ANALISIS TERHADAP JUDICIAL REVIEW
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI*
oleh; Alvi Syahrin
I.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan sumber hukum tertinggi yang mengandung nilai, asas dan norma yang
harus dipatuhi, dijunjung tinggi, dan dilaksanakan dalam setiap pengambilan
keputusan dan/atau kebijakan umum, baik oleh pemerintah, legislatif, badan-badan
yudisial, maupun rakyat pada umumnya. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum
nasional, harus tetap di jaga dan dipertahankan semangat nilai-nilai
fundamental yang terkandung dalam dasar falsafah negara Pancasila yang termuat
dalam Pembukaan UUD 1945 dan seluruh batang tubuhnya.
Hukum dimaknai sebagai kesatuan asas, norma, lembaga,
perilaku dan proses. Dalam sistem hukum nasional, hierarkis tatanan norma
berpuncak pada konstitusi. Artinya, dalam Negara Hukum harus berpegang teguh
pada supremasi konstitusi. Konstitusi diimplematasikan secara konsisten dalam
peraturan perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan Negara dan
kehidupan masyarakat secara luas.
Cita-cita Negara hukum yang demokratis ditandai dengan
adanya jaminan hak-hak asasi manusia. Pelaksanaan hak-hak asasi manusia
dibatasi oleh kewajiban penghormatan hak asasi orang lain dalam tata tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
II. Pengujian secara juridis (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi (UUPT) yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada saat ini
terkait dengan pelaksanaan hak asasi manusia, mengenai hak asasi untuk mendapatkan
perlakuan yang sama dalam hukum (rights
to equality of law) khususnya dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dan Hak asasi sosial budaya (social and
culture rights) sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 31 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, khususnya mengenai hak mendapatkan pendidikan dan negara memprioritaskan
anggaran paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaran pendidikan nasional.
Hak asasi manusia di bidang perlakuan yang sama dalam
hukum dan hak atas pendidikan merupakan hak setiap orang, namun dalam
pelaksanaannya dibatasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia. Hal ini akan menyebabkan hak
untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum tergantung pada kesempatan
dan fungsi serta profesi masing-masing. Kesamaan perlakuan ini tidak berarti
sama rata, sama rasa, karena hal tersebut akan menimbulkan ketidak adilan.
Artinya, pelaksanaan hak dalam memperoleh pendidikan juga harus memenuhi
persyaratan dan kemampuan untuk itu. Selanjutnya, hak untuk memilih pendidikan
juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi persyaratan dalam melaksanakan
pendidikan tersebut. Tanggungjawab pendidikan juga merupakan tanggungjawab para
orang tua, masyarakat dan pemerintah.
III. Penyelenggaran pendidikan dapat dilakukan melalui pendidikan
jalur informal, pendidikan jalur nonformal
dan pendidikan jalur formal. Pendidikan jalur informal merupakan jalur
pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan nonformal dan formal setelah
peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Pendidikan
jalur nonformal merupakan jalur pendidikan di luar
pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga
yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan. Pendidikan
nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan
pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap
pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal
berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan
kepribadian profesional. Pendidikan jalur formal
merupakan jalur pendidikan pendidikan
yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini
mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar,
pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.
Pendidikan tinggi
merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program
pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang
diselenggarakan oleh Perguruan tinggi.
Perguruan tinggi meliputi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) merupakan perguruan tinggi yang
diselenggarakan oleh
pemerintah, dan Perguruan Tinggi
Swasta (PTS) merupakan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pihak swasta.
IV.
Perguruan
tinggi mengembangkan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi
ilmu pengetahuan. Hal ini memerlukan otonomi perguruan tinggi. Proses menuju otonomi perguruan tinggi terkait dengan pengembangan budaya profesionalisme
dengan ciri-ciri memilki keahlian (expertise),
tanggung jawab (responsibility),
dan kesejawatan (corporateness).
Budaya profesionalisme berdampak terhadap keluaran (output) perguruan tinggi dengan dihasilkannya
sarjana-sarjana profesional yang juga menjadi
agen dalam perubahan masyarakat serta mampu menjadi modernising force dalam kehidupan masyarakat secara luas.
Kebebasan Akademik dan Otonomi Perguruan Pendidikan Tinggi merupakan hal yang penting. Menyimak
deklarasi para rektor-rektor perguruan tinggi dunia di Lima (ibu kota Peru)
pada bulan Oktober 1989 menyatakan pentingnya Kebebasan Akademik dan Otonomi Perguruan
Pendidikan Tinggi. Deklarasi Lima tentang “Academic Freedom and Autonomy of
Higher Education“, mengemukakan beberapa butir prinsip dan substansi yang layak dicermati[1], yaitu:
Pertama, otonomi perguruan tinggi mengandung
pengertian bahwa lembaga perguruan tinggi harus memiliki independensi atau
kebebasan dalam mengambil keputusan dan merumuskan kebijakan yang menyangkut
pengelolaan administrasi, keuangan, pendidikan, penelitian, pengabdian
masyarakat, kerja sama dan aktivitas lain yang berkaitan, tanpa campur tangan
(intervensi) pemerintah atau kekuatan lain.
Kedua, seluruh anggota masyarakat akademik memiliki
hak untuk menjalankan tugasnya tanpa diskriminasi dan tanpa rasa takut akan
adanya gangguan, larangan, atau represi dari mana pun.
Ketiga, para peneliti dari kalangan kampus memiliki
hak untuk melakukan kegiatan penelitian tanpa kekangan atau campur tangan dari
pihak lain, berdasarkan prinsip dan metode penelitian ilmiah yang universal.
Mereka juga berhak untuk mengomunikasikan, menyebarluaskan atau mempublikasikan
hasil-hasil temuannya tanpa adanya sensor dari pihak mana pun.
Keempat, semua lembaga pendidikan tinggi wajib
berupaya memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, kultural, dan politik dari
masyarakat serta mencegah penyalahgunaan ilmu dan teknologi yang menyalahi
hak-hak tersebut.
Kelima, semua lembaga pendidikan tinggi harus aktif
berperan serta dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan
bangsanya dan harus kritis terhadap kondisi aktual, seperti represi politik dan
pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Keenam, semua lembaga pendidikan tinggi harus
memperkokoh solidaritas dengan lembaga lain yang serupa dan dengan anggota
masyarakat akademik secara individual bilamana mereka menghadapi bencana atau
tuntutan dari pihak lain. Solidaritas tersebut bisa dalam wujud moral maupun
material, yang mencakup juga para pengungsi serta penyediaan pendidikan dan
lapangan pekerjaan bagi para korban.
Ketujuh, semua lembaga pendidikan tinggi harus
berusaha mencegah ketergantungan ilmu dan teknologi serta mengupayakan
kemitraan yang setara dengan seluruh komunitas akademik di dunia dalam
pengembangan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Harus lebih
digalakkan kerja sama akademik dalam skala internasional, melampaui batas-batas
regional, politik, dan batas-batas penghambat lain.
Kedelapan, seluruh lembaga
pendidikan tinggi harus menjamin partisipasi para mahasiswa dalam
organisasi-organisasi mereka, baik secara individual maupun kolektif, untuk
menyampaikan pendapat atau opininya dalam setiap masalah yang berkala nasional
maupun internasional.
Kesembilan, otonomi perguruan tinggi
harus dilaksanakan dengan cara-cara yang demokratis dalam wujud self-government,
dengan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh komunitas akademik yang
bersangkutan.
Pemahaman mengenai otonomi
pendidikan tinggi perlu secara multidimensi
sebagaimana disebut di atas. Paradigma pendidikan didasarkan
pembebasan
dan pemberdayaan, yang mengandung semangat demokratisasi pendidikan yang
mengakui pluralisme, keberagaman, atau
kemajemukan. Orientasi pendidikan lebih ditekankan pada aspek yang berkaitan
dengan pencarian alternatif pemecahan masalah aktual dilandasi kajian ilmiah
yang diperkuat dengan landasan moral dan hati nurani.
