POLA
PEMBINAAN BAGI PARA TAHANAN DAN NARAPIDANA SEBAGAI WUJUD PELAKSANAAN HAM
RUTAN
DAN LAPAS DI SUMATERA UTARA
Oleh:
Alvi Syahrin
I. Pidana masih
diperlukan kehadirannya dalam masyarakat sekalipun dengan berbagai pembatasan.
Pidana digunakan secara manusiawi pada tujuan-tujuan yang berorientasi serta
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, maka ia (pidana) masih relevan
digunakan sebagai sarana (penjamin) dalam kehidupan bermasyarakat.
Fungsi
hukuman sebagai salah satu alat untuk “menghadapi” kejahatan, mengalami
perubahan-perubahan dan perkembangan, dari satu cara yang bersifat “pembalasan” terhadap orang-orang
yang melakukan kejahatan berubah menjadi alat untuk melindungi individu dari
gangguan kejahatan, terus berubah dan berkembang ke arah fungsi hukuman
khususnya hukuman penjara sebagai wadah pembinaan narapidana untuk pengembalian
ke dalam masyarakat.
Pemasyarakatan
yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana
adalah bagian integral dari tata peradilan terpadu (integrated criminal justice system). Dengan demikian,
pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan, dan
petuga pemasyarakatan, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari satu
rangkaian proses penegakan hukum.
Memperlakukan
narapidana sesuai dengan tujuan pidana
penjara, di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena
dihilangkannya kemerdekaan bergerak juga membimbing terpidana agar bertobat
serta mendidiknya supaya ia menjadi anggota masyarakat Indonesia yang berguna.
Dengan demikian tujuan pidana penjara ialah “pemasyarakatan”.
Memperhatikan
rumusan di atas, jelas bahwa tidak saja masyarakat di ayomi terhadap
diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah
tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang
berguna di dalam masyarakat. Selanjutnya menjatuhi pidana bukanlah tindakan
balas dendam dari negara, oleh karena tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan,
melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan
melainkan pidana kehilangan kemerdekaan.
Negara
yang telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan
mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang
terpidana itu dan terhadap masyarakat. Negara tidak berhak membuat seseorang
lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia dipenjarakan.
II. Berdasarkan Pasal 1 angka (21) KUHAP, Penahanan adalah penempatan tersangka atau
terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Penahanan berdasarkan Pasal 20 KUHAP dapat dilakukan untuk kepentingan
penyidikan, atau untuk kepentingan penuntutan atau untuk kepentingan
pemeriksaan hakim di sidang pengadilan. Perintah penahanan
atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal
adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi
tindak pidana (Pasal 21 KUHAP), Dan
Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam
tindak pidana tersebut dalam hal:
a. tindak pidana
itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1),
Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a,
Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie
(pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan
Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang
Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara
Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47
dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Jenis penahanan berdasarkan Pasal 22 KUHAP,
dapat berupa: a. penahanan rumah tahanan negara, b. penahanan rumah, c.
penahanan kota.
Perintah penahanan
yang diberikan oleh penyidik hanya berlaku paling lama 20 hari, dan jika
diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 40 hari. Perintah penahanan
yang diberikan oleh penuntut umum berlaku paling lama 20 hari, dan apabila
diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama 30 hari. Hakim
pengadilan negeri yang mengadili perkara guna kepentingan pemeriksaan berwenang
mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama 30 hari, dan apabila
diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama 60 hari. Hakim
pengadilan tinggi yang mengadili perkara guna kepentingan pemeriksaan banding
berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama 30 hari,
apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat
diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan untuk paling lama 60
hari. Hakim Mahkamah Agung yang
mengadili perkara guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan
surat perintah penahanan untuk paling lama 50 hari, dan apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah
Agung untuk paling lama 60 puluh hari. Setelah waktu 110 hari walaupun perkara
tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi
hukum.
