Selasa, 26 Februari 2013


GURU DAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP

oleh : Alvi Syahrin


I.               Seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional yang terkait dengan logika dan estetika, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (civic mission) yang berkaitan dengan etika. Tugas profesional seorang guru dalam rangka meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak. Tugas manusiawi yaitu membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya dalam rangka transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri, sedangkan tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat UUD 1945.
Ketiga tugas guru tersebut  dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis. Guru tidak hanya mengajar di dalam kelas namun harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal. Kemudian, jika dipandang dari segi anak didik, guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi. Pengetahuan yang diberikan kepada anak didik, harus mampu membuat anak didik untuk memilih nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak didik berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat serta tidak akan hidup dalam mengasingkan diri.

II.         Kemajemukan masyarakat Indonesia merupakan faktor pendorong dan menjadi kekuatan penggerak dalam pengelolaan lingkungan hidup. Masing-masing kelompok masyarakat mengembangkan sumber daya sosial yang terdiri dari kearifan lingkungan (nilai, norma, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, folklor, dll), keseluruhan elemen sosial, potensi kreatif masyarakat, prakarsa atau inisiatif lokal, dan gagasan yang berkembang di masyarakat[1].
       Sumber daya sosial  (social capital)  sebagai modal sosial merupakan kekuatan yang jika didayagunakan secara baik dapat memberikan konstribusi secara positif terhadap pelestarian fungsi ekosistem dengan memfungsikan pranata-pranata sosial serta merevitalisasi kearifan lingkungan[2].
      Potensi sumber daya sosial berupa aturan adat dan pembagian hak dan kewajiban, peran dan status yang dikembangkan masyarakat dapat dijadikan sebagai mekanisme penyelesaian konflik,  pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan suatu kegiatan. Dengan demikian, sehingga semua warga dapat berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
      Masyarakat harus berperan aktif dalam memperjuangkan hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta menuntut lembaga-lembaga yang berwenang di daerah untuk tetap komitmen kepada tujuan dan sasaran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
       Cara yang dapat ditempuh masyarakat dalam berperan aktif tersebut, yaitu:
1.   Mengumpulkan segala informasi dan data yang berkaitan dengan masalah lingkungan yang sedang dihadapi.
2.       Menyebarluaskan informasi dan data tersebut kepada seluruh anggota masyarakat sekitarnya,
3.  Membahas masalah tersebut di dalam kelompok untuk mencari kesepakatan penyelesaian masalah, dengan cara meminta penjelasan dari sumber penyebab masalah dan instansi dan/atau lembga pemerintah yang berwenang.
4. Menyiapkan bahan-bahan yang lebih matang, untuk membahas lebih lanjut dengan organisasi/lembaga kemasyarakatan yang mewakili masyarakat yang memiliki perwakilan di lembaga legislatif.
5. Menyampaikan aspirasi/masalah kepada lembaga legislatif, hingga diperoleh tindak lanjut penyelesaian dari pengambil keputusan.
6.     Melakukan pemantauan dan evaluasi secara terus menerus tindak lanjut pelaksanaan keputusan di lapangan.[3]

III.           Pendidikan Lingkungan Hidup harus di mulai dari dalam diri manusia yang bersangkutan. Tanpa sikap mental yang tepat, semua pengetahuan dan ketrampilan yang diberikan akan sia-sia. Untuk membangkitkan kesadaran manusia terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, proses yang paling penting dan harus dilakukan adalah dengan menyentuh hati. Jika proses penyadaran telah terjadi dan perubahan sikap dan pola pikir terhadap lingkungan telah terjadi, maka dapat dilakukan peningkatan pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan hidup, serta peningkatan keterampilan dalam mengelola lingkungan hidup
Pendidikan lingkungan Hidup (environmental education - EE) merupakan suatu proses untuk membangun populasi manusia di dunia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan hidup dan segala masalah yang berkaitan dengannya, dan masyarakat yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap dan tingkah laku, motivasi serta komitmen untuk bekerja sama , baik secara individu maupun secara kolektif , untuk dapat memecahkan berbagai masalah lingkungan saat ini, dan mencegah timbulnya masalah baru.
Pendidikan Lingkungan Hidup memasukkan aspek afektif yaitu tingkah laku, nilai dan komitmen yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan (sustainable). Pencapaian tujuan afektif ini biasa agak sukar dilakukan, sehingga dalam pembelajaran, guru perlu memasukkan metode-metode yang memungkinkan berlangsungnya klarifikasi dan internalisasi nilai-nilai, serta perlu dimunculkan atau dijelaskan bahwa dalam kehidupan nyata memang selalu terdapat perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh individu.
Persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan yang bersifat sistemik, kompleks, serta memiliki cakupan yang luas. Oleh sebab itu, materi atau isu yang diangkat dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan lingkungan hidup juga sangat beragam. Untuk itu Pendidikan lingkungan hidup, mencakup hal-hal:
  1. Mempertimbangkan lingkungan sebagai suatu totalitas — alami dan buatan, bersifat teknologi dan sosial (ekonomi, politik, kultural, historis, moral, estetika);
  2. Merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan sepanjang hidup, dimulai pada jaman pra sekolah, dan berlanjut ke tahap pendidikan formal maupun non formal;
  3. Mempunyai pendekatan yang sifatnya interdisipliner, dengan menarik/mengambil isi atau ciri spesifik dari masing-masing disiplin ilmu sehingga memungkinkan suatu pendekatan yang holistik dan perspektif yang seimbang.
  4. Meneliti (examine) issue lingkungan yang utama dari sudut pandang lokal, nasional, regional dan internasional, sehingga siswa dapat menerima insight mengenai kondisi lingkungan di wilayah geografis yang lain;
  5. Memberi tekanan pada situasi lingkungan saat ini dan situasi lingkungan yang potensial, dengan memasukkan pertimbangan perspektif historisnya;
  6. Mempromosikan nilai dan pentingnya kerjasama lokal, nasional dan internasional untuk mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan;
  7. Secara eksplisit mempertimbangkan/memperhitungkan aspek lingkungan dalam rencana pembangunan dan pertumbuhan;
  8. Memampukan peserta didik untuk mempunyai peran dalam merencanakan pengalaman belajar mereka, dan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut;
  9. Menghubungkan (relate) kepekaan kepada lingkungan, pengetahuan, ketrampilan untuk memecahkan masalah dan klarifikasi nilai pada setiap tahap umur, tetapi bagi umur muda (tahun-tahun pertama) diberikan tekanan yang khusus terhadap kepekaan lingkungan terhadap lingkungan tempat mereka hidup;
  10. Membantu peserta didik untuk menemukan (discover), gejala-gejala dan penyebab dari masalah lingkungan;
  11. Memberi tekanan mengenai kompleksitas masalah lingkungan, sehingga diperlukan kemampuan untuk berfikir secara kritis dengan ketrampilan untuk memecahkan masalah.
  12. Memanfaatkan beraneka ragam situasi pembelajaran (learning environment) dan berbagai pendekatan dalam pembelajaran mengenai dan dari lingkungan dengan tekanan yang kuat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya praktis dan memberikan pengalaman secara langsung (first - hand experience).
Kemudian dalam pendidikan lingkungan perlu mengembangkan kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif yaitu suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu, bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialek tersebut tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni: Pengajar, Pelajar atau anak didik, dan Realitas dunia. Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.
Upaya pendidikan lingkungan dilaksanakan sebagai suatu proses yang terus menerus, suatu yang selalu mulai dan mulai lagi, sehingga proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang sebati (inherent) dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang tidak boleh berhenti, ia senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat kesadaran naïf sampai ke tingkat kesadaran kritis, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni kesadarannya kesadaran (the consice of the consciousness).
Selanjutnya, perlu meng-sinkronisasi-kan proses belajar di dalam pikiran, rasa, dan gerak, sehingga kondisi emosi anak (pelajar) dalam keadaan sebaik-baiknya pada saat menerima hal-hal yang penting dalam belajar. Untuk itu perlu diperhatikan:
a.        Aspek afektif: perasaan nyaman, senang, bersemangat, kagum, puas, dan bangga
b.       Aspek kognitif: proses pemahanan, dan menjaga keseimbangan aspek-aspek yang lain
c.       Aspek sosial: perasaan diterima dalam kelompok
d.  Aspek sensorik dan motorik: bergerak dan merasakan melalui indera, melibatkan peserta sebanyak mungkin
e.       Aspek lingkungan: suasana ruang atau lingkungan

IV.      Guru dalam memberikan pengetahuan/pendidikan lingkungan kepada anak didik, harus mampu membuat anak didik untuk memilih nilai-nilai hidup yang semakin komplek,  berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat serta tidak mengasingkan diri dalam melindungi lingkungan hidup.

KEPUSTAKAAN:
Clys Medio Galung Pramaribo, 2002, Panduan Peningkatan Peran Masyarakat Petani Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta.
Jonny Purba (Peny.), 2002, Bunga Rampai Kearifan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta.
Kementrian Lingkungan Hidup, 2002, Panduan Pemberdayaan Masyarakat Adat, Kementrian Lingkungan Hidup, Jakarta.
Koesnadi  Hardjasoemantri, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Gajahmada University Press, Yogyakarta.
Otto Soemarwoto, 2001, Atur Diri Sendiri: Pardigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup – Pembangunan Ramah Lingkungan: Berpihak Pada Rakyat, Ekonomis, Berkelanjutan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Sundari Rangkuti, 1987, Hukum  Lingkungan  dan Kebijaksanaan Lingkungan Dalam Proses Pembangunan Hukum  Nasional Indonesia, Disertasi, Airlangga University Press, Surabaya.

http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/04/peranan-guru-dalam-pembelajaran-yang-berkualitas-400570.html

http://anomsblg.wordpress.com/profesi-kependidikan/peran-guru-dalam-pembelajaran/



[1] Kementrian Lingkungan Hidup, 2002, Panduan Pemberdayaan Masyarakat Adat, Kementrian Lingkungan Hidup, Jakarta, hal. 60.
[2] Berkaitan dengan kearifan lingkungan ini dapat di baca: Jonny Purba (Peny.), 2002, Bunga Rampai Kearifan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta.
[3] Bandingkan, Clys Medio Galung Pramaribo, 2002, Panduan Peningkatan Peran Masyarakat Petani Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, hal. 16.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar