Selasa, 26 Februari 2013


KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
DALAM KERANGKA HUKUM NASIONAL
Alvi Syahrin, Prof. Dr. MS. SH.

I.     Sejarah peradapan telah menunjukkan betapa usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya telah menimbulkan kesengsaraan berupa bencana alam yang disebabkan karena manusia tidak mampu mengendalikan ketamakannya. Mengalami hal tersebut, manusia mulai berfikir dan bekerja secara aktif untuk memahami lingkungannya yang memberikan tantangan dan mengembangkan cara-cara yang paling menguntungkan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup yang terus cenderung meningkat dalam jumlahnya, ragam dan mutunya.
         Manusia berusaha memahami alam semesta beserta isinya, memilah-milah gejala yang nampak nyata atau tidak nyata ke dalam sejumlah kategori untuk mempermudah mereka dalam menghadapi alam secara lebih efektif. Dengan kemampuan bekerja dan berfikir secara metaforik, manusia tidak lagi mengandalkan naluri dalam beradaptasi dengan lingkungan. Ia mulai secara aktif mengolah sumberdaya alam dan mengelola lingkungan sesuai dengan resep-resep budaya yang merupakan himpunan abstraksi pengalaman mereka menghadapi tantangan.
Manusia dalam beradaptasi, mengembangkan kearifan lingkungan yang berwujud ideasional berupa pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktifitas serta peralatan, sebagai hasil abstraksi pengalaman yang dihayati oleh segenap masyarakat pendukungnya dan yang menjadi pedoman atau kerangka acuan untuk melihat, memahami, memilah-milah gejala yang dihadapi serta memilih strategi  bersikap maupun bertindak dalam mengelola lingkungan.
Keanekaragaman pola-pola adaptasi manusia terhadap lingkungan, terkadang tidak mudah dimengerti oleh pihak ketiga yang mempunyai latar belakang sosial dan kebudayaan yang berbeda. Namun demikian, keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan tersebut merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangungan yang berkelanjutan.

II.        Kearifan merupakan seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat setempat (komunitas) yang terhimpun dari pengalaman panjang menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis. Dengan demikian, kearifan lingkungan (ecological wisdom) merupakan pengetahuan yang diperoleh dari abstraksi pengalaman adaptasi aktif terhadap lingkungannya yang khas. Pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bentuk ide, aktivitas dan peralatan. Kearifan lingkungan yang diwujudkan ke dalam tiga bentuk tersebut dipahami, dikembangkan, dipedomani dan diwariskan secara turun-temurunoleh komunitas pendukungnya. Sikap dan perilaku menyimpang dari kearifan lingkungan, dianggap penyimpangan (deviant), tidak arif, merusak, mencemari, mengganggu dan lain-lain.
Kearifan lingkungan dimaksudkan sebagai aktivitas dan proses berpikir, bertindak dan bersikap secara arif dan bijaksana dalam mengamati, mamanfaatkan dan mengolah alam sebagai suatu lingkungan hidup dan kehidupan umat manusia secara timbal balik. Kesuksesan kearifan lingkungan itu biasanya ditandai dengan produktivitas, sustainabilitas dan equtablitas atau keputusan yang bijaksana, benar, tepat, adil, serasi dan harmonis .
Masyarakat Indonesia dengan ribuan komunitas mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan karakterisktik lingkungan yang khas. Secara suku bangsa terdapat lebih kurang 555 suku bangsa atau sub suku bangsa yang tersebar di wilayah Kepulauan Nusantara. Dalam beradaptasi terhadap lingkungan, kelompok-kelompok masyarakat tersebut mengembangkan kearifan lingkungan sebagai hasil abstraksi pengalaman mengelola lingkungan. Sering kali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat sangat rinci dan menjadi pedoman yang akurat bagi masyarakat yang mengembangkan kehidupan di lingkungan pemukiman mereka. Pengetahuan rakyat itu biasanya berbentuk kearifan yang sangat dalam maknanya dan sangat erat kaitannya dengan pranata kebudayaan, terutama pranata kepercayaan (agama) dan hukum adat yang kadang-kadang diwarnai dengan mantra-mantra. Ia merupakan kumpulan abstraksi pengalaman yang dihayati oleh segenap anggota masyarakat pendukungnya dan menjadi pedoman atau kerangka acuan untuk melihat, memahami dan memilah-milah gejala yang dihadapi serta memilih strategi dalam bersikap maupun bertindak dalam mengelola lingkungan.
Perbedaan acuan, pandangan/penilaian, standar, ukuran atau kriteria tersebut, dapat menimbulkan benturan atau konflik antara masyarakat lokal dengan pengusaha maupun pemerintah. Padahal, pembangunan berkelanjutan memungkinkan pemanfaatan kearifan dan sumber-sumber daya sosial sebagai modal dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Kurangnya perlindungan atau penghormatan terhadap kearifan lingkungan yang dikembangkan masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alama, antara lain disebabkan oleh kurangnya pemahaman para pihak terkait (stakeholders) dan tidak bersedianya informasi mengenai kearifan lingkungan.
Sejumlah konflik yang muncul mengenai lingkungan lebih banyak melibatkan masyarakat adat dengan masyaralat lain yang tidak mengalami kearifan lokal dan adat suatu masyarakat tentang bagaimana masyarakat tersebut mengelola lingkungannya secara tradisional termasuk pelanggaran pemilikan tanah secara adat. Karena itu, langkah yang tepat dalam usaha untuk mewujudkan kearifan lingkungan adalah dengan mengkaji kembali tradidi yang ada di masyarakat tentang usaha mereka untuk mewujudkan keseimbangan kehidupannya dengan lingkungannya. Tradisi dan aturan lokal yang tercipata dan diwariskan turun menurun untuk mengelola lingkungan, dapat merupakan materi penting bagi penyusunan kebijakan yang baru tentang lingkungan. Norma-norma yang mengatur kelakuan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya, ditambah dengan kearifan ekologi tradisional yang mereka miliki, merupakan etika lingkungan yang mempedomani perilaku manusia dalam mengelola lingkungannya.

III.        Hukum tidak dapat dipisahkan dari kultur, sejarah dan waktu di mana kita sedang berada (law is not separate from the culture, history and time in which it exists). Setiap perkembangan sejarah dan sosial, harus diimbangi dengan perkembangan hukum, karena setiap perubahan sosial pada dasarnya akan mempengaruhi perkembangan hukum (social movement effect the development of law)[1].
Memahami hukum sebagai institusi sosial, menjadikan hukum diminta untuk mampu sebagai sarana agar keadilan dapat diselenggarakan secara seksama. Hukum juga mengemban fungsi sebagai[2]
1.    Memelihara stabilitas. Institusi hukum menimbulkan kemapanan dan keteraturan dalam usaha masyarakat untuk memberikan keadilan (dispensing justice).
2.    Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diajukan anggota masyarakat, sehingga kebutuhan yang bersifat individual itu bertemu dengan pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh masyarakat.
3.    Menciptakan kaidah-kaidah sehingga kebutuhan anggota masyarakat dapat dipenuhi secara terorganisasi. Denagn demikian terjemalah posisi-posisi yang kait mengkait secara sistematis dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut.
4.    Jalinnan antar institusi. Sekalipun institusi dalam masyarakat dirancang untuk memenuhi kebutuhan tertentu, tetapi kemungkinan ter- jadi tumpang tindih. Keadilan tidak hanya dilayani oleh institusi hukum, tetapi mungkin juga ekonomi. Terdapat pula hubungan sinergis antar institusi, sehingga perubahan padan institusi yang satu akan berimbas kepada yang lain.

Hukum terbentuk dan berkembang sebagai produk yang sekaligus mempengaruhi, dan karena itu mencerminkan dinamika proses interaksi yang berlansung terus menerus antara berbagai kenyataan kemasyarakatan (aspirasi manusia, keyakinan agama, sosial, ekonomi, politik, moral, kondisi kebudayaan dan peradapan dalam batas-batas alamiah) satu dengan lainnya yang berkonfrontrasi dengan kesadaran dan penghayatan manusia terhadap kenyataan kemasyarakatan itu yang berakar dalam pandangan hidup yang dianut serta kepentingan kebutuhan nyata manusia[3], sehingga hukum dan tatanan hukumnya bersifat dinamis[4].
Selanjutnya, hukum seharusnya menjadi jembatan (instrumen)[5] dalam mewujudkan apa yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dam Pembukaan UUD 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial[6]. Dengan demikian, hukum mengendalikan keadilan (law wants justice). Keadilan yang dikendaki hukum harus menacapai nilai; persamaan (equality), hak asasi individu (individual right), kebenaran (truth), kepatuhan (fairness), dan melindungi masyarakat (protection public interest). Hukum yang mampu menegakkan nilai-nilai tersebut, jika dapat menjawab:
1.    keyataan realita yang dihadapi masyarakat,
2.    yang mapu menciptakan ketertiban (to achieve order),
3.    yang hendak ditertibkan adalah masyarakat, oleh karena itu orde yang dikehendaki adalah ketertiban sosial (social order) yang mampu berperan:
-        menjamin penegakan hukum sesuai dengan ketentuan proses beracara yang tertib (ensuring due process),
-             menjamin tegaknya kepastian hukum (ensuring certainty),
-             menjamin keseragaman penegakan hukum (ensuring unifromity)
-             menjamin tegaknya prediksi penegakan hukum (ensuring predictability)[7].