Otonomi pendidikan tinggi tidak menjadikan perguruan
tinggi negeri harus membiayai dirinya sendiri. Sehingga para pengelola
perguruan tinggi negeri perlu mencari terobosan baru untuk fund raising, misalnya:
merangkul
dunia bisnis/industri, menjalin kerja sama baik dengan pihak
ketiga, melakukan kegiatan penelitian dengan dana dari dalam maupun mancanegara.
Namun demikian, pemerintah tetap harus berkontribusi secara financial
dalam penyelenggaran perguruan tinggi. Tujuan otonomi perguruan
tinggi itu sama sekali bukan untuk komersialisasi pendidikan,
sehingga otonomi perguruan tinggi tidak dipahami dari kacamata
ekonomis yang menjadikan orang tua mahasiswa, dalam relasinya dengan lembaga
pendidikan, sekedar sebagai obyek penarikan dana. Otonomi perguruan
tinggi melibatkan dimensi partisipatif (kesinambungan pendampingan orang
tua), komunikatif (sistem kontrol dan propositif atas transparansi keuangan dan
perencanaan, program format perguruan tinggi), dan konsiliatif (keterbukaan
untuk menerima masukan dari masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang
di tawarkan).[2]
V. Pemohon berdasarkan legal
standing-nya merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan mengajukan permohonan
yudicial review terhadap beberapa
pasal dari UUPT antara lain: Pasal 64, Pasal 65 ayat (1), Pasal 73, Pasal 74
ayat (1), Pasal 86 ayat (1), Pasal 87, Pasal 90, oleh karena pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD Negara RI
Tahun 1945 yaitu Pasal 28C ayat (1),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (4) dan
Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945.
Bunyi Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai berikut:
Pasal 28C ayat (1)
Setiap orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.”.
Pasal 28D ayat (1)
Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Pasal 28I ayat (4)
Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.
Pasal 31 ayat (1)
Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan.
Pasal 31 ayat (4)
Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Bunyi Pasal 64, Pasal
65 ayat (1), Pasal 73, Pasal 74 ayat (1), Pasal 86, ayat (1), Pasal 87, Pasal
90 UUPT, sebagai berikut:
Pasal 64
(1)
Otonomi pengelolaan Perguruan
Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 meliputi bidang akademik dan bidang
nonakademik.
(2) Otonomi
pengelolaan di bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma.
(3) Otonomi
pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan:
a. organisasi;
b. keuangan;
c. kemahasiswaan;
d. ketenagaan; dan
e. sarana prasarana.
Pasal 65 ayat (1)
Penyelenggaraan
otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan
secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan
menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk
PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.
Pasal 73
(1) Penerimaan Mahasiswa baru PTN untuk setiap Program Studi dapat
dilakukan melalui pola penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk lain.
(2) Pemerintah menanggung biaya calon Mahasiswa yang akan mengikuti
pola penerimaan Mahasiswa baru secara nasional.
(3) Calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah
memenuhi persyaratan akademik wajib diterima oleh Perguruan Tinggi.
(4) Perguruan Tinggi menjaga keseimbangan antara jumlah maksimum
Mahasiswa dalam setiap Program Studi dan kapasitas sarana dan prasarana, Dosen
dan tenaga kependidikan, serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya.
(5) Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi
akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.
(6) Penerimaan Mahasiswa baru PTS untuk setiap Program Studi diatur
oleh PTS masing-masing atau dapat mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru PTN
secara nasional.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan Mahasiswa baru PTN
secara nasional diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 74 ayat (1)
PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi
akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari
daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua
puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua
Program Studi.
Pasal 86 ayat (1)
Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif
memberikan bantuan dana kepada Perguruan Tinggi.
Pasal 87
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan hak pengelolaan kekayaan
negara kepada Perguruan Tinggi untuk kepentingan pengembangan Pendidikan Tinggi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 90
(1) Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan
Pendidikan Tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.
(3) Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat
diselenggarakan Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib:
a. memperoleh izin Pemerintah;
b. berprinsip nirlaba;
c. bekerja sama dengan Perguruan
Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan
d. mengutamakan Dosen dan tenaga
kependidikan warga negara Indonesia.
(5) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib mendukung kepentingan nasional.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi lembaga negara
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Ketentuan-ketentuan pasal dari UUPT tidak dapat dilihat secara terpisah atau tersendiri, melainkan harus dilihat
secara keseluruhan dengan pasal-pasal lainnya. Dalam ketentuan UU tersebut
terdapat jalinan norma dan pasal-pasal yang perlu dianalisis secara
utuh, artinya pasal-pasal dalam UUPT saling
terkait atau adanya keterkaitan satu dengan yang lain. Oleh karena itu kita
harus mempelajari jalinan pasal-pasal dalam UUPT, bagaimana hubungan antara
satu pasal dengan pasal-pasal lain dan yang paling penting apa yang mendasari
dan menjadi latar belakang dari pasal-pasal
tersebut serta nilai-nilai dan semangat yang terdapat dalam jalinan pasal-pasal tersebut.
Kemudian, inti argumentasi Permohonan judicial review dari
Pemohon terhadap pasal-pasal UU No. 12 Tahun 2012 dapat dirinci sebagai berikut:
a) UUPT membuka peluang dan melegitimasi komersialisasi
PT.
b) UUPT pengelolaan keuangan
layaknya sebuah korporasi.
c) UUPT memberikan pada PT otonomi
non akademik merupakan bentuk pelepasan tanggungjawab dan kontrol negara
terhadap PT yang berkeadilan dan diskriminatif.
d) UUPT membuka kesempatan pada
PT untuk melakukan abuse of power dalam bidang ketenagaan karena pegawai perguruan
tinggi tunduk pada PT.
e) PTN BH seperti
barang privat.
f) PTN BH sudah dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945
dengan putusan perkara No. 11-14-21-126-136 PUU-VII-2009.
g) Pemberian otonomi pada PTN yang menerapkan pola keuangan
BLU berarti memberi kemandirian pengelolaan di bidang keuangan pada PTN yang
belum tentu menyediakan pendidikan murah bagi masyarakat.
h) Pola penerimaan mahasiswa secara mandiri oleh PTN menjadi
pasal karet yang dapat digunakan sesuai keinginan PT yang bersangkutan yang
mengindikasikan pelepasan tanggungjawab pemerintah terhadap pendidikan tinggi,
tujuan komersial, berorientasi pasar, dan diskriminatif.
i) PT hanya mewajibkan PTN untuk mencari dan menjaring calon
mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara
ekonomi.
j) Inkonstitusional dengan pembukaan dan Pasal 31 ayat (4)
dan (5) UUD 1945.
k) UUPT bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31
ayat (1) UUD 1945. Menghambat pemenuhan hak konstitusional hak warga negara
atas pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Pelanggaran kewajiban
konstitusional pemerintah untuk menyediakan pembiayaan bagi pendidikan tinggi.
l) Pemberian izin kepada perguruan tinggi asing di wilayah
Indonesia bertentangan dengan kewajiban negara melalui PTN untuk
menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang di judicial
review, dapat di berikan penjelasan sebagai berikut:
a.
Ketentuan Pasal 64 UUPT
tidak menyebabkan terjadinya komersialisasi pada PTN. Pembentuk UU sudah
menegaskan bahwa pendidikan secara filosofis idealistik bukan komersialisasi
(dengan ciri yang tujuannya untuk mengejar keuntungan), sebab prinsip
otonomi PTN diantaranya dilaksanakan
dengan prinsip NIRLABA (Pasal 63 UUPT). PTN tidak pernah membagi keuntungan
pada rektor, dekan, dosen, dan tenaga kependidikan. Dana yang tersisa dari
pengelolaan PTN diperuntukkan bagi kepentingan peningkatan sarana dan prasarana
di PTN tersebut.
b.
Ketentuan Pasal 64 UUPT, tidak menetapkan Pengelolaan
Keuangan sebagaimana layaknya sebuah Korporasi. PTN dan PTN yang diberikan dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan
BLU serta PTN- bh untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu, mengelola
keuangan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal
64 ayat (5) UUPT. Selanjutnya, PTN-bh tidak dapat dikatakan korporasi dan bukan
pula “seperti korporasi” karena PTN-bh didirikan bukan dari kumpulan modal
pemegang saham, tetapi berasal dari pemisahan keuangan negara. Korporasi
mengenal adanya shareholders, tetapi
dalam PTN-bh hal itu tidak dikenal, melainkan adanya stakeholders (pemangku kepentingan) yang meliputi masyarakat, dan
alumni.
c. Ketentuan Pasal 64 UUPT tidak menyebabkan penyerahan otonomi non akademik sebagai
melepaskan tanggungjawab dan kontrol negara terhadap pendidikan tinggi yang
berkeadilan dan diskriminatif. Otonomi
non akademik diserahkan oleh UU kepada PT sebagai penyerahan yang sah
menurut hukum, karena otonomi non akademik yang diserahkan tersebut bukan
pelepasan tanggungjawab melainkan untuk upaya meningkatkan kualitas
akademik. Otonomi non akademik ini berkeadilan dan tidak bersifat
diskriminatif, oleh karena UU sudah menetapkan pembagian PTN dan PTN-bh untuk
menghasilkan pendidikan tinggi bermutu. Selanjunya Pasal 51 s/d Pasal 57 UUPT
ditetapkan Penjaminan Mutu dengan melaksanakan Sistem Penjamiman Mutu (Pasal 51
s/d Pasal 53 UUPT), melaksanakan Standard Pendidikan Tinggi (Pasal 54 UUPT),
melaksanakan Akreditasi (Pasal 55 UUPT), memiliki Pangkalan Data Pendidikan
Tinggi (Pasal 56 UUPT) dan memiliki Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (Pasal 57
UUPT). Selanjutnya UUPT menetapkan adanya alokasi sedikit 20 % untuk masyarakat
yang tidak mampu secara ekonomi tetapi
memiliki potensi akademik tinggi baik dari daerah terdepan, terluar, dan
tertinggal untuk memasuki PTN (Pasal 74 UUPT). Selanjutnya lagi, UUPT tidak bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan:
“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, oleh karenanya setiap
mahasiswa yang ingin memasuki PTN memiliki kesempatan yang sama tanpa
membedakan agama, warna kulit, suku, dan ras tetapi berbasis kepada kemampuan
intelektual dalam rangka mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain. Dengan
demikian UUPT telah menderivasi Konstitusi yang ide (cita-cita hukum)-nya
sejalan, selaras, dan harmonis sehingga
tidak terjadi antinomi hukum di dalamnya.
d. Ketentuan Pasal 64 UUPT tidak
membuka kesempatan pada PT untuk melakukan Abuse
Of Power dalam bidang Ketenagaan karena pegawai PT akan tunduk kepada PT.
PT tidak mungkin melakukan abuse of power
dengan alasan sistem perekrutan, pengangkatan, pemberhentian, penskoran, sudah
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kemudian, PT juga memiliki kebijakan
untuk mengelola dosen dan tenaga kependidikan sesuai keahlian dan
profesionalisme dalam meningkatkan kualitas penyelenggaran pendidikan di PT
(Pasal 69 UUPT s/d Pasal 72 UUPT).
e. Ketentuan Pasal 65
UUPT tidak menjadikan PTN-bh layaknya barang privat. UUPT
baik secara eksplisit maupun implisit (asas, dan norma hukum) dalam
pelaksanaannya sama sekali tidak mencerminkan sebagai barang privat (private goods) hal ini dapat dibuktikan
secara empirik, tidak satu pun para rektor, dekan, dosen, tenaga kependidikan
mengambil keuntungan/laba untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan untuk
kepentingan penyelenggaraan pendidikan tersebut. Selain itu sistem
pertanggungjawaban PTN-bh dilakukan
kepada otoritas publik (kepada Menteri, Dirjen, BPK, BPKP) dan bukan pada badan
swasta (privat).
f. Ketentuan Pasal 65 UUPT mengenai PTN-bh, tidak ada telah dinyatakan oleh MK
bertentangan dengan UUD 1945 dalam putusan perkaranya No. 11-14-21-126-136 PUU-VII-2009, sebab Putusan Perkara No. 11-14-21-126-136
PUU-VII-2009 ini tidak ada kaitannya dengan UUPT. Alasan yang diajukan oleh pemohon
mengenai hal ini sangat mengada-ada, berkelebihan, tidak masuk akal, karena
Putusan MK tersebut diputus sebelum
adanya (lahirnya) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. PTN-bh tidak
dikenal sebelum lahirnya UU ini, sehingga logika berfikir yuridis Pemohon
merupakan pemikiran yang keliru dan sesat.
g. Ketentuan Pasal 65 UUPT mengenai pemberian Otonomi pada PTN yang menerapkan
Pola Keuangan BLU, bukan berarti memberi kemandirian pengelolaan di Bidang Keuangan
Pada PTN menyebabkan tidak menyediakan Pendidikan murah bagi masyarakat. Tidak
ada korelasi atau hubungan antara kemandirian pengelolaan keuangan PTN-bh
dengan pola keuangan BLU dengan pendidikan murah bagi masyarakat. Karena
otonomi pengelolaan PT meliputi bidang akademik dan non akademik yang memiliki
otonomi terpisah. Pengelolaan penerimaan mahasiswa termasuk dalam otonomi
akademik, sedangkan kebijaksanaan operasional keuangan dalam hal ini termasuk
BLU merupakan otonomi non akademik. Pemohon masih dalam keadaan ragu-ragu untuk
memberikan telaah terhadap norma dalam UUPT, yang terlihat dalam kata: “PTN
yang belum tentu menyediakan pendidikan murah bagi masyarakat”, frase hukum ini
tidak memberikan alasan hukum yang kuat karena sangat bertentangan dengan UUPT
dan PP No. 23 Tahun 2005 dan perubahannya dalam PP No. 74 Tahun 2012, antara
lain Pasal yang terkait Pasal 6 UU No. 17 Tahun 2003, Pasal 74 UUPT. Hal ini
menunjukkan bahwa Pemohon tidak memiliki cita hukum yang pasti dan bersifat
coba-coba (trial and error) terhadap
eksistensi UUPT.
h. Ketentuan Pasal 73 UUPT, bukan
merupakan pasal karet, sehingga Pola Penerimaan Mahasiswa Secara Mandiri oleh
PTN dapat digunakan sesuai keinginan PTN yang bersangkutan, sehingga
terindikasi adanya: pelepasan tanggungjawab Pemerintah terhadap Pendidikan
Tinggi, tujuan komersial, berorientasi Pasar, dan Diskriminatif. PTN
berdasarkan Pasal 6 UUPT memiliki prinsip antara lain demokratis dan berkeadilan serta
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama,
nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa, serta kebebasan
dalam memilih Program Studi berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan mahasiswa.
Kebebasan dalam memilih Program Studi juga berdasarkan minat, bakat, dan
kemampuan mahasiswa, keberpihakan pada kelompok masyarakat kurang mampu secara
ekonomi.
i. Ketentuan Pasal 74
ayat (1) UUPT yang mewajibkan PTN untuk mencari dan menjaring calon mahasiswa
yang memiliki Potensi Akademik Tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi,
menunjukkan Perguruan Tinggi sebagai memiliki peran strategis dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang
berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan
keterjangkauan masyarakat namun memiliki potensi akademik yang tinggi.
Selanjutnya, PT bukan satu-satunya tempat bagi generasi muda untuk
mengembangkan kemampuan, karena PT sebagai lembaga yang berbasis kemampuan
intelektual memang mengharuskan kemampuan akademik yang sesuai, sehingga wajar
jika PTN mencari dan menjaring mahasiswa yang memiliki potensi akademik.
j. Ketentuan Pasal 86 Ayat (1) UUPT, bukanlah suatu yang Inkonstitusional dengan
Pembukaan dan Pasal 31 Ayat (4) dan (5) UUD 1945 karena adanya fasilitas dan
pemberian insentif bagi dunia usaha, masyarakat dan perorangan kepada PTN. Kerjasama
antara PTN dengan dunia usaha justru suatu hal yang dapat membangun dunia
pendidikan. Dengan kata lain bahwa PTN dan dunia usaha saling membutuhkan satu
sama lain. Ketentuan Pasal 86 ayat (1) UUPT tidak dapat dilihat dengan tidak
mengkaitkannya dengan Pasal lainnya. Pasal 86 ayat (1) UUPT, tidak muncul
dengan sendirinya yang terlepas dari Pasal terdahulu khususnya Pasal 83 UUPT,
84 UUPT, dan 85 UUPT yang intinya bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah, masyarakat
menyediakan dana bagi PTN yang dapat berupa hibah, wakaf, zakat dan sebagainya.
Sedangkan yang berkaitan dengan dunia usaha dan industri, pemerintah hanya memfasilitasi
dunia usaha dan dunia industri untuk memberikan bantuan dana pada PTN. Maka kekhawatiran
tentang pergeseran paradigma PTN menjadi lembaga yang profit oriented sangat
tidak beralasan.
k. Ketentuan Pasal 87 UUPT tidak bertentangan dengan Pasal
28C Ayat (1) dan Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945. Pasal 87 UUPT juga dibentuk bukan tanpa
memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Pasal
87 UUPT tidak tumpang tindih dengan Pasal 6 UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Pasal 87 UUPT juga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
pengelolaan kekayaan negara oleh PT karena tidak jelas bentuknya dan tidak sesuai
UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara (sebab pemegang kekuasaan
pengelolaan kekayaan negara seharusnya Presiden). Alasan yang dapat dikemukakan
terhadap hal tersebut bahwa dalam pembentukan perundang-undangan dikenal
sejumlah asas (baik formil maupun materil). Pemohon dalam hal ini tidak
menjelaskan asas mana yang tidak diperhatikan dan tidak menunjukkan memori
penjelasan (memorie van toelichting)
adanya pertentangan antara asas dengan norma hukum, sehingga permohonan pemohon
menjadi kabur dan bertentangan dengan
Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Lebih lanjut dapat
dijelaskan bahwa Pasal 87 UU PT dalam hubungannya dengan Pasal 6 UU No.17 Tahun
2003 berlaku asas lex specialis derogat
lex generalis. Dengan kata lain Pasal 87 UUPT tidak bertentangan dengan
Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 dan bahkan memberikan
kepastian hukum.
l. Ketentuan Pasal 90 UU PT, tidak menghambat pemenuhan hak
konstitusional hak warga negara atas pendidikan (khususnya Pendidikan Tinggi).
Pasal 90 UUPT, tidak melanggar kewajiban konstitusional pemerintah untuk
menyediakan pembiayaan bagi pendidikan tinggi. Pemberian izin kepada Perguruan
Tinggi lembaga negara lain di Wilayah Indonesia, tidak bertentangan dengan
kewajiban Negara melalui PTN untuk menyelenggarakan Pendidikan Tinggi oleh
karena Perguruan Tinggi negara lain tersebut wajib mendukung kepentingan
nasional (Pasal 90 ayat 4 UUPT). Selanjutnya, ketentuan Pasal 90 UUPT juga
tidak bertentangan dengan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28C ayat (1)
dan Pasal 28E ayat (1), sebab Perguruan Tinggi negara lain baru dapat
menyelengarakan pendidikan di wilayah RI jika telah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku serta memiliki (memenuhi) syarat yang ketat dan
selektif, yaitu memiliki izin pemerintah, berprinsip nirlaba, bekerjasama
dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin pemerintah, mengutamakan dosen dan
tenaga kependidikan WNI dan wajib mendukung kepentingan nasional.
-o0o-
*Tulisan ini merupakan hasil diskusi diantara:
-
Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS.
-
Prof. Dr. Tan Kamello, SH. MS.
-
Dr. Agusmidah, SH. MHum.
-
Bachtiar Hamzah, SH. MH.
-
Edy Ikhsan, SH. MA.
-
Armansyah, SH. MH.
-
M. Hayat, SH.
Putusan MK 1592_103 PPU 2012
Putusan MK_1593_111_PPU 2012
[1] Zulkarnain
Nasution, Apa itu ”Otonomi” Perguruan Tinggi? , http://berkarya.um.ac.id/2010/02/10/apa-itu-%E2%80%9Dotonomi%E2%80%9D-perguruan-tinggi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar