GURU DAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP
oleh
: Alvi Syahrin
I.
Seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional yang
terkait dengan logika dan estetika, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (civic mission) yang berkaitan dengan etika. Tugas profesional seorang guru dalam rangka
meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain
yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak.
Tugas manusiawi yaitu membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama
dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya dalam rangka transformasi diri,
identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri, sedangkan tugas
kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut
mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara
lewat UUD 1945.
Ketiga tugas guru tersebut
dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan
dinamis. Guru tidak hanya mengajar di dalam kelas namun harus mampu menjadi
katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat
tinggal. Kemudian, jika dipandang dari segi anak didik, guru harus memberikan
nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan
datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi. Pengetahuan yang
diberikan kepada anak didik, harus mampu membuat anak didik untuk memilih
nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak didik
berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat serta tidak akan hidup dalam
mengasingkan diri.
II. Kemajemukan
masyarakat Indonesia merupakan faktor pendorong dan menjadi kekuatan penggerak dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Masing-masing kelompok masyarakat mengembangkan sumber daya sosial yang terdiri
dari kearifan lingkungan (nilai, norma, pengetahuan tradisional, teknologi
tradisional, folklor, dll), keseluruhan elemen sosial, potensi kreatif
masyarakat, prakarsa atau inisiatif lokal, dan gagasan yang berkembang di
masyarakat[1].
Sumber
daya sosial (social capital) sebagai modal sosial merupakan kekuatan yang
jika didayagunakan secara baik dapat memberikan konstribusi secara positif
terhadap pelestarian fungsi ekosistem dengan memfungsikan pranata-pranata
sosial serta merevitalisasi kearifan lingkungan[2].
Potensi
sumber daya sosial berupa aturan adat dan pembagian hak dan kewajiban, peran
dan status yang dikembangkan masyarakat dapat dijadikan sebagai mekanisme
penyelesaian konflik, pengambilan
keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan suatu kegiatan. Dengan
demikian, sehingga semua warga dapat berperan dalam pengelolaan lingkungan
hidup.
Masyarakat
harus berperan aktif dalam memperjuangkan hak untuk memperoleh lingkungan hidup
yang baik dan sehat, serta menuntut lembaga-lembaga yang berwenang di daerah
untuk tetap komitmen kepada tujuan dan sasaran dalam pengelolaan lingkungan
hidup.
Cara
yang dapat ditempuh masyarakat dalam berperan aktif tersebut, yaitu:
1. Mengumpulkan segala informasi dan data
yang berkaitan dengan masalah lingkungan yang sedang dihadapi.
2. Menyebarluaskan informasi dan data
tersebut kepada seluruh anggota masyarakat sekitarnya,
3. Membahas masalah tersebut di dalam
kelompok untuk mencari kesepakatan penyelesaian masalah, dengan cara meminta
penjelasan dari sumber penyebab masalah dan instansi dan/atau lembga pemerintah
yang berwenang.
4. Menyiapkan bahan-bahan yang lebih
matang, untuk membahas lebih lanjut dengan organisasi/lembaga kemasyarakatan
yang mewakili masyarakat yang memiliki perwakilan di lembaga legislatif.
5. Menyampaikan aspirasi/masalah kepada
lembaga legislatif, hingga diperoleh tindak lanjut penyelesaian dari pengambil
keputusan.
6. Melakukan pemantauan dan evaluasi secara
terus menerus tindak lanjut pelaksanaan keputusan di lapangan.[3]
III. Pendidikan Lingkungan Hidup harus di mulai dari dalam diri
manusia yang bersangkutan. Tanpa sikap mental yang tepat, semua pengetahuan dan
ketrampilan yang diberikan akan sia-sia. Untuk membangkitkan kesadaran manusia terhadap lingkungan hidup di
sekitarnya, proses yang paling penting dan harus dilakukan adalah dengan
menyentuh hati. Jika proses penyadaran telah terjadi dan perubahan sikap dan
pola pikir terhadap lingkungan telah terjadi, maka dapat dilakukan peningkatan
pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan hidup, serta peningkatan
keterampilan dalam mengelola lingkungan hidup
Pendidikan
lingkungan Hidup (environmental education - EE) merupakan suatu
proses untuk membangun populasi manusia di dunia yang sadar dan peduli terhadap
lingkungan hidup dan segala masalah yang berkaitan dengannya, dan
masyarakat yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap dan tingkah laku,
motivasi serta komitmen untuk bekerja sama , baik secara individu maupun secara
kolektif , untuk dapat memecahkan berbagai masalah lingkungan saat ini, dan mencegah
timbulnya masalah baru.
Pendidikan Lingkungan Hidup memasukkan aspek
afektif yaitu tingkah laku, nilai dan komitmen yang diperlukan untuk membangun
masyarakat yang berkelanjutan (sustainable). Pencapaian tujuan afektif ini
biasa agak sukar dilakukan, sehingga dalam pembelajaran, guru perlu memasukkan metode-metode yang memungkinkan
berlangsungnya klarifikasi dan internalisasi nilai-nilai, serta perlu dimunculkan atau dijelaskan bahwa dalam kehidupan nyata memang selalu
terdapat perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh individu.
Persoalan lingkungan hidup merupakan
persoalan yang bersifat sistemik, kompleks, serta memiliki cakupan yang luas.
Oleh sebab itu, materi atau isu yang diangkat dalam penyelenggaraan kegiatan
pendidikan lingkungan hidup juga sangat beragam. Untuk itu Pendidikan lingkungan
hidup, mencakup hal-hal:
- Mempertimbangkan
lingkungan sebagai suatu totalitas — alami dan buatan, bersifat teknologi
dan sosial (ekonomi, politik, kultural, historis, moral, estetika);
- Merupakan suatu
proses yang berjalan secara terus menerus dan sepanjang hidup, dimulai
pada jaman pra sekolah, dan berlanjut ke tahap pendidikan formal maupun
non formal;
- Mempunyai
pendekatan yang sifatnya interdisipliner, dengan menarik/mengambil isi
atau ciri spesifik dari masing-masing disiplin ilmu sehingga memungkinkan
suatu pendekatan yang holistik dan perspektif yang seimbang.
- Meneliti
(examine) issue lingkungan yang utama dari sudut pandang lokal, nasional,
regional dan internasional, sehingga siswa dapat menerima insight mengenai
kondisi lingkungan di wilayah geografis yang lain;
- Memberi tekanan
pada situasi lingkungan saat ini dan situasi lingkungan yang potensial,
dengan memasukkan pertimbangan perspektif historisnya;
- Mempromosikan
nilai dan pentingnya kerjasama lokal, nasional dan internasional untuk
mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan;
- Secara eksplisit
mempertimbangkan/memperhitungkan aspek lingkungan dalam rencana
pembangunan dan pertumbuhan;
- Memampukan
peserta didik untuk mempunyai peran dalam merencanakan pengalaman belajar
mereka, dan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan dan
menerima konsekuensi dari keputusan tersebut;
- Menghubungkan
(relate) kepekaan kepada lingkungan, pengetahuan, ketrampilan untuk
memecahkan masalah dan klarifikasi nilai pada setiap tahap umur, tetapi
bagi umur muda (tahun-tahun pertama) diberikan tekanan yang khusus
terhadap kepekaan lingkungan terhadap lingkungan tempat mereka hidup;
- Membantu peserta
didik untuk menemukan (discover), gejala-gejala dan penyebab dari masalah
lingkungan;
- Memberi tekanan
mengenai kompleksitas masalah lingkungan, sehingga diperlukan kemampuan
untuk berfikir secara kritis dengan ketrampilan untuk memecahkan masalah.
- Memanfaatkan beraneka ragam situasi pembelajaran (learning environment) dan berbagai pendekatan dalam pembelajaran mengenai dan dari lingkungan dengan tekanan yang kuat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya praktis dan memberikan pengalaman secara langsung (first - hand experience).
Kemudian dalam pendidikan lingkungan perlu mengembangkan
kesadaran subyektif dan kemampuan
obyektif yaitu
suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam
hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya.
Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu, bisa menjebak kita ke
dalam kerancuan berfikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja
berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi
hubungan dialek tersebut tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau
yang lebih salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur
sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni: Pengajar, Pelajar atau
anak didik, dan Realitas dunia. Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar
(cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari
(cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem
pendidikan mapan selama ini.
Upaya pendidikan lingkungan dilaksanakan sebagai suatu
proses yang terus menerus, suatu yang selalu mulai dan mulai lagi, sehingga proses
penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang sebati (inherent)
dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran
merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia
kesadaran seseorang memang tidak boleh berhenti, ia senantiasa harus terus
berproses, berkembang dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari
tingkat “kesadaran
naïf”
sampai ke tingkat “kesadaran
kritis”,
sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni “kesadarannya
kesadaran”
(the consice of the
consciousness).
Selanjutnya, perlu meng-sinkronisasi-kan proses
belajar di dalam pikiran, rasa, dan gerak, sehingga kondisi emosi anak (pelajar) dalam keadaan
sebaik-baiknya pada saat menerima hal-hal yang penting dalam belajar. Untuk itu perlu diperhatikan:
a.
Aspek afektif: perasaan
nyaman, senang, bersemangat, kagum, puas, dan bangga
b.
Aspek kognitif:
proses pemahanan, dan menjaga keseimbangan aspek-aspek yang lain
c.
Aspek sosial:
perasaan diterima dalam kelompok
d. Aspek sensorik dan motorik:
bergerak dan merasakan melalui indera, melibatkan peserta sebanyak mungkin
e.
Aspek lingkungan: suasana ruang atau lingkungan
IV. Guru dalam memberikan pengetahuan/pendidikan
lingkungan kepada anak
didik, harus mampu membuat anak didik untuk memilih nilai-nilai hidup yang
semakin komplek, berkomunikasi
dengan sesamanya di dalam masyarakat serta tidak mengasingkan diri dalam melindungi lingkungan hidup.
KEPUSTAKAAN:
Clys Medio Galung Pramaribo, 2002, Panduan Peningkatan
Peran Masyarakat Petani Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kementerian
Lingkungan Hidup, Jakarta.
Jonny Purba (Peny.), 2002, Bunga Rampai Kearifan
Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta.
Kementrian Lingkungan Hidup, 2002, Panduan
Pemberdayaan Masyarakat Adat, Kementrian Lingkungan Hidup, Jakarta.
Koesnadi
Hardjasoemantri, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Gajahmada
University Press, Yogyakarta.
Otto Soemarwoto, 2001, Atur Diri Sendiri: Pardigma
Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup – Pembangunan Ramah Lingkungan: Berpihak Pada
Rakyat, Ekonomis, Berkelanjutan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Sundari
Rangkuti, 1987, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Disertasi,
Airlangga University Press, Surabaya.
http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/04/peranan-guru-dalam-pembelajaran-yang-berkualitas-400570.html
http://anomsblg.wordpress.com/profesi-kependidikan/peran-guru-dalam-pembelajaran/
[1] Kementrian Lingkungan Hidup, 2002, Panduan
Pemberdayaan Masyarakat Adat, Kementrian Lingkungan Hidup, Jakarta , hal. 60.
[2] Berkaitan dengan kearifan lingkungan ini
dapat di baca: Jonny Purba (Peny.), 2002, Bunga Rampai Kearifan Lingkungan, Kementerian
Lingkungan Hidup, Jakarta .
[3] Bandingkan, Clys Medio Galung Pramaribo,
2002, Panduan Peningkatan Peran Masyarakat Petani Dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta , hal. 16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar