Selasa, 05 Mei 2020

ASPEK LIABILITAS LINGKUNGAN HIDUP DI INDUSTRI MIGAS


ASPEK LIABILITAS LINGKUNGAN HIDUP DI INDUSTRI MIGAS[1]

Oleh: Alvi Syahrin[2]

I.                     Terkait dengan prinsip tanggung jawab setidak-tidaknya ada 3 (tiga) prinsip atau teori mengenai tanggung jawab yang dikenal, yakni: a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault liability, liability based on fault principle); b. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable presumption of liability principle); dan c. Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability, absolute atau strict liability principle).  Selanjutnya,terhadap prinsip tanggungjawab ini ada juga yang mengemukakan terdiri dari: a. prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan, menyatakan: seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) ini merupakan prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata; b. prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, menyatakan: tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bawa ia tidak bersalah. Pada prinsip ini, beban pembuktian berada pada si tergugat;  c. prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability principle) yang menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap tidak bertanggung jawab sampai terbukti bahwa ia benar-benar bersalah di bawah putusan pengadilan; d. Prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yang sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability). Dalam penggunaan istilah ini ternyata tidak tampak ketuntasan karena yang menjadi ukuran utama dari prinsip tanggung jawab mutlak (yang membedakannya dari prinsip-prinsip tanggung jawab lainnya) yakni tanggung jawab yang tidak mempersoalkan lagi kesalahan;  e. prinsip tanggung jawab dengan pembatasan  (limitation of liability principle), prinsip ini disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klasula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.
Memperhatikan pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa tanggung jawab negara dalam bentuk liability merupakan tanggung jawab hukum. Hal ini berbeda dengan makna tanggung jawab negara dalam bentuk responsibility yaitu tanggung jawab moral.  Dalam tulisan ini, akan dipergunakan bahwa prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan, yang berarti bahwa jika negara lalai terhadap tanggung jawab dalam pengelolaan migas, negara dapat dituntut oleh masyarakat untuk menetapkan kebijakan yang sesuai dengan konstitusi.
Ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUD 1945, menetapkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Selanjutnya Psal 33 ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa bumi dan  air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dari ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, pendiri negara ini sudah memikirkan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat merupakan unsur utama dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa ini. Minyak dan gas bumi (migas), merupakan satu diantara sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pengelolaan migas harus ada di tangan negara dan diarahkan untuk kemakmuran serta kesejahteraan rakyat. Pengelolaan migas semakin menarik bilamana dihubungkan dengan tujuan berdirinya negara Indonesia sebagaimana tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni: “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan keserahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”. Dengan demikian, negara memiliki tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyat melalui sektor migas.
Kebijakan pengelolaan migas pada awalnya di dasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1968 tentang Pendirian Perusahaan Negara Pertambangan Minjak Dan Gas Bumi NasionaL (P.N. PERTAMINA). PN Pertamina merupakan peleburan dari Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia dan Perusahaan Pertambangan Minyak Nasional. Eksistensi PN Pertamina dinilai berhasil, sehingga dasar hukum pendirian PN Pertamina yang pada awalnya berupa peraturan pemerintah kemudian ditingkatkan menjadi undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Pertamina sebagai Integrated State Oil Company mendapatkan tugas sebagai pelaksana pengusahaan pertambangan migas. Untuk dapat melaksanakan pengusahaan pertambangan migas, kepada Pertamina diberikan Kuasa Pertambangan yang meliputi Eksploitasi, Pemurnian dan Pengolahan, Pengangkutan, serta Penjualan.
              Perubahan bentuk PN Pertamina menjadi Pertamina melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971, yakni agar terciptanya kelancaran dan terjaminnya pelaksanaan pengusahaan minyak dan gas bumi secara ekonomis di satu pihak dan agar diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari pengusahaan tersebut untuk rakyat, bangsa dan negara di lain pihak.  Dari kajian normatif, pengelolaan migas pada diarahkan pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, namun dalam tataran implementatif, pengelolaan migas tidak konsisten dengan tataran normatif karena kebijakan pengelolaan migas lebih mengedepankan ekspor daripada kebutuhan dalam negeri. Sebagai akibatnya, harga migas di dalam negeri sering kali mengalami kenaikan harga, sehingga tujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan.
              Pada pemerintahan Orde Reformasi, terkait dengan kebijakan di sektor migas diawali dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 2001). Berdasarkan UU Migas 2001 ini, terdapat tiga pertimbangan (argumentasi), perlunya UU Migas 2001 diundangkan, yakni: a. pembangunan nasional harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat dengan melakukan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; c. kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang meningkat dan berkelanjutan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, tampak bahwa pembentuk UU Migas 2001 menyadari bahwa kegiatan usaha migas akan diarahkan untuk kepentingan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
              Berdasarkan ketentuan Pasal 5 angka 1, Pasal 4 ayat (3) Pasal 44 – 49 UU Migas 2001, terdapat  Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disingkat BP MIGAS). Keberadaan BP MIGAS dalam UU Migas 2001 tersebut, dimohonkan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan Nomor 36/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Mahkamah Konstitusi menyatakan keberadaan BP MIGAS inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga BP MIGAS di bubarkan. Kemudian, pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Kementerian ESDM mengambil alih tugas dan fungsi BP MIGAS, dan Menteri ESDM mengeluarkan dua Keputusan Menteri (Kepmen) No. 3135K/08/MEM/2012 tentang Pengalihan Tugas, Fungsi, dan Organisasi dalam Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Kepmen ESDM No. 3136K/73/MEM/2012 tentang Pengalihan Pekerja BP Migas. Dua Kepmen itu secara jelas menyatakan, BP Migas akan diambil alih oleh Kementerian ESDM dengan membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana (SKSP) Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Terhadap keputusan Menteri ESDM, terdapat perdebatan, diantaranya terkait dasar hukum pengalihan wewenang dari BP Migas kepada SKSP Migas. Ada pihak yang berpendapat bahwa pengalihan wewenang dari BP Migas kepada SKSP Migas sekedar “tukar pakaian”, dan dasar hukum BP Migas yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yakni undang-undang, maka seharusnya dasar hukum SKSP Migas juga undang-undang, sehingga keberadaan SKSP Migas dapat pula dikualifikasikan inkonstitusional, karena bertentangan dengan UUD 1945.
              Memperhatikan pelaksanaan kebijakan minyak bumi dan gas yang oleh negara dengan mempergunakan model contract production sharing, dan kebijakan yang dilaksanakan tersebut cenderung menguntungkan pihak asing daripada menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat, maka jika dikaji berdasarkan prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan, hal tersebut menunjukkan negara telah lalai dalam melaksanakan tanggung jawabnya untuk menyejahterakan dan memakmurkan rakyat. Hal ini memungkinkan masyarakat kembali untuk menuntut negara, agar negara menetapkan kebijakan pengelolaan migas sesuai amanat konstitusi yakni agar negara menetapkan kebijakan migas untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Atas tuntutan tersebut, masyarakat harus membuktikan bahwa negara telah melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga masyarakat harus membuktikan: a. adanya perbuatan; b. adanya kesalahan; c. adanya kerugian yang diderita; dan d. adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian. Dalam membuktikan unsur perbuatan, masyarakat cukup menunjukkan negara telah membuat kebijakan berupa peraturan perundang-undangan migas. Dalam membuktikan unsur kesalahan, masyarakat harus membuktikan bahwa kebijakan berupa peraturan perundang-undangan migas tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Kesalahan ini merupakan unsur penting dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan. Untuk membuktikan bahwa adanya kerugian, masyarakat dapat menunjukkan bahwa harga migas mengalami pasang surut, bahkan harga migas tidak terjangkau oleh masyarakat. Untuk membuktikan unsur keempat, adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian, masyarakat harus dapat membuktikan hubungan kausalitas tersebut.  Tindakan lain yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam menuntut tanggung jawab negara dalam pengelolaan migas adalah melalui uji materi. Uji materi undang-undang terhadap undang-undang dasar dilakukan ke Mahkamah Konstitusi, sedang peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ke Mahkamah Agung.  Selanjutnya, dari aspek maslahah (kemanfaatan), kebijakan negara dalam pengelolaan migas yang masih menggunakan contract production sharing yang masih cenderung menguntungkan pihak asing, dan kurang mencapai tujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
II.                   Kegiatan  pertambangan  dan  lingkungan  hidup  merupakan  dua  hal  yang  tidak  dapat  dipisahkan. Kegiatan pertambangan dapat memicu terjadinya perusakan/pencemaran  lingkungan. Ada keterkaitan (interdependency) antara pertambangan dan lingkungan hidup, akan tetapi pengaturannya tetap terpisah dan bahkan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Hal ini disebabkan hukum sumber daya alam dan hukum lingkungan  mempunyai  asal-usul yang  berlainan bahkan bertentangan satu sama lain.  Hukum sumber daya alam lebih banyak berfokus pada eksploitasi sedangkan hukum lingkungan berfokus pada pelestarian lingkungan. Meskipun demikian tidak berarti pengusahaan pertambangan harus berhenti hanya karena pelestarian  lingkungan hidup dan upaya pelestarian lingkungan hidup.
              Berdasarkan ketentuan UU Migas 2001,  asas penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi diantaranya bahwa perusahaan haruslah berwawasan lingkungan, dan tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi harus tetap menjaga  kelestarian lingkungan hidup, antara lain terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan  generasi masa depan, tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup, dan terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana. Berdasarkan hal-hal tersebut, idealnya setiap kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi  harus berwawasan lingkungan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Namun demikian, aturan perlindungan lingkungan hidup dalam pertambangan (termasuk  pertambangan minyak dan gas bumi) di Indonesia boleh dibilang belum memadai, oleh karena terjadinya berbagai kasus pencemaran lingkungan di dunia pertambangan hingga kini belum  terselesaikan dengan  baik, dan juga perlu disadari komitmen  penghormatan  terhadap  perlindungan  lingkungan  hidup  yang  dilakukan  oleh  pemerintah  saat  ini  masih  sekedar  jargon  dan  hanya  sebatas  international  public relation¸  dan hal ini perlu di ubah.
Pertambangan minyak dan gas bumi juga memiliki risiko menimbulkan kerusakan lingkungan yang tinggi, misalnya, kerusakan lingkungan yang timbul akibat usaha pertambangan minyak  dan gas  bumi pada tahap eksploitasi dalam kegiatan pertambangan antara lain perubahan bentang alam dan estetika, hilangnya flora dan fauna daratan, perubahan iklim mikro, aliran air  permukaan meningkat, erosi meningkat dan sedimentasi di sungai dan danau meningkat,  menurunnya kualitas air sungai/danau, flora dan fauna perairan berkurang atau bahkan  menghilang, debu, bising, gas buangan dari peralatan yang digunakan lingkup dari arti kerusakan  (damage) lingkungan. Menurut Convention on Civil Liability for Damage Resulting From Activities Dangerous to  The Environment, kerugian/kerusakan lingkungan dapat meliputi:  a) Loss of life or personal injury;  b) Loss  of/or  damage  to  property  other  than  to  the  installation  itself  or property  held  under  the  control  of  the  operator,  as  the  site  of  the  dangerous activity;  c) loss or damage by impairment of the environment in so far as this is not considered to be damage within the meaning of sub-paragraphs (a) or (b)  above  provide  that  compensation for  impairment  of  the  environment, other than for loss of profit from such impairment shall be  limited to the costs of measures of reinstatement actually undertaken or to be undertaken;  d) the  cost  of  preventive  measures  and  any  loss  or  damage  caused  by  preventive measure.  Dengan demikian, meskipun pertambangan minyak dan gas bumi cukup menjanjikan, bukan berarti tidak ada masalah yang menghadang. Persoalan yang akan dihadapi dalam pertambangan minyak dan gas bumi yakni: pencemaran lingkungan, pencemaran laut akibat dari semburan minyak yang terbawah arus sehingga mengakibatkan tercemarnya wilayah sekitarnya. Artinya, kegiatan minyak dan gas bumi mempunyai karakteristik berpotensi terjadinya kerugiaan yang tinggi dan kalau terjadi kecelakaan akan menyebabkan jumlah kerugian yang besar dan sering kali mengakibatkan dampak yang fatal dalam perkembangannya di darat, karena dampaknya yang ditimbulkan akan sangat mengubah sifat atau karakter ekosistem dalam lingkungan tersebut. 

III.                Ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri Pertambangan No.04/P/M/Pertamb/1973 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Perairan dalam Kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi, berbunyi: “Instalasi eksplorasi dan produksi serta fasilitas untuk pencegahan dan penanggulangan pencemaran harus terpelihara baik dan dapat digunakan sebagaimana mestinya “. Untuk menjamin fungsi pelestarian lingkungan hidup, setiap perusahaan yang bergerak dalam berbagai bidang kegiatan, khususnya dibidang pertambangan diantaranya diwajibkan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut, yaitu: 1. Perusahaan yang melakukan kegiatan yang berdampak penting wajib melakukan analisis mengenai dampak lingkungan hidup sebagaimana di atur dalam Pasal 22 ayat (1) UUPPLH); 2. Perusahaan wajib melakukan pengolahan limbah hasil usaha dan/ atau kegiatan penanggung jawab usaha dapat menyerahkan pengelolaan limbahnya kepada pihak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UUPPLH;  3. Perusahaan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun. Pengelolaan bahan bahaya dan beracun, meliputi: menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/ atau membuang sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UUPPLH, selanjutnya perusahaan pertambangan juga dilarang  : a. Melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. b. Melakukan impor limbah berbahaya dan beracun, sebagaimana diatur dalam  Pasal 69 UUPPLH. 
             Semua kewajiban dalam UUPPLH tersebut harus dipenuhi dan harus ditaati oleh perusahaan. Selanjutnya, terhadap kegiatan berdampak  besar  dan penting merupakan kegiatan yang dapat ditundukkan ke dalam konsep tanggung jawab langsung dan  seketika (strict liability), pada mulanya di atur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang berbunyi:  “Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usahanya dan kegiatannya menimbulkan  dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dan/atau yang menggunakan bahan  berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan dengan kewajiban membayar  ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan hidup”.  Kemudian, ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUPLH tersebut, diperbaharui dalam Pasal 88 UUPPLH, yang berbunyi:  “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan, menghasilkan dan/atau mengelola limbah, dan/atau yang menimbulkan ancaman terhadap lingkungan hidup  yang bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.  Dalam melaksanakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi perusahaan wajib mencegah terjadinya pencemaran lingkungan, pencemaran perairan yang terjadi sehingga perusahaan dilarang membuang minyak dalam bentuk apapun ke dalam perairan kecuali dinetralisir terlebih dahulu.
             Kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi yang akan merubah sifat ekosistem pada wilayah lingkungan sekitar, dalam hal perusahaan pertambangan melakukan eksploitasi, sehingga perusahaan diwajibkan melaksanakan pengawasan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Instalasi-instalasi dan perlengkapan-perlengkapan untuk pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang dilayani oleh orang harus diawasi tiap hari; b. Instalasi-instalasi dan perlengkapan-perlengkapan untuk pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang tidak dilayani oleh orang termasuk yang dilengkapi dengan alat pengawas sendiri dan sistem monitoring harus diawasi 3 (tiga) kali dalam sehari. Alat-alat yang dipakai dalam melakukan pertambangan minyak dan gas bumi harus diawasi baik itu yang dilayani oleh orang maupun tidak dilayani oleh orang atau yang disebut juga dengan alat pengawas (remote control). Apabila terjadi tumpahan minyak bumi atau zat-zat pencemar lainnya perusahaan wajib mencatat tumpahan tersebut dengan keterangan-keterangan sebagai berikut: a. waktu dan tempat kejadian, b. sebab-sebab dari tumpahan, c. jumlah tumpahan, d. Tindakan-tindakan yang telah dilakukan untuk mengatasi atau membatasi tumpahan. Dalam hal terjadi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan, perusahaan yang melakukan kegiatan pertambangan tersebut diwajibkan bertanggung  jawab  secara langsung  dan  seketika,  sebagaimana yang dikemukakan oleh Michael  A.  Jones,  dalam bukunya Text Book on Torts bahwa : “strict liability is a general term used to describe form of liability that do not depend upon proof of fault. Where a defendant is held responsible for unforseeble  harm  or  where  he  is  liable  despite  having  taken  all responsible  care  to  avoid  foreseeable  harm  than  liability  can  be  said to the strict”. 
Berdasarkan ketentuan strict  liability  dalam  UUPPLH, tanggung  jawab  langsung  dan  seketika  merupakan tanggung  jawab  di  mana  unsur  kesalahan  tidak  perlu  dibuktikan lagi  oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Selanjutnya, kewajban  untuk  memikul  tanggung  jawab  atas  kerugian  timbul  secara langsung  dan  seketika  begitu  terdapat  fakta  adanya  peristiwa  yang menyebabkan  timbulnya  kerugian. Semua biaya untuk biaya penanggulangan pencemaran dan rehabilitasi atas akibat yang ditimbulkan, dibebankan kepada perusahaan yang bersangkutan dan apabila perusahaan tidak mematuhi ketentuan-ketentuan tersebut. Menteri Lingkungan Hidup dapat menghentikan untuk sementara waktu terhadap operasinal kegiatan yang dianggap dapat mengakibatkan pencemaran, serta perusahaan harus diminimalkan dampak negatif yang ditimbulkannya. Namun demikian, UUPPLH tidak ada mengatur secara khusus mengenai definisi  maupun  pengertian  langsung  dan  seketika.
Untuk melakukan tindakan dan kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi yang berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik, dilakukan pembinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU Migas 2001. Pembinaan terhadap kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilakukan oleh pemerintah (Pasal 38 UU Migas 2001), pembinaan tersebut meliputi: a. Penyelenggaraan urusan pemerintah dibidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi;  b. Penetapan kebijakan mengenai usaha minyak dan gas bumi berdasarkan cadangan dan potensi sumber daya minyak dan gas bumi yang dimiliki, kemampuan produksi, kebutuhan bahan bakar minyak dan gas dalam negeri, penguasaan tekhnologi, aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup, kemampuan nasional, dan kebijakan pembangunan.  Pelaksanaan pembinaan dilakukan secara cermat, transparan dan adil, serta pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut didasarkan atas penguasaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Selanjutnya, penyelenggaraan urusan pemerintah dibidang kegiatan usaha minyak  dan gas bumi  meliputi:  a. penyebarluasan informasi, pendidikan dan pelatihan; b. pelatihan dan pengembangan teknologi; c. peningkatan nilai tambah produk, penerapan standarisasi, pemberian akreditas;  d. pembinaan badan industri/badan usaha penunjang;  e. pembinaan usaha kecil/menengah;  f. pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;  g. pemeliharaan keselamatan dan kesehatan kerja;  h. pelestarian lingkungan hidup;  i. penciptaan iklim investasi yang kondusif, serta pemeliharaan keamanan dan ketertiban. Selanjutnya lagi, tanggung jawab kegiatan pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha gas dan minyak bumi terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berada pada departemen yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan departemen lain yang terkait. Pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha hulu berdasarkan kontrak kerja sama dilaksanakan badan pelaksana. Pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha hilir berdasarkan izin usaha dilaksanakan oleh badan pengatur. Pengawasan itu meliputi: a. Konservasi sumber daya dan cadangan minyak dan gas bumi;  b. Pengelolaan data minyak dan gas bumi;  c. Penerapan kaidah keteknikan yang baik;  d. Jenis dan mutu hasil olahan minyak dan gas bumi;  e. Alokasi dan distribusi bahan bakar minyak dan bahan baku; f. Keselamatan dan kesehatan kerja; g. Pengelolaan lingkungan hidup; h. Pemanfaatan barang, jasa, tekhnologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri, dalam pelaksanaannya, pemanfaatan tersebut tetap memperhatikan nilai ekonomis pada masing-masing proyek yang sesuai dengan kebutuhan; i. Penggunaan tenaga kerja asing, harus diperhatikan nilai prosedur yang berlaku dan persyaratan yang sesuai dengan kebutuhan; j. Pengembangan tenaga kerja Indonesia; k. Pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat; l. Penguasaan, pengembangan dan penerapan tekhnologi minyak dan gas bumi;  m. Kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi sepanjang yang menyangkut kepentingan umum.
Usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi yang berdampak penting bagi lingkungan hidup berdasarkan Pasal 22) UUPPLH harus memiliki analisa dampak lingkungan (Amdal). Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria: a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak; c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya, kelengkapan amdal memuat:  a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak  terbarukan; c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian; f. kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; g. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik; h. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati; i. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau j. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
Usaha kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi yang memiliki memiliki amdal atau UKL-UPL berdasarkan Pasal 36 UUPPLH wajib memiliki izin lingkungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 35 UUPPLH, izin lingkungan merupakan izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Izin lingkungan diterbitkan Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL/UPL. Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Dalam hal izin lingkungan dicabut, maka izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. Kemudian, dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan (Pasal 40 UUPPLH).
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup berdasarkan Pasal 42 UUPPLH, wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup yang meliputi: - perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; - pendanaan lingkungan hidup; dan - insentif dan/atau disinsentif. Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi (Pasal 43 ayat (1) UUPPLH), meliputi: a. neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup yakni gambaran mengenai cadangan sumber daya alam dan perubahannya, baik dalam satuan fisik maupun dalam nilai moneter; b. penyusunan produk domestik bruto (nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu )dan produk domestik regional bruto (nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu daerah pada periode tertentu yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup; c. mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah yang merupakan cara-cara kompensasi/imbal yang dilakukan oleh orang, masyarakat, dan/atau pemerintah daerah sebagai pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup; dan d. internalisasi biaya lingkungan hidup yakni dengan memasukkan biaya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam perhitungan biaya produksi atau biaya suatu usaha dan/atau kegiatan. Selanjutnya, instrumen pendanaan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 43 ayat (2) UUPPLH, meliputi: a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup yakni dana yang disiapkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan kualitas lingkungan hidup yang rusak karena kegiatannya; b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup yang timbul akibat suatu usaha dan/atau kegiatan; dan c. dana amanah/bantuan untuk konservasi yang berasal dari sumber hibah dan donasi untuk kepentingan konservasi lingkungan hidup. Selanjutnya lagi, insentif dan/atau disinsentif berdasarkan Pasal 43 ayat (3) UUPPLH, antara lain diterapkan dalam bentuk: a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup, yakni yang memprioritaskan barang dan jasa yang berlabel ramah lingkungan hidup; b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup; c. pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup; d. pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi yakni jual beli kuota limbah dan/atau emisi yang diizinkan untuk dibuang ke media lingkungan hidup antarpenanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. e. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup yang diberikan oleh pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup; f. pengembangan asuransi lingkungan hidup, yakni asuransi yang memberikan perlindungan pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; g. pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup dengan memberikan tanda atau label kepada produk-produk yang ramah lingkungan hidup; dan h. sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pajak lingkungan hidup merupakan pungutan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan sumber daya alam, seperti pajak pengambilan air bawah tanah, pajak bahan bakar minyak, dan pajak sarang burung walet, sedangkan yang dimaksud dengan retribusi lingkungan hidup merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan sarana yang disiapkan pemerintah daerah seperti retribusi pengolahan air limbah, selanjutnya subsidi lingkungan hidup merupakan kemudahan atau pengurangan beban yang diberikan kepada setiap orang yang kegiatannya berdampak memperbaiki fungsi lingkungan hidup.
Sistem lembaga keuangan ramah lingkungan hidup adalah sistem lembaga keuangan yang menerapkan persyaratan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam kebijakan pembiayaan dan praktik sistem lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank. Adapun pasar modal ramah lingkungan hidup yakni pasar modal yang menerapkan persyaratan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bagi perusahaan yang masuk pasar modal atau perusahaan terbuka, seperti penerapan persyaratan audit lingkungan hidup bagi perusahaan yang akan menjual saham di pasar modal. Kemudian, point penting yang harus diperhatikan dalam hubungan antara ketentuan UU Migas dengan UUPPLH, yakni:
a. dalam pelaksanaan kegiatan Migas, Pemerintah dan badan usaha Migas harus berupaya menjaga kelestarian lingkungan hidup di area yang terdampak kegiatan Migas tersebut. Upaya tersebut tertuang dalam dokumen pengelolaan lingkungan yang dibuat dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder). Segala pelanggaran terhadap kelestarian lingkungan hidup harus diusut tuntas dan diberikan sanksi yang tegas berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini pengaturan mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan dalam UU Migas hanya sebatas pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap kegiatan usaha migas yakni penetapan kebijakan mengenai kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi berdasarkan cadangan dan potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi yang dimiliki, kemampuan produksi, kebutuhan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi dalam negeri, penguasaan teknologi, aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup, kemampuan nasional, dan kebijakan pembangunan;
b. terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pasca operasi pertambangan. Kemudian, melaksanakan kegiatan kerjasama dalam usaha minyak dan gas bumi harus: - melakukan alih ilmu pengetahuan dan teknologi kepada mitra kerjanya; - melaksanakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi wajib bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat; - Pengaturan lebih lanjut mengenai keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah.

IV.                Ketentuan Pasal 1 angka (35) UUPPLH dan Pasal 40 UUPPLH, izin lingkungan merupakan instrumen yang digunakan pemerintah sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warganya dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Artinya, izin lingkungan berdasarkan UUPPLH merupakan persetujuan dari penguasa untuk dalam keadaan tertentu memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, oleh karena usaha dan/atau kegiatan tersebut (berdasarkan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup atau pengelolaan dan pemantauan terhadap kegiatan usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan) layak lingkungan. Sebagai suatu instrumen, izin lingkungan berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang pelaku usaha dan/atau kegiatan untuk mencapai tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Persyaratan-persyaratan yang terkandung dalam izin lingkungan merupakan pengendali dalam menertibkan pelaku usaha dan/atau kegiatan untuk: a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan  manusia; c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j. mengantisipasi isu lingkungan global.
Makna izin lingkungan[3], jika di telaah lebih mendalam makna izin lingkungan sebagaimana diatur dalam UUPPLH, berisikan suatu keputusan tentang kelayakan lingkungan atas suatu usaha dan/atau kegiatan. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 1 PP No. 27/2012 yang memberikan batasan izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, dan Pasal 47 PP No. 27/2012 yang menegaskan izin lingkungan diterbitkan untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 48 ayat (1) PP No. 27/2012 menegaskan izin lingkungan paling sedikit memuat:  a. persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL; b. Persyaratan dan kewajiban yang ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota, dan c. berakhirnya izin Lingkungan.
Ketentuan Pasal 48 ayat (2) PP No. 27/2012 menegaskan bahwa: dalam hal usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pemrakarsa wajib memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, izin lingkungan mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Memperhatikan ketentuan Pasal 48 ayat (2) PP No. 27/2012, izin lingkungan di dalamnya wajib mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan penjelasan Pasal 48 ayat (2) PP No. 27/2012 menjelaskan bahwa izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup antara lain: - izin pembuangan limbah cair; - izin pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah; - izin penyimpanan sementara limbah bahan berbahaya dan beracun; - izin pengumpulan limbah bahan berbahaya dan beracun; - izin pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun; - izin pemanfaatan limbah bahan berbahaya dan beracun; - izin pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun; - izin penimbunan limbah bahan berbahaya dan beracun; - izin pembuangan air limbah ke laut; - izin dumping; - izin reinjeksi ke dalam formasi; dan/atau - izin venting.
Ketentuan Pasal 123 UUPPLH menyebutkan:Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan.”. Selanjutnya Penjelasan Pasal 123 UUPPLH berbunyi: “Izin dalam ketentuan ini, misalnya izin pengelolaan limbah B3, Izin pembuangan air limbah ke laut, dan izin pembuangan air limbah ke sumber air. Ketentuan Pasal 123 UUPPLH, mengandung makna bahwa izin-izin yang telah ada keluar dan terkait dengan perizinan lingkungan, wajib di integrasikan ke dalam izin lingkungan. Ketentuan ini menjadi menarik untuk di kaji lebih lanjut, oleh karena pada dasarnya Pasal 123 UUPPLH tersebut mengisyaratkan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya perlu menerbitkan izin lingkungan bagi usaha dan atau kegiatan yang telah mendapatkan (telah terbit) izin usaha dan atau kegiatan sebelum keluarnya PP No. 27/2012, dan izin lingkungan tersebut mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Artinya dalam jangka waktu 1 tahun setelah keluarnya UUPPLH (paling lambat sampai dengan tanggal 3 Oktober 2010), Menteri Negara Lingkungan Hidup, Gubernur, Bupati/Walikota menerbitkan izin lingkungan “pemutihan” bagi kegiatan dan atau usaha yang telah memiliki izin usaha dan atau kegiatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), sebab UUPLH belum mengenal adanya izin lingkungan. Jika Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota tidak menerbitkan izin lingkungan “pemutihan” tidak akan mungkin Pasal 123 UUPPLH dapat dilaksanakan, karena sebelumnya tidak ada izin lingkungan. Kemudian, hasil pengamatan, hingga batas waktu sampai dengan tanggal 3 Oktober 2010, belum pernah diterbitkan izin lingkungan “pemutihan” bagi kegiatan dan atau usaha (perusahaan) yang telah memiliki izin usaha dan atau kegiatan.
Izin sebagai dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah merupakan bukti legalitas yang menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegitan tertentu. Sebagai dokumen, izin yang dikeluarkan harus yang tertulis. Izin tertulis diberikan dalam bentuk keputusan tata usaha negara. Berdasarkan Pasal 40 ayat (3) UUPPLH yang berbunyi: “Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggungjawab dan atau kegiatan wajib memperbaharui izin lingkungan”. Selanjutnya, penjelasan Pasal 40 ayat (3) UUPPLH, berbunyi: “Perubahan yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain, karena kepemilikan beralih, perubahan teknologi, penambahan atau pengurangan kapasitas produksi, dan/atau lokasi usaha dan/atau kegiatan yang berpindah tempat”.
Perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 40 ayat (3) UUPPLH yakni kepemilikan atas izin lingkungan tersebut, bukan kepemilikan atas badan usaha (PT), sebab izin lingkungan dikeluarkan atas nama badan usaha (PT) yang mengajukan izin lingkungan tersebut. Artinya, jika terjadi perubahan atas kepemilikan saham PT tidak berarti izin lingkungan harus memperbaharui izin lingkungan. Izin lingkungan baru diperbaharui jika PT tersebut telah berubah, sehingga izin lingkungan yang telah dikeluarkan tidak berlaku untuk PT baru yang merupakan perubahan dari PT yang lama. Sehingga, jika terjadi akuisisi dan PT-nya tetap (tidak berubah) maka izin lingkungan PT tersebut tidak perlu diperbaharui.
Sanksi Administratif berdasarkan Pasal 76 UUPPLH dijatuhkan kepada penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Sanksi administratif terdiri atas: a. teguran tertulis, b. Paksaan pemerintah, c. pembekuan izin lingkungan, atau d. Pencabutan izin lingkungan. Pengawasan yang dilakukan berdasarkan Pasal 71 UUPPLH yaitu terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian Pasal 72 UUPPLH mengatur bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan. Memperhatikan ketentuan Pasal 76 UUPPLH dikaitkan dengan Pasal 48 PP No. 27/2012, pelanggaran terhadap izin lingkungan yaitu: - melanggar persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL; - melanggar persyaratan dan kewajiban yang ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota; - melanggar batas akhir izin Lingkungan, dan/atau melanggar persyaratan dan kewajiban dalam izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana yang ditetapkan dalam izin lingkungan.
Penerapan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1) UUPPLH ini, terhadap perusahaan (usaha dan/atau kegiatan) yang telah mempunyai izin kegiatan dan/atau usaha, namun tidak memiliki izin lingkungan, oleh karena mereka (perusahaan) telah miliki izin usaha dan atau kegiatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yang pada saat itu UUPLH tidak mengenal atau mensyaratkan adanya izin lingkungan sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, belum dapat dijatuhkan sanksi administrasi karena tidak memiliki izin lingkungan. Perusahaan (usaha dan/atau kegiatan) yang telah memperoleh izin usaha dan atau kegiatan berdasarkan UUPLH, berdasarkan Pasal 121 ayat (1) UUPPLH, wajib menyelesaikan audit lingkungan dalam hal belum memiliki dokumen amdal, atau berdasarkan Pasal 121 ayat (2) UUPPLH, wajib buat dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam hal belum memiliki UKL-UPL.
Keterkaitan antara izin lingkungan dengan izin usaha dapat dilihat dari Pasal 36 ayat (1) UUPPLH menyatakan: “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan,” merupakan perintah yang harus ditaati oleh pemegang izin usaha dan/atau kegiatan sebagai upaya pencegahan pencemaran dan/atau  kerusakan lingkungan. Dengan rumusan Pasal 36 ayat (1) UUPPLH setiap usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan, wajib memiliki izin lingkungan; dan apabila tanpa izin lingkungan maka dipidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sediit 1 (satu) milyar rupiah dan paling banyak 3 (tiga) milyar rupiah (Pasal 109 UUPPLH).
Kewajiban yang diatur pada Pasal 36 ayat (1) UUPPLH dikaitkan dengan Pasal 40 ayat (1) UUPPLH menyatakan: “Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.” Secara eksplisit bahwa izin usaha dan/atau kegiatan baru akan diterbitkan setelah terbitnya izin lingkungan. Dengan diundangkannya UUPPLH ini maka Izin lingkungan merupakan prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Dalam hal izin usaha dan/atau kegiatan diterbitkan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan, izin usaha dan/atau kegiatannya harus dimaknai secara yuridis sebagai batal atau dinyatakan batal demi hukum.  Apabila usaha atau kegiatan yang izin lingkungannya dibatalkan, maka usaha itu harus berhenti apabila tidak, maka dapat dikenakan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 109 UU PPLH seperti disebutkan di atas.
Terkait dengan konteks penegakan hukum administrasi, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup atau persyaratan perizinan, dapat dikenakan sanksi administratif pencabutan izin lingkungan. Dalam hal izin lingkungan dicabut, maka seharusnya izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan oleh pemberi izin usaha dan/atau kegiatan. Apabila dalam waktu tertentu (misalnya ditetapkan 90 hari kerja) pemberi izin usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan pembatalan izin usaha dan/atau kegiatan, maka usaha dan/atau kegiatannya dinyatakan tidak sah. Usaha dan/atau kegiatan yang dinyatakan tidak sah, tetapi masih beroperasi dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam hal izin lingkungan dicabut, maka sebagai upaya hukum untuk melakukan “pembelaan” pemohon izin lingkungan dapat: a. mengajukan keberatan kepada pejabat pemberi izin lingkungan; b. mengajukan upaya banding administratif kepada atasan yang berwenang; atau c. mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

V.                  Konsep strict liability, dalam UUPPLH hanya dikenal dalam Pasal 88 UUPPLH, yang berbunyi: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Penjelasan Pasal 88 UUPPLH, berbunyi:
Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability  adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.”.
Ketentuan Pasal 88 UUPPLH, di atur dalam Bab XIII Penyelesaian Sengketa Lingkungan pada Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan, di Paragraf 2 Tanggung Jawab Mutlak, merupakan konsep yang ditujukan untuk penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan yang merupakan ketentuan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya, yang perbuatan melawan hukumnya terjadi pada usaha dan kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Ancaman serius berdasarkan Pasal 1 angka 34 UUPPLH adalah ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan dan menimbulkan keresahan masyarakat.
Kegiatan yang dapat menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan dapat juga disebut sebagai abnormally dangerous activities, yang patokan atau ukuran didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: a. tingkat resiko (the degree of risk) : dalam hal ini resiko dianggap tinggi apabila tidak dapat dijangkau oleh upaya yang lazim, menurut kemampuan teknologi yang ada; b. tingkat bahaya (the gravity of harm); dalam hal ini bahaya dianggap sangat sulit untuk dicegah pada saat mulai terjadinya; c. tingkat kelayakan upaya pencegahan (the appropiateness); dalam hal ini di penanggungjawab harus menunjukkan upaya maksimal untuk mencegah terjadinya akibat yang menimbulkan kerugian pada pihak lain; d. pertimbangan terhadap keseluruhan nilai kegiatannya (value of activity) : dalam hal ini pertimbangan resiko dan manfaat kegiatan telah dilakukan secara memadai; e. sehingga dapat diperkirakan keuntungan yang diperoleh akan lebih besar jika dibandingkan dengan ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencegah timbulnya bahaya.
Unsur-unsur yang harus dipertimbangkan dari kegiatan yang sifatnya abnormally dangerous activity tersebut adalah sebagai berikut: a. kegiatan yang mengandung resiko tinggi yang menimbulkan bahaya pada manusia, hewan, tanah, hak-hak kebendaaan, dan lain sebagainya; b. bobot bahaya yang besar; c. bahaya atau resiko yang ditimbulkannya dianggap tidak dapat ditanggulangi upaya biasa (reasonable care); d. kegiatan itu bukan kegiatan yang biasa dilakukan; e. kegiatannya dianggap kurang tepat untuk dilakukan di tempat itu atau bahkan sangat sulit untuk ditemukan lokasinya yang benar-benar aman; f. manfaat kegiatan tersebut pada masyarakat sekitarnya.
Memperhatikan unsur-unsur di atas, patokan perilaku secara obyektif di antara para pengusaha yang mempunyai kepedulian yang didasarkan patokan perilaku yang menghargai fungsi lingkungan, dan penerapan asas tanggung jawab terhadap kasus-kasus lingkungan dapat dilakukan dengan memperhatikan konsistensinya dengan asas-asas hukum yang berlaku, baik di bidang hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi negara, dan hukum internasional, serta asas tanggung jawab mutlak dapat diterapkan secara selektif pada kegiatan-kegiatan yang dianggap memenuhi kriteria sebagai kegiatan yang mengandung resiko luar biasa besarnya (abnormally dangerous activity), penanggung jawab kegiatan dapat dipersalahkan dan kegiatan tersebut tidak memberikan manfaat kepada masyarakat pada umumnya.
Terkait dengan asas strict liability dalam aspek hukum pidana merupakan satu diantara konsep-konsep atau ajaran pertanggungjawaban bagi tindak pidana yang dilakukan oleh, untuk dan atas nama korporasi (badan usaha). Ada beberapa ajaran atau doktrin terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi, diantaranya: - Ajaran pertanggungjawaban mutlak (doctrine of strict liability), - Ajaran pertanggungjawaban vikarius (doctrine of vicarious liability), - ajaran delegasi (doctrine of Delegation), - Ajaran identifikasi (doctrine of Identification), - Ajaran agregasi (doctrine of Aggregation), - Ajaran budaya korporasi (The corporate cultural model), - Ajaran Reactive Corporate Fault, -  Ajaran Gabungan dari Sutan Remy Sjahdeini.
Pertanggungjawaban mutlak atau strict liability dalam hukum pidana ada juga yang menyebut sebagai absolute liability  yang merupakan doktrin yang digunakan sebagai dasar untuk membenarkan pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Strict liability merupakan pertanggungjawaban pidana tanpa memperhatikan kesalahan, pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, tanpa melihat bagaimana sikap bathinnya. Asas ini sering diartikan secara singkat dengan istilah “pertanggungjawaban tanpa memperhatikan kesalahan” (liability without fault). Dalam perbuatan pidana yang bersifat strict liability hanya dibutuhkan dugaan (foresight) atau pengetahuan (knowledge) dari pelaku (terdakwa) dan hal tersebut sudah dianggap cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana daripadanya. Dalam strict liability, tidak dipersoalkan adanya mens-rea, sehingga dapat disebut: a. No mens-rea, tidak perlu ada unsur sengaja (intention) dan kelalaian (negligent); b. unsur pokoknya adalah perbuatan (actus reus); dan c. yang harus dibuktikan hanya actus reus, bukan ­mens-rea.
Landasan penerapan strict liability crime, diantaranya: a. Perbuatan itu tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana, tetapi sangat terbatas dan tertentu terutama mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan sosial; b. Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum (unlawful) yang sangat bertentangan dengan kehati-hatian yang diwajibkan hukum dan kepatutan; c. Perbuatan tersebut dilarang dengan keras oleh undang-undang karena dikategorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang sangat potensial mengandung bahaya kepada kesehatan, keselamatan, dan moral publik (a particular activity potential danger of public health, safety or moral); d. Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara tidak melakukan pencegahan yang sangat wajar (unreasonable precausions).
Perbuatan-perbuatan yang dapat diterapkan strict liability, diantaranya terkait dengan tindak pidana pencemaran lingkungan atau aktivitas yang membahayakan kesehatan umum dan perlindungan moral atau yang disebut regulatory offences or walfare offences. Penuntut umum menurut doctrine of strict liability dapat dibebaskan dari kewajiban untuk membuktikan adanya mens rea dari pelakunya. Artinya, penuntut umum tidak perlu membuktikan bahwa actus reus yang dilakukan pelaku apakah didorong atau didasari oleh suatu mens rea. Kewajiban bagi penuntut umum hanyalah membuktikan hubungan sebab akibat (kausalitas) antara actus reus dan petaka yang timbul. Dalam tindak pidana yang bersifat strict liability yang dibutuhkan hanyalah dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), dan hal itu sudah cukup menuntut pertanggungjawaban pidana daripadanya. Jadi, tidak dipersoalkan adanya mens rea karena unsur pokok strict leability yaitu actus reus (perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus (perbuatan), bukan mens rea (kesalahan). Penerapan strict liability atau absolute liability dalam hukum pidana, setidaknya didasarkan pada beberapa hal, yakni:  a. Membuktikan adanya kesalahan (mens rea) dalam tindak pidana-tindak pidana modern (salah satunya tindak pidana korporasi) akan membutuhkan waktu yang sangat panjang; b. Membuktikan adanya kesalahan (mens rea) dalam tindak pidana-tindak pidana modern (salah satunya tindak pidana korporasi) akan sangat sulit untuk dilakukan; c. Dalam penanganan tindak pidana-tindak pidana modern (salah satunya tindak pidana korporasi) dibutuhkan penaganan yang cepat sehingga adanya keharusan untuk membuktikan kesalahan (mens rea) justru dapat menghambat proses penegakan hukum (law enforcement); d. Dalam tindak pidana-tindak pidana modern (salah satunya tindak pidana korporasi), dampak negatif dari tindak pidana yang dilakukan sangat berbahaya dan sangat mengerikan; e. Belum mumpuninya kemampuan para aparat penegak hukum (mengingat bahwa tindak pidana modern sepertitindak pidana korporasi seringkali dilakukan dengan menggunakan teknologi-teknologi canggih dan memiliki tingkat kerumitan tinggi); f. Dalam perkembangan dunia internasional, dalam rangka menghadapi dan menanggulangi tindak pidana-tindak pidana modern (salah satunya tindak pidana korporasi) asas kesalahan dapat disampingi atau bahkan ditiadakan; dan g. Dalam tindak pidana-tindak pidana modern, khususnya tindak pidana-tindak pidana yang dilakukan secara tersistematis dan terorganisir seperti tindak pidana korporasi maka akan sangat sulit untuk menentukan kesalahan kolektif sebagai kesalahan dari suatu korporasi.
Ajaran Strict liabilty belum tercantum secara tegas dalam ketentuan pidana lingkungan hidup (UUPPLH), ajaran tersebut hanya di kenal dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebagaimana di atur dalam Pasal 88 UUPPLH. Namun demikian, terkait dengan Pasal 116 UUPPLH dalam menetapkan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh, atau atas nama badan usaha, diantaranya dapat dengan menggunakan ajaran strict liability ini. Ajaran strict liability diterapkan apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh seseorang dalam menjalankan profesinya, yang mengandung elemen keahlian yang memadai (expertise), tanggung jawab sosial (social responsibility), dan kesejawatan (corporateness) yang didukung oleh suatu kode etik. Apabila terdapat suatu tindak pidana pelakunya akan dipertanggungjawabkan tanpa keharusan melakukan pembuktian terhadap adanya kesalahan (mens rea) pada pihak pelaku ketika perilaku (actus reus), baik perilaku yang berupa melakukan perbuatan tertentu yang dilarang undang-undang (commission) maupun tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oelh undang-undang (omission), dilakukan oleh pelakunya haruslah hal itu dengan tegas ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Apabila tidak ditentukan secara tegas di dalam undang-undang itu bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tanpa memperhatikan adanya kesalahan (kesalahan bukan merupakan unsur tindak pidana melainkan unsur pertanggungjawaban pidana), Penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa pada saat pelaku melakukan tindak pidana yang dituduhkan itu terdapat kesalahan (mens rea) pada pelakunya. Kesalahan yang dilakukan tersebut yakni tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana di atur dalam: Pasal 67 UUPPLH, yang mengatur bahwa: “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, dan Pasal 68 UUPPLH, yang yang mengatur: “Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Pertanggungjawaban pidana badan usaha (korporasi) berdasarkan UUPPLH tercantum dari Pasal 116 sampai dengan Pasal 118 UUPPLH. Ketentuan Pasal 116 UUPPLH berbunyi:
“(1)     Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a.       badan usaha; dan/atau
b.       orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2)      Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Memperhatikan rumusan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH, dapat di simak bahwa jika tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, untuk atau atas nama badan usaha maka tuntutan pidana dan sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada:  a. Badan usaha; b. Badan Usaha dan orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana;  c. Badan Usaha dan orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut;  d. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut;  e. Orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Walaupun Pasal 116 UUPPLH menetapkan siapa-siapa yang bertanggungjawab tersebut, tetapi juga harus diperhatikan Pasal 118 UUPPLH yang berbunyi: “Terhadap tindak pidana sebagaimana di maksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional”, maka dapat diketahui bahwa sebenarnya ada tiga pihak yang dapat dikenai tuntutan dan hukuman, yaitu: a. Badan usaha itu sendiri;  b. Orang yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana; c. Pengurus atau pimpinan badan usaha. Tanpa rumusan Pasal 118 UUPPLH yang menyebutkan “sanksi dikenakan terhadap badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional”, pengurus tetap juga dapat dikenai pertanggungjawaban atas kriteria “orang yang memberi perintah atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana” sebagaimana di rumuskan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b UUPPLH. Dengan demikian rumusan ketentuan Pasal 116 UUPPLH, menetapkan bahwa:
a.         disamping orang secara pribadi, tindak pidana lingkungan dapat dilakukan oleh badan usaha.
b.         penyebutan badan usaha menunjukkan kepada subyek hukum pidana lingkungan, yaitu badan hukum dan bentuk organisasi lain yang bukan badan hukum.
c.         brinsip dalam pertanggungjawaban pidana badan hukum dan organisasi lain bukan berbentuk badan hukum yang diakui sebagai subyek hukum tersebut, sanksi atau tindakan tertentu dikenakan kepada:
-          Badan hukum dan organisasi lain yang bukan badan hukum;
-          mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana;
-          mereka yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana.
-          gabungan antara badan usaha dengan baik pemberi perintah atau pimpinan dalam melakukan tindak pidana.
d.         pertanggungjawaban pidana badan usaha tersebut, diperluas termasuk juga apabila tindak pidana lingkungan tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum. Tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pimpinan tanpa mengingat hubungan antar keduanya.
e.         pengertian mereka yang bertindak sebagai pimpinan tersebut tidak terbatas hanya pimpinan dalam melakukan tindak pidana lingkungan, tetapi juga diartikan pimpinan ikut bertanggungjawab terhadap akibat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Misalnya: ada orang yang bekerja pada badan hukum atau organisasi lain melakukan suatu perbuatan  seperti membuang limbah di suatu tempat yang bukan peruntukannya atau tanpa izin sehingga menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan, maka yang bertanggung-jawab tidak hanya pekerja tersebut, tetapi  pimpinannya juga ikut bertanggungjawab atas perbuatan pekerja tersebut, meskipun pimpinan tersebut tindak memerintah dan memimpin pelanggaran tersebut.
f.           badan usaha juga dianggap telah melakukan tindak pidana lingkungan jika tindak pidana lingkungan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang ada hubungan kerja dengan badan usaha maupun hubungan lain dengan badan usaha, yang bertindak dalam lingkungan (suasana) aktivitas usaha badan usaha (korporasi) yang bersangkutan. Hubungan kerja tersebut merupakan hubungan antara pengusaha/orang perorangan (mempunyai badan usaha) dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja. Dengan demikian, baik badan usaha (korporasi) maupun orang-orang yang memberi perintah atau bertindak sebagai pemimpin dalam lingkungan (suasana) aktivitas usaha korporasi yang bersangkutan, dapat dituntut pidana dan dijatuhi sanksi pidana beserta tindakan tata tertib. Sebaliknya, suatu korporasi juga akan terbebas dari pertanggungjawaban secara pidana atau dianggap tidak bersalah, jika ia (korporasi) bisa membuktikan bahwa korporasi tidak melakukan suatu kesalahan, berhubung orang-orang yang melakukan perbuatan itu tidak ada hubungan kerja atau hubungan lainnya dengan korporasi atau perbuatan itu dilakukan oleh seseorang di luar lingkungan aktivitas usaha korporasi itu.
Perkembangan pemikiran dapat dimintainya pertanggungjawaban pidana bagi korporasi mengalami perkembangan. Pertanggungjawaban pidana saat ini, diotorisasi lebih dari satu dasar untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, baik berdasarkan pertanggungjawaban atas respondeat superior maupun pertanggungjawaban atas kesalahan organisasi secara keseluruhan. Mengintegrasikan pertanggungjawaban pidana berdasarkan respondeat superior dan kesalahan organisasi korporasi berarti pertanggungjawaban pidana korporasi dapat berdasarkan atas dasar prilaku individu karyawan korporasi atau berdasarkan kegagalan korporasi dalam menjalankan organisasionalnya atau korporasi belum mengambil langkah-langkah yang memadai dalam mencegah terjadinya tindak pidana. Korporasi juga dapat diminta pertanggungjawaban pidana atas tindakan atau kelalaian yang dilakukan oleh "perwakilannya". "Perwakilan" korporasi termasuk para karyawan, para agen atau kontraktor serta dari beberapa perwakilan secara bersama-sama sehingga terwujud suatu tindak pidana.
Terhadap tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya mensyaratkan adanya mens rea dari pelakunya, menjadikan suatu korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hal perbuatan dilakukan maupun adanya keterlibatan dari karyawan pada level tinggi (senior official). Hal ini sejalan dengan perluasan pertanggungjawaban pidana korporasi atas perbuatan para karyawannya termasuk memperluas pengertian dari orang/karyawan pada level tinggi  (senior official) yang dianggap sebagai yang mengarahkan pikiran (directing mind) termasuk orang atau karyawan yang memainkan peran penting dalam pembentukan kebijakan organisasi atau bertanggungjawab untuk mengelola jalannya kegiatan operasional korporasi.  Selanjutnya, korporasi juga dimintai pertanggungjawaban dalam hal terjadinya pembiaran termasuk kegagalan seorang pejabat senior (senior official) untuk mengambil langkah-langkah pencegahan karena mengetahui bahwa seseorang wakil dari perusahaan (karyawannya) itu akan melakukan pelanggaran.
Dimintakannya pertanggungjawaban pidana bagi korporasi tidak hanya didasarkan kepada keadaan mental (mens rea) tetapi dilihat dari perilaku korporasi. Perilaku korporasi dapat berupa kelalaian yang terjadi dalam hal secara keseluruhan (dalam hal ini dengan menghimpun tingkah laku karyawan, agen atau pejabat) menyebabkan terjadinya tindak pidana, atau manajemen memperlihatkan tindakan yang tidak memadai atau gagal menyediakan sistem yang layak untuk memastikan informasi yang akan diterima para karyawan yang melaksanakan operasional/jalannya korporasi sehingga menyebabkan terjadinya tindak pidana, karena korporasi dianggap sebagai "mendorong", "mengarahkan", "mentoleransi atau menyebabkan ketidak patuhan" terjadinya tindak pidana.
Pertanggungjawaban pidana korporasi, setidak-tidaknya di bagi dalam beberapa bentuk, yaitu: - pengurus korporasi sebagai pembuat penguruslah yang bertanggungjawab; - korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab; - korporasi sebagai pembuat, korporasi yang bertanggungjawab; - korporasi dan pengurus yang berbuat korporasi dan pengurus yang bertanggungjawab. Menentukan pertanggungjawaban korporasi merupakan hal yang sulit bagi aparat penegak hukum. Aparatur penegak hukum dalam meminta pertanggungjawaban korporasi perlu memperhatikan apakah korporasi dalam menjalankan usahanya telah gagal melakukan tugas kewajibannya, apakah korporasi tersebut melakukan pelanggaran terhadap gangguan publik, dan apakah sanksi pidana yang dijatuhkan akan mencapai antara tujuan hukum pidana dan inefesiensi sosial ekonomi yang dihasilkan dari aplikasi pertanggungjawaban pidana korporasi.
Tindak pidana korporasi menjadi ultra vires yang menghambat kemajuan hukum pidana, sebab selalu diperdebatkan bahwa mens rea diperlukan, pengenaan kewajiban menjadi sasaran identifikasi dari korporasi yang melakukan tindak pidana. Artinya, unsur mens rea dan actus reus harus timbul dari pelaku tindak pidana, dan pelaku harus masuk ke dalam orang-orang yang mengarahkan pikiran (directing mind) atau otak atau pengendali karyawan (officers) korporasi. Memaksakan tanggungjawab pidana kepada korporasi harus secara individualistis, artinya perusahaan bertanggungjawab jika dan hanya jika pelanggaran dapat dikaitkan dengan petugas pengendalian dan tidak sebaliknya. Ketentuan ini berasal dari prinsip atribusi atau identifikasi. Konsep ini mengandung kelemahan, yaitu: bagaimana mengidentifikasi adanya mens rea secara individual dalam hal kesalahan terpenuhi secara kolektif atau secara kumulatif dari para pelaku, atau pelaku bukanlah seorang individu yang bertugas sebagai pengendali perusahaan. Kesulitan lain yang dihadapi aparatur penegak hukum dalam meminta pertanggungjawaban korporasi terkait dengan perusahaan multinasional yang berskala besar yang berada di bawah manajer profesional, sehingga pemilik perusahaan atau para pengurus tidak/jarang memainkan peran pengawasan yang berarti terhadap karyawan dalam pengelolaan perusahaan. Dalam hal ini, menjadikan kejaksaan (penuntut umum) selalu mengarahkan pertanggungjawaban tersebut kepada individu karyawan, bukan kepada perusahaan.
Pertanggungjawaban pidana korporasi yang mengacu kepada konsep vicarious liability dalam hal tindak pidana terjadi atas perbuatan karyawan korporasi. Selanjutnya, karyawan yang melakukan perbuatan tersebut haruslah individu yang: bertindak dalam lingkup dan pekerjaannya, bertindak setidaknya sebagian untuk mendapatkan keuntungan korporasi, dan bertindak dengan tindakan dan niat yang dapat diperhitungkan oleh korporasi. Artinya, untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, perbuatan tersebut haruslah dilakukan oleh karyawan yang memiliki kewenangan atau secara aktual terlibat dalam tindakan tersebut. Korporasi tetap bertanggungjawab atas tindakan karyawan walaupun perusahaan secara eksplisit melarang perbuatan tersebut, namun oleh karena perusahaan berkewajiban untuk melaksanakan pengawasan atas tindakan karyawannya, maka jika terjadi juga tindak pidana, maka korporasi juga dimintai pertanggungjawaban pidana. Korporasi bertanggung jawab secara pidana atas perilaku karyawannya jika adanya kewajiban untuk melakukan pencegahan baik secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang, atau adanya toleransi yang dilakukan direksi atau para manager/karyawan pada level tinggi (senior official) yang bertindak atas nama korporasi dalam lingkup tugas-tugasnya. Namun demikian, jika perbuatan tersebut secara tegas merugikan korporasi atau pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditetapkan korporasi, maka korporasi dapat mengajukan adanya alasan pemaaf yang menghapuskan unsur kesalahan. Dengan demikian, korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam hal diabaikannya persyaratan atau kewajiban-kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh korporasi.
Pertanggungjawaban pidana korporasi juga terkait dengan perbuatan: a. yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanggungjawab dalam menjalankan operasional korporasi, kecuali korporasi dapat mengajukan argumen bahwa pelanggaran tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan dan bukan hal yang menguntungkan korporasi; b. yang dilakukan "dengan persetujuan diam-diam" atau "dari" atau "disebabkan" adanya pengabaian dari direksi, manajer, sekretaris atau petugas korporasi lainnya yang bertanggungjawab atas kepengurusan korporasi tersebut. Selanjutnya, direksi, manajer, sekretaris atau petugas korporasi lainnya yang bertanggungjawab atas kepengurusan korporasi juga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana secara individu atas perbuatan yang dilakukannya, namun demikian, jika perbuatan yang dilakukan oleh direksi, manajer, sekretaris atau petugas korporasi lainnya yang bertanggungjawab atas kepengurusan korporasi bukan sebagai tindakan untuk melakukan pengendalian atau pengurusan korporasi dan korporasi tidak mendapatkan keuntungan atas perbuatan tersebut, korporasi dapat mengajukan alasan pemaaf atas ketiadaan kesalahan.
Korporasi juga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanggungjawab dalam operasional korporasi. Korporasi dapat mengajukan alasan pemaaf untuk menghapus kesalahan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanggungjawab dalam operasional korporasi tersebut dengan mengajukan argumentasi bahwa perbuatan tersebut merupakan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditetapkan korporasi sehingga korporasi mengalami kerugian atas tindakan tersebut dan korporasi tidak mendapat keuntungan atas perbuatan tersebut. Sehingga jika korporasi telah melakukan tindakan yang wajar dalam mengendalikan perilaku karyawannya untuk melaksanakan apa yang diwajibkan oleh hukum, korporasi dapat mengajukan alasan pemaaf tiadanya kesalahan.
Karyawan korporasi yang melakukan tindak pidana dalam lingkup kewenangannya dan perbuatan tersebut menguntungkan korporasi, menyebabkan korporasi dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan karyawannya tersebut. Karyawan dianggap bertindak dalam lingkup pekerjaannya, apabila ia memiliki atau di beri wewenang untuk melakukan perbuatan tersebut, termasuk dalam hal pihak ketiga mengakui (menyakini) bahwa perbuatan karyawan itu merupakan perbuatan yang telah mendapat kewenangan dari korporasi atas dasar kontrak (perjanjian) yang dibuat. Penentuan kewenangan nyata karyawan berpusat pada fungsi yang didelegasikan kepada karyawan dan tindakan tersebut termasuk dalam menjalankan fungsi korporasi, artinya tindakan yang dilakukan oleh karyawan dianggap merupakan tindakan pekerjaan si karyawan. Bahkan korporasi juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam hal karyawannya melakukan tindak pidana dan tindak pidana tersebut juga pelanggaran terhadap kebijakan korporasi, melanggar instruksi dari supervisor atau panduan kebijakan. Dapat dimintakannya pertanggungjawaban pidana korporasi atas perbuatan tersebut oleh karena korporasi tidak melaksanakan pengawasan secara baik dan korporasi mendapat keuntungan dari perbuatan karyawan tersebut.
Korporasi juga dikatakan mendapat keuntungan atas tindak pidana yang dilakukan oleh karyawannya apabila karyawan melakukan tindak pidana dengan tujuan menguntungkan korporasi. Selanjutnya, dalam hal tindakan karyawan tersebut tidak menguntungkan korporasi dan korporasi mengalami kerugian atas tindakan karyawan tersebut, maka tindakan karyawan itu merupakan tindakan individu si karyawan dan ia bertanggungjawab secara individual (pribadi). Namun, dalam hal karyawan melakukan tindak pidana untuk kepentingan pribadi yaitu agar dapat cepat naik pangkat (mendapat promosi jabatan), korporasi masih bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, oleh karena korporasi juga akan mendapat keuntungan dari perbuatan (tindakan) karyawan tersebut, sebab promosi karyawan dilakukan sebagai bentuk kesuksesan yang diterima oleh korporasi. Artinya, selama karyawan berniat untuk menguntungkan korporasi atau korporasi diuntungkan  (mendapat keuntungan) secara tidak langsung maka korporasi tetap juga dianggap telah menerima keuntungan. Korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, apabila karyawan telah melanggar kepercayaan yang diberikan korporasi kepadanya (breach of fiduciary of duty), oleh karena pelanggaran terhadap breach of fiduciary of duty yang dilakukan karyawan tidak menguntungkan bahkan menimbulkan kerugian bagi korporasi. Tindakan karyawan merupakan perbuatan melanggar hukum dan korporasi tidak mengetahuinya serta perusahaan tidak mendapat keuntungan bahkan mengalami kerugian. Artinya, korporasi tidak memiliki pengetahuan atau kondisi yang diperlukan untuk menimbulkan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan (tindakan) yang dilakukan oleh karyawan tersebut, karena perbuatan karyawan untuk kepentingan pribadinya dan/atau kepentingan pihak lain, bukan untuk kepentingan korporasi.
Korporasi juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakan yang dilakukan oleh para karyawan walaupun para setiap karyawan tersebut tidak secara utuh melakukan tindak pidana, namun atas tindakan seluruh karyawan itu jika disatukan akan menimbulkan tindak pidana. Dapat dimintakannya pertanggungjawaban pidana korporasi atas tindak pidana yang dilakukan para karyawannya tersebut, di bangun dari "collective knowledge doctrine". Doktrin ini menyatakan dengan cara mengumpulkan pengetahuan semua karyawan korporasi akan ditemukan fakta yang secara kolektif mengarah kepada adanya pelanggaran (tindak pidana), sebab korporasi dalam memberikan kewenangan kepada karyawannya adakalanya dengan mengkotak-kotakan pengetahuan, membagi semua elemen kewajiban dan pelaksanaan dalam komponen yang lebih kecil. Berdasarkan collective knowledge doctrine, korporasi tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana dengan alasan atas ketidaktahuannya atau tidak memiliki pengetahuan secara menyeluruh atas tindakan setiap para karyawannya, sebab korporasi harus memiliki pengetahuan secara menyeluruh atas proses kerja yang dilaksanakan oleh para karyawannya untuk mencapai tujuan korporasi. Selanjutnya, korporasi juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam hal korporasi mengabaikan tindakan yang dilakukan oleh karyawan sehingga menimbulkan suatu pelanggaran (tindak pidana), oleh karena jika dilakukan pengawasan oleh orang yang memiliki fungsi pengawasan di korporasi guna mempertanyakan legalitas dari perbuatan yang dicurigai akan menimbulkan pelanggaran (tindak pidana), maka korporasi dianggap memiliki pengetahuan atas pelanggaran (tindak pidana) tersebut. Hal ini dibangun dari willful blindness doctrine, yang menyatakan seseorang yang dengan sengaja tanpa mencari tahu lebih lanjut (mengabaikan) timbulnya tindak pidana sedangkan ia mempunyai posisi sebagai pengawas dan memiliki pengetahuan atas pelanggaran (tindak pidana) tersebut. Korporasi juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan karyawannya, termasuk agen di luar korporasi yang bertindak untuk korporasi tersebut. Para karyawan korporasi termasuk agen tersebut bertindak dalam lingkup wewenangnya dan bertindak untuk tujuan menguntungkan korporasi, antara lain: a. pejabat eksekutif dan direksi (executive officers and directors); b. manager non-eksekutif dan pengawas (non-executive managers and supervisors); c. karyawan tingkat rendah (low-level, menial employees); dan d. kontraktor independen (independent contractors).
Karyawan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi (secara individual) atas tindak pidana yang dilakukan  dalam lingkup pekerjaannya, dalam hal karyawan tersebut:  a. merupakan pelaku langsung dalam tindak pidana, b. bertanggungjawab berdasarkan theory of accomplice liability; c. bersekongkol untuk melakukan tindak pidana atas nama korporasi; dan d. dilimpahkan kepada pejabat korporasi yang memiliki posisi yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut. Karyawan yang merupakan pelaku langsung tindak pidana, bertanggungjawab karena terlibat secara aktif dan langsung dalam tindak pidana, serta tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana hanya dengan cara mengklaim bahwa perbuatan tersebut dilakukan di dalam lingkup pekerjaannya. Misalnya, karyawan dengan sengaja melakukan penggelapan atau pemalsuan informasi mengenai properti yang dimiliki perusahaan, hal ini mengindikasikan bahwa karyawan tersebut telah terlibat secara langsung dalam tindak pidana, baik dengan cara membantu dan bersekongkol atau menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana. Berdasarkan theory of accomplice liability, karyawan dapat di mintakan pertanggungjawaban pidana meskipun ia tidak terlibat dalam tindak pidana secara langsung  dan meskipun tindak pidana dilakukan oleh teman kerjanya berdasarkan instruksi yang diberikannya. Instruksi yang diberikannya tersebut menjadi bukti bagi karyawan tersebut  untuk dimintai pertanggungjawaban. Theory of accomplice liability dapat diperluas untuk menjangkau pengawas yang mengetahui tapi memilih untuk mengabaikan perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya. Dengan kata lain, omisi atau kelalaian yang disengaja atas tindakan bawahannya dapat menimbulkan tanggungjawab pidana kepada si pengawas. Berdasarkan teori ini, pengawas memiliki kewajiban untuk mengambil tindakan untuk memperbaiki apabila ia mengetahui terjadinya tindak pidana yang dilakukan bawahannya. Karyawan yang terlibat dalam konspirasi melakukan tindak pidana dalam korporasi, dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara individu. Konspirasi terjadi apabila dua atau lebih orang sepakat untuk melakukan suatu tindak pidana, dan salah satu dari mereka mengambil tindakan afirmatif untuk mencapai tujuan konspirasi. Dalam skema yang melibatkan komplotan dengan peran terpisah, jaksa penuntut umum tidak perlu membuktikan bahwa ada interaksi antara para komplotan satu sama lain. Jaksa penuntut umum juga tidak perlu membuktikan apakah masing-masing anggota komplotan mengetahui detil dari perjanjian atau bertindak langsung dalam tindak pidana, atau menyetujui perjanjian pada saat yang sama, atau mengetahui semua kegiatan masing-masing anggota dalam perjanjian. Namun demikian, asosiasi atau komunikasi antara anggota dalam suatu konspirasi tidak cukup untuk membuktikan partisipasi mereka secara nyata, tidak pula pengetahuan mereka atas objek, tujuan, atau keberadaan konspirasi. Jaksa penuntut umum perlu membuktikan bahwa terdakwa memiliki niat yang disengaja, dan memiliki tujuan yang dilakukannya secara sadar. Sebagai contoh, seorang pejabat (pengurus) korporasi melakukan pemberian informasi yang tidak benar atas kualifikasi perusahaannya, sehingga perusahaannya dapat mengikuti kompitisi dalam pengadaan barang dan jasa. Ia mengembangkan skema dimana ia dan terdakwa lainnya, secara bersama-sama, menyetujui siapa penerima kontrak pemerintah. Hal ini berarti, pejabat korporasi tersebut melakukan konspirasi yang dianggap sebagai menghalangi pemerintah untuk mencari perusahaan jasa yang lain secara kompetitif. Untuk itu Jaksa penuntut umum perlu membuktikan adanya konspirasi yang dilakukan dengan sengaja atau dilakukan secara sadar oleh pejabat korporasi yang bersangkutan.
Pertanggungjawaban pidana bagi pejabat korporasi yang berada dalam posisi penanggungjawab (pengurus korporasi) berdasarkan Responsible Corporate Officer Doctrine (RCO)  dan Strict Liability, ditegaskan bahwa: pejabat perusahaan dapat bertanggungjawab atas tindak pidana korporasi, meskipun ia tidak mengetahui adanya tindak pidana tersebut, oleh karena karena posisinya dalam perusahaan memiliki kewajiban untuk mengambil tindakan untuk memastikan bahwa pelanggaran tersebut tidak akan terjadi. Pejabat korporasi dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas tindak pidana korporasi selama pejabat itu memiliki wewenang untuk mencegah terjadinya pelanggaran atau untuk memperbaiki keadaan.  Pertanggungjawaban pidana terhadap pejabat tersebut tidak perlu memperhatikan (dibuktikan lagi) adanya mens rea, sebab mens rea telah terbukti karena pejabat tersebut telah melanggar kewajibannya tersebut. Seorang karyawan korporasi bertanggungjawab pribadi atas tindak pidana yang dilakukannya jika ia merupakan pelaku langsung, menginstruksikan, membantu, menyediakan, mendorong, atau bekerja sama dengan karyawan atau bawahan lainnya untuk melakukan satu tindak pidana. Pejabat korporasi juga bertanggungjawab berdasarkan Doktrin RCO jika ia berada dalam posisi yang berkewajiban untuk mencegah tindak pidana, dan berdasarkan doktrin ini  tidak perlu lagi dibuktikan adanya mens rea dalam tindak pidana yang berlangsung. Dengan demikian,  pengenaan pertanggungjawaban pidana pribadi pada karyawan (pejabat korporasi) untuk kesalahan korporasi harus terbatas pada situasi: a. ada alasan kebijakan publik yang menarik untuk melakukannya (misalnya, dalam hal potensi bahaya publik yang signifikan yang mungkin disebabkan oleh adanya kegiatan korporasi); b. kewajiban korporasi tidak mungkin sendiri untuk cukup mempromosikan kepatuhan; dan c. wajar dalam semua keadaan karyawan (pejabat korporasi) untuk bertanggung jawab dengan memperhatikan faktor: i. kewajiban pada korporasi; ii. karyawan (pejabat korporasi) memiliki kapasitas untuk mempengaruhi perilaku korporasi dan iii. langkah-langkah yang wajar yang diambil untuk memastikan kepatuhan perusahaan sesuai kewajiban yang diatur dalam undang-undang.  Selanjutnya, karyawan (pejabat korporasi) a. telah mendorong atau membantu dalam terjadinya pelanggaran (tindak pidana); atau b. telah lalai atau ceroboh dalam kaitannya dengan mengelola (menjalankan)  korporasi.
Berdasarkan Pasal 116 UUPPLH, jika suatu tindak  pidana lingkungan dilakukan dilakukan oleh atau atas nama badan usaha maka yang bertanggungjawab secara pidana:
Pertama    :    bisa badan usaha yang bersangkutan (sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat  (1)), atau
Kedua        :    orang-orang (mereka) yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan tindak pidana lingkungan (sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (1) dan (2) UUPPLH,  atau
Ketiga        :    badan usaha bersama-sama dengan yang memberi perintah untuk melakukan tindak, atau badan usaha bersama-sama dengan orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana lingkungan.
Kapan dimintakannya pertanggungjawaban pidana kepada badan usaha itu sendiri, atau kepada pengurus badan usaha atau kepada pengurus beserta badan usaha, ini menjadi permasalahan dalam praktek, karena dalam kasus lingkungan hidup. ada kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam struktur usaha dan perilaku/perbuatan yang secara konkrit telah dilakukan. Untuk menghindari kesulitan pembuktian tersebut, memang bisa dilakukan dengan meletakkan soal dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap badan usaha yaitu dengan cara mengklasifikasikan pelanggaran terhadap kewajiban­-kewajiban badan hukum untuk melakukan pengawasan serta tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki oleh badan hukum. Pelanggaran terhadap kewajiban korporasi dapat diterapkan doktrin pertangungjawaban pidana yang ketat menurut undang-undang atau yang disebut dengan ".strict liability", apalagi kalau korporasi tersebut menjalankan usahanya tanpa izin, atau korporasi pemegang izin yang melanggar syarat-syarat (kondisi/situasi) yang ditentukan dalam izinnya.
Bagaimanapun beratnya akibat/dampak dari kriminalitas lingkungan, tetap harus memperhatikan aspek-aspek pembatasan penyelenggaraan kekuasaan dari asas legalitas maupun asas kesalahan. Cara bagaimana kedua asas itu dikonkritasikan, tergantung pada tindak pidana yang dilakukan.  Menetapkan korporasi/badan usaha sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Badan usaha diperlakukan sebagai pelaku jika terbukti tindak bersangkutan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan badan usaha, juga termasuk dalam hal orang (karyawan perusahaan) yang secara faktual melakukan tindak bersangkutan yang melakukannya atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan. Namun dalam hal yang terakhir ini tidak menutup kemungkinan badan usaha mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya. Selanjutnya, menetapkan badan usaha sebagai pelaku tindak pidana, dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada badan usaha tersebut. Badan usaha secara faktual mempunyai wewenang mengatur/menguasai dan/atau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak terlarang. Badan usaha yang dalam kenyataannya kurang/ tidak melakukan dan/atau mengupayakan kebijakan atau tindak pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindak terlarang dapat diartikan bahwa badan usaha itu menerima terjadinya tindakan terlarang tersebut, sehingga badan usaha dinyatakan bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Korporasi/Badan usaha dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup mempunyai kewajiban untuk membuat kebijakan/langkah-langkah yang harus diambilnya, yaitu: a. merumuskan kebijakan di bidang lingkungan; b. merumuskan rangkaian/struktur organisasi yang layak (pantas) serta menetapkan siapa yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut; c. merumuskan instruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktifitas-aktifitas yang mengganggu lingkungan dimana juga harus diperhatikan bahwa pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami instruksi-instruksi yang diberlakukan perusahaan yang bersangkitan; d. penyediaan sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup.
Kewajiban adalah suatu peraaan yang harus dilaksanakan oleh pemegangnya. Setiap orang dapat dipaksa untuk melaksanakan kewajibannya. Sehubungan dengan pelaksanaan kewajiban tersebut, Hukum Pidana Baru berlaku atau diterapkan jika orang tersebut:
a.       Sama sekali tidak melakukan kewajibannya,
b.       Tidak melaksanakan kewajibannya  itu dengan baik sebagaimana mestinya, yang dapat berarti:
-          kurang melaksanakan kewajibannya;
-          terlambat melaksanakan kewajibannya, atau
c.       salah dalam melaksanakan kewajibannya, baik secara di sengaja maupun tidak disengaja
Menyalahgunakan pelaksanaan kewajiban itu, jika terhadap kewajiban-kewajiban di atas badan usaha tidak atau kurang memfungsikan dengan baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk mengasumsikan bahwa badan usaha kurang berupaya atau kurang kerja keras dalam mencegah (kemungkinan) dilakukan tindak terlarang. Selanjutnya, untuk menetapkan badan usaha sebagai pelaku tindak pidana lingkungan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu: a. Apakah kasus tersebut berkenan dengan tindak pidana dimana gangguan terhadap kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tindak pidana; b. Norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku yang mengganggu lingkungan; c. Sifat, struktur dan bidang kerja dari badan usaha tersebut.
Menurut Muladi, berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi  (dibaca badan usaha) dan memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran yang berkembang maupun kecenderungan internasional, maka pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hendaknya memperhatikan hal-hal: a. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya; b. Korporasi dapat bersifat privat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat publik (public entity); c. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employess) dan korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi­punishmentprovision); d. Terdapat kesalahan manajemen Main korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of- a statutory or regulatory provision; e. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggungjawab di dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana; f. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa Amerika Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan corporate death penalty dan corporate imprisonment yang mengandung pengartian larangan suatu korporasi untuk berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan pembatasan-pembatasan lain terhadap langkah­-langkah korporasi dalam berusaha; g. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan; h. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusalaaan, melalui kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executive officers) yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan (power of decision) dan keputusan tersebut telah diterima (accepred) oleh korporasi tersebut.
Guna menentukan siapa-siapa yang bertanggung­jawab di antara pengurus suatu badan usaha yang harus memikul beban pertanggungjawaban pidana tersebut, harus ditelusuri segi dokumen AMDAL, Izin (lisensi) dan pembagian tugas pekerjaan dalam jabatan-jabatan yang terdapat pada badan hukum (korporasi) yang bersangkutan. Penelusuran dari dokumen-dokumen tersebut akan menghasilkan data, informasi dan fakta dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha yang bersangkutan dan sejauhmana pemantauan dan pengendalian yang telah dilakukan terhadap dampak tersebut. Dari dokumen-dokumen tersebut dapat diketahui pula, bagaimana hak dan kewajiban pengurus-pengurus perusahaan tersebut, untuk memantau, mencegah dan mengendalikan dampak negatif kegiatan perusahaan. Sehingga dari penelusuran itu, akan nyata pula apakah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tersebut terjadi karena kesengajaan atau karena kelalaian.
Memperhatikan ketentuan Pasal 67 UUPPLH dan Pasal 68 UUPPLH yang menetapkan: "kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup" dan "berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup", dan ketentuan Pasal 116 UUPPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada badan usaha dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan dapat dimintakan kepada para pemegang saham maupun para komisaris) secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.
Pertanggungjawaban pidana terhadap para pemegang saham maupun komisaris merupakan penerapan dari teori penyingkapan tirai perusahaan (piercing the corporate veil). Penerapan teori piercing the corporate veil, perlu: kearifan, kehati-hatian dan pemikiran dalam suatu cakrawala hukum dengan visi yang perspektif dan responsif pada keadilan, serta perlu memperhatikan teori tentang keterpisahan badan hukum.
Badan usaha yang mempunyai kesalahan yang dijatuhi sanksi pidana, harus menanggungnya dengan kekayaan yang dimilikinya, dan selanjutnya adanya pengetahuan bersama dari sebagian anggota dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu. Kesengajaan bersyarat dan kesalahan ringan setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu jika dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri. Badan usaha atau Korporasi atau Badan hukum, dapat mengurangi resiko tanggung jawab lingkungan dari operasi/kegiatannya sehari-hari, dengan cara: a. Memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan badan (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan. Pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan biasanya memberikan kesempatan bagi korporasi untuk memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukannya. Perbaikan terhadap pelanggaran yang telah dilakukan menjadikan diterapkannya asas subsidaritas dalam penegakan hukum pidana; b. Melakukan perbaikan yang sesegera mungkin terhadap pemberitahuan pelanggaran yang dilakukan dan perbaikan tersebut didokumen­tasikan dengan baik; c. Mencari nasehat hukum sebelum merespon pemeriksaan oleh pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan, agar dapat merespon secara tepat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pejabat (instasi) tersebut; d. Memelihara catatan-catatan secara rinci mengenai pembelian dan pembuangan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang digunakan dalam kegiatan operasional korporasi, sehingga:  i. catatan pembuangan limbah secara tepat dapat diketahui guna pembelaan terhadap aksi penegakan hukum, dan ii. jumlah dan jenis bahan kimia yang digunakan korporasi dapat ditetapkan; e. Membuang limbah B3 hanya melalui perusahaan pembuangan limbah B3 yang handal dan kredibel, jika mungkin korporasi melakukan daur ulang. Kontrak dengan pihak yang menangani limbah harus diperiksa dan diteliti oleh korporasi dan konsultan hukumnya guna menjamin bahwa proses penanganan limbah telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; f. Menerapkan suatu program pemenuhan dan pengurangan B3 yang komprehensif, antara lain mencurahkan perhatian dan dana untuk evaluasi atas penggunaan B3 dengan melakukan pembuatan serta penerapan rencana yang komprehensif untuk pengurangan dan pencegahan dari penggunaan B3. Perusahaan memenej, mengukur, meningkatkan dan mengkomunikasikan aspek-aspek lingkungan dari operasi kegiatannya dengan cara yang sistematis.
Direksi tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan, hal ini disebabkan direksi memiliki "kemampuan" dan "kewajiban" untuk mengawasi kegiatan badan usaha (korporasi) termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk menilai apakah direksi melakukan pengawasan yang cukup terhadap kegiatan-kegiatan (operasional) korporasi, dapat dilihat dari: a. Partisipasi direksi di dalam penciptaan dan persetujuan atas rencana bisnis korporasi yang ada kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup; b. Partisipasi aktif di bidang manajemen, khususnya menyangkut kegiatan yang berkaitan dengan B3; c. Melakukan pengawasan terhadap fasilitas-­fasilitas korporasi secara berulang-ulang; d. Mengambil tindakan terhadap karyawan/bawahan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan lingkungan hidup; d. Menunjuk/mengangkat individu yang memiliki kualitas dan kemampuan untuk bertanggung­jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup korporasi; e. Menunjuk/mengangkat konsultan yang independen untuk melaksanakan audit lingkungan secara berkala; f. Permintaan untuk mendapatkan perangkat/instrumen guna membantu manajemen maupun operasional korporasi dalam mentaati hukum lingkungan; g. Meminta laporan secara berkala kepada penanggungjawab pengelolaan lingkungan korporasi yang menyangkut pencegahan dan perbaikan; h. Meminta kepada manajemen korporasi untuk menerapkan program yang dapat meminimalisir kesalahan karyawan dan melaksanakan program penyuluhan; i. Menyediakan cadangan ganti kerugian yang memadai dalam tanggung jawab korporasi terhadap kemungkinan kerugian lingkungan; j. Direksi korporasi yang peka terhadap masalah lingkungan harus menguji ganti rugi yang memadai, mencakup tanggung jawab lingkungan secara khusus; k. Menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap kebijakan tanggung jawab direksi dan pejabat sehingga dari aspek komersil perusahaan asuransi dapat memberi dana yang memadai.
Langkah-langkah yang diambil oleh direksi tersebut di atas dapat mengurangi tanggungjawab lingkungan direksi, setidak-tidaknya tindakan direksi hanya dapat dikategorikan sebagai kealpaan (negligence) bukan kesengajaan. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya dapat dikembangkan pemikiran bahwa para pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana karena pemegang saham memiliki tanggung jawab untuk mengontrol atau mengarahkan aktivitas korporasi yang membahayakan lingkungan berdasarkan besarnya persentasi saham. Oleh karena itu, bagi pengelola perusahaan yang berpotensi mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, seyogianya menetapkan "standard moral bisnis yang tinggi" (high standards of business morality).
Ketentuan Pasal 116 ayat (2) UUPPLH di dalamnya terdapat “prinsip vicarious liability”. Berdasarkan prinsip vicarious liability ini, pelaku usaha dapat dituntut bertanggungjawab atas perbuatannya, termasuk perbuatan orang lain tetapi masih di dalam lingkungan aktivitas usahanya atau akibat yang bersumber dari aktivitasnya yang dapat merugikan orang lain. Berdasarkan prinsip vicarious liability, pimpinan korporasi atau siapa saja yang memberi tugas  atau perintah bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahan atau karyawannya. Tanggung jawab ini diperluas hingga mencakup perbuatan-perbuatan yang dilakukan  oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain. Dengan demikian, siapa saja yang bekerja dan dalam hubungan apa saja pekerjaan itu dilakukan, selama hal tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan korporasi, menjadi tanggung jawab korporasi. Menurut Pasal 116 ayat (2) UUPPLH,  pihak perusahaan yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin, memiliki kapasitas pertanggungjawaban untuk dipidana. Ketentuan Pasal 116 UUPPLH, berfungsi mengantisipasi kemungkinan korporasi bisa berlindung di balik hubungan kontraktual yang dilakukannya dengan pihak lain, kemudian Pasal 116 ayat (2) UUPPLH memberikan perluasan tanggung jawab, sehingga kesimpulan yang dapat diambil dari Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, yaitu: a. perbuatan adalah atas nama korporasi; b. berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain; c. bertindak di dalam lingkungan korporasi. Dengan demikian, dilihat dari sudut subjek liability-nya, makna menurut Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, pihak-pihak yang bertangung jawab adalah: a. pemberi perintah atau pengambil keputusan atau yang bertindak sebagai pemimpin; b. berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain; c. secara sendiri-sendiri atau kolektif/bersama-sama.
Berdasarkan Pasal 1 angka (11) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 (Perma No. 13/2016), hubungan kerja adalah hubungan antara korporasi dengan pekerja/pegawainya berdasarkan perjanjian yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan/atau perintah. Sedangkan pengertian hubungan Lain berdasarkan Pasal 1 angka (12) Perma No. 13/2016 adalah hubungan antara pengurus dan/atau korporasi dengan orang dan/atau korporasi lain sehingga menjadikan pihak lain tersebut bertindak untuk kepentingan pihak pertama berdasarkan perikatan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Kemudian, untuk pengertian  Lingkungan Korporasi berdasarkan Pasal 1 angka (13) adalah lingkup korporasi atau lingkup usaha korporasi atau lingkup kerja yang termasuk dan/atau mendukung kegiatan usaha korporasi baik langsung maupun tidak langsung.
Perumusan ketentuan pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UUPPLH, mencantumkan unsur sengaja atau kealpaan/kelalaian. Dicantumkannya unsur sengaja atau kealpaan, maka dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban pidana dalam UUPPLH menganut prinsip liability based on fault (pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan). Artinya, UUPPLH menganut asas kesalahan atau culpabilitas. Jika hanya memperhatikan Pasal 116 ayat (1) huruf b tanpa mengkaitkannya dengan Pasal 118 UUPPLH, maka mengharuskan penyidik dan penuntut umum untuk membuktikan bahwa penguruslah yang bertindak sebagai orang yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana. Akan tetapi jika ketentuan Pasal 116 ayat (1) huruf b dikaitkan dengan Pasal 118 UUPPLH, pengurus karena jabatannya secara serta merta atau secara otomatis memikul pertanggungjawaban pidana. Hal ini dapat dilihat dan diperkuat oleh penjelasan Pasal 118 UUPPLH yang berbunyi: “tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik tersebut”.
Pengertian “menerima tindakan tersebut” menurut penjelasan Pasal 118 UUPPLH adalah “menyetujui, membiarkan atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut”. Dengan demikian, jika terjadi pembuangan limbah tanpa melalui pengelolaan dan pengurus perusahaan mengetahuinya dan/atau membiarkan karyawan perusahaan melepas pembuangan limbah tanpa melalui pengelolaan maka telah terjadi tindak pidana atas nama badan usaha dan pengurus perusahaan harus bertanggungjawab terhadap tindak pidana tersebut. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 117 UUPPLH, jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, maka ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dengan denda diperberat dengan sepertiga. Selanjutnya lagi,  berdasarkan Pasal 119 UUPPLH, jika tuntutan pidana ditujukan kepada badan usaha, maka badan usaha selain dikenakan pidana sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal ketentuan pidana juga dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;  b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;  c. Perbaikan akibat tindak pidana; d. Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau  e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Ketentuan Pasal 116 UUPPLH tidak ada memberikan penjelasan mengenai “orang yang memberi perintah” atau “yang bertindak sebagai pemimpin”. Penjelasan Pasal 116 UUPPLH, menyatakan: “cukup jelas”, sehingga perlu penafsiran untuk mengetahui maksud dari “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin”.  Menurut Remmelink, di dalam praktek yang dimaksud sebagai “yang memberi perintah” atau “yang memimpin” adalah para pengurus. Seseorang dapat dikatakan secara faktual memimpin dilakukannya tindak pidana korporasi jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana tersebut, atau secara faktual dikatakan ada perbuatan memimpin tindak pidana yang terjadi apabila pejabat yang bersangkutan tidak mengambil langkah-langkah apapun untuk mencegah dilakukannya perbuatan terlarang oleh para pegawainya, sekalipun ia berwenang untuk melakukan hal itu dan secara dapat melakukan pencegahan dimaksud, dan bahkan secara sadar ia membiarkan perbuatan terlarang itu terlaksana sekalipun ada kesempatan untuk melakukan pencegahan terlaksananya perbuatan terlarang tersebut.
Pengertian Pengurus berdasarkan Pasal 1 angka (10) Perma No. 13/2016 adalah organ korporasi yang menjalankan pengurusan korporasi sesuai anggaran dasar atau undang-undang yang berwenang mewakili korporasi, termasuk mereka yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, namun dalam kenyataannya dapat mengendalikan atau turut mempengaruhi kebijakan korporasi atau turut memutuskan kebijakan dalam korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana.  Dengan demikian, pengurus korporasi/badan usaha merupakan individu-individu yang mempunyai kedudukan atau kekuasaan sosial, setidaknya dalam lingkup perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka-mereka yang dapat dikategorikan sebagai pengurus badan usaha yaitu:
1.          mereka yang menurut anggaran dasarnya secara formal menjalankan pengurusan badan usaha;
2.         mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar badan usaha bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan yang mengikat badan usaha  secara hukum berdasarkan:
a.    pengangkatan oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan dengan pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas ruang lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya itu untuk dapat melakukan perbuatan hukum mengikat badan usaha, atau
b.    pemberian kuasa oleh pengurus atau mereka sebagaimana dimaksud a) untuk dapat melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat badan usaha.
3.       oleh orang lain yang diperintahkan oleh mereka yang disebut dalam angka 1 dan angka 2, untuk melakukan atau menjalankan pengurusan badan usaha.

Pengurus sebagai organ korporasi (dibaca: badan usaha) yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi/badan usaha yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Artinya, setiap individu yang ditunjuk sebagai memiliki tanggung jawab organisasi atau operasional untuk spesifik perilaku atau yang memiliki kewajiban untuk mencegah, suatu pelanggaran oleh badan usaha dalam hal ini melaksanakan kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 68 UUPPLH dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas terjadinya tindak pidana lingkungan.
Direksi PT tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban pidana dalam hal PT yang dipimpinnya mencemari dan atau merusak lingkungan, oleh karena didasarkan kepada Pasal 97 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) jo. Pasal 2 dan 4 UUPT dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPLH serta prinsip hukum yang terbit dari adanya duty of care. "Duty of care " direksi, antara lain: a. Direktur mempunyai kewajiban untuk pengelolaan perusahaan dengan iktikad baik (good faith) dimana direktur tersebut harus melakukan upaya yang terbaik dalam pengelolaan perusahaan sesuai dengan kehati-hatian (care) sebagaimana orang biasa yang harus berhati-hati; b. Kewajiban atas standard kehati-hatian ditentukan oleh kewajiban seorang direktur sesuai dengan penyelidikan yang rasional. Kegagalan untuk melaksanakan "duty of care"  tersebut dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah perbuatan tersebut sebenarnya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia, oleh karena pemegang kepercayaan diharuskan untuk menerapkan standar perilaku yang lebih tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin "constructive fraud " untuk pelanggaran fiduciary duty.
Makna dan aspek iktikad baik yang lain dalam konteks pengurusan PT adalah patuh dan taat (obedience) terhadap hukum dalam arti luas, terhadap peraturan perundang-undangan dan Anggaran Dasar PT. Ketaatan mematuhi peraturan perundang-undangan dalam rangka pengurus PT, wajib dilakukan dengan iktikad baik, mengandung arti setiap orang Direksi dalam melaksanakan pengurusan perseroan, wajib melaksanakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (statutory duty). Jika anggota Direksi tahu tindakannya melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau tidak hati-hati atau sembrono (carelessly) dalam melaksanakan kewajiban mengurus Perseroan, mengakibatkan pengurusan itu melanggar peraturan perundang-undangan maka tindakan pengurusan itu “melawan hukum” (onwettig, unlawful). Dengan demikian, direktur tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan, hal ini disebabkan direksi memiliki "kemampuan" dan "kewajiban" untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pasal 116 UUPPLH berfungsi mengantisipasi kemungkinan PT bisa berlindung di balik hubungan kontraktual yang dilakukannya dengan pihak lain, kemudian Pasal 116 ayat (2) UUPPLH memberikan perluasan tanggung jawab, sehingga kesimpulan yang dapat diambil dari Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, yaitu: a. Perbuatan adalah atas nama korporasi; b. Berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain, c. Bertindak di dalam lingkungan korporasi. Selanjutnya, subjek liabilitynya (pihak-pihak yang bertanggungjawab), menurut Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, yaitu pemberi perintah atau pengambil keputusan atau yang bertindak sebagai pemimpin yang didasarkan kepada hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain.

VI.                      Pola pemidanaan dalam UUPPLH sebagaimana yang diatur dalam Ketentuan Bab XV Ketentuan Pidana pada Pasal 97 UUPPLH sampai Pasal 120 UUPPLH, terdapat sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi tindakan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 119 UUPPLH hanya bersifat komplemen atau pelangkap yakni tidak ada ada bedanya dengan sanksi pidana tambahan yang bersifat fakultatif. Hal tersebut dapat di simak dari adanya kata “dapat” dalam rumusan Pasal 119 UUPPLH tersebut. Ketentuan Pasal 119 UUPPLH berbunyi:
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a.         perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b.         penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c.         perbaikan akibat tindak pidana;
d.         pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e.         penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Kata “dapat” dalam Pasal 119 UUPPLH menunjukkan legislator (pembuat undang-undang) memberi kebebasan bagi hakim yang memutuskan perkara tersebut untuk menjatuhkan jenis sanksi tindakan atau tidak terhadap terdakwa. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 119 UUPPLH, sanksi pidana tambahan atau tindakan hanya dikenakan terhadap badan usaha, hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 119 UUPPLH yang menyebutkan: “Selain pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa ...”.
Sanksi tindakan merupakan sanksi dalam hukum pidana yang bersifat antisifatif bukan reaktif terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat determinisme[4] dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis dan spesifikasi bukan penderitaan fisik atau perampasan kemerdekaan, dengan tujuan untuk memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban. Memperhatikan sanksi pidana yang ada dalam Ketentuan Pidana UUPPLH, yang mengenakan sanksi pidana penjara dan denda serta Pasal 119 UUPPLH yang dapat memberikan hukuman tambahan kepada badan usaha, maka hukuman bagi badan usaha yang melakukan tindak pidana dapat berupa sanksi pidana dan berupa sanksi tindakan.
Ketentuan Pasal 117 UUPPLH, menetapkan bahwa terhadap orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, ancaman pidana berupa penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Adapun bunyi Pasal 117 UUPPLH, sebagai berikut: “Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.”. Memperhatikan ketentuan pidana UUPPLH, berikut penjelasan terdahulu, maka penjatuhan pidana terhadap:
a.       Badan Usaha, yakni:
-          pidana denda
-          dan dapat dikenakan  pidana tambahan berupa:
o   perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, atau
o   tindakan tata tertib berupa:
ü  penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
ü  perbaikan akibat tindak pidana;
ü  pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
ü  penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
b.       Pengurus badan usaha, yakni:
-          penjatuhan pidananya yang diperberat sepertiganya dari ancaman pidana yang di langgar, berupa:
o  Pidana penjara, dan
o  Denda.

Daftar Bacaan:
Arief, Barda Nawawi, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
------------ 1994, Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta
Cox, D James, Thomas Lee Hazen and F. Hodge O'Neal, 1997, Corporations,Aspen Law & Business, A Division of Aspen Publishers, Inc., New York.
Dunkley, John, edited by David Robinson, 1995, Public Interest in Environmental Law, Wiley Chancery A Division of John Wiley & Son London Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore.
Fuady, Munir, 2002, Doktrin-Dokirin Modern Dalam Corporate Law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
-----------, 2006, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Citra Aditya, Bandung
Goodrich, Wilson Sonsini and Rosati, Environmental Law Bulletin-Corporate Liability : Strategies Corporation, Shareholders and Directors Can Employ to Reduce Environmental Liability.
Gross, Hyman, 1979, A Theory of Criminal Justice, New York: Oxford University Press.
Gunardi Endro, 1999,Redefenisi Bisnis Suatu Penggalian Etika Keutamaan Aristoteles, PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
Guideline for the Criminal Enforcement of Environmental Law, 1994, National Support Bureau of the Dutch Prosecution Service, Netherlands
Gunawan Wijaya, 2008,  Seri Pemahaman Perseroan Terbatas: Resiko Hukum Pemilik, Direksi & KomisarisPT,  Forum Sahabat, Jakarta.
Hamilton, Robert W., 2001, Cases and Materials on Corporation Including Partnerships and Limited Liability Companies, American Casebook Series, West Group.
Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif  (terjemahan), Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung.
Harahap, M. Yahya, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Buku- I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
------------, 1988, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta.
Hardjasoemantri, Koesnadi, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Gadjahmada University Press, Yogyakarta.
Harun M. Husein, 1993, Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan penegakan,Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta.
Hatrik, Hamzah, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicoatious Liability), PT RajaGrafindo Persada.
Hohmann, Harald, 1994, Precautionary Legal Duties and Principles of Modern International Environmental Law, Graham & Trotman/ Martinus Nijhoff, London/ Dordrecht/ Boston.
Muladi, 1998, "Prinsip-prinsip dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam kaitannya Dengan W No. 23 Tahun 1977", Makalah, Seminar Kajian dan Sosialisasi UU No. 23 Tahun 1997, FH UNDIP, Semarang.
Muladi dan Dwidja Prayifio, 1991, Pertangungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum, Bandung.
Nugroho, Alois A, 2001, Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis, Grasindo, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Pistor Katarina & Chenggang Xu, 2002, Fiduciary Duty in Transitional Civil Law Jurisdictions, European Corporate Governance Institute (ECGI).
Proposed Model for a Domestic Law of Crimes Against the Environment, International Meeting of Experts on Environmental Crime: The Use of Criminal Sanctions in the Protection of the Environment; Internationally, Domestically, and Regionally, March 19- 23, 1994 World Trade Center Two, Portland, Oregon, USA;
Rajagukguk, Erman, 1997, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Tgl.  4 Januari 1997.
Rajagukguk, Erman dan Ridwan Khairandy (ed)., 2001, Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH. ML, UI, Jakarta.
Smith and Hogan, 1992, Criminal Law. 1992. Butterworths. London.
Suparmoko, M, 1997, Ekonomi Sumberdaya alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis), BPFE, Yogyakarta.
Sutan Remy Sjahdeini, 2007,  Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT. Grafitipers, Jakarta.
Syahrin, Alvi, 2002, Asas-asas dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan.
------------, 2003, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana/Lingkungan pada Fakultas Hukum USU, Medan.
------------, 2008, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, PT. Sofmedia, Medan.
------------, 2009, Beberapa Masalah Hukum, PT. Sofmedia, Medan.
------------, Martono Anggusti, Abdul Aziz Alsa, 2019, Hukum Lingkungan di Indonesia: Suatu Pengantar,  Prenadamedia Group, Jakarta.
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Vagts, Detlev F., 1989, Basic Corporation Law, Materials - Cases - Text, University Casebook Series, The Foundation Press, Inc., Westbury, New York.

--o0o—



[1]  Disampaikan pada Acara Legal Preventive Program (LPP) yang diadakan Fungsi Bagian Legal Counsel/Compliance PT Pertamina (Persero) di Jakarta – tanggal 21 Februari 2020.
[2]  Guru Besar Hukum Pidana/Lingkungan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
[3] Namun dalam RUU Cipta Kerja, Izin Lingkungan ini ditiadakan.
[4] Filsafat determinisme menyatakan pemidanaan menekakankan nilai-nilai kemanusiaan dan pendidikan, searah dengan hakikat sanksi tindakan yang menekankan tidak boleh adanya pencelaan terhadap perbuatan yang dilanggar oleh pelaku. Tujuan pemidanaan bersifat mendidik untuk mengubah tingkah laku pelaku tindak pidana dan orang lain yang cenderung melakukan tindak pidana.

3 komentar:

  1. Ebobet merupakan situs slot online via deposit pulsa aman dan terpercaya, Dengan menggunakan Satu User ID bisa bermain semua game dari Bola, Live Casino, Slot online, tembak ikan, poker, domino dan masih banyak yang lain.

    Sangat banyak bonus yang tersedia di ebobet di antaranya :
    Bonus yang tersedia saat ini
    Bonus new member Sportbook 100%
    Bonus new member Slot 100%
    Bonus new member Slot 50%
    Bonus new member ALL Game 20%
    Bonus Setiap hari 10%
    Bonus Setiap kali 3%
    Bonus mingguan Cashback 5%-10%
    Bonus Mingguan Rollingan Live Casino 1%
    Bonus bulanan sampai Ratusan Juta
    Bonus Referral
    Minimal deposit hanya 10ribu

    BalasHapus