Terhadap mereka
(tersangka atau terdakwa) dapat ditempatkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang
merupakan unit pelaksana teknis tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama
proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pembinaan dan
pola pembinaan tahanan meliputi tahanan, pelayanan tahanan yang berupa segala kegiatan
yang dilaksanakan dari mulai penerimaan sampai dengan tahap pengeluaran tahanan,
yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti).
Kegiatan yang
diberikan kepada tahanan bukan hanya semata-mata dimaksudkan sebagai kegiatan pengisi
waktu agar terhindar dari pemikiran-pemikiran yang negatif (seperti berusaha
melarikan diri), tetapi harus lebih dititikberatkan pada penciptaan kondisi
yang dapat melancarkan jalannya proses pemeriksaan perkaranya di Pengadilan.
Bentuk pembinaan
terhadap tahanan berupa pelayanan tahanan yang dapat berupa:
a. Bantuan Hukum.
1) Setiap tahanan berhak
memperoleh bantuan hukum dari penasehat hukum.
2) Kepada tahanan
diberikan penyuluhan hukum dan untuk keperluan ini Kepala Rutan/Cab Rutan dapat
mengadakan kerjasama dengan instansi penegak hukum dan pemerintah setempat.
3) Dalam upaya untuk
memberikan kesempatan mendapatkan bantuan hukum perlu disediakan:
a) Alat tulis menulis.
b)Tempat untuk pertemuan dengan penasehat
hukum yang dapat dilihat/diawas: tetapi tidakdapat didengar oleh orang
lain/petugas.
4) Kunjungan atau
pertemuan dengan penasehat hukum hanya dapat dilaksanakan pada hari kerja dan
jam kerja, atau hari jadwal kunjungan.
5) Kunjungan atau
pertemuan dengan penasehat hukum dicatat dalam buku Khusus Kunjungan Bantuan
Hukum.
b. Penyuluhah Rohani.
1) Kegiatan penyuluhan Rohani meliputi :
a) Ceramah, penyuluhan dan pendidikan agama.
b) Ceramah, penyuluhan dan pendidikan umum.
2) Untuk keperluan
ceramah, penyuluhan dan pendidikan sebagaimana dimaksud butir 1), Kepala Rutan/Cabrutan
dapat mengadakan kerjasama dengan instansi-instansi pemerintah setempat berdasarkan
ketentuan yang berlaku.
3) Pokok-pokok materi
ceramah, penyuluhan atau pendidikan yang akan disampaikan kepada tahanan, harus
terlebih dahulu diketahui Kepala Rutan/Cabrutan dan kegiatannya tidak boleh menyinggung
perasaan atau menimbulkan keresahan para tahanan.
4) Setiap kegiatan baik
berupa ceramah, penyuluhan atau pendidikan perlu diawasi agar tidak dipergunakan
untuk tujuan-tujuan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban Rutan/Cabrutan
maupun negara.
5) Untuk (maksud)
memberikan ceramah, penyuluhan dan pendidikan disediakan ruangan dan sarana
yang diperlukan.
c. Penyuluhan jasmani.
1) Untuk menjaga kondisi
kesehatan jasmani, kepada tahanan diberikan kegiatan olah raga, kesenian dan
rekreasi di dalam Rutan/Cabrutan sesuai dengan fasilitas yang tersedia.
2) Dalam upaya memenuhi
fasilitas yang dibutuhkan untuk kegiatah sebagaimana dimaksud pada butir 1),
tahanan diperkenankan membawa sendiri peralatan yang diperlukan, sepanjang
tidak merugikan atau mengganggu keamanan dan ketertiban Rutan/ Cabrutan.
3) Senam pagi tahanan
dipimpin oleh petugas Rutan/Cabrutan dan dilaksanakan sekurangkurangnya dua
kali seminggu.
4) Penyelenggaraan
kegiatan olahraga, berupa bola volly, bulutangkis, tenis meja, sepak bola,
catur dan lain-lain, dilaksanakan di dalam Rutan/Cabrutan dan dalam penga-wasan
petugas.
5) Kegiatan rekreasi bagi
tahanan di dalam Rutan/Cabrutan meliputi :
a) Penyelenggaraan kesenian yang dilakukan
oleh tahanan dan atau team yang didatangkan dari luar, terutama pada saat-saat
menjelang atau pada hari-hari besar nasional.
b) Penyelenggaraan pertunjukan berupa
pemutaran film, video atau televisi dan lain-lain.
6) Memberikan kesempatan
pada tahanan untuk melakukan kegiatan sosial/bakti sosial yang bersifat sukarela
misalnya donor darah.
d. Bimbingan Bakat.
1) Untuk mengetahui bakat
masing-masing tahanan, maka perlu diadakan penelitian kepada mereka yang baru
masuk Rutan/Cabrutan terutama pada saat mengikuti masa pengenalan lingkungan.
2) Bimbingan bakat
terhadap tahanan dilakukan melalui penyaluran dan pengembangan atas kecakapan
alami yang dimiliki tahanan, misalnya melukis, mengukir dan lain-lain.
e. Bimbingan Ketrampilan.
1) Untuk mengetahui minat
masing-masing tahanan dalam mengikuti bimbingan ketrampilan, dilakukan dengan
mengadakan penelitian pada setiap tahanan yang baru masuk Rutan/Cabrutan.
2) Bimbingan ketrampilan
sedapat mungkin diarahkan kepada jenis-jenis ketrampilan yang bermanfaat di
masyarakat dan yang dapat dikembangkan lebih lanjut di Lapas apabila kelak
telah diputus menjadi narapidana, seperti keperluan industri kecil
(pertukangan), pertanian. perkebunan dan sebagainya.
f. Perpustakaan.
1) Untuk mengisi waktu
terluang dan guna menyalurkan minat baca, maka disediakan perpustakaan.
2) Perpustakaan yang
diselenggarakan Rutan/Cabrutan, meliputi buku Agama, pengetahuan umum, kejuruan
dan lain-lain yang dipandang tidak mengganggu keamanan dan ketertiban Rutan/Cabrutan
serta bermanfaat bagi tahanan.
3) Buku-buku bacaan yang
ada di perpustakaan dapat dipinjam oleh tahanan yang waktu dan tempatnya diatur
oleh Kepala Rutan/ Cabrutan.
g. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan Bimbingan
Kegiatan.
1) Bimbingan kegiatan tahanan meliputi
a) Bimbingan bakat.
b) Bimbingan ketrampilan.
2) Bimbingan kegiatan
hanya dapat diikuti oleh tahanan secara sukarela.
3) Pada setiap awal
bulan, program kegiatan bimbingan bakat dan ketrampilan tahanan,
dikirimkankepada instansi yang menahan untuk diketahui. Apabila dipandang
perlu, pihak yang menahan dapat mengajukan keberatan atas keikutsertaan salah
seorang atau beberapa orang tahanan yang berada dalam wewenangnya.
4) Kegiatan yang
diberikan kepada tahanan harus bersifat jangka pendek.
5) Untuk keperluan
bimbingan kegiatan di samping yang telah disediakan Rutan/Cabrutan, tahanan dapat
membawa sendiri peralatan dan bahan-bahan yang diperlukan, sepanjang tidak mengganggu
keamanan dan ketertiban serta tidak ada ikatan yang merugikan Rutan/Cabrutan.
6) Setiap tahanan yang
mengikuti bimbingan kegiatan dalam bentuk pekerjaan yanq produktif (berproduksi),
diberi upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
7) Tahanan tidak
diperbolehkan melakukan kegiatan lebih dari tujuh jam setiap hari.
8) Bimbingan kegiatan
bagi tahanan dilaksanakan di dalam Rutan/ Cabrutan.
9) Semua hasil karya
tahanan baik yang berasal dari kegiatan bimbingan bakat maupun ketrampilan dicatat
dalam buku hasil karya tahanan.
10) Semua hasil karya
tahanan disimpan dengan baik dan tertib dalam gudang penyimpanan.
11) Hasil karva tahanan dapat dijual sesuai
peraturan yang berlaku.
III. Pembinaan dan
bimbingan dalam sistem pemasyarakatan, pada
permulaan tahun 1964 tercantum dalam Piagam Pemasyarakatan. Piagam
Pemasyarakatan Indonesia yang tersusun dalam konperensi kerja Direktorat
Pemasyarakatan pada tanggal 27 April – 9 Mei 1964 di Bandung, merupakan arti
pembinaan menurut pasal 1, 2, dan 6 sebagai berikut:
... sistem
pemasyarakatan Indonesia mengandung arti pembinaan narapidana yang berintegrasi
dengan masyarakat dan menuju kepada integritas kehidupan dan penghidupan.
Pemasyarakatan
sebagai proses bergerak dengan menstimulir timbulnya dan berkembangnya self
propelling adjustment di antara elemen integritas, sehingga narapidana yang bersangkutan
menuju ke arah perkembangan pribadi melalui asosiasinya sendiri menyesuaikan
dengan integritas kehidupan dan penghidupan.
Kemudian,
Surat Keputusan Kepala Direktorat Pemasyarakatan No.K.P.10/3/1 tanggal 8
Februari 1965 yang menyempurnakan Surat Keputusan No. J.H. G.8/922 tanggal 26
Desember 1964 tentang Konsepsi Pemasyarakatan, menentukan bahwa Pemasyarakatan
adalah suatu proses therapoutie, yang sejak itu narapidana lalu mengalami
pembinaan, yang dilaksanakan berdasarkan asas : Perikemanusiaan, Pancasila,
Pengayoman, dan Tut Wuri Handayani.
Upaya
pembinaan atau bimbingan yang menjadi inti dari kegiatan sistem pemasyarakatan,
merupakan suatu sarana perlakuan cara baru terhadap narapidana untuk mendukung
pola upaya baru pelaknsaan pidana penjara agar mencapai keberhasilan peranan
negara mengeluarkan narapidana untuk kembali menjadi anggota masyarakat.
Perlakuan
cara baru terhadap narapidana dalam permasyarakatan melibatkan peran-serta
masyarakat, hal ini disebabkan timbulnya salah satu doktrin bahwa narapidana
tidak dapat diasingkan hidupnya dari masyarakat.
Pembinaan
narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana
untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian
pembinaa yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa
harga diri pada diri sendiri dan pada diri orang lain, serta mengembangkan rasa
tanggung jawab untuk menyesuaikan diti dengan kehidupan yang tenteram dan
sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia
yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi.
Arah
pembinaan harus tertuju kepada (1) membina pribadi narapidana agar jangan
sampai mengulangi kejahatan dan mentaati peraturan hukum, (2) membuna hubungan
antara narapidana dengan masyarakat luar, agar dapat berdiri sendiri dan
diterima menjadi anggotanya.
Pemidanaan
agar sejalan dengan peminaan narapidana tersebut, maka harus sesuai dengan perspektif
Pancasila, yang berorientasi pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
Pertama, pengakuan manusia
(Indonesia) sebagai Makhluk Tuhan yang Maha Esa. Wujud pemidanaan tidak boleh
bertentangan dengan keyakinan agama maupun yang dianut oleh masyarakat
Indonesia. Pemidanaan terhadap seseorang harus diarahkan pada penyadaran iman
dari terpidana, melalui mana ia dapat bertobat dan menjadi manusia yang beriman
dan taat. Dengan kata lain, pemidanaan harus berfungsi pembinaan mental orang
yang dipidana dan menstranformasikan orang tersebut menjadi seorang manusia
religius.
Kedua, pengakuan
tentang keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Pemidaan
tidak boleh menciderai hak-hak asasnya yang paling dasar serta tidak boleh
merendahkan martabatnya dengan alasan apa pun. Implikasinya adalah, bahwa
meskipun terpidana berada dalam lembaga permasyarakatan, unsur-unsur dan sifat
perikemanusiaannya tidak boleh dikesampingkan demi membebaskan yang
bersangkutan dari pikiran, sifat, kebiasaan, dan tingkah laku jahatnya.
Ketiga, menumbuhkan
solidaritas kebangsaan dengan orang lain, sebagai sesama warga bangsa. Pelaku
harus diarahkan pada upaya untuk meningkatkan toleransi dengan orang lain,
menumbuhkan kepekaan terhadap kepentingan bangsa, dan mengarahkan untuk tidak
mengulangi melakukan kejahatan. Dengan kata lain, bahwa pemidaan perlu
diarahkan untuk menanamkan rasa kecintaan terhadap bangsa.
Keempat, menumbuhkan kedewasaan sebagai warga negara yang
berkhidmat, mampu mengendalikan diri, berdisiplin, dan menghormati serta
menaati hukum sebagai wujud keputusan rakyat.
Kelima, menumbuhkan
kesadaran akan kewajiban setiap individu sebagai makhluk sosial, yang
menjunjung keadilan bersama dengan orang lain sebagai sesama warga masyarakat.
Dalam kaitan itu, perlu diingat bahwa pemerintah dan rakyat harus ikut
bertanggung jawab untuk membebaskan orang yang berpidana dari kemelut dan
kekejaman kenyataan sosial yang melilitnya menjadi penjahat.
IV. Narapidana bukan
saja objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang
sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan
pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah
faktor-faktor yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk
menyadarkan Narapidana atau Anak Pidana agar menyesali perbuatannya, dan
mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum,
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai
kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai.
Untuk mencapai sistem pencapaian
yang baik partisipasi bukan hanya datang dari petugas, tetapi juga dari
masyarakat di samping narapidana itu sendiri. Dalam usaha memberikan
partisipasinya, seorang petugas pemasyarakatan senantiasa bertindak sesuai
dengan prinsip-prinsip permasyarakatan. Seorang petugas permasyarakatan barulah
dapat dianggap berpartisipasi jika ia sanggup menunjukkan sikap, tindakan dan
kebijaksanaannya dalam mencerminkan pengayoman baik terhadap masyarakat maupun
terhadap narapidana.
Lembaga Permasyarakatan sebagai
ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan
tersebut di atas melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sejalan
dengan peran Lembaga Permasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila Petugas
Pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan
Permasyarakatan dalam Undang-Undang ini ditetapkan sebagai Pejabat Fungsional
Penegak Hukum.
Sistem Pemasyarakatan di samping
bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai Warga yang
baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan
diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Permasyarakatan, serta merupakan
penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila.
Untuk mendidik terpidana untuk
menjadi seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna, maka:
1. selama ia kehilangan kemerdekaan bergerak ia harus
dikenalkan dengan masyarakat, dan tidak boleh diasingkan daripadanya;
2. pekerjaan dan didikan yang diberikan kepadanya tidak
boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan
kepenjaraan atau kepentingan negara sewaktu saja. Pekerjaannya harus satu
dengan pekerjaan di masyarakat dan ditujukan kepada pembangunan nasional;
3. bimbingan dan didikannya harus berdasarkan Pancasila.
Negara harus memperlakukan para narapidana
menurut kepribadian kita sendiri dan tidak mencari-cari di luar negeri
bagaimana memperlakukan narapidana di Indonesia. Tentang teknik boleh kita
belajar dari negeri-negeri yang maju tekniknya.
Pokok dari dasar memperlakukan
narapidana menurut kepribadiaan kita ialah:
1. tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan
sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat; tidak boleh selalu ditunjukkan
pada narapidana bahwa ia itu penjahat, sebaliknya ia harus selalu merasa bahwa
ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia;
2. tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan; tidak ada
orang yang hidup di luar masyarakat; narapidana harus kembali ke masyarakat
sebagai warga yang berguna; dan sedapat-dapatnya tidak terbelakang;
3. narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan
kemerdekaan bergerak. Jadi perlu diusahakan supaya di samping atau sesudah
mendapat didikan berangsur-angsur, mendapat upah untuk pekerjaanya.
Bagi Pemasyarakatan, tujuan spesifiknya
ialah satu integritas kehidupan dan penghidupan, dalam hal ini integritas itu
sendiri dari individu narapidana yang bersangkutan dan masyarakat di luarnya,
yang sanggup menghadapi dan mengatasi tantangan-tantangan hidup dalam
mewujudkan, mempertahankan dan menyempurnakan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila.
Sistem Pemasyarakatan sebagai suatu
proses pembinaan baru akan sempurna juka di dalam pelaksanaannya ditunjang oleh
fasilitas-fasilitas pembinaan yang betul-betul memenuhi syarat. Yang dimaksud
dengan fasilitas pembinaan di sini adalah fasilitas yang disediakan oleh
Lembaga Pemasyarakatan dalam usaha mengembalikan narapidana untuk menjadi
anggota masyarakat yang baik kembali dan menjadi manusia yang seutuhnya.
V. Dalam sistem
pemasyarakatan, Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan berhak mendapatkan
pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin hak-hak mereka untuk menjalankan
ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik keluarga maupun pihak lain,
memperoleh informasi baik melalui media cetak maupun elektronik, memperoleh
pendidikan yang layak dan lain sebagainya.
Untuk melaksanakan sistem
pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga keikutsertaan masyarakat, baik dengan
mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima
kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya.
Sistem pembinaan pemasyarakatan
dilaksanakan berdasarkan asas:
a. pengayoman;
b. persamaan perlakuan dan pelayanan;
c. pendidikan;
d. pembimbingan;
e. penghormatan harkat dan martabat manusia;
f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya
penderitaan; dan
g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan
keluarga dan orang-orang tertentu.
Penjelasan terhadap asas-asas tersebut di atas adalah:
“Pengayoman” adalah perlakuan terhadap Warga Binaan
Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dalam rangka melindungi
masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan
Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidupnya kepada Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.
“Persamaan perlakuan dan pelayanan” adalah pemberian
perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa
membeda-bedakan orang.
“Pendidikan” adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan
dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa
kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk
menunaikan ibadah.
“Penghormatan harkat dan martabat manusia” adalah
bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap
diperlukan sebagai manusia.
“Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya
penderitaan” adalah Warga Negara Pemasyarakatan harus berada di dalam LAPAS
untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk
memperbaikinya. Selama di LAPAS, (Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh
hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya
tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum,
pakaian, tempat tidur, latihan, keterampilan, olah raga, atau rekreasi).
“Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan
keluargadan orang-orang tertentu” adalah bahwa walaupun Warga Binaan
Pemasyarakatan berada di LAPAS, tetapi harus tetap dikenalkan dengan masyarakat
dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan
masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam LAPAS dari anggota
masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga
seperti program cuti mengunjungi keluarga.
Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS
dilaksanakan: secara intramural (di dalam LAPAS) dan secara ekstramural (di
luar LAPAS). Pembinaan secara ekstramural yang dilakukan di LAPAS disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan Warga
Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan
membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Pembinaan secara ekstramural
juga dilakukan oleh BAPAS yang disebut inregrasi,
yaitu proses pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi
persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-tengah masyarakat
dengan bimbingan dan pengawasan BAPAS.
Pembimbingan oleh BAPAS dilakukan terhadap:
a. Terpidana
bersyarat;
b. Narapidana, Anak
Pidana dan Anak Negara yang mendapat pembebasan bersyarat atau cuti menjelang
bebas;
c. Anak Negara yang
berdasarkan putusan pengadilan, pembinaan diserahkan kepada orang tua atau
badan sosial;
d. Anak negara yang
berdasarkan Keputusan Menteri atau Pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan orang tua atau badan
sosial; dan
e. Anak yang
berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua
atau walinya. (Pasal 6 ayat (3)).
Pembimbingan oleh BAPAS terhadap Anak Negara yang
berdasarkan putusan pengadilan, pembimbingnya diserahkan kepada orang tua asuh
atau badan sosial, karena pembimbingannya, masih merupakan tanggung jawab
Pemerintah. Terhadap Anak Negara yang berdasarkan keputusan Menteri atau
pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk,
bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial, pembimbingannya
tetap dilakuan oleh BAPAS karena anak tersebut masih berstatus Anak Negara.
Pembimbingannya oleh BAPAS terhadap Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan,
bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya dilakukan sepanjang ada
permintaan dari orang tua atau walinya kepada BAPAS.
Adapun fasilitas pembinaan yang dimaksud adalah
fasilitas pembinaan fisik maupun
fasilitas pembinaan mental. Akan dapat kita bayangkan jika seandainya suatu
Lembaga Pemasyarakatan tidak memiliki fasilitas-fasilitas sebagaimana yang
telah disebutkan di atas, maka apa yang menjadi cita-cita serta harapan dari
Sistem Pemasyarakatan hanya akan berhasil dalam hal teori saja.
Pembinaan yang ditujukan terhadap fisik/jasmaniah
narapidana, agar pada saat mereka selesai menjalani masa pidananya sudah
betul-betul siap kembali ke dalam masyarakat. Maksud dari kata fisik disini
bukan saja berarti jasad dari narapidana, tetapi juga kepandaian, keterampilan,
ketangkasan dan daya karya, mampu untuk berdiri sendiri serta mencari nafkah yang
halal yang kesemuanya ini diperoleh selama mereka berada di Lembaga
Pemasyarakatan. (misalnya, kekaryaan, kerajinan tangan, pendidikan
keterampilan, pendidikan jasmani dan lain sebagainya).
Pembinaan yang ditujukan terhadap mental/rokhaniah
narapidana sebagai bekal untuk kembali ke dalam masyarakat, dalam hal
peningkatan darya cipta, rasa dan karsa, kesusilaan, kejujuran dan sopan
santun. (misalnya, pendidikan agama, kesenia, ceramah rohani, keorgnaisasian
dan lain-lainnya).
Di samping tersedia fasilitas pembinaan selama
narapidana berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, juga harus dipikirkan
fasilitas pembinaan narapidana yang sudah menjelang lepas (pre release treatment) dan fasilitas pembinaan narapidana sesudah
lepas (post release treatment).
Terhadap pembinaan narapidana yang menjelang lepas
fasilitas pembinaan yang harus diprogramkan adalah:
- pendidikan/sekolah
di masyarakat bebas,
- bekerja di
kantor-kantor, perusahaan-perusahaan, atau tempat pekerjaan bukan milik Lembaga
Pemasyarakatan,
- rekreasi,
- kunjungan
keluarga,
- cuti, dan lain
sebagainya.
Terhadap narapidana yang sudah lepas atau yang sudah
menjalani tahap asimilasi maupun integrasi, narapidana yang bersangkutan sudah
dibiasakan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat, sehingga dalam
menjalani kehidupan di dalam masyarakat narapidana yang bersangkutan sudah
tidak merasa canggung lagi.
VI. Pola pelayanan
terhadap tahanan atau pembinaan terhadap narapidana diselenggarakan dalam
rangka membentuk tahanan atau warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia
seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak
pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dan dapat
berperan aktif dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai warganegara
yang baik dan bertanggungjawab.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem
Pemasyarakatan, Penerbit: Liberty, Yogyakarta.
Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Penerbit: Sinar
Grafika, Jakarta.
Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pidana Penjara di Indonesia,
Penerbit: PT. Refika Aditama, Bandung.
Eddy Djunaedi Karnasudirdja,
---, Beberapa Pedoman Pemidanaan dan
Pengamatan Narapidana
Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit:
Alumni, Bandung.
--------- (Ed.)., 2005, Hak Asasi Manusia – Hakekat, Konsep &
Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Penerbit: PT Refika
Aditama, Bandung.
Tongat, 2004, Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum
Pidana Di Indonesia, Penerbit: UMM Press, Malang
Widiada Gunakaya, 1988, Sejarah dan KOnsepsi Pemasyarakatan,
Penerbit: CV. Armico, Bandung.
Catatan:
Tulisan
ini, disampaikan penulis pada acara
“Kegiatan Bimbingan Teknis (BIMTEK) HAM Tahun Anggaran 2009” Departemen Hukum
dan HAM R.I. Kantor Wilayah Sumatera Utara, di Hotel Madani Medan, tanggal
06-07 Mei 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar