Minggu, 10 Maret 2013

UU PENDIDIKAN TINGGI


UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI
BERTENTANGAN DENGAN
UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ?

            Oleh : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS.



I.             Pengujian secara juridis (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT) yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada saat ini terkait dengan pelaksanaan hak asasi manusia, mengenai hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum (rights to equality of law) khususnya dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Hak asasi sosial budaya (social and culture rights) sebagaimana  yang tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya mengenai hak mendapatkan pendidikan dan negara memprioritaskan anggaran paling sedikit  20 (dua puluh)  persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaran pendidikan nasional.
            Pasal-pasal UUPT yang diajukan mengajukan Permohonan Yudicial Review terhadap beberapa pasal dari UUPT antara lain: Pasal 64, Pasal 65 ayat (1), Pasal 73, Pasal 74 ayat (1), Pasal 86 ayat (1), Pasal 87, Pasal 90.
           Mahkamah Konsitusi berdasarkan kewenangan, diantaranya berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan kewenangannya tersebut, Mahkamah Konsitusi menjalankan fungsinya  sebagai penafsir konstitusi dengan menjelaskan makna kandungan kata atau kalimat, menyempurnakan atau melengkapi, bahkan membatalkan sebuah undang-undang jika dianggap bertentangan dengan konstitusi, serta mengawal tegaknya demokrasi di Indonesia.
Berdasarkan permohonan yang diajukan, yang menjadi inti untuk ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu apakah UUPT (khususnya Pasal Pasal 64, Pasal 65 ayat (1), Pasal 73, Pasal 74 ayat (1), Pasal 86 ayat (1), Pasal 87, Pasal 90) tidak bertentanganngan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (khususnya Pasal Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 31 ayat (1) dan (4)).

II.     Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pembukaan UUD 1945, diantaranya: “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ... berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan       sosial ...”. Untuk untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, berdasarkan Pasal 31 UUD 1945 dinyatakan setiap orang berhak mendapatkan pendidikan dan mengamanatkan agar Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang, serta agar Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
          Berdasarkan amanat Pasal 31 UUD 1945, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memberikan kerangka yang jelas kepada Pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan nasional, dan khusus untuk Perguruan Tinggi diterbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT).
        Dasar pertimbangan diterbitkannya UUPT, yaitu: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia; b. pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan; c. untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan bangsa; d. untuk mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kepentingan masyarakat bagi kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan, diperlukan penataan pendidikan tinggi secara terencana, terarah, dan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek demografis dan geografis; e. untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan tinggi diperlukan pengaturan sebagai dasar dan kepastian hukum.
Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.  Satuan pendidikan yang melenggaran Pendidikan Tinggi  yaitu  Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi tersebut dapat berupa Perguruan Tinggi yang didirikan  dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah (disingkat PTN) dan Perguruan Tinggi yang yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat (disingkat PTS).
PTN maupun PTS berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 2 UUPT), Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika, dengan berasaskan (Pasal 3 UUPT): a. kebenaran ilmiah; b. penalaran; c. kejujuran; d. keadilan; e. manfaat; f. kebajikan; g. tanggung jawab; h. kebhinnekaan; dan i. Keterjangkauan, serta berfungsi (Pasal 4 UUPT): a. mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; b. mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan c. mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora, dengan tujuan (Pasal 5 UUPT): a. berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; b. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; c. dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan d. terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
     Selanjutnya, Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip (Pasal 6 UUPT): a. pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika; b. demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa; c. pengembangan budaya akademik dan pembudayaan kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika; d. pembudayaan dan pemberdayaan bangsa yang berlangsung sepanjang hayat; e. keteladanan, kemauan, dan pengembangan kreativitas Mahasiswa dalam pembelajaran; f. pembelajaran yang berpusat pada Mahasiswa dengan memperhatikan lingkungan secara selaras dan seimbang; g. kebebasan dalam memilih Program Studi berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan Mahasiswa; h. satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna; i. keberpihakan pada kelompok Masyarakat kurang mampu secara ekonomi; dan j. pemberdayaan semua komponen Masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan Pendidikan Tinggi.
         Tanggung jawab atas menyelenggarakan pendidikan tinggi (Pasal 7 UUPT), yaitu Menteri menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan (dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional). Tanggungjawab Mendikbud atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, yaitu: mencakup pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi. Selanjutnya, tugas dan wewenang Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi meliputi: a. kebijakan umum dalam pengembangan dankoordinasi Pendidikan Tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Tinggi; b. penetapan kebijakan umum nasional dan penyusunan rencana pengembangan jangka panjang, menengah, dan tahunan Pendidikan Tinggi yang berkelanjutan; c. peningkatan penjaminan mutu, relevansi, keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan, dan akses Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan; d. pemantapan dan peningkatan kapasitas pengelolaan akademik dan pengelolaan sumber daya Perguruan Tinggi; e. pemberian dan pencabutan izin yang berkaitan dengan penyelenggaraan Perguruan Tinggi kecuali pendidikan tinggi keagamaan; f. kebijakan umum dalam penghimpunan dan pendayagunaan seluruh potensi masyarakat untuk mengembangkan Pendidikan Tinggi; g. pembentukan dewan, majelis, komisi, dan/atau konsorsium yang melibatkan Masyarakat untuk merumuskan kebijakan pengembangan Pendidikan Tinggi; dan h. Pelaksanaan tugas lain untuk menjamin pengembangan dan pencapaian tujuan Pendidikan Tinggi.
       Memperhatikan dasar pertimbangan UUPT berikut Pasal 2 sampai dengan Pasal 7 UUPT, terlihat bahwa UUPT telah memberikan kerangka yang jelas kepada Pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan nasional (khususnya untuk Perguruan Tinggi) terkait dengan pelaksanaan hak asasi manusia  mengenai mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum (rights to equality of law) khususnya hak mendapatkan pendidikan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

III.          Paham liberal menekankan kepada kemerdekaan individu untuk mengurus dirinya sendiri, yang jika kebablasan akhirnya akan mengingkari akan kebebasan orang lain, oleh karena itu kebebasan individu harus berhenti jika berhadapan dengan individu lainnyasebagai mitra hidup bersama. Telah dilampauinya batas-batas paham liberal saat ini menyebabkan menentang berbagai jenis kekuasaan yang membatasi kebebasan seseorang, sehingga memunculkan neoliberalisme yang memberikan kekuasaan yang besar terhadap seseorang baik dalam kehidupan bersama, kehidupan bernegara, kehidupan ekonomi dan sosial budaya.
      Neoliberalisme dapat memasuki dunia pendidikan dengan lahirnya sistem pendidikan yang memberikan privilege kepada golongan yang mampu dan tidak memperhatikan kebutuhan akan pendidikan yang demokratis bagi semua rakyat. Neoliberalisme juga dapat memasuki pendidikan tinggi dalam bentuk organisasi yang dikuasai oleh kekuatan modal, oleh kekuatan ekonomi privatisasi sehingga menjadi pengarah bagi kehidupan dunia pendidikan tinggi (universitas/perguruan tinggi). Neoliberalisasi pendidikan tinggi dapat berupa bentuk efesiensi semu dari lembaga pendidikan tinggi sehingga melupakan/mengorbankan “academic excellence” dalam visinya mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan untuk kebahagian masyarakat.
       Neoliberalisasi pendidikan tinggi tidak mendapat tempat dalam UUPT, oleh karena UUPT menyatakan perguruan tinggi sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteran umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perguruan tinggi dalam mewujudkan dharma pendidikan, menghasilkan intelektual, ilmuwan dan/atau profesional yang berbudaya, kreatif, toleran, demokratis, dan berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran demi kepentingan bangsa dan umat manusia.
     Perguruan tinggi sebagai milik publik yang memiliki nilai-nilai demokratis yang luhur perlu dibentengi dengan kekuatan civil society dalam kampus pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan tinggi perlu dikelola secara demokratis dan lembaga (seperti Majelis Wali Amanah Pendidikan Tinggi) akan menepati ruang-ruang publik yang berfungsi mengontrol kekuatan-kekuatan corporate culture, sehingga lembaga tersebut merupakan suatu lembaga civil society di mana kebutuhan umum lebih dipentingkan daripada pertimbangan-pertimbangan komersial.
      UUPT menegaskan bahwa pendirian dan penyelenggaran otonomi perguruan tinggi Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi  (Pasal 60 dan Pasal 63 UUPT) dilaksanakan berdasarkan prinsip: a. akuntabilitas; b. transparansi; c. nirlaba; d. penjaminan mutu; dan e. efektivitas dan efisiensi. Prinsip nirlaba akan menjadikan perguruan tinggi bukan sebagai badan usaha komersial. “Prinsip nirlaba” merupakan prinsip kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.
           Selanjutnya, Indonesia memerlukan suatu upaya yang luar biasa untuk meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan mutu tersebut terkait dengan mutu pengajarnya, kelengkapan proses belajar dan mengajar, dan ketersedian biaya pendidikan yang memadai. UUPT telah memberikan pengaturan yang jelas untuk itu, misalnya: mutu pengajar, kelengkapan proses belajar mengajar sebagaimana diatur dalam Pasal 51 – 57, 69 -72 UUPT, ketersediaan biaya pendidikan yang memadai sebagaimana diatur dalam Pasal 73 -76, 83 - 89 UUPT.
            Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berdasarkan Pasal 65 UUPT dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.
            PTN badan hukum berdasarkan Pasal 65 ayat (3) UUPTN, memiliki: a. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah; b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri; c. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; d. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel; e. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan; f. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan g. wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 65 ayat (4) UUPT, Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi Pendidikan Tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat.
          PTN badan hukum sebagaimana dimaksud dalam UUPT sebagai perguruan tinggi yang menghasilkan pendidikan tinggi yang bermutu dan melenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau oleh masyarakat. Pendidikan tinggi yang bermutu mengunggulkan kualitas dan menerapkan sistem evaluasi dan standardisasi bertahap dengan benchmarks yang jelas. Artinya, penyelenggaraan otonomi PTN oleh PTN badan hukum menjadikan PTN tersebut dapat berkembang lebih pesat dan tetap sebagai academic excellence serta sebagai benteng penjaga kebenaran dan memajukan ilmu pengetahuan, sehingga PTN badan hukum merupakan pion-pion terdepan di dalam mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang dapat bersaing di dalam kesempatan terbuka dunia global yang semakin menyempit. Dengan demikian, keberadaan PTN badan hukum akan mempercepat tercapainya apa yang menjadi tujuan pelaksanaan pemenuhan atas pelaksanaan hak asasi manusia  mengenai mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum (rights to equality of law) khususnya hak mendapatkan pendidikan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

IV.       Perguruan tinggi mengembangkan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi ilmu pengetahuan. Hal ini memerlukan otonomi perguruan tinggi. Proses menuju otonomi perguruan tinggi terkait dengan pengembangan budaya profesionalisme dengan ciri-ciri memilki keahlian (expertise), tanggung jawab (responsibility), dan kesejawatan (corporateness). Budaya profesionalisme berdampak terhadap keluaran (output) perguruan tinggi dengan dihasilkannya sarjana-sarjana profesional yang juga menjadi agen dalam perubahan masyarakat serta mampu menjadi modernising force dalam kehidupan masyarakat secara luas.
          Kebebasan Akademik dan Otonomi Perguruan Pendidikan Tinggi merupakan hal yang penting. Menyimak deklarasi para rektor-rektor perguruan tinggi dunia di Lima (ibu kota Peru) pada bulan Oktober 1989 menyatakan pentingnya Kebebasan Akademik dan Otonomi Perguruan Pendidikan Tinggi (Academic Freedom and Autonomy of Higher Education) bahwa: otonomi perguruan tinggi mengandung pengertian memiliki independensi atau kebebasan dalam mengambil keputusan dan merumuskan kebijakan yang menyangkut pengelolaan administrasi, keuangan, pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, kerja sama dan aktivitas lain yang berkaitan, tanpa campur tangan (intervensi) pemerintah atau kekuatan lain; seluruh anggota masyarakat akademik memiliki hak untuk menjalankan tugasnya tanpa diskriminasi dan tanpa rasa takut akan adanya gangguan, larangan, atau represi dari mana pun; para peneliti dari kalangan kampus memiliki hak untuk melakukan kegiatan penelitian tanpa kekangan atau campur tangan dari pihak lain, berdasarkan prinsip dan metode penelitian ilmiah yang universal. Mereka juga berhak untuk mengomunikasikan, menyebarluaskan atau mempublikasikan hasil-hasil temuannya tanpa adanya sensor dari pihak mana pun; semua lembaga pendidikan tinggi: a. wajib berupaya memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, kultural, dan politik dari masyarakat serta mencegah penyalahgunaan ilmu dan teknologi yang menyalahi hak-hak tersebut; semua lembaga pendidikan tinggi harus aktif berperan serta dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsanya dan harus kritis terhadap kondisi aktual, seperti represi politik dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, b. memperkokoh solidaritas dengan lembaga lain yang serupa dan dengan anggota masyarakat akademik secara individual bilamana mereka menghadapi bencana atau tuntutan dari pihak lain. Solidaritas tersebut bisa dalam wujud moral maupun material, yang mencakup juga para pengungsi serta penyediaan pendidikan dan lapangan pekerjaan bagi para korban, c. berusaha mencegah ketergantungan ilmu dan teknologi serta mengupayakan kemitraan yang setara dengan seluruh komunitas akademik di dunia dalam pengembangan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Harus lebih digalakkan kerja sama akademik dalam skala internasional, melampaui batas-batas regional, politik, dan batas-batas penghambat lain, d. menjamin partisipasi para mahasiswa dalam organisasi-organisasi mereka, baik secara individual maupun kolektif, untuk menyampaikan pendapat atau opininya dalam setiap masalah yang berkala nasional maupun internasional, dan otonomi perguruan tinggi harus dilaksanakan dengan cara-cara yang demokratis dalam wujud self-government, dengan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh komunitas akademik yang bersangkutan.
Pemahaman mengenai otonomi pendidikan tinggi perlu secara multidimensi sebagaimana disebut di atas. Paradigma pendidikan didasarkan pembebasan dan pemberdayaan, yang mengandung semangat demokratisasi pendidikan yang  mengakui pluralisme, keberagaman, atau kemajemukan. Orientasi pendidikan lebih ditekankan pada aspek yang berkaitan dengan pencarian alternatif pemecahan masalah aktual dilandasi kajian ilmiah yang diperkuat dengan landasan moral dan hati nurani.
Otonomi pendidikan tinggi tidak menjadikan perguruan tinggi negeri harus membiayai dirinya sendiri. Sehingga para pengelola perguruan tinggi negeri perlu mencari terobosan baru untuk fund raising, misalnya: merangkul dunia bisnis/industri, menjalin kerja sama baik dengan pihak ketiga, melakukan kegiatan penelitian dengan dana dari dalam maupun mancanegara. Namun demikian, pemerintah tetap harus berkontribusi secara financial dalam penyelenggaran perguruan tinggi. Tujuan otonomi perguruan tinggi itu sama sekali bukan untuk komersialisasi pendidikan, sehingga otonomi perguruan tinggi tidak dipahami dari kacamata ekonomis yang menjadikan orang tua mahasiswa, dalam relasinya dengan lembaga pendidikan, sekedar sebagai obyek penarikan dana. Otonomi perguruan tinggi melibatkan dimensi partisipatif (kesinambungan pendampingan orang tua), komunikatif (sistem kontrol dan propositif atas transparansi keuangan dan perencanaan, program format perguruan tinggi), dan konsiliatif (keterbukaan untuk menerima masukan dari masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang di tawarkan).

V.           Ketentuan-ketentuan pasal dari UUPT tidak dapat dilihat secara terpisah atau tersendiri, melainkan harus dilihat secara keseluruhan dengan pasal-pasal lainnya. Dalam ketentuan UU tersebut terdapat jalinan norma dan pasal-pasal yang perlu dianalisis secara utuh, artinya pasal-pasal dalam UUPT saling terkait atau adanya keterkaitan satu dengan yang lain. Oleh karena itu kita harus mempelajari jalinan pasal-pasal dalam UUPT, bagaimana hubungan antara satu pasal dengan pasal-pasal lain dan yang paling penting apa yang mendasari dan menjadi latar belakang dari pasal-pasal tersebut serta nilai-nilai dan semangat yang terdapat dalam jalinan pasal-pasal tersebut.
       Ketentuan Pasal 64 UUPT tidak menyebabkan terjadinya komersialisasi pada PTN. Pembentuk UU sudah menegaskan bahwa pendidikan secara filosofis idealistik bukan komersialisasi (dengan ciri yang tujuannya untuk mengejar keuntungan), sebab prinsip otonomi  PTN diantaranya dilaksanakan dengan prinsip NIRLABA (Pasal 63 UUPT). PTN tidak pernah membagi keuntungan pada rektor, dekan, dosen, dan tenaga kependidikan. Dana yang tersisa dari pengelolaan PTN diperuntukkan bagi kepentingan peningkatan sarana dan prasarana di PTN tersebut. Selanjutnya, ketentuan Pasal 64 UUPT, tidak menetapkan Pengelolaan Keuangan sebagaimana layaknya sebuah Korporasi. PTN dan PTN yang diberikan  dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU serta PTN- bh untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu, mengelola keuangan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 64 ayat (5) UUPT.
         PTN-bh tidak dapat dikatakan korporasi dan bukan pula “seperti korporasi” karena PTN-bh didirikan bukan dari kumpulan modal pemegang saham, tetapi berasal dari pemisahan keuangan negara. Korporasi mengenal adanya shareholders, tetapi dalam PTN-bh hal itu tidak dikenal, melainkan adanya stakeholders (pemangku kepentingan) yang meliputi masyarakat, dan alumni.
        Penyerahan otonomi non akademik sebagai sebagaimana diatur dalam Pasal 64 UUPT, bukan melepaskan tanggungjawab dan kontrol negara terhadap pendidikan tinggi yang berkeadilan dan diskriminatif. Otonomi  non akademik diserahkan oleh UU kepada PT sebagai penyerahan yang sah menurut hukum, karena otonomi non akademik yang diserahkan tersebut bukan pelepasan tanggungjawab melainkan untuk upaya meningkatkan kualitas akademik.  Otonomi non akademik ini berkeadilan dan tidak bersifat diskriminatif, oleh karena UU sudah menetapkan pembagian PTN dan PTN-bh untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu.
        Berdasarkan ketentuan Pasal 51 s/d Pasal 57 UUPT ditetapkan Penjaminan Mutu dengan melaksanakan Sistem Penjamiman Mutu (Pasal 51 s/d Pasal 53 UUPT), melaksanakan Standard Pendidikan Tinggi (Pasal 54 UUPT), melaksanakan Akreditasi (Pasal 55 UUPT), memiliki Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (Pasal 56 UUPT) dan memiliki Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (Pasal 57 UUPT). Selanjutnya UUPT menetapkan adanya alokasi sedikit 20 % untuk masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi  tetapi memiliki potensi akademik tinggi baik dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk memasuki PTN (Pasal 74 UUPT).
      Sejalan dengan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, UUPT juga tidak bertentangan dengan  pasal tersebut, oleh karenanya setiap mahasiswa yang ingin memasuki PTN memiliki kesempatan yang sama tanpa membedakan agama, warna kulit, suku, dan ras tetapi berbasis kepada kemampuan intelektual dalam rangka mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain. Artinya, UUPT telah menderivasi Konstitusi yang ide (cita-cita hukum)-nya sejalan, selaras, dan harmonis  sehingga tidak terjadi antinomi hukum di dalamnya.
     Ketentuan Pasal 64 UUPT juga tidak membuka kesempatan pada PTN yang bersangkutan untuk melakukan Abuse Of Power dalam bidang Ketenagaan, oleh karena sistem perekrutan, pengangkatan, pemberhentian, penskoran pegawai perguruan tinggi tunduk kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, perguruan tinggi memiliki kebijakan untuk mengelola dosen dan tenaga kependidikan sesuai keahlian dan profesionalisme dalam meningkatkan kualitas penyelenggaran pendidikan di PT (Pasal 69 UUPT s/d Pasal 72 UUPT).
     Ketentuan Pasal 65 UUPT tidak menjadikan PTN-bh layaknya barang privat. UUPT baik secara eksplisit maupun implisit (asas, dan norma hukum) dalam pelaksanaannya sama sekali tidak mencerminkan sebagai barang privat (private goods) hal ini dapat dibuktikan secara empirik, tidak satu pun para rektor, dekan, dosen, tenaga kependidikan mengambil keuntungan/laba untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan tersebut. Selain itu sistem pertanggungjawaban   PTN-bh dilakukan kepada otoritas publik (kepada Menteri, Dirjen, BPK, BPKP) dan bukan pada badan swasta (privat).
      PTN berdasarkan Pasal 6 UUPT memiliki prinsip antara lain demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa, serta kebebasan dalam memilih Program Studi berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan mahasiswa. Kebebasan dalam memilih Program Studi juga berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan mahasiswa, keberpihakan pada kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi. Kemudian, Pasal 74 ayat (1) UUPT mewajibkan PTN untuk mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki Potensi Akademik Tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi. Hal ini menunjukkan Perguruan Tinggi sebagai memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan keterjangkauan masyarakat namun memiliki potensi akademik yang tinggi. Kemudian juga, perguruan tinggi bukan satu-satunya tempat bagi generasi muda untuk mengembangkan kemampuan, karena perguruan tinggi sebagai lembaga yang berbasis kemampuan intelektual memang mengharuskan kemampuan akademik yang sesuai, sehingga wajar jika PTN mencari dan menjaring mahasiswa yang memiliki potensi akademik.
     Selanjutnya, kerjasama antara PTN dengan dunia usaha dapat membangun dunia pendidikan. PTN dan dunia usaha saling membutuhkan satu sama lain. Berdasarkan Pasal 83 UUPT, 84 UUPT, dan 85 UUPT, Pemerintah dan pemerintah daerah, masyarakat menyediakan dana bagi PTN yang dapat berupa hibah, wakaf, zakat dan sebagainya. Sedangkan yang berkaitan dengan dunia usaha dan industri, pemerintah hanya memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri untuk memberikan bantuan dana pada PTN. Maka kekhawatiran tentang pergeseran paradigma PTN menjadi lembaga yang profit oriented sangat tidak beralasan.
          Ketentuan Pasal 90 UUPT, juga tidak menghambat pemenuhan hak konstitusional hak warga negara atas pendidikan (khususnya Pendidikan Tinggi), serta tidak melanggar kewajiban konstitusional pemerintah untuk menyediakan pembiayaan bagi pendidikan tinggi. Pemberian izin kepada Perguruan Tinggi lembaga negara lain di Wilayah Indonesia, tidak bertentangan dengan kewajiban Negara melalui PTN untuk menyelenggarakan Pendidikan Tinggi oleh karena Perguruan Tinggi negara lain tersebut wajib mendukung kepentingan nasional (Pasal 90 ayat 4 UUPT). Perguruan Tinggi negara lain baru dapat menyelengarakan pendidikan di wilayah RI jika telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta memiliki (memenuhi) syarat yang ketat dan selektif, yaitu memiliki izin pemerintah, berprinsip nirlaba, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin pemerintah, mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan WNI dan wajib mendukung kepentingan nasional.

VI.          UUPT telah sejalan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (khususnya Pasal Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 31 ayat (1) dan (4)). Selanjutnya, diperlukan komitmen seluruh komponen masyarakat Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi nasional sebagaimana di atur dalam UUPT.

-o0o-

Daftar Bacaan:
Muladi, 2002,Demokratisasi, hak asasi manusia, dan reformasi hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta.
Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati (penyunting), 1998, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) – 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Tilaar, H.A.R., 2004, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Grasindo, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Widjaya, H.A.W., 2000, Penerapan Nilai-Nilai Pancasila dan Hak Asasi Manusia di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Zulkarnain Nasution, 2010,  Apa itu ”Otonomi” Perguruan Tinggi? http://berkarya.um.ac.id/2010/02/10/apa-itu-%E2%80%9Dotonomi%E2%80%9D-perguruan-tinggi/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar