KOMENTAR TERHADAP
PASAL 116 UUPPLH:
FRASA “ORANG YANG
MEMBERI PERINTAH UNTUK MELAKUKAN TINDAK PIDANA”, “ORANG YANG BERTINDAK SEBAGAI
PEMIMPIN KEGIATAN DALAM TINDAK PIDANA”, “BERDASARKAN
HUBUNGAN KERJA” DAN “BERDASARKAN HUBUNGAN
LAIN”
Oleh: Alvi Syahrin
I.
Pasal 116 UUPPLH:
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup
dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi
pidana dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang
yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak
sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana
tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang
bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap
pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan
tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Rumusan
Pasal 116 UUPPLH ada mencantumkan frasa “orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana” dan “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
tindak pidana” namun penjelasan Pasal 116 UUPPLH tidak ada memberikan
penjelasan terhadap makna tersebut, dan dalam praktek penegakan hukum kata-kata
tersebut selalu dipertanyakan maknanya baik oleh penyidik maupun oleh penuntut
umum. Untuk itu tulisan ini akan memberikan telaahan atas makna frasa tersebut.
II. Frasa “orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana” dan “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana” sebagaimana tercantum dalam Pasal 116 UUPPLH merupakan sebagai
orang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Penjelasan Pasal 116 UUPPLH menyatakan: “cukup jelas”,
sehingga perlu penafsiran untuk mengetahui maksud dari frasa “orang yang
memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak
sebagai pemimpin”. Pasal 116 UUPPLH, merumuskan: “... jika tindak pidana
lingkungan dilakukan oleh, untuk atau atas nama badan usaha maka tuntutan
pidana dan sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada ... orang yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana”,
maka “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” diartikan
sebagai orang yang bertugas menjalankan dan melaksanakan “pengurusan” badan
usaha.
Dengan kata lain, frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” atau “orang
yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” dalam pertanggungjawaban
pidana korporasi/badan usaha adalah untuk mengungkapkan tanggungjawab pengurus
atau fungsionaris dari korporasi. Artinya frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana”
sebagaimana dalam Pasal 116 UUPPLH, menunjuk kepada pertanggungjawaban pidana pengurus badan usaha
secara individual.
Pengurus badan usaha dapat dimintakan pertanggungjawab pidana secara individual,
apabila tindak pidana
lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha.
Ketentuan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH membuka
kemungkinan apabila suatu badan usaha melakukan perbuatan pidana, tidak hanya
yang dituntut badan usahanya saja, tetapi juga orang yang telah memerintahkan
kejadian tersebut dan orang yang memimpin sendiri secara nyata perbuatan yang
dilarang. Artinya, pengurus sebagai pemberi perintah dan/atau pemimpin tindakan
nyata dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh badan
usaha.
Pengurus badan usaha dapat dalam keadaan “sebagai orang yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana”, atau pengurus badan usaha dapat dalam keadaan “sebagai orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak pidana”. Artinya, keadaan seorang pengurus badan usaha
yang bisa dalam keadaan sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana
dan juga bisa dalam keadaan sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana.
Keadaan seorang pengurus “sebagai pemberi perintah untuk melakukan
tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana” akan menyebabkan pengurus tersebut
dapat dituntut dua kali. Menuntut pengurus sebagai pemberi perintah untuk melakukan
tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana, akan bertentangan dengan rasa keadilan dan
juga asas ne bis in idem akan menjadi penghalang untuk menuntut dua
kali orang (pengurus) yang sama dalam keadaan berbeda-beda (“sebagai pemberi perintah untuk melakukan
tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana”), artinya terhadap pengurus tersebut cukup di pilih keadaan
sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau keadaan sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana.
Seseorang
yang dalam fungsinya sebagai dalam organisasi korporasi harus melakukan
tindakan untuk mencegah terjadinya tindakan terlarang, namun ia tidak
melakukannya, ia tidak kehilangan posisi
kepemimpinannya dalam konteks memberi arahan bagi tindakan korporasi (yang
secara faktual perbuatan itu dilakukan oleh pegawai lain). Dalam kondisi ini
orang tersebut dapat juga dikatakan sebagai orang memimpin. Seseorang juga dapat dikatakan sebagai secara
faktual meminpin dalam tindak pidana badan usaha/korporasi jika ia mengetahui
terjadinya tindak pidana yang bersangkutan, namun ia tidak mengambil
langkah-langkah untuk mencegah perbuatan yang terlarang dan secara menerima
keadaan terjadinya perbuatan yang dilarang tersebut.
Rumusan Pasal 116 ayat (1) huruf b dan
Pasal 116 ayat (2) menggunakan kata/frasa “atau” diantara frasa “orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana” dengan frasa “orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” merupakan penegasan untuk
mencegah dituntutnya dua kali seorang pengurus atas satu tindak pidana
lingkungan yang terjadi.
Menurut Remmelink, di dalam
praktek yang dimaksud sebagai “yang memberi perintah” atau “yang memimpin”
adalah para pengurus. Seseorang dapat dikatakan secara faktual memimpin
dilakukannya tindak pidana korporasi jika ia mengetahui terjadinya tindak
pidana tersebut, atau secara faktual dikatakan ada perbuatan memimpin tindak
pidana yang terjadi apabila pejabat yang bersangkutan tidak mengambil
langkah-langkah apapun untuk mencegah dilakukannya perbuatan terlarang oleh
para pegawainya, sekalipun ia berwenang untuk melakukan hal itu dan secara
dapat melakukan pencegahan dimaksud, dan bahkan secara sadar ia membiarkan
perbuatan terlarang itu terlaksana sekalipun ada kesempatan untuk melakukan
pencegahan terlaksananya perbuatan terlarang tersebut.
Pengurus
korporasi/badan usaha merupakan individu-individu yang mempunyai kedudukan atau
kekuasaan sosial, setidaknya dalam lingkup perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka-mereka
yang dapat dikategorikan sebagai pengurus badan usaha yaitu:
a. mereka
yang menurut anggaran dasarnya secara formal menjalankan pengurusan
badan usaha;
b. mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar badan usaha
bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki kewenangan untuk melakukan
perbuatan yang mengikat badan usaha
secara hukum berdasarkan:
1) pengangkatan oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan
dengan pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas ruang
lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya itu untuk dapat
melakukan perbuatan hukum mengikat badan usaha, atau
2) pemberian kuasa oleh pengurus atau mereka sebagaimana
dimaksud 1) untuk dapat melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat badan
usaha.
c. oleh orang
lain yang diperintahkan oleh mereka yang disebut dalam huruf a dan b, untuk melakukan
atau menjalankan pengurusan badan usaha.
Pengurus merupakan
organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan
sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki
kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidana. Dengan demikian, setiap
individu yang ditunjuk sebagai memiliki tanggung jawab
organisasi atau operasional untuk spesifik perilaku atau yang
memiliki kewajiban untuk mencegah, suatu pelanggaran oleh badan usaha dalam hal
ini melaksanakan kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 68 UUPPLH dapat dimintakan
pertanggung-jawaban pidana.
III. Rumusan Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, berbunyi:
“Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan
hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana
dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut
tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau
bersama-sama”.
Penjelasan Pasal 116 ayat (2)
UUPPLH menyatakan “cukup jelas”
Memperhatikan Pasal 116 ayat (2)
UUPPLH berikut penjelasannya tidak ada menjelaskan frasa “berdasarkan hubungan
kerja” dan frasa “berdasarkan hubungan lain”, sehingga diperlukan penafsiran
hukum terhadap frasa tersebut.
Menurut
Sutan Remy Sjahdeini, yang dimaksud dengan orang “yang berdasarkan hubungan
kerja maupun berdasar hubungan lain” menunjukkan ada dua kelompok orang, yaitu pertama:
“orang-orang berdasarkan hubungan kerja” dan yang kedua: “orang-orang
berdasarkan hubungan lain”. Hubungan yang dimaksud dalam kedua frasa tersebut
harus ditafsirkan sebagai “hubungan dengan korporasi yang bersangkutan”.
Selanjutnya,
Sutan Remi Sjahdeini mengemukakan, “orang-orang berdasarkan hubungan kerja”
adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja sebagai pengurus atau pegawai,
yaitu:
a. berdasarkan anggaran dasar dan perubahannya,
b. berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai dan
perjanjian kerja dengan korporasi;
c. berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai, atau
d. berdasarkan
“perjanjian kerja sebagai pegawai”.
Sedangkan “orang-orang
berdasarkan hubungan lain” adalah orang-orang yang memiliki hubungan lain
selain hubungan kerja dengan korporasi. Mereka antara lain yang mewakili
korporasi untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas ama korporasi
berdasarkan:
a. pemberian
kuasa;
b. berdasarkan
perjanjian dengan pemberian kuasa (pemberian kuasa bukan diberikan dengan surat
kuasa tersendiri, tetapi dicantumkan dalam perjanjian itu sehingga merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tersebut), atau
c. berdasarkan
pendelegasian wewenang.
Kepustakaan:
Alvi
Syahrin, 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU
No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT
Sofmedia. Jakarta.
Hans
Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni;
Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, (terjemahan Raisul Muttaqien), Penerbit
Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung.
Jan
Remmelink, 2003, Hukum Pidana: Komentar
atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-Undang Pidana Belanda dan
padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (terjemahan
Tristam Pascal Moeliono), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Sutan
Remy Sjahdeini, 2007, Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta.
Takdir
Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar