UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN
TINGGI
BERTENTANGAN DENGAN
UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ?
Oleh :
Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS.
I.
Pengujian
secara juridis (judicial review)
terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT)
yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada saat ini terkait dengan pelaksanaan
hak asasi manusia, mengenai hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama
dalam hukum (rights to equality of law)
khususnya dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Hak asasi sosial
budaya (social and culture rights)
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal
31 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
khususnya mengenai hak mendapatkan pendidikan dan negara memprioritaskan
anggaran paling sedikit 20 (dua
puluh) persen dari anggaran pendapatan
dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaran pendidikan nasional.
Pasal-pasal
UUPT yang diajukan mengajukan
Permohonan Yudicial Review terhadap beberapa pasal dari UUPT antara lain: Pasal
64, Pasal 65 ayat (1), Pasal 73, Pasal 74 ayat (1), Pasal 86 ayat (1), Pasal
87, Pasal 90.
Mahkamah
Konsitusi berdasarkan kewenangan, diantaranya berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan kewenangannya tersebut, Mahkamah Konsitusi menjalankan
fungsinya sebagai penafsir konstitusi dengan
menjelaskan makna kandungan kata atau kalimat, menyempurnakan atau melengkapi,
bahkan membatalkan sebuah undang-undang jika dianggap bertentangan dengan
konstitusi, serta mengawal tegaknya demokrasi di Indonesia.
Berdasarkan permohonan yang diajukan,
yang menjadi inti untuk ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu apakah UUPT
(khususnya Pasal Pasal
64, Pasal 65 ayat (1), Pasal 73, Pasal 74 ayat (1), Pasal 86 ayat (1), Pasal
87, Pasal 90) tidak bertentanganngan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (khususnya Pasal Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 31 ayat (1) dan (4)).
II. Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pembukaan UUD 1945, diantaranya: “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ...
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial ...”. Untuk untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, berdasarkan Pasal 31 UUD 1945 dinyatakan
setiap orang berhak mendapatkan pendidikan dan mengamanatkan agar Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam
undang-undang, serta agar Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Berdasarkan amanat Pasal
31 UUD 1945, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memberikan kerangka yang jelas kepada
Pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan nasional, dan khusus untuk
Perguruan Tinggi diterbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi (UUPT).
Dasar pertimbangan diterbitkannya
UUPT, yaitu: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia; b. pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan
menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia
yang berkelanjutan; c. untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi
globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan intelektual,
ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis,
berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan bangsa;
d. untuk mewujudkan
keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan
tinggi yang bermutu dan relevan dengan kepentingan masyarakat bagi kemajuan,
kemandirian, dan kesejahteraan, diperlukan penataan pendidikan tinggi secara
terencana, terarah, dan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek demografis dan
geografis; e. untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan tinggi diperlukan
pengaturan sebagai dasar dan kepastian hukum.
Pendidikan
Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup
program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program
profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi
berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.
Satuan pendidikan yang melenggaran Pendidikan Tinggi yaitu
Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi tersebut dapat berupa Perguruan
Tinggi yang didirikan dan/atau
diselenggarakan oleh Pemerintah (disingkat PTN) dan Perguruan Tinggi yang yang
didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat (disingkat PTS).
PTN
maupun PTS berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (Pasal 2 UUPT), Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal
Ika, dengan berasaskan (Pasal 3 UUPT): a. kebenaran ilmiah; b. penalaran; c.
kejujuran; d. keadilan; e. manfaat; f. kebajikan; g. tanggung jawab; h.
kebhinnekaan; dan i. Keterjangkauan, serta berfungsi (Pasal 4 UUPT): a.
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; b. mengembangkan
Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing,
dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan c. mengembangkan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora,
dengan tujuan (Pasal 5 UUPT): a. berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya
untuk kepentingan bangsa; b. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan
dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya
saing bangsa; c. dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui
Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat
bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia;
dan d. terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian
yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Selanjutnya, Pendidikan Tinggi
diselenggarakan dengan prinsip (Pasal 6 UUPT): a. pencarian kebenaran ilmiah
oleh Sivitas Akademika; b. demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya,
kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa; c. pengembangan budaya akademik
dan pembudayaan kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika; d. pembudayaan dan
pemberdayaan bangsa yang berlangsung sepanjang hayat; e. keteladanan, kemauan,
dan pengembangan kreativitas Mahasiswa dalam pembelajaran; f. pembelajaran yang
berpusat pada Mahasiswa dengan memperhatikan lingkungan secara selaras dan
seimbang; g. kebebasan dalam memilih Program Studi berdasarkan minat, bakat,
dan kemampuan Mahasiswa; h. satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka
dan multimakna; i. keberpihakan pada kelompok Masyarakat kurang mampu secara
ekonomi; dan j. pemberdayaan semua komponen Masyarakat melalui peran serta
dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan Pendidikan Tinggi.
Tanggung jawab atas menyelenggarakan
pendidikan tinggi (Pasal 7 UUPT), yaitu Menteri menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pendidikan (dalam hal ini Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nasional). Tanggungjawab Mendikbud atas penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi, yaitu: mencakup pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan
evaluasi serta pembinaan dan koordinasi. Selanjutnya, tugas dan wewenang
Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi meliputi: a. kebijakan umum
dalam pengembangan dankoordinasi Pendidikan Tinggi sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Tinggi; b. penetapan
kebijakan umum nasional dan penyusunan rencana pengembangan jangka panjang,
menengah, dan tahunan Pendidikan Tinggi yang berkelanjutan; c. peningkatan
penjaminan mutu, relevansi, keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan, dan akses
Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan; d. pemantapan dan peningkatan kapasitas
pengelolaan akademik dan pengelolaan sumber daya Perguruan Tinggi; e. pemberian
dan pencabutan izin yang berkaitan dengan penyelenggaraan Perguruan Tinggi
kecuali pendidikan tinggi keagamaan; f. kebijakan umum dalam penghimpunan dan
pendayagunaan seluruh potensi masyarakat untuk mengembangkan Pendidikan Tinggi;
g. pembentukan dewan, majelis, komisi, dan/atau konsorsium yang melibatkan
Masyarakat untuk merumuskan kebijakan pengembangan Pendidikan Tinggi; dan h.
Pelaksanaan tugas lain untuk menjamin pengembangan dan pencapaian tujuan
Pendidikan Tinggi.
Memperhatikan dasar pertimbangan
UUPT berikut Pasal 2 sampai dengan Pasal 7 UUPT, terlihat bahwa UUPT telah
memberikan kerangka yang jelas kepada Pemerintah dalam menyelenggarakan
pendidikan nasional (khususnya untuk Perguruan Tinggi) terkait dengan
pelaksanaan hak asasi
manusia mengenai mendapatkan perlakuan
yang sama dalam hukum (rights to equality
of law) khususnya hak mendapatkan pendidikan sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 31
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
III. Paham liberal menekankan kepada kemerdekaan
individu untuk mengurus dirinya sendiri, yang jika kebablasan akhirnya akan
mengingkari akan kebebasan orang lain, oleh karena itu kebebasan individu harus
berhenti jika berhadapan dengan individu lainnyasebagai mitra hidup bersama.
Telah dilampauinya batas-batas paham liberal saat ini menyebabkan menentang
berbagai jenis kekuasaan yang membatasi kebebasan seseorang, sehingga
memunculkan neoliberalisme yang
memberikan kekuasaan yang besar terhadap seseorang baik dalam kehidupan
bersama, kehidupan bernegara, kehidupan ekonomi dan sosial budaya.
Neoliberalisme dapat memasuki dunia
pendidikan dengan lahirnya sistem pendidikan yang memberikan privilege kepada golongan yang mampu dan
tidak memperhatikan kebutuhan akan pendidikan yang demokratis bagi semua rakyat.
Neoliberalisme juga dapat memasuki pendidikan tinggi dalam bentuk organisasi
yang dikuasai oleh kekuatan modal, oleh kekuatan ekonomi privatisasi sehingga
menjadi pengarah bagi kehidupan dunia pendidikan tinggi (universitas/perguruan
tinggi). Neoliberalisasi pendidikan
tinggi dapat berupa bentuk efesiensi semu dari lembaga pendidikan tinggi
sehingga melupakan/mengorbankan “academic
excellence” dalam visinya mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan
untuk kebahagian masyarakat.
Neoliberalisasi
pendidikan tinggi tidak mendapat tempat dalam UUPT, oleh karena UUPT
menyatakan perguruan tinggi sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa, dengan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan
kesejahteran umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perguruan
tinggi dalam mewujudkan dharma pendidikan, menghasilkan intelektual, ilmuwan
dan/atau profesional yang berbudaya, kreatif, toleran, demokratis, dan
berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran demi kepentingan bangsa dan
umat manusia.
Perguruan
tinggi sebagai milik publik yang memiliki nilai-nilai demokratis yang luhur
perlu dibentengi dengan kekuatan civil society dalam kampus pendidikan tinggi.
Lembaga pendidikan tinggi perlu dikelola secara demokratis dan lembaga (seperti
Majelis Wali Amanah Pendidikan Tinggi) akan menepati ruang-ruang publik yang
berfungsi mengontrol kekuatan-kekuatan corporate
culture, sehingga lembaga tersebut merupakan suatu lembaga civil society di mana kebutuhan umum
lebih dipentingkan daripada pertimbangan-pertimbangan komersial.
UUPT menegaskan bahwa pendirian dan
penyelenggaran otonomi perguruan tinggi Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi (Pasal 60 dan Pasal 63 UUPT) dilaksanakan berdasarkan
prinsip: a. akuntabilitas; b. transparansi; c. nirlaba; d. penjaminan mutu; dan e. efektivitas dan efisiensi.
Prinsip nirlaba akan menjadikan perguruan tinggi bukan sebagai badan usaha
komersial. “Prinsip nirlaba” merupakan prinsip kegiatan yang tujuannya tidak
untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus
ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau
mutu layanan pendidikan.
Selanjutnya, Indonesia memerlukan
suatu upaya yang luar biasa untuk meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan
mutu tersebut terkait dengan mutu pengajarnya, kelengkapan proses belajar dan
mengajar, dan ketersedian biaya pendidikan yang memadai. UUPT telah memberikan
pengaturan yang jelas untuk itu, misalnya: mutu pengajar, kelengkapan proses
belajar mengajar sebagaimana diatur dalam Pasal 51 – 57, 69 -72 UUPT, ketersediaan
biaya pendidikan yang memadai sebagaimana diatur dalam Pasal 73 -76, 83 - 89
UUPT.
Penyelenggaraan otonomi Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) berdasarkan Pasal 65 UUPT dapat diberikan secara selektif
berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum
untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.
PTN badan hukum berdasarkan Pasal 65
ayat (3) UUPTN, memiliki: a. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang
dipisahkan kecuali tanah; b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara
mandiri; c. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; d.
hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel; e. wewenang
mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan; f.
wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan g. wewenang
untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi. Selanjutnya,
berdasarkan Pasal 65 ayat (4) UUPT, Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan
hukum untuk menyelenggarakan fungsi Pendidikan Tinggi yang terjangkau oleh
Masyarakat.
PTN badan hukum sebagaimana dimaksud
dalam UUPT sebagai perguruan tinggi yang menghasilkan pendidikan tinggi yang
bermutu dan melenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau oleh
masyarakat. Pendidikan tinggi yang bermutu mengunggulkan kualitas dan
menerapkan sistem evaluasi dan standardisasi bertahap dengan benchmarks yang jelas. Artinya,
penyelenggaraan otonomi PTN oleh PTN badan hukum menjadikan PTN tersebut dapat
berkembang lebih pesat dan tetap sebagai academic
excellence serta sebagai benteng penjaga kebenaran dan memajukan ilmu
pengetahuan, sehingga PTN badan hukum merupakan pion-pion terdepan di dalam
mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang dapat bersaing di dalam
kesempatan terbuka dunia global yang semakin menyempit. Dengan demikian,
keberadaan PTN badan hukum akan mempercepat tercapainya apa yang menjadi tujuan
pelaksanaan pemenuhan atas pelaksanaan hak
asasi manusia mengenai mendapatkan
perlakuan yang sama dalam hukum (rights
to equality of law) khususnya hak mendapatkan pendidikan sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4)
dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
IV. Perguruan tinggi mengembangkan kebebasan
akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi ilmu pengetahuan. Hal ini
memerlukan otonomi perguruan tinggi. Proses menuju otonomi perguruan tinggi
terkait dengan pengembangan budaya profesionalisme dengan ciri-ciri memilki
keahlian (expertise),
tanggung jawab (responsibility),
dan kesejawatan (corporateness).
Budaya profesionalisme berdampak terhadap keluaran (output) perguruan tinggi
dengan dihasilkannya sarjana-sarjana profesional yang juga menjadi agen dalam
perubahan masyarakat serta mampu menjadi modernising
force dalam kehidupan masyarakat secara luas.
Kebebasan
Akademik dan Otonomi Perguruan Pendidikan Tinggi merupakan hal yang penting.
Menyimak deklarasi para rektor-rektor perguruan tinggi dunia di Lima (ibu kota
Peru) pada bulan Oktober 1989 menyatakan pentingnya
Kebebasan Akademik dan Otonomi Perguruan Pendidikan Tinggi (Academic Freedom and Autonomy of
Higher Education) bahwa: otonomi perguruan tinggi mengandung
pengertian memiliki independensi atau kebebasan dalam mengambil keputusan dan
merumuskan kebijakan yang menyangkut pengelolaan administrasi, keuangan,
pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, kerja sama dan aktivitas lain
yang berkaitan, tanpa campur tangan (intervensi) pemerintah atau kekuatan lain;
seluruh anggota masyarakat akademik memiliki hak untuk menjalankan tugasnya
tanpa diskriminasi dan tanpa rasa takut akan adanya gangguan, larangan, atau
represi dari mana pun; para peneliti dari kalangan kampus memiliki hak untuk
melakukan kegiatan penelitian tanpa kekangan atau campur tangan dari pihak
lain, berdasarkan prinsip dan metode penelitian ilmiah yang universal. Mereka
juga berhak untuk mengomunikasikan, menyebarluaskan atau mempublikasikan
hasil-hasil temuannya tanpa adanya sensor dari pihak mana pun; semua lembaga
pendidikan tinggi: a. wajib berupaya memenuhi hak-hak ekonomi, sosial,
kultural, dan politik dari masyarakat serta mencegah penyalahgunaan ilmu dan
teknologi yang menyalahi hak-hak tersebut; semua lembaga pendidikan tinggi
harus aktif berperan serta dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
masyarakat dan bangsanya dan harus kritis terhadap kondisi aktual, seperti
represi politik dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, b. memperkokoh
solidaritas dengan lembaga lain yang serupa dan dengan anggota masyarakat
akademik secara individual bilamana mereka menghadapi bencana atau tuntutan
dari pihak lain. Solidaritas tersebut bisa dalam wujud moral maupun material,
yang mencakup juga para pengungsi serta penyediaan pendidikan dan lapangan
pekerjaan bagi para korban, c. berusaha mencegah ketergantungan ilmu dan
teknologi serta mengupayakan kemitraan yang setara dengan seluruh komunitas
akademik di dunia dalam pengembangan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Harus lebih digalakkan kerja sama akademik dalam skala internasional, melampaui
batas-batas regional, politik, dan batas-batas penghambat lain, d. menjamin
partisipasi para mahasiswa dalam organisasi-organisasi mereka, baik secara
individual maupun kolektif, untuk menyampaikan pendapat atau opininya dalam
setiap masalah yang berkala nasional maupun internasional, dan otonomi
perguruan tinggi harus dilaksanakan dengan cara-cara yang demokratis dalam
wujud self-government, dengan melibatkan partisipasi
aktif dari seluruh komunitas akademik yang bersangkutan.
Pemahaman mengenai otonomi pendidikan tinggi
perlu secara multidimensi sebagaimana disebut di atas. Paradigma
pendidikan didasarkan pembebasan dan pemberdayaan, yang mengandung
semangat demokratisasi pendidikan yang mengakui pluralisme, keberagaman, atau
kemajemukan. Orientasi pendidikan lebih ditekankan pada aspek yang berkaitan
dengan pencarian alternatif pemecahan masalah aktual dilandasi kajian ilmiah
yang diperkuat dengan landasan moral dan hati nurani.
Otonomi pendidikan tinggi tidak menjadikan perguruan
tinggi negeri harus membiayai dirinya sendiri. Sehingga para pengelola
perguruan tinggi negeri perlu mencari terobosan baru untuk fund raising, misalnya:
merangkul
dunia bisnis/industri, menjalin kerja sama baik dengan pihak
ketiga, melakukan kegiatan penelitian dengan dana dari dalam maupun mancanegara.
Namun demikian, pemerintah tetap harus berkontribusi secara financial
dalam penyelenggaran perguruan tinggi. Tujuan otonomi perguruan
tinggi itu sama sekali bukan untuk komersialisasi pendidikan,
sehingga otonomi perguruan tinggi tidak dipahami dari kacamata
ekonomis yang menjadikan orang tua mahasiswa, dalam relasinya dengan lembaga
pendidikan, sekedar sebagai obyek penarikan dana. Otonomi perguruan
tinggi melibatkan dimensi partisipatif (kesinambungan pendampingan orang
tua), komunikatif (sistem kontrol dan propositif atas transparansi keuangan dan
perencanaan, program format perguruan tinggi), dan konsiliatif (keterbukaan
untuk menerima masukan dari masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang
di tawarkan).
V.
Ketentuan-ketentuan pasal dari UUPT tidak dapat dilihat
secara terpisah atau tersendiri, melainkan harus dilihat secara keseluruhan
dengan pasal-pasal lainnya. Dalam ketentuan UU tersebut terdapat jalinan norma
dan pasal-pasal yang perlu dianalisis secara utuh, artinya pasal-pasal dalam
UUPT saling terkait atau adanya keterkaitan satu dengan yang lain. Oleh karena
itu kita harus mempelajari jalinan pasal-pasal dalam UUPT, bagaimana hubungan
antara satu pasal dengan pasal-pasal lain dan yang paling penting apa yang
mendasari dan menjadi latar belakang dari pasal-pasal tersebut serta
nilai-nilai dan semangat yang terdapat dalam jalinan pasal-pasal tersebut.
Ketentuan Pasal 64 UUPT tidak
menyebabkan terjadinya komersialisasi pada PTN. Pembentuk UU sudah menegaskan
bahwa pendidikan secara filosofis idealistik bukan komersialisasi (dengan ciri
yang tujuannya untuk mengejar keuntungan), sebab prinsip otonomi PTN diantaranya dilaksanakan dengan prinsip
NIRLABA (Pasal 63 UUPT). PTN tidak pernah membagi keuntungan pada rektor,
dekan, dosen, dan tenaga kependidikan. Dana yang tersisa dari pengelolaan PTN
diperuntukkan bagi kepentingan peningkatan sarana dan prasarana di PTN
tersebut. Selanjutnya, ketentuan Pasal 64 UUPT, tidak menetapkan Pengelolaan
Keuangan sebagaimana layaknya sebuah Korporasi. PTN dan PTN yang diberikan dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan
BLU serta PTN- bh untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu, mengelola keuangan
dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 64 ayat
(5) UUPT.
PTN-bh tidak dapat dikatakan
korporasi dan bukan pula “seperti korporasi” karena PTN-bh didirikan bukan dari
kumpulan modal pemegang saham, tetapi berasal dari pemisahan keuangan negara.
Korporasi mengenal adanya shareholders,
tetapi dalam PTN-bh hal itu tidak dikenal, melainkan adanya stakeholders (pemangku kepentingan) yang
meliputi masyarakat, dan alumni.
Penyerahan otonomi non akademik
sebagai sebagaimana diatur dalam Pasal 64 UUPT, bukan melepaskan tanggungjawab
dan kontrol negara terhadap pendidikan tinggi yang berkeadilan dan
diskriminatif. Otonomi non akademik
diserahkan oleh UU kepada PT sebagai penyerahan yang sah menurut hukum, karena
otonomi non akademik yang diserahkan tersebut bukan pelepasan tanggungjawab
melainkan untuk upaya meningkatkan kualitas akademik. Otonomi non akademik ini berkeadilan dan tidak bersifat diskriminatif, oleh karena UU sudah
menetapkan pembagian PTN dan PTN-bh untuk menghasilkan pendidikan tinggi
bermutu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 s/d
Pasal 57 UUPT ditetapkan Penjaminan Mutu dengan melaksanakan Sistem Penjamiman
Mutu (Pasal 51 s/d Pasal 53 UUPT), melaksanakan Standard Pendidikan Tinggi
(Pasal 54 UUPT), melaksanakan Akreditasi (Pasal 55 UUPT), memiliki Pangkalan
Data Pendidikan Tinggi (Pasal 56 UUPT) dan memiliki Lembaga Layanan Pendidikan
Tinggi (Pasal 57 UUPT). Selanjutnya UUPT menetapkan adanya alokasi sedikit 20 %
untuk masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi tetapi memiliki potensi akademik tinggi baik
dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk memasuki PTN (Pasal 74
UUPT).
Sejalan dengan Pasal 31 ayat (1) UUD
1945 yang menyebutkan: “Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan”, UUPT juga tidak bertentangan dengan pasal
tersebut, oleh karenanya setiap mahasiswa yang ingin memasuki PTN memiliki
kesempatan yang sama tanpa membedakan agama, warna kulit, suku, dan ras tetapi
berbasis kepada kemampuan intelektual dalam rangka mengejar ketertinggalan dengan
bangsa lain. Artinya, UUPT telah menderivasi Konstitusi yang ide
(cita-cita hukum)-nya sejalan, selaras, dan harmonis sehingga tidak terjadi antinomi hukum di
dalamnya.
Ketentuan Pasal 64 UUPT juga tidak
membuka kesempatan pada PTN yang bersangkutan untuk melakukan Abuse Of Power dalam bidang Ketenagaan,
oleh karena sistem perekrutan, pengangkatan, pemberhentian, penskoran pegawai
perguruan tinggi tunduk kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya, perguruan tinggi memiliki kebijakan untuk mengelola dosen dan
tenaga kependidikan sesuai keahlian dan profesionalisme dalam meningkatkan
kualitas penyelenggaran pendidikan di PT (Pasal 69 UUPT s/d Pasal 72 UUPT).
Ketentuan Pasal 65 UUPT tidak
menjadikan PTN-bh layaknya barang privat. UUPT baik secara eksplisit maupun
implisit (asas, dan norma hukum) dalam pelaksanaannya sama sekali tidak
mencerminkan sebagai barang privat (private
goods) hal ini dapat dibuktikan secara empirik, tidak satu pun para rektor,
dekan, dosen, tenaga kependidikan mengambil keuntungan/laba untuk kepentingan
dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan
tersebut. Selain itu sistem pertanggungjawaban
PTN-bh dilakukan kepada otoritas publik (kepada Menteri, Dirjen, BPK,
BPKP) dan bukan pada badan swasta (privat).
PTN berdasarkan Pasal 6
UUPT memiliki prinsip antara lain demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan
bangsa, serta kebebasan dalam memilih Program Studi berdasarkan minat, bakat,
dan kemampuan mahasiswa. Kebebasan dalam memilih Program Studi juga berdasarkan
minat, bakat, dan kemampuan mahasiswa, keberpihakan pada kelompok masyarakat
kurang mampu secara ekonomi. Kemudian, Pasal 74 ayat (1) UUPT
mewajibkan PTN untuk mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki
Potensi Akademik Tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi. Hal ini menunjukkan
Perguruan Tinggi sebagai memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam
memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan keterjangkauan
masyarakat namun memiliki potensi akademik yang tinggi. Kemudian juga,
perguruan tinggi bukan satu-satunya tempat bagi generasi muda untuk
mengembangkan kemampuan, karena perguruan tinggi sebagai lembaga yang berbasis
kemampuan intelektual memang mengharuskan kemampuan akademik yang sesuai,
sehingga wajar jika PTN mencari dan menjaring mahasiswa yang memiliki potensi
akademik.
Selanjutnya, kerjasama antara PTN
dengan dunia usaha dapat membangun dunia pendidikan. PTN dan dunia usaha saling
membutuhkan satu sama lain. Berdasarkan Pasal 83 UUPT, 84 UUPT, dan 85 UUPT, Pemerintah
dan pemerintah daerah, masyarakat menyediakan dana bagi PTN yang dapat berupa
hibah, wakaf, zakat dan sebagainya. Sedangkan yang berkaitan dengan dunia usaha
dan industri, pemerintah hanya memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri
untuk memberikan bantuan dana pada PTN. Maka kekhawatiran tentang pergeseran
paradigma PTN menjadi lembaga yang profit oriented sangat tidak beralasan.
Ketentuan Pasal 90 UUPT, juga tidak
menghambat pemenuhan hak konstitusional hak warga negara atas pendidikan
(khususnya Pendidikan Tinggi), serta tidak melanggar kewajiban konstitusional
pemerintah untuk menyediakan pembiayaan bagi pendidikan tinggi. Pemberian izin
kepada Perguruan Tinggi lembaga negara lain di Wilayah Indonesia, tidak
bertentangan dengan kewajiban Negara melalui PTN untuk menyelenggarakan Pendidikan
Tinggi oleh karena Perguruan Tinggi negara lain tersebut wajib mendukung
kepentingan nasional (Pasal 90 ayat 4 UUPT). Perguruan Tinggi negara lain baru
dapat menyelengarakan pendidikan di wilayah RI jika telah sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta memiliki (memenuhi) syarat yang
ketat dan selektif, yaitu memiliki izin pemerintah, berprinsip nirlaba,
bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin pemerintah,
mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan WNI dan wajib mendukung kepentingan
nasional.
VI.
UUPT telah sejalan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (khususnya Pasal Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 31 ayat (1) dan (4)). Selanjutnya, diperlukan komitmen seluruh komponen masyarakat Indonesia untuk meningkatkan
mutu pendidikan tinggi nasional sebagaimana di atur dalam UUPT.
-o0o-
Daftar
Bacaan:
Muladi,
2002,Demokratisasi, hak asasi manusia,
dan reformasi hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta.
Saafroedin
Bahar, Nannie Hudawati (penyunting), 1998, Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) –
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) – 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945,
Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Tilaar,
H.A.R., 2004, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional, Grasindo, PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta.
Widjaya,
H.A.W., 2000, Penerapan Nilai-Nilai
Pancasila dan Hak Asasi Manusia di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Zulkarnain Nasution, 2010, Apa itu ”Otonomi” Perguruan
Tinggi? http://berkarya.um.ac.id/2010/02/10/apa-itu-%E2%80%9Dotonomi%E2%80%9D-perguruan-tinggi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar