Catatan terhadap Pasal 109 UUPPLH sehubungan berlakunya UU Cipta Kerja
1.
Pasal 109 UUPPLH, berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Penjelasan Pasal 109 UUPPLH: Cukup jelas.
2.
Pasal 36 ayat (1) UUPPLH, berbunyi:
“(1) Setiap
usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki
izin lingkungan”.
Penjelasan: Ayat (1) Cukup jelas.
Berdasarkan Pasal 22 angka 14 UU Cipta Kerja, Pasal 36
UUPPLH dihapus.
Kemudian berdasarkan Pasal 22 angka 36
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, ketentuan Pasal 109
UUPPLH di ubah sehingga berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan tanpa memiliki:
a. perizinan
Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat, atau Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal 59 ayat (1), atau
Pasal 59 ayat (4);
b. persetujuan dari
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (3) huruf b; atau
c. persetujuan dari
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1);
yang mengakibatkan timbulnya
korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.OOO,OO (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Berdasarkan Pasal 22 angka 3 UU Cipta Kerja,
bahwa Pasal 24 ayat (5) UUPPLH diubah, sehingga berbunyi:
(1) Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana
usaha dan/atau kegiatan.
(2) Uji kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh tim uji kelayakan lingkungan hidup yang dibentuk oleh lembaga uji
kelayakan lingkungan hidup pemerintah Pusat.
(3) Tim uji kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas unsur pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan ahli bersertifikat.
(4) Pemerintah Pusat atau pemerintah Daerah menetapkan Keputusan Kelayakan
Lingkungan Hidup berdasarkan hasil uji kelayakan lingkungan hidup.
(5)
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
digunakan sebagai persyaratan penerbitan perizinan Berusaha, atau persetujuan
Pemerintah pusat atau pemerintah Daerah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana uji kelayakan lingkungan hidup
diatur dalam peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 24 ayat (5) UUPPLH:
Yang dimaksud dengan "Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup" adalah keputusan yang menyatakan kelayakan
lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib
dilengkapi dengan Amdal.
Yang dimaksud dengan "persetujuan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah" adalah bentuk keputusan yang
diterbitkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagai dasar
pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh instansi Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah.
Berdasarkan Pasal 22 angka 12 UU Cipta
Kerja, bahwa ketentuan Pasal 34 UUPPLH diubah, sehingga
berbunyi:
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap
Lingkungan Hidup wajib memenuhi standar UKL-UPL.
(2) Pemenuhan standar UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
dalam Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
(3) Berdasarkan Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerbitkan
Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
(4) Pemerintah Pusat menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib
dilengkapi UKL-UPL.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 34 UUPPLH:
Ayat (1): Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Pernyataan
Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup" adalah standar pengelolaan
lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup dari penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang telah disahkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah bagi usaha danlatau kegiatan yang wajib UKL-UPL.
Ayat (3) sampai dengan ayat (5): Cukup
jelas.
Berdasarkan
Pasal 22 angka 20 UU Cipta Kerja, bahwa Pasal 59 UUPPLH diubah,
sehingga berbunyi:
(1) Setiap orang yang
menghasilkan Limbah 83 wajib melakukan Pengelolaan Limbah B3 yang
dihasilkannya.
(2) Dalam hal B3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya
mengikuti ketentuan Pengelolaan Limbah B3.
(3) Dalam hal setiap
orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu melakukan sendiri
Pengelolaan Limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
(4) Pengelolaan
Limbah B3 wajib mendapat Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah.
(5) Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang
harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam
Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
(6) Keputusan
pemberian Perizinan Berusaha wajib diumumkan.
(7) Ketentuan lebih
lanjut mengenai Pengelolaan Limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Penjelasan:
Ayat (1) : Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian
kegiatan yang mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,
pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3.
Ayat (2) : Cukup
jelas.
Ayat (3) : Yang
dimaksud dengan “pihak lain” adalah badan usaha yang melakukan pengelolaan
limbah B3 dan telah mendapatkan izin.
Ayat (4) :Cukup
jelas.
Ayat (5) : Cukup
jelas.
Ayat (6) :Cukup
jelas.
Ayat (7): Cukup
jelas.
Pasal 58 ayat (1) UUPPLH:
“Setiap orang yang memasukkan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut,
mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3
wajib melakukan pengelolaan B3.”
Penjelasan:
Ayat (1) : Kewajiban untuk melakukan
pengelolaan B3 merupakan upaya untuk mengurangi terjadinya kemungkinan risiko
terhadap lingkungan hidup yang berupa terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup, mengingat B3 mempunyai potensi yang cukup besar untuk
menimbulkan dampak negatif.
3. Bahwa dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
Pasal 22 angka 36 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
yang mengubah ketentuan Pasal 109 UUPPLH, maka tindak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 109 UUPPLH, unsur-unsurnya sebagai berikut:
a. Setiap
orang;
b. yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:
2)
perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah
Pusat, atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam:
- Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup,
- Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan
Lingkungan Hidup,
- Pengelolaan Limbah B3 yang dihasilkannya,
atau
- Perizinan Berusaha atau Persetujuan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Limbah B3;
3)
persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah untuk diperbolehkan membuang limbah ke media lingkungan hidup;
4)
persetujuan dari Pemerintah Pusat dalam melakukan
Dumping.
c. yang mengakibatkan timbulnya
korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan,
d. dengan sengaja.
4.
Bahwa memperhatikan ketentuan Pasal
109 UUPPLH dan Pasal 22 angka 14 UU Cipta Kerja yang menghapus
ketentuan Pasal 36 UUPPLH yang mengatur tentang izin lingkungan serta Pasal 22 angka 36
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengubah ketentuan
Pasal 109 UUPPLH, maka tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 109 UUPPLH, bukan merupakan tindak formil lagi sebagaimana sebelum diberlakukannya UU Cipta Kerja, tetapi sudah menjadi tindak pidana materiil, yang hal ini dapat dilihat dari unsur yang
mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan,
dan/atau lingkungan;
5. Bahwa Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Jikalau undang-undang
diubah, setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersangka dikenakan
ketentuan yang menguntungkan baginya”
Pembentuk
pembentuk KUHP tidak memberikan penjelasan terhadap tafsir Pasal 1 ayat (2)
KUHP tersebut, maka digunakan pendapat para ahli hukum pidana (doktrin). Van Bemmelen, mengistilahkan terjadinya
perubahan hukum pidana tersebut sebagai hukum transitoir atau
hukum peralihan, dan para ahli hukum yang
umumnya memberikan makna bahwa substansi Pasal 1 ayat (2) KUHP disebut dengan
asas transitoir, yaitu asas yang menentukan berlakunya suatu
aturan hukum pidana dalam hal terjadi atau ada perubahan undang-undang.
Asas
transitoir sebagaimana di atur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, memperbolehkan
aturan hukum pidana hasil perubahan untuk diterapkan secara surut (retroaktif),
dengan syarat bila hukum pidana hasil perubahan tersebut lebih menguntungkan
bagi terdakwa dibandingkan bila menerapkan hukum pidana sebelum perubahan. Artinya, apabila suatu perbuatan dilakukan
lalu terjadi perubahan dalam perundang-undangan, maka dipergunakan aturan yang
paling ringan bagi terdakwa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2)
KUHP, sehingga dengan demikian lex temporis delictie tersebut
dibatasi oleh Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut.
Menentukan
kadar yang menguntungkan bagi terdakwa menurut Sudarto dasarnya adalah
penerapan pada kasus-kasus yang konkrit, dan didasarkan pada arti yang luas,
bukan hanya pada berat ringan sanksi pidananya saja. Menguntungkan bagi
terdakwa bukan saja terkait ancaman pidananya yang menguntungkan terdakwa,
tetapi juga termasuk perubahan perumusan delik, dari delik biasa menjadi delik
aduan, atau juga dari sanksi pidana penjara menjadi sanksi denda atau sanksi
administrasi. Perubahan peraturan yang menguntungkan termasuk juga soal
daluwarsa penuntutan, jika daluwarsa penuntutannya dipercepat, maka hal ini
termasuk juga dalam kategori yang menguntungkan bagi terdakwa. Dalam menerapkan
kadar keuntungan ini, maka tidak hanya berlaku di pemeriksaaan namun sampai
pada semua tingkat pemeriksaan di peradilan.
Terkait
asas transitoir yang menguntungkan bagi terdakwa ini juga masih dipertahankan
dalam RUU KUHP, yang dicantumkan dalam Pasal 2 yang berbunyi : “dalam hal
perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan
peraturan perundang-undangan yang baru dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lama berlaku apabila menguntungkan bagi pembuat”. Dalam
konteks ini jelas, bahwa peraturan perundang-undangan yang diberlakukan jika
terjadi perubahan pada undang-undang digunakan ketentuan yang baru dan
menguntungkan terdakwa. Jika undang-undang lama lebih menguntungkan, maka
dipergunakan undang-undang yang lama.
6. Bahwa
arah kebijakan pengaturan mengenai penegakan hukum lingkungan dan kehutanan
sejak berlakunya UU Cipta Kerja hendaknya dipandang sebagai suatu ultimum remedium atau sebagai upaya yang harus dipergunakan
sebagai upaya terakhir untuk memperbaiki kelakuan manusia (orang) dan wajarlah
apabila orang menghendaki agar hukum pidana dalam penerapannya haruslah
disertai dengan pembatasan-pembatasan seketat mungkin.
7. Bahwa
penerapan asas ultimum remedium dalam penegakan hukum lingkungan
dan kehutanan sejak berlakunya UU Cipta Kerja, khususnya berkaitan dengan
penerapan Pasal 109 UUPPLH tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 22 angka
32 UU Cipta Kerja yang diantara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 3 (tiga)
Pasal, yakni Pasal 82A, Pasal 82B dan Pasal 82C.
Pasal 82A UU
Cipta Kerja, berbunyi:
Setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:
a.
Perizinan Berusaha, atau persetujuan pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), pasal 34
ayat (3), Pasal 59 ayat (1) atau Pasal 59 ayat (4); atau
b. persetujuan dari Pemerintah pusat atau pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (3) huruf b;
dikenai sanksi administratif.
Penjelasan: Cukup jelas.
Pasal 82B UU
Cipta Kerja, berbunyi:
(1) Setiap
orang yang kegiatan yang memiliki melakukan usaha dan/atau
a. Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (5), Pasal 34
ayat (3), Pasal 59 ayat (1), atau pasal 59 ayat (4);
b. persetujuan dari Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b; atau
c.
persetujuan dari Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1);
yang tidak sesuai dengan
kewajiban dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah, dan/atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dikenai sanksi
administratif.
(2)
Setiap orang yang melakukan pelanggaran larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, yaitu:
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 huruf
a, dimana perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian dan tidak mengakibatkan
bahaya kesehatan manusia dan/atau luka dan/atau luka berat, dan/atau matinya
orang dikenai sanksi administratif dan mewajibkan kepada Penanggung Jawab
perbuatan itu untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dan/atau
tindakan lain yang diperlukan; atau
b. menyusun Amdal tanpa memiliki sertifikat
kompetensi penJrusun Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf i dikenai
sanksi administratif.
(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan perbuatan
yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku
mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang tidak sesuai
dengan Perizinan Berusaha yang dimilikinya dikenai sanksi administratif.
Penjelasan: Cukup jelas
Pasal 82 C UU Cipta Kerja, berbunyi:
(1) Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82A dan Pasal 82B ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) berupa:
a.
teguran tertulis;
b.
paksaan pemerintah;
c.
denda administratif;
d.
pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
e.
pencabutan Perizinan Berusaha.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Penjelasan: Cukup jelas.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 22 angka 32 UU Cipta Kerja yang diantara
Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 3 (tiga) Pasal, yakni Pasal 82A, Pasal 82B dan
Pasal 82C kemudian dikaitkan dengan Pasal 22 angka 14 UU Cipta Kerja yang menghapus
ketentuan Pasal 36 UUPPLH yang mengatur tentang izin lingkungan serta Pasal 22 angka 36
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengubah ketentuan
Pasal 109 UUPPLH, maka dapat
dikemukakan bahwa:
1. tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal
109 UUPPLH setelah berlakunya UU Cipta Kerja telah menjadi tidak pidana
materiil yang mengharuskan terjadinya akibat yang berupa: “yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan,
keselamatan, dan/atau lingkungan”;
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
109 UUPPLH (sebelum berlakunya UU Cipta Kerja), dengan berlakunya UU Cipta
Kerja menjadi pelanggaran administratif sebagaimana di atur dalam Pasal 82A
UUPPLH;
3. Dengan berlakunya UU Cipta Kerja, arah kebijakan
pengaturan mengenai penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan (dalam hal
ini UUPPLH) menerapkan asas ultimum remedium yakni penegakan hukum
pidana sebagai upaya yang harus dipergunakan sebagai upaya terakhir.
Dengan demikian, terhadap kasus pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 109 UUPPLH yang telah terjadi (tempus
delicti-nya terjadi) pada saat belum berlakunya UU
Cipta Kerja dan kemudian dengan berlakunya UU Cipta Kerja (yang berdasarkan Pasal 186 UU Cipta Kerja yang mengatur bahwa
Undang-Undang Cipta Kerja ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yakni
tanggal 2 November 2020), maka berlaku ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP dan asas
ultimum remedium, sehingga proses penyelidikan oleh penyidik (penegakan
hukum pidana) terkait Pasal 109 UUPPLH dapat dihentikan demi hukum.
-o0o-