PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA KORPORASI
Oleh: Alvi Syahrin, Prof. Dr. MS. SH.
I.
Korporasi saat ini bergerak meluas ke bidang
ekonomi, pendidikan, kesehatan, riset, pemerintahan, sosial, budaya dan agama.
Perkembangan ini terjadi akibat peran perkembangan ilmu dan teknologi serta terjadinya
perubahan di bidang ekonomi.
Korporasi sebagai subyek hukum, menjalankan kegiatannya sesuai
dengan prinsip ekonomi yakni mencari keuntungan sebesar-besarnya, dan mempunyai
kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan
pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
Pertanggungjawaban
pidana korporasi pertama kali diterapkan oleh negara-negara common law, seperti Inggris, Amerika
Serikat, dan Kanada, dikarenakan sejarah revolusi industri yang terjadi lebih
dahulu pada negara-negara ini. Pengakuan terhadap pertanggungjawaban pidana
korporasi di pengadilan Inggris mulai pada tahun 1842, saat korporasi didenda
karena gagal menjalankan tugasnya menurut peraturan perundang-undangan.[1]
Alasan
keengganan menghukum korporasi, antara lain: korporasi merupakan subyek hukum
fiksi, dan menurut paham ultra vires
(bersalah karena bertindak melewati kewenangan) kesalahan yang dapat dihukum
apabila melanggar Anggaran Dasar Korporasi, serta terdapat hambatan-hambatan
lain seperti kurangnya mens rea (niat
untuk melakukan kejahatan) serta siapa yang harus hadir dalam persidangan
secara pribadi.
Mens
rea, pada dasarnya dimiliki oleh “manusia” yang melakukan perbuatan.
Sebab elemen umum mental (general mental
element) yang melekat pada mens rea,
antara lain: maksud (intention),
sembrono (recklesness), motif jahat (malice), penuh sadar (wilful), mengetahui (knowledge), dan lalai (negligence). Semua elemen itu, hanya
melekat secara inheren pada diri
manusia.[2]
Hal ini semua dapat menjadi hambatan untuk menghukum korporasi dengan sanksi
yang setimpal.
Ketentuan KUHP di Indonesia, hanya mengenal orang perseorangan sebagai
pelaku tindak pidana dan korporasi bukan merupakan subyek hukum pidana. Hal ini
dapat di lihat dari ketentuan Pasal 59 KUHP yang berbunyi: “Dalam hal-hal
dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota
badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus
atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak
dipidana.”
Perkembangan selanjutnya, baik dalam perundang-undangan pidana
maupun perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana sebagian besar
telah mengatur korporasi sebagai subyek hukum pidana. Bahkan, dalam Penjelasan
Umum Buku I Naskah Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP)
1999-2000 dinyatakan: “Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan
perdagangan, maka subyek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia
alamiah (natural person), tetapi juga mencakup manusia hukum (jurisical
person) yang lazim disebut korporasi, karena tindak pidana tertentu dapat
pula dilakukan oleh korporasi.
Korporasi subyek hukum, berarti korporasi sebagai bentuk badan
usaha harus mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Di samping itu,
masih dimungkinkan pula pertanggungjawaban dipikul bersama oleh korporasi dan
pengurus atau pengurusnya saja.
II.
Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang
erat dengan penentuan subyek hukum pidana. Subyek hukum pidana dalam ketentuan
perundang-undangan merupakan pelaku tindak pidana yang dapat
dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai
perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain (korban).[3]
Istilah “subyek hukum” sendiri memiliki arti yang luas dan tidak
terbatas pada manusia saja. Kata “orang” dalam hukum perdata berarti pembawa
hak atau subyek hukum (subjectum juris).
Akan tetapi, orang atau manusia bukanlah satu-satunya subyek hukum (natuurlijke persoon), karena masih ada
subyek hukum lain yang menurut hukum dapat memiliki hak-hak dan melakukan
perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang manusia, mempunyai kekayaan sendiri
dan dengan perantaraan pengurusnya dapat digugat dan menggugat di muka sidang
pengadilan. Subyek hukum dimaksud yaitu badan hukum (rechtpersoon), artinya orang yang diciptakan oleh hukum. Badan
hukum atau korporasi itu misalnya, suatu perkumpulan dagang yang berbentuk
perseroan terbatas, perserikatan orang atau yayasan, atau bentuk-bentuk
korporasi lainnya.[4]
Korporasi
pada awalnya merupakan suatu subyek hukum fiktif yang berbeda dari manusia yang
membentuknya.
Meskipun
di masa sebelum Revolusi Perancis, pertanggungjawaban kolektif dari suatu kota
atau gilde (kumpulan tukang ahli) sudah dikenal, dan gilde tersebut dapat dijatuhi pidana.
Akan tetapi, pengakuan terhadap korporasi sebagai subyek hukum pidana dalam
konteks hukum, baru mulai dirasakan karena peranan korporasi yang kian meluas.
Kongres
PBB VII pada tahun 1985, diantaranya membicarakan jenis kejahatan dalam tema
“Dimensi Baru Kejahatan dalam Konteks Pembangunan”, dan melihat gejala
kriminalitas yang merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan
ekonomi dimana korporasi banyak berperan di dalamnya, seperti terjadinya
penipuan pajak, kerusakan lingkungan hidup, penipuan asuransi, pemalsuan
invoice yang dampaknya dapat merusak sendi-sendi perekonomian suatu negara.
Melihat perkembangan dan pertumbuhan korporasi yang berdampak negatif tersebut,
kedudukan korporasi mulai bergeser dari hanya subyek hukum perdata menjadi termasuk
juga subyek hukum pidana.
Perubahan
peranan korporasi masa kini, terjadi karena modrenisasi sosial dan menjadikan
korporasi sebagai subyek hukum pidana. Menurut Satjipto Rahardjo, modernisasi
sosial menimbulkan dampak, yaitu semakin modern masyarakat itu semakin kompleks
sistem sosial, ekonomi dan politik yang terdapat di dalamnya, maka kebutuhan
akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula.
Kehidupan sosial tidak dapat lagi diserahkan kepada pola aturan yang sederhana,
melainkan dikehendaki adanya pengaturan yang semakin rapi terorganisasi, jelas
dan terperinci. Sekalipun cara-cara seperti ini bisa memenuhi kebutuhan
kehidupan masyarakat yang semakin berkembang namun persoalan-persoalan yang
ditimbulkan semakin bertambah banyaknya.
Pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana diterapkan di
negara-negara pada masa yang berbeda-beda dengan dilatarbelakangi sejarah dan
pengalaman yang berbeda di tiap-tiap negara, termasuk Indonesia. Namun pada akhirnya
ada suatu kesamaan pandangan, yaitu sehubungan dengan perkembangan
industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi serta
perdagangan yang telah mendorong pemikiran bahwa subyek hukum pidana tidak lagi
hanya dibatasi pada manusia alamiah saja (natural
persoon), tetapi juga meliputi korporasi, karena untuk tindak pidana
tertentu dapat dilakukan korporasi.[5]
Pengakuan terhadap korporasi sebagai subyek hukum pidana, sudah
mendunia. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dengan diselenggarakannya
konferensi Internasional ke-14 mengenai Criminal
Liability of Corporation di Atena dari tanggal 31 Juli hingga 6 Agustus
tahun 1994. Hasilnya, negara- negara yang semula tidak mengatur korporasi
sebagai subyek hukum pidana dan yang dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana, kemudian mengaturnya.[6]
Pengakuan terhadap korporasi sebagai subyek hukum pidana, juga ditemukan di dalam sistem hukum Inggris
dan Australia, walaupun tidak untuk semua kejahatan. Korporasi sebagai “orang”
atau “manusia” dalam mata hukum yang mampu melakukan sesuatu sebagaimana yang
dapat dilakukan oleh manusia, seperti memiliki kekayaan, melakukan kontrak dan
dapat dipertanggungjawabkan atas kejahatan yang dilakukan. Demikian juga, Amerika Serikat yang merupakan keluarga Common Law, juga telah mengakui korporasi sebagai subyek hukum pidana.
Indikasi ke arah itu sehubungan dengan dapat dipertanggungjawabkannya korporasi
atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh agennya, yaitu dengan
ketentuan, bahwa: 1) perbuatan yang dilakukan itu berada dalam lingkup
pekerjaannya; 2) perbuatan itu untuk kepentingan korporasi. Penggabungan konsep
antara pertanggungjawaban perdata dan pidana itu dapat mengobati pemikiran para
sarjana hukum yang telah lama merasa terganggu dengan adanya pendikotomian
antara kedua konsep pertanggungjawaban tersebut.[7]
Di
Indonesia, pengakuan korporasi sebagai subyek hukum pidana, pada saat ini pengaturannya
hanya dapat ditemukan dalam perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP,
ataupun perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana. Akan tetapi,
masih ada terlihat ketidaktuntatasan pembentuk undang-undang (kebijakan
formulasi) dalam merumuskan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dijatuhi
pidana. Adapun ketidaktuntasan tersebut yaitu mengenai kapan suatu korporasi
dianggap harus bertanggung jawab, ataupun bagaimana cara pertanggungjawabannya.
Prinsip
pertanggungjawaban korporasi (corporate
liability) di Indonesia yang tersebar dalam hukum pidana khusus (di luar
KUHP), menjadikan kebijakan formulasi yang menyangkut subyek tindak pidana
korporasi tidak berlaku secara umum, tetapi terbatas dan hanya berlaku terhadap
beberapa perundang-undangan khusus di luar KUHP tersebut. Di antara contoh
pertanggungjawaban korporasi sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan
di bidang lingkungan hidup.
Konsekuensi yuridis dengan tidak diaturnya
korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam Buku I KUHP (sebagai ketentuan
umum hukum pidana), yaitu pengaturannya dalam ketentuan undang-undang di luar
KUHP menjadi sangat beraneka ragam. Misalnya, Undang-Undang No. 41 tahun 1999
tentang Kehutanan, hanya meminta pertanggungjawaban pidana kepada pengurusnya
saja, sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (14)
yang berbunyi:
“Tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau
atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya
dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama,
dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3
(sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.”,
yang berbeda
dengan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH yang
dapat meminta pertangungjawaban baik kepada korporasinya mapun kepada pengurus
korporasi atau kepada pihak manejer korporasi yang bertanggungjawab dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup korporasi tersebut.
Menurut
Barda Nawawi Arief, perumusan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
perundang-undangan selama ini (undang-undang pidana khusus) terlihat hal-hal
sebagai berikut:
1.
banyak yang memasukkan “korporasi” sebagai subyek
tindak pidana, namun dengan berbagai variasi istilah;
2.
ada korporasi yang dijadikan subyek tindak pidana,
tetapi undang-undang yang bersangkutan tidak membuat ketentuan pidana atau
“pertanggungjawaban pidana” untuk korporasi;
3.
dalam hal Undang-Undang membuat pertanggungjawaban
korporasi, belum ada pola aturan pemidanaan korporasi yang seragam dan
konsisten, antara lain terlihat hal-hal sebagai berikut:
a.
ada yang merumuskan dan ada yang tidak merumuskan
“kapan korporasi melakukan tindak pidana dan kapan dapat
dipertanggungjawabkan”;
b.
ada yang merumuskan dan ada yang tidak merumuskan,
“siapa yang dapat dipertanggungjawabkan”;
c.
jenis sanksi:
1) ada yang
pidana pokok saja; ada yang pidana pokok dan tambahan; dan ada yang ditambah
lagi dengan tindakan “tata tertib”;
2) pidana
denda ada yang sama dengan delik pokok; ada yang diperberat;
3) ada yang
menyatakan dapat dikenakan tindakan tata tertib, tetapi tidak disebutkan
jenis-jenisnya.
Pembaharuan
hukum pidana di Indonesia ditandai dengan penyusunan Rancangan KUHP, yang menentukan
“korporasi merupakan subyek tindak pidana”. Adanya ketentuan tersebut menunjukkan
adanya upaya untuk menjangkau pertanggungjawaban pidana korporasi atas kejahatan-kejahatan
yang dilakukan oleh korporasi dan menunjukkan adanya akses perlindungan
terhadap korban kejahatan korporasi untuk memperoleh keadilan, yakni penerapan
perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak
asasi yang bersangkutan.
Ketentuan
penetapan dan penempatan korporasi sebagai subyek hukum pidana dan dapat dimintai
pertanggungjawabkan pidana dalam Rancangan KUHP, maka ketentuan ini akan
diberlakukan umum sebagai sistem aturan umum hukum pidana materiel. Oleh
karenanya, pemikiran-pemikiran terhadap pembaharuan hukum pidana (rancangan
KUHP) yang sudah lama dilakukan harus secepatnya bisa diselesaikan dan
direalisasikan.
Belum
jelasnya pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana, menyebabkan proses
penegakan hukum yang menyangkut korporasi sebagai pelakunya dalam praktik sulit
sekali ditemukan. Bahkan dalam beberapa putusan pengadilan yang seharusnya
korporasi dapat dituntut, tetapi dalam putusannya yang dituntut dan dipidana hanya
pengurus dari korporasi tersebut.
III.
Pertanggungjawaban pidana berkaitan
erat dengan unsur kesalahan. Unsur kesalahan merupakan jantung dari
pertanggungjawaban pidana. Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana,
dijatuhi hukuman pidana tanpa kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana berdasarkan
kesalahan (liability based on fault)
atau pada prinsipnya menganut asas kesalahan atau asas culpabilitas. Kemungkinan
dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas “strict liability” dan asas “vicarious
liability”, berdasarkan Naskah RUU KUHP, sebagaimana dalam Pasal 38 ayat
(1), (2) dinyatakan bahwa:
(1)
Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat
menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya
unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.
(2) Dalam hal
ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.
Pertanggungjawaban
pidana berdasarkan unsur kesalahan terhadap korporasi bukan hal yang mudah,
karena korporasi sebagai subyek hukum pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan
(kerohanian) seperti halnya manusia alamiah (natuurlijk).
Korporasi sebagai suatu subyek hukum yang semu,
pertanggungjawabannya dapat berasal dari perundang-undangan atau ketentuan umum
lainnya, dari tindakan atau kelalaian para direktur, pekerja atau agennya.
Meski demikian, tidak dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban seorang direktur
atau agen itu sepenuhnya dilimpahkan pada korporasinya, karena secara umum
harus ditemukan terlebih dahulu pelanggaran dari peraturan tertentu oleh
korporasi barulah dipertanyakan siapa yang melakukan kesalahan atau kelalaian
tersebut untuk dimintakan pertanggungjawaban.
Pendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasi merupakan primum
remedium dan hukum pidana sebagai ultimum remedium, namun diharapkan
dalam hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:[8]
1. The degree of loss to the public
2. the level of complicity by high corporate managers
3. the duration of the violation
4. the frequency of the violation by the corporation
5. evidence on intent to violate
6. evidence of extortion, as in bribery cases
7. the degree of notariety engedment by the media
8. precedent in law
9. the history of serious violation by the corporation
10. deterrence potential
11. the degree of cooperation wvinced by corporation.
Tujuan dari pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu memberikan
suatu dampak penting bagi direktur untuk mengatur manajemen yang efektif agar
korporasinya berjalan sesuai dengan kewajiban korporasi tersebut.
Pemidanaan terhadap korporasi, pada dasarnya memiliki tujuan yang
sama dengan hukum pidana pada umumnya, yaitu: pertama: untuk menghentikan dan
mencegah kejahatan di masa yang akan datang; kedua: mengandung unsur
penghukuman yang mencerminkan kewajiban masyarakat untuk menghukum siapapun
yang membawa kerugian; ketiga: untuk merehabilitasi para penjahat korporasi;
keempat: pemidanaan korporasi harus mewujudkan sifat kejelasan, dapat
diperdiksi dan konsitensi dalam prinsip hukum pidana secara umum; kelima: untuk
efisiensi, dan yang keenam: untuk keadilan.[9]
Pengaturan mengenai hukum pidana yang diatur di dalam
undang-undang di luar KUHPidana, menyangkut tiga persoalan, yaitu pidana dan
pertanggungjawaban pidana korporasi yang aktivitasnya dijalankan oleh para
pengurus seperti manajer maupun direktur korporasi. Artinya, ketiga persoalan
pokok tersebut yaitu perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan
yang dilarang, dan pidana.[10]
Menurut Muladi,[11] berkaitan dengan pertanggungjawaban
korporasi dan memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta
pemikiran yang berkembang maupun kecenderungan internasional, maka
pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hendaknya
memperhatikan hal-hal:
1. Korporasi mencakup baik badan
hukum (legal entity) maupun non badan hukum seperti
organisasi dan sebagainya;
2. Korporasi dapat bersifat privat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat publik (public entity);
3. Apabila diidentifikasikan bahwa
tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang
alamiah (managers, agents, employess) dan
korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bipunishmentprovision);
4. Terdapat kesalahan manajemen korporasi dan
terjadi apa yang dinamakan breach of- a statutory
or regulatory provision;
5. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan
terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggung jawab di dalam badan hukum
tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana;
6. Segala sanksi pidana dan tindakan
pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana
penjara. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa Amerika Serikat mulai dikenal apa
yang dinamakan corporate death penalty dan corporate imprisonment yang
mengandung pengertian larangan suatu korporasi untuk
berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan pembatasan-pembatasan lain
terhadap langkah-langkah korporasi dalam berusaha;
7. Penerapan sanksi pidana terhadap
korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan;
8. Pemidanaan terhadap korporasi
hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan korporasi,
melalui kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executive officers) yang memiliki kekuasaan untuk
memutuskan (power of decision) dan
keputusan tersebut telah diterima (accepted)
oleh korporasi tersebut.
IV.
Kedudukan sebagai pembuat dan sifat
pertanggungjawaban pidana korporsi, terdapat model pertanggungjawaban
korporasi, sebagai berikut:
1. Pengurus
korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab.
2. Korporasi
sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab; dan
3. Korporasi
sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Pengurus
korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab, mengandung
makna bahwa kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban
yang dibebankan itu sebenarnya merupakan kewajiban dari korporasi. Pengurus
yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem
ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Dasar pemikiran dari konsep ini
yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu
pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan delik itu. Dan,
karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.
Korporasi
sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab, disini ditegaskan bahwa
korporasi sebagai pembuat, sedangkan pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggung
jawab. Hal ini berkenaan dengan pandangan bahwa apa yang dilakukan oleh
korporasi merupakan apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut
wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan korporasi
merupakan tindak pidana yang dilakukan orang tertentu sebagai pengurus dari
badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu
yaitu onpersoonlijk. Orang yang
memimpin korporasi bertanggung jawab secara pidana, terlepas dari apakah dia
mengetahui atau tidak mengenai dilakukannya perbuatan itu. Pandangan ini juga
sejalan dengan pandangan Roeslan Saleh yang setuju bahwa prinsip ini hanya
berlaku untuk pelanggaran saja.
Korporasi
sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab, yang menjadi motivasi
dari model pertanggungjawaban ini yaitu dengan memerhatikan perkembangan
korporsi itu sendiri. Ternyata untuk beberapa delik tertentu, ditetapkannya
pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Dalam delik
ekonomi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus,
jika dibandingkan dengan keuntungan yang
telah diterima oleh korproasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian
yang ditimbulkan dalam masyarakat, atau yang diderita saingannya, keuntungan
dan/atau kerugian itu lebih besar jumlahnya daripada denda yang dijatuhkan
sebagai pidana. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa
korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh
undang-undang itu.
Keuntungan dari penerapan bentuk pertanggungjawaban pribadi
direktur dan manajer jelas agar mereka dapat mematuhi hukum yang berlaku
sehingga menghindarkan mereka dari sikap yang dapat membahayakan korporasi,
para stakeholder, dan lingkungan hidup serta masyarakat sekitar.[12] Penerapan
pertanggungjawaban terhadap para direktur dan manajer suatu korporasi sesuai
peraturan akan menciptakan suatu kondisi bagi mereka untuk taat pada hukum.
Pertanggungjawaban derivatif, secara terminologi, berasal dari
pertanggungjawaban korporasi itu sendiri. Oleh sebab itu, haruslah dicari
terlebih dahulu pertanggungjawaban korporasi itu sehingga tidak ada
penyangkalan, barulah direkturnya dapat dimintai pertanggungjawaban secara
pribadi.[13]
Perlu dijadikan pemikiran untuk meminta pertanggungjawaban pidana
kepada para pemegang saham maupun komisaris dalam hal telah terjadi pelanggaran
pidana lingkungan yang serius yang menyebabkan kematian orang banyak, namun
para pemegang saham maupun komisaris tidak memiliki kepeduliannya serta tidak
berusaha untuk mendorong korporasi dan pengurus korporasi melakukan langkah
langkah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Model
pertanggungjawaban ini berasal dari teori piercing
the corporate veil. Teori ini mengharuskan adanya penerapan kearifan,
kehati-hatian dan pemikiran dalam suatu cakrawala hukum dengan visi yang
perspektif dan responsif pada keadilan. Penerapan prinsip ini juga harus dikaitkan
dengan prinsip keterpisahan badan hukum.[14]
Penetapan
korporasi sebagai pelaku tindak pidana mengakibatkan juga korporasi dapat
sebagai pelaku tindak pidana. Misalnya dalam kasus lingkungan hidup. Pada penetapan
korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup, teori dasar hukum
pidana tetap berlaku, yaitu tidak hanya sebatas penetapan dan penempatan
korporasi sebagai “subyek hukum pidana” saja, tetapi perlu adanya ketentuan
khusus tentang “pertanggungjawaban pidana” untuk korporasi. Pertanggungjawaban
pidana merupakan pertanggungjawaban setiap orang (dibaca: korporasi) terhadap
tindak pidana yang dilakukannya. Maksudnya yaitu harus ada tindak pidana
lingkungan hidup yang dilakukan baru dapat dipertanggungjawabkan terhadap
setiap orang (korporasi) yang melakukan
tindak pidana tersebut.
Oleh
karena itu, yang dipertanggungjawabkan setiap orang (korporasi) yaitu tindak
pidana lingkungan hidup yang telah dilakukannya. Akan tetapi tidak selalu setiap
orang (korporasi) yang melakukan tindak
pidana lingkungan hidup dapat dipidana, karena untuk memenuhi syarat agar dapat
dipertanggungjawabkannya setiap orang atas tindak pidana yang dilakukan harus
adanya unsur kesalahan sebagai wujud rasa keadilan. Dirasakan tidak adil
apabila setiap orang (korporasi) dijatuhi pidana padahal sama sekali tidak
bersalah. Adanya unsur kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana inilah yang
dalam hukum pidana dikenal sebagai asas kesalahan (geen straaf zonder schuld), yakni asas tiada pidana tanpa
kesalahan.[15]
Hukum pidana dapat memberikan sumbangan dalam perlindungan hukum
bagi lingkungan hidup, namun demikian perlu diperhatikan batasan-batasan yang
secara inheren terkandung dalam penerapan hukum pidana tersebut, seperti asas
legalitas maupun asas kesalahan.[16]
V.
Ada berbagai doktrin yang dapat digunakan untuk
menjelaskan pertanggungjawaban pidana korporasi[17],
di antaranya: Models of Adaptation and Imitation: Vicarious Liability and
Direct Liability; Model Agregasi: The Idea of Collective Knowledge; Model Separate Self-Identity.
Hukum
Anglo-Amerika mengembangkan dua model dasar untuk membebankan tanggung jawab
pidana kepada korporasi, yakni vicarious
liability dan direct liability.[18]
Kedua model tersebut terdapat
perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam hal inti, struktur, dan ruang
lingkupnya, namun kedua model ini memiliki tujuan yang sama yaitu untuk
beradaptasi dan berimitasi proses pembebanan tanggung jawab pidana pada
manusia. Hukum berusaha untuk memastikan bahwa “suatu norma hukum yang menuntut
adanya suatu karakter manusia, dapat juga, secara prinsip, berlaku pada
korporasi.”.
Vicarious
liability dan Direct Liability,
berawal dari titik yang sama, yaitu: Pertama, merujuk pada manusia yang mana
melalui tingkah laku mereka, ataupun melalui kondisi mental mereka, telah
menciptakan dasar bagi kejahatan tersebut; Kedua, menciptakan suatu struktur
hukum tambahan, dengan berupaya untuk mentransfer tanggung jawab atau tingkah
laku dan juga pola pikir dari manusia ke korporasi, dan menyatakan bahwa
korporasi itu bertanggung jawab.
Istilah “vicarious
liability” oleh Black diartikan sebagai indirect legal responsibility, for example,
the liability of an employer for the acts of an employers, or principal for
torts and contracts of an agent.
Menurut ajaran vicarious
liability (ajaran pertanggungjawaban vikarius), seseorang dimungkinkan
untuk harus bertanggung jawab terhadap perbuatan orang lain. Jika ajaran ini
diterapkan pada korporasi, maka korporasi dimungkinkan harus bertanggung jawab
atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya atau
mandatarisnya, atau siapa saja yang bertanggung jawab kepada korporasi
tersebut.[19]
Artinya, apapun yang dilakukan seseorang manager ataupun majikan
melalui agennya, hal ini sama dengan dia melakukannya sendiri. Atau dengan kata
lain, hukum memandang bahwa tindakan agen ataupun karyawan merupakan tindakan
yang dilakukan oleh kepala atau majikan, dan bahwa pengetahuan agen atau
karyawan merupakan pengetahuan dari kepala atau majikan.
Model vicarious liability merupakan suatu
bentuk model adaptasi yang sangat jelas, oleh karena pada awalnya, model ini
digunakan untuk memperluas ruang lingkup tanggung jawab pidana dan membuat
tanggung jawab tersebut menjadi bisa dibebankan dalam kondisi yang telah
diatur, pada seorang kepala atau pemilik korporasi atas tindakan yang dilakukan
oleh agen ataupun karyawannya. Dan, jika dilihat dari
sejarah pembentukan model ini, teori atau doktrin atau ajaran vicarious liability diambil dari Hukum Perdata
yang diterapkan ke dalam Hukum Pidana. Ajaran ini mengatur tentang perbuatan
melawan hukum berdasarkan doctrine of
respondeat superior.
Menurut doctrine of
respondeat superior terdapat hubungan antara master dan servant atau
antara principal dan agent, berlaku maxim yang berbunyi qui facit per alium facit per se.
Menurut maxim tersebut, seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia
sendiri yang melakukan perbuatan itu.[20]
Doktrin vicarious liability yang memberikan
dasar bagi korporasi untuk bertanggung jawab atas tindakan agen-agennya atau
karyawannya (tidak peduli apa posisi agen atau pegawai tersebut dalam hirarki
korporasi juga apa jenis pelanggarannya). Namun demikan, terdapat syarat yang
harus dipenuhi untuk korporasi bertanggungjawab atas tindakan agen-agennya atau
karyawannya, yaitu:[21]
1.
Agen tersebut bertindak dalam ruang lingkup
pekerjaannya, memiliki kewenangan untuk bertindak untuk korporasi yang
berkaitan dengan bisnis korporasi tertentu yang telah dilakukan secara tercela
dan merupakan kejahatan pidana;
2.
Agen tersebut bertindak, setidaknya sebagian dari
tujuannya untuk memajukan kepentingan bisnis korporasi tersebut.
Suatu korporasi hanya dapat dibebani pertanggungjawaban secara
vikarius terhadap tindakan yang dilakukan oleh pegawainya atau kuasanya, namun
dalam hal perbuatan tersebut dilakukan dalam rangka menjalankan tugasnya
sebagai pegawai atau kuasa dari korporasi tersebut. Secara a contrario hal itu berarti seorang pemberi kerja tidak harus
memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawainya
apabila perbuatan itu dilakukan di luar atau tidak ada hubungan dengan
tugasnya.[22]
Selanjutnya,
dalam perkembangan doktrin vicarious
liability, selain dua syarat yang telah disebutkan di atas, pengadilan
Amerika menambahkan syarat yang ketiga, yaitu tindak-tindak pidana tersebut
disetujui, ditoleransikan atau disahkan oleh managemen korporasi. Syarat ini
membuat doktrin ini semakin mirip dengan doktrin direct liability.[23]
Pertanggungjawaban ini dilekatkan kepada korporasi dan berlaku dalam kasus
perdata maupun pidana, dan tidak memandang apakah agennya hanya karyawan biasa
atau pejabat korporasi tingkat tinggi.[24]
Untuk kejahatan sengaja yang oleh undang-undang dapat dijadikan
dasar untuk memidana korporasi (misal price-fixing dan securities
violations), American Model Penal Code (MPC) secara tegas menganut prinsip
“respondeat superior”. Disini korporasi bertanggung jawab atas
kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para agen dalam ruang lingkup
pekerjaannya dan dilakukan dengan sengaja untuk menguntungkan korporasi.[25]
Pengadilan-pengadilan
di Amerika kemudian mengembangkan doktrin vicarious
liability dan mencontoh teknik yang telah dikembangkan ini demi menerapkan
tanggung jawab kepada kepala atau pemilik korporasi, dan memperluasnya ke
kasus-kasus dimana kepala atau majikan dalam kasus tersebut merupakan suatu
badan hukum. Logika di balik perluasan ini dapat dilihat dari putusan oleh
Mahkamah Agung Amerika Serikat, pengadilan tersebut menyebutkan bahwa ia
membawa doktrin ini “hanya satu langkah lebih jauh … demi kepentingan dari
kebijakan umum”, untuk mengawasi tingkah laku karyawan dengan menghubungkan
tindakannya pada atasannya dan menerapkan hukum terhadap korporasi dimana ia
bekerja.[26]
Doktrin vicarious
liability yang memakai prinsip “respondeat superior” sebagai
dasarnya, menetapkan suatu pertanggungjawaban menurut hukum terhadap seseorang
atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for
the wrongful acts of another).[27]
Pertanggungjawaban ini terjadi, misalnya dalam hal perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh orang lain dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatannya. Dengan
demikian, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan
tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih tetap dapat
dipertanggungjawabkan.[28]
Pembebanan
tanggung jawab ini berlangsung dalam proses dua tahap. Pertama, dilakukan suatu
pengujian apakah elemen-elemen kejahatan itu terpenuhi dalam tindakan agen atau
karyawannya. Kedua, jika elemen-elemen tersebut telah ditemukan dalam tindakan
pelaku, kemudian dikaitkan pada kepala atau pemilik korporasi, berdasarkan
hubungan hukum yang berlaku di antara mereka.[29]
Menurut
hukum, pemilik korporasi dan karyawan merupakan dua entitas yang berbeda dan
mandiri, hanya salah satu dari mereka, yakni pemilik korporasi atau agen yang
memang terlibat dalam tindakan atau pemikiran tersebut. Tetapi, berdasarkan
pertimbangan dari kebijakan hukum yang berakar dari asosiasi dan hubungan
atasan-bawahan yang ada di antara mereka, suatu pemikiran fiktif dapat
dibentuk. Tindakan dan pemikiran dari salah seorang individual yang mengikuti
perintah dari orang lain, merupakan tindakan atau pemikiran dari pemberi
perintah itu sendiri. Pemikiran fiktif ini kemudian membentuk hukum bahwa
tindakan dari seseorang akan mengikat orang lain.[30]
Doktrin ini dipraktekkan dalam hukum lingkungan hidup di
Indonesia. Hal ini diatur dalam Pasal 116 ayat (2) UUPPLH yang mengandung
prinsip vicarious liability.
Berdasarkan prinsip ini, pelaku usaha dapat dituntut bertanggung jawab atas
perbuatannya, termasuk perbuatan orang lain tetapi masih di dalam lingkungan
aktivitas usahanya atau akibat yang bersumber dari aktivitasnya yang dapat
merugikan orang lain.[31]
Berdasarkan prinsip vicarious
liability, pimpinan korporasi atau siapa saja yang memberi tugas atau
perintah bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahan atau
karyawannya. Tanggung jawab ini diperluas hingga mencakup perbuatan-perbuatan
yang dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan
lain. Dengan demikian, siapa saja yang bekerja dan dalam hubungan apa saja
pekerjaan itu dilakukan, selama hal tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan
korporasi, menjadi tanggung jawab korporasi. Menurut Pasal 116 ayat (2) UUPPLH,
pihak korporasi yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin,
memiliki kapasitas pertanggungjawaban untuk dipidana.[32]
Doktrin vicarious liability ini sangat penting.
Tanpa doktrin ini, dapat dipertanyakan apakah pelanggaran dalam bidang seperti
perlindungan konsumen atau hukum lingkungan hidup dapat ditindaklanjuti dengan
efektif.[33]
Namun demikian, masih terdapat kelemahan-kelemahan dari doktrin vicarious liability, yakni: doktrin ini gagal memberikan
penyelesaian yang komprehensif terhadap isu pembebanan tanggung jawab pidana
terhadap badan-badan hukum.[34]
Keterbatasan-keterbatasan
yang mempengaruhi ruang lingkup doktrin vicarious
liability dalam hukum pidana tradisional mendorong terbentuknya doktrin direct liability atau Teori
Identifikasi.
Menurut doktrin identifikasi[35] perbuatan dan sikap batin
dari orang-orang tertentu yang berhubungan erat dengan korporasi dan
pengelolaan korporasi, dipandang sebagai perbuatan dan sikap batin korporasi.
Orang-orang itu dapat disebut sebagai “senior officer” dari korporasi.[36] Dalam
konteks pidana, personifikasi badan hukum memiliki arti bahwa pada saat
melakukan tindakan pidana atau memiliki niat pidana, organ korporasi merupakan
korporasi itu sendiri.[37]
Niat
tersebut sangat penting dalam doktrin ini, sebab doktrin ini didasarkan pada penentuan
niat pidana, dan penentuan orang yang akan dijadikan sebagai korporasi sebagai
satu-satunya ego penentu terpenting
dalam badan hukum tersebut.[38]
Doktrin direct liability
merupakan dasar pertanggungjawaban korporasi terhadap tindak pidana. Oleh karena
itu korporasi bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat
senior di dalam korporasi, sepanjang ia melakukannya dalam ruang lingkup
kewenangan atau dalam urusan transaksi korporasi. Doktrin identifikasi atau direct
liability doctrine ini di samping dapat digunakan untuk
mempertanggungjawabkan korporasi di bidang hukum pidana, pada sisi lain juga
dapat membatasi pertanggungjawaban korporasi. Apabila kejahatan dilakukan oleh
karyawan atau agen yang tidak mempunyai status sebagai pejabat senior,
korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan, kecuali undang-undang menetapkan
dasar pertanggungjawaban yang lain.[39]
Doktrin direct liability, secara khusus
dikembangkan demi menerapkan tanggung jawab korporasi, dan pada dasarnya
bertujuan untuk meniru pembebanan tanggung jawab terhadap manusia. Doktrin direct liability ini bergantung pada
personifikasi badan hukum. Doktrin ini mengidentifikasi pola tindakan dan
pikiran dari individu tertentu dalam korporasi - yang disebut dengan istilah
organ korporasi - yang bertindak dalam ruang lingkup kewenangan mereka dan atas
nama badan korporasi, sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri.[40]
Proses
identifikasi ini kemudian menjadi dasar dari proses imitasi. Suatu korporasi dapat
dianggap bertanggung jawab pidana atas kejahatan pidana, sama seperti tanggung
jawab yang dibebankan pada pelaku manusia, dengan tetap terbatasi oleh
keterbatasan-keterbatasan alami yang mengikuti karakter korporasi sebagai suatu
kepribadian hukum.[41]
Perlu
diketahui bahwa doktrin direct liability,
sama seperti doktrin vicarious liability,
mengikuti proses dua tahap. Pertama-tama, tindakan manusia yang
dipertimbangkan; proses identifikasi ini kemudian dilakukan secara terpisah
untuk melihat apakah pantas dalam keadaan tersebut untuk menganggap seorang
manusia tertentu sebagai organ korporasi.[42]
Pada
tahun 1972, Chamber of Lords di Inggris membandingkan korporasi dengan manusia,
individu-individu yang berbeda mewakili organ-organ dan fungsi-fungsi yang
berbeda dari badan hukum tersebut (misalnya direktur dan manager mewakili
pemikiran, otak, dan keinginan dari korporasi tersebut). Putusan ini kemudian
menjadi satu dobrakan baru dalam hukum Inggris terutama dalam topik pemidanaan
korporasi.[43]
Doktrin direct liability, lebih mendekati
kenyataan karena berhubung korporasi tidak memiliki kapabilitas internal alami
untuk bertindak, suatu korporasi harus bertindak, baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui manusia sebagai wakilnya.[44]
Doktrin direct liability ini juga dapat disebut
sebagai teori corporate organs. Tindakan
dan niat dari suatu organ merupakan tindakan dan niat dari korporasi. Teori corporate organs lebih banyak
dikembangkan dan diterapkan di Inggris dan sistem-sistem hukum di bawah pengaruhnya.
Teori ini juga telah diterima di beberapa negara bagian Amerika.[45]
Teori corporate organs menunjuk pada orang
yang menjalankan kewenangan dan pengendalian dalam badan hukum, dengan kata
lain, orang yang mengarahkan dan bertanggung jawab atas segala gerak-gerik
badan hukum, orang yang menetapkan kebijakan korporasi, dan orang yang menjadi
“otak dan pusat saraf” dari korporasi tersebut.[46]
Suatu
keputusan diperlukan untuk menyatakan bahwa tindakan dan pikiran dari
individu-individu tertentu dapat diidentifikasikan sebagai tindakan dari
korporasi itu sendiri. Oleh sebab itu, tidak salah apabila disimpulkan bahwa
“ego” ataupun “otak” dari korporasi harus merupakan organ penting dari
korporasi. Seorang individual yang sangat senior dalam struktur korporasi untuk
dapat mewakili niat dari korporasi tersebut.[47]
Sehingga, wajar jika membatasi wakil-wakil tersebut ke suatu kelompok yang
relatif kecil yakni individu atau badan korporasi yang menetapkan kebijakan
korporasi, seperti dewan direksi. Artinya, individu tertentu tersebut dianggap
sebagai korporasi itu sendiri karena status, kewenangan, dan perilaku mereka.[48]
Doktrin
ini tetap masih memiliki kelemahan. Isu utama dalam doktrin direct liability, membahas tentang
kriteria untuk menentukan organ-organ korporasi. Tetapi berhubung ada banyak
jenis korporasi dengan kebebasan mereka untuk membentuk struktur operasinya
sendiri, tidak mungkin untuk bisa menerapkan aturan tetap pada isu ini. Pada
akhirnya harus ada suatu diskresi bertujuan melakukan penentuan sesuai dengan
kondisi dalam kasus, tetapi ini justru menimbulkan ketidakpastian dalam doktrin
tersebut.[49]
Akan
tetapi saat ini hukum dari berbagai negara yang memuat kriteria untuk
mendefinisikan organ-organ korporasi menunjukkan banyak persamaan dan
perbedaan. Seperti dalam MPC (Amerika), menyatakan bahwa, “the corporation’s agent is a “senior managerial agent” identified with
the legal body, when granted duty of such responsibility that his conduct may
fairly be assumed to represent the policy of the associaton.”[50]
Begitu
juga dengan hukum pidana Israel, yang menyatakan bahwa, “If, under the circumstances of the case and in the light of the
person’s position, authority and responsibility of the person in the managemen
of the affairs of the body corporate - the act by which he committed the
offence, his criminal intent or his negligence are deemed to be the act, the
criminal intent or the negligence of the body corporate.”[51]
Ada juga
peraturan perundang-undangan yang menekankan bagian elemen hirarki dalam
struktur korporasi, seperti, the bill of
the 1989 English Law Commission. Di dalamnya controlling officer didefinisikan sebagai orang yang tingkah laku
dan niatnya, saat dia bertindak dalam kapasitasnya dan dalam kehadiran kondisi
mental yang diperlukan, mengikat korporasi tersebut, sebagai seseorang yang
berpartisipasi dalam “pengendalian korporasi tersebut dalam kapasitas sebagai
seorang direktur, manajer, sekretaris, atau pengurus lain dengan kewenangan
yang setara.”[52]
Di Inggris, doktrin pertanggungjawaban langsung atau direct
liability doctrine juga menunjuk pada alter ego (identification
doctrine atau the primary corporate liability doctrine). Doktrin ini
dapat diatribusikan pada tiga putusan Inggris pada tahun 1944. Salah satu
diantaranya, kasus D.P.P. V. Kent abd Sussex Contractors Ltd. Pengadilan
mempertanggungjawabkan korporasi atas delik tentang peraturan
pendistribusian/pencatutan bensin yang mensyaratkan bukti adanya unsur “sengaja
menipu” (intent to deceive).[53]
Mengenai doktrin alter ego
ini, MPC mengadopsi/menerima dengan menetapkan bahwa korporasi dapat
dipertanggungjawabkan atas delik yang dilakukan oleh agen hanya apabila delik
itu dilakukan berdasarkan wewenang yang dibenarkan/disahkan, atau ditolerir
(dibiarkan) secara sembrono oleh the board of directors atau oleh a
high managerial agent.[54]
Memperhatikan
uraian tersebut di atas, maka RUPS, dewan direksi, dan CEO merupakan organ
korporasi, oleh karena mereka yang menentukan kebijakan korporasi berdasarkan
kewenangan yang telah diberikan oleh hukum dan anggaran rumah tangga korporasi
tersebut. Sedangkan peran dari pengurus yang levelnya sedikit lebih rendah di
bawah dari mereka di satu sisi bergantung pada konteks faktual dan di sisi lain
mencerminkan kebijakan hukum.[55]
Pendekatan
pertanggungjawaban pidana dengan model aggregation
dan self-identity, telah dikembangkan
untuk mencocokkan diri dengan struktur korporasi dan operasi korporasi secara
lebih baik.[56]
Model ini mencerminkan proses perubahan dan perluasan yang menarik yang telah
mempengaruhi doktrin vicarious liability.
Proses-proses ini berkaitan dengan kebutuhan dan isu yang merupakan hasil dari
struktur desentralisasi dan rumit, yang khas dari korporasi modern yang besar.
Teori vicarious liability telah mengalami
perkembangan lebih lanjut karena teori ini berdasarkan fiksi. Gagasan baru
mengenai model agregasi ini diperoleh dari fiksi atribusi yang mendasari vicarious liability, akan tetapi dalam
model agregrasi dikembangkan lebih lanjut hingga melebihi perspektif fiksi
tersebut.[57]
Ruang
lingkup model agregasi memiliki bentuk komprehensif yang luas dan bersifat
menambah pada model-model sebelumnya. Model ini tidak bersaing dengan mereka,
juga tidak menawarkan suatu alternatif baru untuk menggantikan pendekatan yang
dulu. Collective knowledge menangani
situasi-situasi yang tidak diperhatikan oleh model-model sebelumnya. Ia (model
agregasi) bertujuan untuk memperluas tanggung jawab badan-badan hukum dengan
memasukkan kejadian baru yang sebelumnya berada di luar ruang lingkup
doktrin-doktrin sebelumnya.[58]
Model
Agregasi ini memperbolehkan pemidanaan terhadap badan-badan hukum dengan
menghubungkan pemikiran dari beberapa agen yang berbeda dalam suatu badan hukum
dan menciptakan elemen batin yang diperlukan. Pengetahuan yang dimiliki oleh
tiap-tiap agen yang berbeda dihubungkan ke korporasi secara terpisah, dengan
bergantung pada aturan-aturan yang telah dikenal dalam doktrin vicarious liability. Unit-unit yang
terpisah ini kemudian diagregasikan ke dalam satu kesatuan pidana, dengan fiksi
atribusi, dianggap telah dikendalikan oleh korporasi.[59]
Dengan kata lain, korporasi dapat dibuat bertanggung jawab berdasarkan
pengetahuan kolektif dari karyawan-karyawan sebagai suatu kelompok dan bukan
hanya dari pengetahuan dari seorang karyawan saja.[60]
Apabila ditinjau dari unsur-unsur pidana, proses akumulasi dari
Model Agregasi akan terlihat lebih jelas. Bagi tindak pidana yang mengharuskan
adanya unsur perbuatan (actus reus)
dan unsur kesalahan (mens rea), kedua
unsur tersebut tidak harus terdapat pada satu orang saja. Artinya, orang yang
melakukan actus reus tidak perlu
harus memiliki sendiri mens rea yang
menjadi dasar bagi tujuan dilakukan actus
reus tersebut, asalkan dalam hal orang itu melakukan actus reus yang dimaksud adalah menjalankan perintah atau suruhan
orang lain yang memiliki sikap kalbu yang menghendaki dilakukannya mens rea tersebut oleh orang yang
disuruh. Dengan gabungan antara actus reus
yang dilakukan oleh pelaku yang tidak memiliki mens rea (tidak memiliki sikap kalbu yang salah) dan mens rea yang dimiliki oleh orang yang
memerintahkan atau menyuruh actus reus
itu dilakukan maka secara gabungan (agregasi)
terpenuhi unsur-unsur (actus reus dan
mens rea) yang diperlukan bagi
pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Hal ini memungkinkan
pelaku actus reus yang melakukan
perbuatannya hanya berdasarkan sikap kalbu untuk menjalankan perintah
atasannya, tetapi tidak menyadari latar belakang yang sesungguhnya dari tindak
pidana yang dilakukannya, dalam hal demikian, maka yang bersangkutan tidak
harus memikul beban tanggung jawab pidana atas actus reus yang dilakukannya karena tidak memiliki mens rea yang dipersyaratkan. Akan
tetapi, korporasi tetap harus bertanggung jawab atas tindak pidana yang
dilakukan karena terpenuhi syarat adanya actus
reus dan adanya mens rea sebagai
hasil agregasi (gabungan) dari beberapa orang (pelaku).[61]
Proses
dua tahap ini dimana elemen tanggung jawab ditentukan dalam perilaku para agen
dan kemudian dihubungkan ke korporasi, yang menjadi ciri-ciri khas dari model vicarious dan identification, masih juga dipertahankan dalam model agregasi.
Namun, pemilihan dan penggabungan dari berbagai elemen menjadi suatu kejahatan
yang utuh yang mengakibatkan jatuhnya tanggung jawab pidana pada suatu
korporasi, dapat mengubah tindakan para agen atau karyawan yang awalnya tidak
bersalah menjadi tindakan korporasi atau ommisi dalam konteks pidana. Ini dapat
terjadi bahkan saat keadaan menunjukkan bahwa tidak ada satu pun dari para agen
dan karyawan tersebut bertindak dengan niat kejahatan yang dibutuhkan dalam
penentuan kejahatan yang dituntut tersebut.[62]
Artinya, dinyatakan bersalah atas tindakannya karena tidak melaksanakan apa
yang menjadi kewajibannya. Penerapan teori ini membawa keuntungan, untuk
menutupi lubang-lubang hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korporasi.[63]
Selanjutnya,
model pertanggungjawaban pidana korporasi dapat didasarkan pada model separate
self-identity. Asumsi yang mendasari model ini yaitu bahwa badan hukum memiliki
suatu mekanisme untuk mengekspresikan unsur dan identitas pribadi mereka.
Berdasarkan pendekatan ini, suatu identitas pribadi dapat ditentukan dan
dibentuk, yang berbeda dan terpisah dari identitas RUPS, dewan direksi,
manajemen dan para karyawan, atau pun individu-individu lain yang membentuk
korporasi tersebut. Walaupun mereka semua turut mengambil peran dalam korporasi
dan berkontribusi penting kepada perkembangan dan pembentukan korporasi
tersebut.[64]
Dalam
pendekatan struktural, doktrin self-identity
mirip dengan teori corporate organs,
yaitu sama-sama berupaya mencerminkan kenyataan. Tetapi kedua model ini berbeda
dalam konsekuensi setelah pengujian kenyataan. Pendukung identification model berpendapat bahwa berhubung tidak ada
kapabilitas tersendiri yang tertanam dalam badan hukum, badan hukum tersebut
hanya bisa bertindak lewat wakil-wakil manusianya. Sebaliknya, pendukung model self-identity berpendapat bahwa
kenyataan lebih rumit dari itu dan menyatakan bahwa badan hukum bertindak
melalui sistem-sistem yang berbeda, yang diaktifkan oleh agen-agen manusianya
dan proses-proses lainnya.[65]
Hubungan
antara model self-identity dan
model-model lain sangat rumit. Satu perspektif darinya menekankan hubungan
antara mereka dengan menyatakan bahwa identity
model merupakan penerusan dari model-model sebelumnya, dan secara lebih khusus
merupakan penerusan dari konsep agregasi. Dari perspektif ini, semua model
untuk menerapkan tanggung jawab pidana terhadap badan hukum dapat dilihat
sebagai variasi yang bergerak sepanjang satu garis teori yang sama. Garis
tersebut dimulai dari ide adaptasi dan imitasi, kemudian berlanjut ke
pendekatan agregasi dan berakhir di model self-identity.[66]
Sebaliknya,
perspektif-perspektif lain menekankan perbedaan persepsi dasar dan struktur
antara model self-identity dan yang lain. Misalnya, menekankan bahwa model yang
baru ini berfokus pada tanggung jawab primer dari korporasi itu sendiri. Oleh
sebab itu dia berbeda dari model adaptasi dari vicarious liability dengan fiksi dan atribusinya, atau dari model
imitasi dan model identification (direct
liability), dimana tanggung jawab korporasi merupakan suatu derivatif oleh
karena ia bergantung pada tindakan kejahatan yang dilakukan oleh suatu agen
korporasi atau suatu organ.[67]
Perbedaan
secara teoritis antara doktrin self-identity
dan pendekatan-pendekatan lain, digambarkan sebagai suatu persaingan antara
teori “nominalistic” dan “realistic” mengenai kepribadian korporasi:[68]
“Nominalist” theories of corporate
personality view corporations as noting more than collectives of individuals.
Speaking of corporate conduct or corporate fault is seen as a shorthand way of
referring to the conduct and culpability of the individual members of the
collectivity. The “corporation” is simply a name for the collectivity and the
idea that the corporation itself can act and be blameworthy as a fiction”
“Realistic” theories, on the other hand,
assert that corporations have an existence that is, to some extent, independent
of their members. Corporations can act and be at fault in ways that are
different from the ways in which their members can act and be at fault… the
responsibility of the corporation is primary. It is not dependent on the responsibility
of any individual.
Model self-identity melengkapi perkembangan
teoritis dengan menghubungkan dirinya ke prinsip dasar dari teori korporasi,
yang menekankan bahwa eksistensi independen dari entitas tersebut yang dicipta
hukum adalah terpisah dari pendiri dan penggerak korporasi.[69]
--o0o—
Alvi
Syahrin, 2009, Beberapa Isu Hukum Lingkungan
Kepidanaan, PT Sofmedia, Jakarta.
Anca
Iulia Pop, Criminal Liability of Corporations – Comparative Jurisprudence,
Michigan State University
College of Law, (2006).
Arief
Amrullah, 2006 ,
Kejahatan korporasi, PT Bayumedia, Malang.
Barda
Nawawi Arief, 1998, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Eli
Lederman, Models for Imposing Corporate Criminal Liability: From Adaptation and
Imitation Toward Aggregation and the Search for Self-Identity, Buffalo Criminal
Law Review [Vol. 4:641].
Hamzah
Hatrik, 1996, Asas Pertanggungajwaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia
(Strict Liability and Vicarious Liability), Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Henny
Darmayanti, 2002, Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Tesis Program
Magister Ilmu Hukum Kajian Sistem Peradilan Pidana Universitas Diponegoro,
Semarang.
M. Yahya Harahap, 2009, Hukum Perseroan Terbatas,
Sinar Grafika, Jakarta.
Muhammad Topan, SH., MH., Kejahatan Korporasi di Bidang
Lingkungan Hidup.
Muladi,
2001, Korporasi Transnasional dan Pengaruhnya terhadap tindak pidana ekonomi
di Indonesia, Makalah pada Kuliah umum mahasiswa Pascasarjana, UNDIP, Semarang.
Muladi, 1998, "Prinsip-prinsip dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam kaitannya dengan UU No. 23 Tahun 1997, Makalah, Seminar Kajian dan Sosialisasi UU No. 23 Tahun 1997, FH UNDIP, Semarang.
Peter Gillies, 1990, Criminal Law, Second Edition, Sydney, The Law Book Company Limited.
Robert W Hamilton, 2001, Cases and Materials on Corporations Including Partnerships and Limited Liability Companies, American Casebook Series, West Group.
Romli
Atmasasmita, 1996, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung.
Subekti,
1984, Pokok-Pokok Hukum Perdata,
Jakarta: Intermasa.
Sultan
Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi, PT Grafiti Pers., Jakarta.
Vikramaditya
S. Khanna, Corporate Crime Legislation: A Political Economic Analysis, Boston University
School of Law, Working Paper No. 03-04, 2003.
Catatan:
** Tulisan ini sudah
pernah di posting http://alvisyahrin.blog.usu.ac.id,.
** diposting kembalinya tulisan yang ada di http://alvisyahrin.blog.usu.ac.id oleh
karena:
-- alasan teknis blog tersebut tidak dapat/sulit
di akses saat ini
-- atas dasar masukan dan saran pembaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar