Sabtu, 23 Februari 2013

Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


KOMENTAR TERHADAP PASAL 116 UUPPLH:
FRASA “ORANG YANG MEMBERI PERINTAH UNTUK MELAKUKAN TINDAK PIDANA”,  “ORANG YANG BERTINDAK SEBAGAI PEMIMPIN KEGIATAN DALAM TINDAK PIDANA”,  “BERDASARKAN HUBUNGAN KERJA”  DAN “BERDASARKAN HUBUNGAN LAIN”

Oleh: Alvi Syahrin

I.     Pasal 116 UUPPLH:
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan    usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
     a.   badan usaha; dan/atau
     b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Rumusan Pasal 116 UUPPLH ada mencantumkan frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” dan “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan tindak pidana” namun penjelasan Pasal 116 UUPPLH tidak ada memberikan penjelasan terhadap makna tersebut, dan dalam praktek penegakan hukum kata-kata tersebut selalu dipertanyakan maknanya baik oleh penyidik maupun oleh penuntut umum. Untuk itu tulisan ini akan memberikan telaahan atas makna frasa tersebut.

II.    Frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” dan “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” sebagaimana tercantum dalam Pasal 116 UUPPLH merupakan sebagai orang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
        
Penjelasan Pasal 116 UUPPLH menyatakan: “cukup jelas”, sehingga perlu penafsiran untuk mengetahui maksud dari frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin”. Pasal 116 UUPPLH, merumuskan: “... jika tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, untuk atau atas nama badan usaha maka tuntutan pidana dan sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada ... orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana”, maka “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” diartikan sebagai orang yang bertugas menjalankan dan melaksanakan “pengurusan” badan usaha. Dengan kata lain, frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” dalam pertanggungjawaban pidana korporasi/badan usaha adalah untuk mengungkapkan tanggungjawab pengurus atau fungsionaris dari korporasi. Artinya frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” sebagaimana dalam Pasal 116 UUPPLH, menunjuk kepada pertanggungjawaban pidana pengurus badan usaha secara individual. Pengurus badan usaha dapat dimintakan pertanggungjawab pidana secara individual, apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha.
      
Ketentuan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH membuka kemungkinan apabila suatu badan usaha melakukan perbuatan pidana, tidak hanya yang dituntut badan usahanya saja, tetapi juga orang yang telah memerintahkan kejadian tersebut dan orang yang memimpin sendiri secara nyata perbuatan yang dilarang. Artinya, pengurus sebagai pemberi perintah dan/atau pemimpin tindakan nyata dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh badan usaha.

Pengurus badan usaha dapat dalam keadaan sebagai orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana, atau pengurus badan usaha dapat dalam keadaan sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana. Artinya, keadaan seorang pengurus badan usaha yang bisa dalam keadaan sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa dalam keadaan sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana.

Keadaan seorang pengurus “sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” akan menyebabkan pengurus tersebut dapat dituntut dua kali. Menuntut pengurus sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana,  akan bertentangan dengan rasa keadilan dan juga asas ne bis in idem akan menjadi penghalang untuk menuntut dua kali orang (pengurus) yang sama dalam keadaan berbeda-beda (“sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana”), artinya terhadap pengurus tersebut cukup di pilih keadaan sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau keadaan sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana.

Seseorang yang dalam fungsinya sebagai dalam organisasi korporasi harus melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya tindakan terlarang, namun ia tidak melakukannya, ia tidak kehilangan  posisi kepemimpinannya dalam konteks memberi arahan bagi tindakan korporasi (yang secara faktual perbuatan itu dilakukan oleh pegawai lain). Dalam kondisi ini orang tersebut dapat juga dikatakan sebagai orang memimpin.  Seseorang juga dapat dikatakan sebagai secara faktual meminpin dalam tindak pidana badan usaha/korporasi jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana yang bersangkutan, namun ia tidak mengambil langkah-langkah untuk mencegah perbuatan yang terlarang dan secara menerima keadaan terjadinya perbuatan yang dilarang tersebut.

Rumusan Pasal 116 ayat (1) huruf b dan Pasal 116 ayat (2) menggunakan kata/frasa “atau” diantara frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” dengan frasa “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” merupakan penegasan untuk mencegah dituntutnya dua kali seorang pengurus atas satu tindak pidana lingkungan yang terjadi.

Menurut Remmelink, di dalam praktek yang dimaksud sebagai “yang memberi perintah” atau “yang memimpin” adalah para pengurus. Seseorang dapat dikatakan secara faktual memimpin dilakukannya tindak pidana korporasi jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana tersebut, atau secara faktual dikatakan ada perbuatan memimpin tindak pidana yang terjadi apabila pejabat yang bersangkutan tidak mengambil langkah-langkah apapun untuk mencegah dilakukannya perbuatan terlarang oleh para pegawainya, sekalipun ia berwenang untuk melakukan hal itu dan secara dapat melakukan pencegahan dimaksud, dan bahkan secara sadar ia membiarkan perbuatan terlarang itu terlaksana sekalipun ada kesempatan untuk melakukan pencegahan terlaksananya perbuatan terlarang tersebut.

Pengurus korporasi/badan usaha merupakan individu-individu yang mempunyai kedudukan atau kekuasaan sosial, setidaknya dalam lingkup perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka-mereka yang dapat dikategorikan sebagai pengurus badan usaha yaitu:
a. mereka yang menurut anggaran dasarnya secara formal menjalankan pengurusan badan usaha;
b. mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar badan usaha bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan yang mengikat badan usaha  secara hukum berdasarkan:
  1)  pengangkatan oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan dengan pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas ruang lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya itu untuk dapat melakukan perbuatan hukum mengikat badan usaha, atau
   2)  pemberian kuasa oleh pengurus atau mereka sebagaimana dimaksud 1) untuk dapat melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat badan usaha.
c.  oleh orang lain yang diperintahkan oleh mereka yang disebut dalam huruf a dan b, untuk melakukan atau menjalankan pengurusan badan usaha.

Pengurus merupakan organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Dengan demikian, setiap individu yang ditunjuk sebagai memiliki tanggung jawab organisasi atau operasional untuk spesifik perilaku atau yang memiliki kewajiban untuk mencegah, suatu pelanggaran oleh badan usaha dalam hal ini melaksanakan kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 68 UUPPLH dapat dimintakan pertanggung-jawaban pidana.


III.   Rumusan Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, berbunyi:
Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama”.
Penjelasan Pasal 116 ayat (2) UUPPLH menyatakan “cukup jelas”

Memperhatikan Pasal 116 ayat (2) UUPPLH berikut penjelasannya tidak ada menjelaskan frasa “berdasarkan hubungan kerja” dan frasa “berdasarkan hubungan lain”, sehingga diperlukan penafsiran hukum terhadap frasa tersebut.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, yang dimaksud dengan orang “yang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain” menunjukkan ada dua kelompok orang, yaitu pertama: “orang-orang berdasarkan hubungan kerja” dan yang kedua: “orang-orang berdasarkan hubungan lain”. Hubungan yang dimaksud dalam kedua frasa tersebut harus ditafsirkan sebagai “hubungan dengan korporasi yang bersangkutan”.

Selanjutnya, Sutan Remi Sjahdeini mengemukakan, “orang-orang berdasarkan hubungan kerja” adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja sebagai pengurus atau pegawai, yaitu:
a.   berdasarkan anggaran dasar dan perubahannya,
b. berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai dan perjanjian kerja dengan korporasi;
c.    berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai, atau
d.   berdasarkan “perjanjian kerja sebagai pegawai”.
Sedangkan “orang-orang berdasarkan hubungan lain” adalah orang-orang yang memiliki hubungan lain selain hubungan kerja dengan korporasi. Mereka antara lain yang mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas ama korporasi berdasarkan:
a.   pemberian kuasa;
b. berdasarkan perjanjian dengan pemberian kuasa (pemberian kuasa bukan diberikan dengan surat kuasa tersendiri, tetapi dicantumkan dalam perjanjian itu sehingga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tersebut), atau
c.  berdasarkan pendelegasian wewenang.


Kepustakaan:

Alvi Syahrin, 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT Sofmedia. Jakarta.

Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni; Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, (terjemahan Raisul Muttaqien), Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung.

Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana: Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-Undang Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (terjemahan Tristam Pascal Moeliono), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta.

Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar