannya adalah lokasi bekas penimbunan (post closure).
Yang dimaksud dengan fasilitas umum lainnya meliputi fasilitas olah raga, pendidikan, rumah sakit, rekreasi dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 60 PPLB3
(1) Penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3 wajib segera menanggulangi pencemaran atau keruskan lingkungan akibat kegiatannya.
(2) Apabila penghasil, pemanfaat, pengumpul, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3 tidak melakukann penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atau tidak dapat menanggulangi sebagaimana mestinya, maka instansi yang bertanggung jawab dapat melakukan penanggulangan dengan biaya yang dibebankan kepada penghasil, dan/atau pemanfaat, dan/atau pengumpul, dan/atau pengangkut, dan/atau pengolah, dan/atau penimbun limbah B3 yang bersangkutan melalui Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Penjelasan
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pencemaran atau kerusakan lingkungan akibat kegiatan dapat berupa yang disengaja antara lain, pengolahan atau penimbunan yang tidak sesuai dengan eprsyaratan lingkungan dan/atu kegiatan yang tidak disengaja antara lain lepasnya bahan kimia ke lingkungan akibat kebocoran tangki atau akibat kecelakaan lalu lintas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Mempehatikan ketentuan terdahulu, dapat di sebutkan bahwa Unsur-unsur Pasal 63 PPLB3, yaitu:
Tindak Pidana
o Membuang limbah B3 secara langsung ke dalam media lingkungan hidup, tanpa pengelolaan terlebih dahulu.
o Melakukan pengenceran untuk maksud menurunkan konsentrasi racun dan bahaya limbah B3.
o Tidak melakukan :
§ reduksi limbah B3,
§ mengolah limbah B3, dan/atau
§ menimbun limbah B3.
o Tidak : - memanfaatkan sendiri, atau
- menyerahkan pemanfaatan
* limbah B3 masih dapat dimanfaatkan
o Tidak mengolah limbah B3 yang dihasilkannya
o Tidak menyerahkan : - pengolahan, dan/atau
- penimbunan
* limbah B3 yang dihasilkannya
* kepada : - pengolah, dan/atau
- penimbun limbah B3.
o Tidak bertanggung jawab untuk mengolah limbah B3 yang dihasilkannya.
o Menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya lebih dari 90(sembilan puluh) hari
* sebelum menyerahkannya kepada:
§ pengumpul, atau
§ pemanfaat, atau
§ pengolah, atau
§ penimbun limbah B3.
o Tidak bertanggung jawab terhadap limbah B3 yang dikumpulkan.
o Pengangkut limbah B3 tidak dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan limbah B3.
o Pengangkutan limbah B3 tidak dilakukan oleh penghasil limbah B3 untuk limbah yang dihasilkannya sendiri.
o Tidak memenuhi ketentuan yang berlaku bagi pengangkut limbah B3.
o Tidak memenuhi ketentuan mengenai penghasil limbah B3.
o Menyimpan limbah B3 sebelum dimanfaatkan lebih dari paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
o Tidak memperhatikan karakteristik limbah B3
o Tidak mempunyai laboratorium yang dapat mendeteksi karakteristik limbah B3 kecuali untuk toksikologi.
o Tidak memiliki perlengkapan untuk penanggulangan terjadinya kecelakaan.
o Tidak memiliki konstruksi bangunan kedap air dan bahan bangunan disesuaikan dengan karateristik limbah B3.
o Tidak mempunyai lokasi pengumpulan yang bebas banjir.
o Pengangkutan limbah B3 dilakukan tidak dengan alat angkut khusus.
o Pengolahan limbah B3 dilakukan tidak dengan cara :
- thermal,
- stabilisasi dan solidifiaksi secara :
§ fisika,
§ kimia,
§ biologi, dan/atau
§ cara lainnya sesuai dengan perkembangan teknologi.
o Pemilihan lokasi untuk pengolahan limbah B3 tidak memenuhi ketentuan:
a. Bebas dari banjir, tidak rawan bencana alam dan bukan kawasan hutan lindung;
b. Merupakan lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan peruntukan industri berdasarkan rencana tata ruang.
o Pengolahan limbah B3 dengan cara stabilisasi dan solidifikasi tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Melakukan analisis dengan prosedur ekstraksi untuk menentukan mobilitas senyawa organik dan anorganik (Toxicity Characteristic).
b. Melakukan penimbunan hasil pengolahan stabilisasi dan solidifikasi dengan ketentuan penimbunan limbah B3 (landfill).
o Tidak memenuhi baku mutu limbah cair.
o Tidak memenuhi ketentuan tentang pengelolaan limbah B3.
o Mengoperasikan insinerator dengan tidak memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Mempunyai insenerator dengan spesifikasi sesuai dengan karakteristik dan jumlah limbah B3 yang diolah;
b. Mempunyai insinerator yang dapat memenuhi efisiensi sesuai dengan minimal 99,99 % dan efisiensi penghancuran dan penghilangan sebagai berikut:
i. efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Principle Organic Hazard Constituent (POHCs) 99,99 %.
ii. efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyclorinated Biphenyl (PCBs) 99,99%.
iii. Efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyclorinated Dibenzofurans 99,99 %.
iv. Efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyclorinated Dibenso-P-dioxins 99,99 %.
c. Memenuhi standar emisi udara;
d. Residu dari kegiatan pembakaran berupa abu dan cairan wajib dikelola dengan mengikuti ketentuan tentang pengelolaan limbah B3.
o Lokasi penimbunan limbah B3 tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Bebas banjir;
b. Permeabilitas tanah maksimum 10 pangkat 7 centimeter per detik;
c. Merupakan lokasi yang ditetapkan sebagai lokasi penimbunan limbah B3 berdasarkan rencana tata ruang;
d. Merupakan daerah yang secara geologis dinyatakan aman, stabil, tidak rawan bencana dan di luar kawasan lindung;
e. Tidak merupakan daerah resapan air tanah khususnya yang digunakan untuk air minum.
o Tidak menggunakan sistem pelapis yang dilengkapi dengan saluran untuk
§ pengaturan aliran air permukaan
§ pengumpulan air lindi dan pengolahannya,
§ sumur pantau, dan
§ lapisan penutup akhir
* yang telah disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab.
o Lokasi penimbunan limbah B3 yang telah dihentikan kegiatannya tidak memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a. Menutup bagian paling atas tempat penimbunan dengan tanah setebal minimum 0,60 meter;
b. Melakukan pemagaran dan memberi tanda tempat penimbunan limbah B3;
c. Melakukan pemantauan kualitas ait tanah dan menanggulangi dampak negatif yang mungkin timbul akibat keluarnya limbah B3 ke lingkungan, selama minimum 30 tahun terhitung sejak ditutupnya seluruh fasilitas penimbunan limbah B3;
d. Peruntukan lokasi penimbunan yang telah dihentikan kegiatannya tidak dapat dijadikan pemukiman atau fasilitas umum lainnya.
o Tidak segera menanggulangi pencemaran atau keruskan lingkungan akibat kegiatannya.
Pertanggungjawaban
o Subjek :
§ Setiap orang
§ Badan usaha
§ Pengolah limbah B3
§ Penimbun limbah B3
§ Penghasil limbah B3
§ Pengumpul limbah B3
§ Pengangkut limbah B3
§ Pemanfaat limbah B3
o Objek : limbah B3
o jika dilakukan oleh atau atas nama suatu badan usaha pidana denda diperberat dengan sepertiga.
o Jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh atau atas nama suatu badan usaha tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan terhadap :
§ Badan usaha
§ yang memberi perintah
§ pemimpin
o Jika tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama badan usaha dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan usaha, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap:
§ yang memberi perintah atau
§ yang bertindak sebagai pemimpin
o Jika tuntutan dilakukan terhadap badan usaha, panggilan ditujukan kepada:
§ pengurus : - di tempat tinggal mereka, atau
- di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
o Jika tuntutan dilakukan terhadap badan usaha
* pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus
* hakim : - memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.
o tindakan tata tertib :
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
b. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
c. perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
d. mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan atau
e. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
f. menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 102 UUPPLH:
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 103 UUPPLH
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 106 UUPPLH
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 107 UUPPLH
Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 117 UUPPLH
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 119 UUPPLH
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Memperhatikan ketentuan Pasal UUPPLH yang disebutkan di atas, terlihat bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana limbah B3, ancamannya ada pidana paling singkat (minimal), dan jika dilakukan dalam suatu badan usaha hukumannya ditambah sepertiganya, dan dapat dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 119 UUPPLH.
Terhadap kasus limbah B3, laporan dapat disampaikan oleh setiap orang ke pihak penyidik (PPNS) maupun ke POLRI, hal ini sesuai dengan ketentuan 65 dan 66 UUPPLH, dan POLRI juga berwenang melakukan penyelidikan di pabrik tanpa adanya laporan dari pihak manapun, oleh karena tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 63 PPLB3, dan ketentuan Pidana dalam UUPPLH merupakan tidak pidana umum, bukan tindak pidana aduan.
KEPUSTAKAAN
Arief, Barda Nawawi, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
------------ 1994, Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta
Baoed, Wahono, 1996, Penegakan Huhum Lingkungan melalui Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, Mahkamah Agung RI, Jakarta.
Cox, D James, Thomas Lee Hazen and F. Hodge O'Neal, 1997, Corporations,Aspen Law & Business, A Division of Aspen Publishers, Inc., New York.
Dunkley, John, edited by David Robinson, 1995, Public Interest in Environmental Law, Wiley Chancery A Division of John Wiley & Son London Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore.
Fuady, Munir, 2002, Doktrin-Dokirin Modern Dalam Corporate Law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Goodrich, Wilson Sonsini and Rosati, Environmental Law Bulletin-Corporate Liability : Strategies Corporation, Shareholders and Directors Can Employ to Reduce Environmental Liability.
Gross, Hyman, 1979, A Theory of Criminal Justice, New York: Oxford University Press.
Gunardi Endro, 1999,Redefenisi Bisnis Suatu Penggalian Etika Keutamaan Aristoteles, PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
Guideline for the Criminal Enforcement of Environmental Law, 1994, National Support Bureau of the Dutch Prosecution Service, Netherlands
Hamilton, Robert W., 2001, Cases and Materials on Corporation Including Partnerships and Limited Liability Companies, American Casebook Series, West Group.
Han Kung, 2402, Etika Ekonomi-Politik Global Mencari Visi Baru Bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI, Terjemahan Ali Noer Zaman, Penerbit Qalam, Yogyakarta.
Harahap, M. Yahya, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Buku- I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
Hardjasoemantri, Koesnadi, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Gadjahmada University Press, Yogyakarta.
Harun M. Husein, 1993, Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan penegakan,Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta.
Hatrik, Hamzah, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicoatious Liability), PT RajaGrafindo Persada.
Hohmann, Harald, 1994, Precautionary Legal Duties and Principles of Modern International Environmental Law, Graham & Trotman/ Martinus Nijhoff, London/ Dordrecht/ Boston.
Keraf, Sonny, A., 1998, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Koeswadji, Hermien Hadiati, 1993, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, Moeliono, Tristam P., 1994, Kekhawatiran Masa Kini, Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan Dalam Teori dan Praktek.
Muladi, 1998, "Prinsip-prinsip dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam kaitannya Dengan W No. 23 Tahun 1977", Makalah, Seminar Kajian dan Sosialisasi ULI No. 23 Tahun 1997, FH UNDIP, Semarang.
Muladi dan Dwidja Prayifio, 1991, Pertangungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum, Bandung.
Nasution, Bismar, 2001, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Pascasarjana, Jakarta.
Nugroho, Alois A, 2001, Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis, Grasindo, Jakarta.
Pistor Katarina & Chenggang Xu, 2002, Fiduciary Duty in Transitional Civil Law Jurisdictions, European Corporate Governance Institute (ECGI).
Proposed Model for a Domestic Law of Crimes Against the Environment, International Meeting of Experts on Environmental Crime: The Use of Criminal Sanctions in the Protection of the Environment; Internationally, Domestically, and Regionally, March 19- 23, 1994 World Trade Center Two, Portland, Oregon, USA;
Rajagukguk, Erman, 1997, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 4 Januari 1997.
Rajagukguk, Erman dan Ridwan Khairandy (ed)., 2001, Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH. ML, UI, Jakarta.
Setiono, H. 2002, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan Pertanggung jawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Averoes Press, Malang.
Sitompul, Zulkarnain, 2002, Perlindungan Dana Nasabah Bank Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, Fakultas Hukum.
Universitas Indonesia, Program Pascasarjana, Jakarta. Smith and Hogan.1992, Criminal Law. 1992. Butterworths London, Dublin and Edinburgh.
Suparmoko, M, 1997, Ekonomi Sumberdaya alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis), BPFE, Yogyakarta.
Syahrin, Alvi, 2002, Asas-asas dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan.
Vagts, Detlev F., 1989, Basic Corporation Law, Materials - Cases - Text, University Casebook Series, The Foundation Press, Inc, Westbury, New York,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar