PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM PENERAPAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP
BAGI KASUS-KASUS PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
Oleh:
Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS.
Fadlielah Hasanah, SH. MH.
I. Hukum Pidana Indonesia, saat ini berorientasi pada “tiga masalah pokok”, yaitu ”tindak
pidana”, ”pertanggungjawaban pidana”, dan ”pidana dan pemidanaan”. Pembagian
permasalahan Hukum Pidana tersebut merefleksikan bahwa Hukum Pidana berdasarkan
pandangan dualistis, artinya: dipisahkannya antara “tindak pidana” dengan
“pertanggungjawaban pidana”. Pemisahan antara “tindak pidana” dan
“pertanggungjawaban pidana”, akan menjadikan adanya pemisahan mengenai
ketentuan tentang ”alasan pembenar” dan ”alasan pemaaf”. Alasan pembenar
ditempatkan dalam ”tindak pidana”, dan ”alasan pemaaf” ditempatkan
”Pertanggungjawaban Pidana”.
Pemisahan
“tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” menurut Barda Nawawi, di
samping merupakan refleksi dari pandangan dualistis juga sebagai refleksi dari
ide keseimbangan antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan
individu/perseorangan, keseimbangan antara ”perbuatan” (”daad”/actus reus”, sebagai faktor objektif”) dan ”orang” (”dader” atau ”mensrea”/guilty mind”, sebagai faktor subjektif), keseimbangan
antara kriteria formal dan material, keseimbangan kepastian hukum,
kelenturan/elastisitas/fleksibilitas dan keadilan; dan keseimbangan nilai-nilai
nasional dan nilai-nilai global/internasional/ universal. Dengan demikian, kita
tidak hanya berorientasi semata-mata pada pandangan mengenai hukum pidana yang
menitikberatkan pada ”perbuatan atau akibatnya” (Daadstrafrecht/Tatsrafrecht atau Erfolgstrafrecht) yang merupakan pengaruh dari aliran Klasik, namun
harus berorientasi/berpijak pada ”orang” atau ”kesalahan” orang yang melakukan
tindak pidana (Daadstrafrecht/
Tatsrafrecht/Schuldstrafrecht), yang merupakan
pengaruh dari aliran Modern.
Pertanggunganjawab
pidana merupakan diteruskannya celaan yang secara objektif ada pada tindak
pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, dan secara subjektif kepada
pembuat yang memenuhi syarat dalam Undang-Undang (pidana) untuk dapat dikenai
pidana karena perbuatannya. Dengan diteruskannya celaan yang objektif ada pada
tindak pidana berdasarkan ketentuan yang berlaku dan yang secara subjektif
kepada pelaku yang memenuhi syarat-syarat dalam Undang-Undang (pidana) untuk
dapat dipidana karena perbuatannya itu, maka timbullah hal pertanggungjawaban
pidana. Dalam hal pelaku dapat dicela dengan melakukan perbuatan yang dilarang,
maka ia dapat dipidana, dalam hal dapat dibuktikan kesalahannya, baik dalam
arti sengaja atau tidak karena kealpaannya.