Sehingga, hukum nasional harus mampu merubah suasana hukum dari sistem hukum yang sedang berjalan kepada sistem hukum yang diinginkan, dan berorientasi kepada pandangan hidup, wawasan politik hukum dan kepentingan nasional, sebagai bangsa yang sedang membangun berdasarkan suatu konsep strategi pengelolaan nasional, dan memperhitungkan dimensi-dimensi nasional, regional, dan global[8]. Dengan demikan perlu dilakukan reformasi hukum terhadap kekeliruan interpretasi dan kembali kepada konseptual sejumlah Nilai Dasar yang tercantum dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh, Penjelasan UUD 1945 dan ketetapan MPR.
Kemudian, pembangunan Indonesia bersifat fundamental, tidak dilakukan secara tambal sulam. Indonesia adalah benar-benar suatu masyarakat yang sedang membangun diri secara lengkap (a society in the making), sehingga membutuhkan peninjauan serta penataan kembali terhadap semua kelembagaan yang selama ini dipakainya, dengan berpegangan pada kaidah-kaidah baru bangsanya seperti konsep Pancasila, Wawasan Nusantara, pembangunan Manusia Seutuhnya dan seterusnya.
Suatu perencanaan hukum dari situasi tertentu menuju suatu tujuan yang akan dicapai atau yang disebut dengan politik hukum, tidak terlapas dari kenyataan sosial dan tradisi-tradisi yang terdapat dalam suatu bangsa dan negara di satu pihak, sedangkan dilain pihak sebagai negara dalam keluarga bangsa-bangsa dan negara dunia, politik hukum suatu bangsa dan negara tidak dapat pula dilepaskan dari kenyataan-kenyataan dan politik dunia.
Mengadakan suatu perencanaan dalam pembagunan hukum nasional, kita harus mengadakan pula usaha-usaha peningkatan dan atau perbaikan pada hal-hal yang bersifat kepribadian Indonesia yang masih dirubah, supaya benar-benar menjadi manusia demokratis.
Paham kemajemukan masyarakat atau pluralisme tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai nilai yang positif, sebagai rahmat Tuhan kepada manusia, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi yang dinamis dan melalui pertukaran silang budaya yang beraneka ragam. Pluralisme adalah suatu perangkat untuk mendorong pengkayaan budaya bangsa. Maka budaya Indonesia, atau “keindonesiaan”, tidak lain adalah hasil interaksi yang kaya (resourceful) dan dinamis antara pelaku budaya yang beraneka ragam itu dalam suatu melting pot yang efektif[9].
Pluralitas merupakan kemajemukan yang didasari oleh keutamaan (keunikan) dan kekhasan. Karena itu, pluralitas tidak dapat terwujud atau terbayang keberadaanya kecuali sebagai antitesis dan sebagai objek komperatif dari keseragaman dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya. Pluralitas tidak dapat disematkan kepada “situasi cerai berai” yang sama sekali tidak memiliki hubungan masing-masing pihak[10].
Dengan demikian, reformasi hukum hendaknya secara bersungguh-sungguh menjadikan eksistensi kebhinekaan menjadi agenda dan bagaimana mewujudkannya ke dalam sekalian fundamental hukum. Mengakui kebhinekaan adalah mengakui konflik sebagai sesuatu yang potensial dan merupakan fungsional bagi berdirinya masyarakat yang pluralistik. Untuk itu, dimasa yang akan datang sebaiknya kita melakukan rekayasa kemajemukan dalam hukum. Politik kemajemukan dalam hukum itu adalah untuk memajukan persatuan Indonesia dan mengusahakan produktifitas kehidupan[11]
Indonesia yang komunalisme, lebih mengutamakan kebersamaan daripada individualisme dan liberalisme kurang mendapat tempat. Tipe manajemen yang ditonjolkan adalah musyawarah ketimbang penyelesaian konflik. Nilai-nilai musyawarah, kekeluargaan, keselarasan, keseimbangan menjadi penting dan perlu digarap secara sungguh-sungguh.
Bangsa Indonesia yang berketepatan untuk membangun suatu masyarakat Indonesia dan tatanan sosial baru berdasarkan tata nilai baru, yaitu Pancasila. Sehubungan dengan itu maka politik pembangunan hukum kita mestinya mengikuti hal tersebut melalui grand design untuk merombak tatanan lama menjadi baru. Disini terjadi tranformasi nilai-nilai dimana hukum sebagai kekuatan pengintegrasian mengambil peranan yang sangat penting. Sisitem hukum indonesia mengemban tugas besar untuk mntranformasikan nilai-nilai baru tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam menghadapi tugas transformasi dan menyusun grand design tersebut kita boleh memberanikan diri untuk menggugat asas-asas yang telah mapan dan mengajukan gagasan alternatif. Misalnya menggugat kemapanan Rule of law untuk digantikan atau setidak-tidaknya ditandingi oleh Rule of Moral atau Rule of Justice[12].

IV.     Kearifan tradisional dalam pembangunan hukum nasional berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup telah mendapat tempat diperhatikan. Beberapa contoh ketentuan perundang-undangan menegaskan hal tersebut, seperti yang diatur dalam:
  1. UU No. 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), diantaranya diatur dalam:
Pasal 1 angka 30 dan 31 UUPPLH:
(30) Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
(31) Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Pasal 2 UUPPLH:
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:
a.   tanggung jawab negara;
b.   kelestarian dan keberlanjutan;
c.   keserasian dan keseimbangan;
d.   keterpaduan;
e.   manfaat;
f.    kehati-hatian;
g.   keadilan;
h.   ekoregion;
i.    keanekaragaman hayati;
j.    pencemar membayar;
k.   partisipatif;
l.    kearifan lokal;
m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan
n.   otonomi daerah.
Penjelasan umum angka 2 UUPPLH, yang menyebutkan:
“..., lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan.”.

  1. UU N0. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pertimbangan huruf c
“pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional”;

Pasal 4 ayat (3)
Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

  1. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
            Pasal 6 (2)
“Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.



--o0o--



[1]    Perhatikan, Philippe Nonet and Philip Selznick, 1978, Law and society in transition; Toward Responsive Law, Harper & Row, New york, p. 3. periksa juga, Lawrence M. Friedman, 1977, Law and Society: An introduction, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, p. 168.
[2]   Perhatikan, Satjipto Raharjo, 1998, “Paradigma Ilmu Hukum Indonesia Dalam Perspektif Sejarah”,  Makalah, Simposium Nasional Ilmu Hukum UNDIP ke-41, Semarang, hal. 15.
[3]    Perhatikan, Franz yon Benda-Beckmann, 1983, “Why Law Does not Behave – Critical and Constructive Reflection on The Social Scientific Perception of The Social Significance of Law”, Makalah, Xith International Congress of IUEAS, Vancouver, Canada, p. 1, yang menyatakan : Law becomes significant socially when human behaviour is “ influenced” by law and when people make use of law in purposeive conduct.
[4]   Perhatikan, Arief Sidharta, 1998, “Paradigma Ilmu Hukum Indonesia Dalam Perspektif Positivis”, Makalah, Simposium Nasional Ilmu Hukum, Dies Natalis Fak. Hukum UNDIP ke-41, Semarang , hal. 33.
[5]   Hukum sebagai satu “instrumen” atau “tool” dalam pengkondisian masyarakat yang berdasarkan Demokrasi Pancasila itu, bukanlah adanya hukum sebagai tujuan akhir tetapi hukum adalah sekedar alat untuk mencapai tujuan yakni masyarakat yang hidup dalam suasana tertib, makmur dan adil, sesuai dengan nafas dan spirit Pancasila. Hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta, dan fikiran dari masyarakat itu sendiri. Perhatikan M. Solly Lubis, “Pembentukan Undang-Undang secara Terpadu dan Demokratis Berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945”, Makalah, Sarasehan Perspektif  Pembangunan Hukum Pada Pelita VII dalam rangka menunjang Pembangunan Jangka Panjang II, Medan, hal. 7-9.
[6]     Perhatikan juga, Roeslan Saleh, 1995, “Penjabaran Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Perundang-Undangan R.I. Umumnya Tentang Hak-Hak Azasi Manusia Khususnya”, Makalah, Seminar Akbar 50 tahun pembinaan Hukum, BPHN – DepKeh, Jakarta, hal. 71.
 [7]    Periksa, M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 54-55.
[8]     M. Solly Lubis, 1995, “Hukum Nasional Dalam Rangka Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II)” dalam I Made Widnyana, et.al.(ed.), Bunga Rampai Pemabangunan Hukum Indonesia, Eresco Bandung, hal. 31.
[9]      Perhatikan, Ahmad Baso, 1999, Cicil Soviety versus masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “V
Civil Society” dalam Islam Indonesia, Pustaka Hidayah, bandung, hal. 23.
[10]    Muhammad Imarah, 1999, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, Gema Insasi Press, hal. 9. [11]    Perhatikan, Satjipto Raharjo, 1999, “Masalah Nilai-nilai Dalam penemuan Hukum Dan Pembentukan Hukum Nasional”, Makalah, Temu Wicara tentang Pelaksanaan Pembangunan Hukum PJP II, BPHN – DepKeh, Jakarta, hal. 5 – 10.
[12]    Satjipto Raharjo, 1995, “Transformasi Nilai-nilai dalam Penemuan Hukum dan Pembentukan Hukum Nasional”, Makalah, temu Wicara tentang Pelaksanaan pembangunan Hukum PJP II, BPHN – DepKeh, Jakarta, hal. 26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar