UNSUR “MEMILIKI BARANG” DALAM TINDAK PIDANA PENGGELAPAN
oleh: Alvi Syahrin
Tindak pidana penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP, dan berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”.
Memperhatikan rumusan Pasal 372 KUHP, dapat di uraikan bahwa satu diantara unsur-unsur Pasal 372 KUHP tersebut, yaitu: unsur “memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain”’
Unsur “memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 KUHP, harus diartikan sebagai: menguasai suatu benda bertentangan dengan sifat dari hak yang dimiliki atas benda itu (Putusan Mahkamah Agung No. 69 K/Kr/1959 tanggal 11-8-1959) atau juga menguasai sesuatu barang bertentangan dengan sifat dari hak yang dijalankan seseorang atas barang-barang tersebut (Putusan Mahkamah Agung No. 83 K/Kr/1956 tanggal 8-5-1957). Artinya, pengertian memiliki pada seseorang dalam penggelapan ia (seakan) sebagai pemiliknya. Seakan sebagai pemilik yang dimaksud dapat dilihat jika orang yang disebut dalam Pasal 374 KUHP itu menjual barang tersebut, atau menggadaikan barang tersebut, atau menghadiahkan barang tersebut, atau menukarkan barang tersebut kepada orang lain, sehingga kepemilikan atas barang tadi menjadi berpindah dari si penggelap kepada pihak ketiga (pihak lain).
Unsur “memiliki” dalam tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP) merupakan unsur yang penting, dan penggelapan tersebut di pandang sudah sempurna jika tindakan kepemilikan itu sudah terjadi. Menurut SR Sianturi (dalam bukunya: Tindak Pidana di KUHP berikut uraiannya, Penerbit Alumni AHM-PTHM Jakarta, 1983, hal.: 626) menyatakan: penggelapan dipandang sudah sempurna jika tindakan pemilikan itu sudah terjadi. Demikian juga pendapat R. Soesilo (dalam bukunya: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap Pasal Demi Pasal, Politea Bogor, 1988, hal. 258) menyatakan: “memiliki” = menurut arrest Hoge Raad 16 Oktober 1905 dan 26 Maret 1906 ialah pemegang barang yang menguasai atau bertindak sebagai pemilik barang itu berlawanan dengan hukum yang mengikat padanya, sebagai pemegang barang itu. Dipandang sebagai “memiliki” misalnya: menjual, memakan, membuang, menggadaikan, membelanjakan uang dsb.”, sehingga dapat diartikan bahwa dalam penggelapan harus telah terjadi adanya kepemilikan atas barang yang digelapkan tersebut, jika belum terjadi kepemilikan atas barang tersebut maka penggelapan belum terjadi, karena unsur memiliki tidak terpenuhi.
Bagaimana halnya, jika terjadi seseorang (A) menitipkan surat-surat kepemilikan atas suatu barang kepada (B), kemudian ternyata (B) tidak mau mengembalikan surat-surat tersebut kepada (A), dan terhadap surat-surat kepemilikan tersebut hanya di simpan oleh si (B), apakah si (B) dapat dikatakan sebagai orang yang telah melakukan penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP?
Dalam kasus yang dikemukakan di atas, tidak serta merta si (B) dapat dikatakan telah melakukan penggelapan (Pasal 372 KUHP). Ada fakta-fakta hukum yang harus diperhatikan, oleh karena, jika belum sampai kepada “memiliki” terhadap barang sebagaimana yang disebut dalam surat kepemilikan tersebut maka belum dapat dinyatakan sebagai telah melakukan penggelapan. Surat-surat kepemilikan barang merupakan keterangan terhadap suatu kepemilikan barang, dengan disimpan saja surat-surat tersebut oleh si (B) tidak menjadikan terjadinya perubahan kepemilikan atas barang tersebut, dan surat-surat kepemilikan suatu barang bukanlah sebagai pengertian barang dalam Pasal 372 KUHP.
Jika pengertian memiliki suatu barang diartikan sebagai pengertian “penguasaan”, maka pengertian “penguasaan” tersebut harus dikaitkan dengan (hak) kepemilikan, artinya penguasaan seolah-olah ia sebagai pemilik, sehingga jika kepemilikan belum pernah beralih, tidak menjadikan perbuatan penggelapan sudah terjadi. Penguasaan atas surat-surat pada si (B) belum sampai menjadi suatu “penguasaan dengan melawan hukum”, sebab penguasaan terhadap surat-surat kepemilikan tersebut hanya disimpan oleh si (B) dan tidak terjadi adanya peralihan kepemilikan. Tindak pidana penggelapan dipandang sempurna jika tindakan pemilikan itu sudah terjadi.
Mengartikan “surat-surat bukti kepemilikan” sebagai “barang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP merupakan penafsiran yang keliru. Oleh karena “surat-surat bukti kepemilikan” hanya menunjukkan siapa yang menjadi pemilik suatu barang (hanya menerangkan kepemilikan) bukan sebagai barang (benda obyek kepemilikan). Kalau surat-surat kepemilikan tersebut disimpan tidak akan menyebabkan hilangnya kepemilikan suatu barang.
Selanjutnya, jika tidak pernah menjadikan surat-surat tersebut untuk dimiliki atau dalam penguasaan sebagai pemilik, karena si (B) tidak pernah menggunakan surat-surat tersebut untuk dijadikan jaminan, atau dijual, atau menggadaikannya atau melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan telah terjadinya kepemilikan atas barang-barang yang disebutkan dalam surat-surat yang menjadi barang bukti dalam perkara ini, maka unsur “memiliki barang” sebagaimana dalam Pasal 372 KUHP tidak akan terpenuhi.
Berdasarkan ketentuan Hukum Pidana, untuk dapat dikatakan seseorang itu telah melakukan suatu tindak pidana apabila yang bersangkutan telah melakukan perbuatan (memenuhi unsur obyektif) sebagaimana yang di atur dalam ketentuan hukum pidana. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Dr Ny Komariah Emong Sapardjaja yang menyatakan: “ ... dalam kasus konkret, pelanggaran terhadap norma-norma hukum pidana yang dilakukan oleh seseorang yang harus dibuktikan oleh seorang penuntut umum adalah unsur-unsur yang ada dalam perumusan tindak pidana.”.
Terhadap surat-surat kepemilikan tersebut, apabila si (B) tidak pernah mengalihkan kepemilikannya atau telah melakukan pemilikan atas obyek yang diterangkan dalam surat-surat tersebut ataupun melakukan tindakan hukum atas surat tersebut sehingga si (B) seolah-olah telah memiliki obyek surat tersebut seperti menjual, menggadaikan atau menjadikan surat tersebut memiliki nilai ekonomis sehingga terdakwa/pemohon kasasi mendapat keuntungan atas tindakan tersebut, maka si (B) tidak dapat dikatakan sebagai “memiliki”.
Menurut Hukum pidana, tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Dengan demikian perbuatan si (B) baru bisa dikatakan telah melakukan tindak pidana jika telah memenuhi semua unsur perbuatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 372 KUHP. Si (B) sebenarnya belum melaksanakan apa yang diinginkan oleh Pasal 372 KUHP, yaitu memiliki barang yang digelapkan. Jikapun ada perbuatan yang dilakukan oleh si (B) belum sampai kepada perbuatan yang menyebabkan telah terjadinya kepemilikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 372 KUHP. Artinya si (B) belum mulai mewujudkan perbuatan memiliki, penguasaan terhadap surat-surat si (A) masih sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (sebagai orang yang dititipkan surat), perbuatan si (B) kalaupun ada hanya baru sampai kepada perbuatan persiapan, belum sampai kepada perbuatan pelaksanaan.
Perbuatan persiapan melakukan tindak pidana hanya terjadi apabila pembuat berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana, mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan atau melakukan tindakan-tindakan serupa yang dimaksudkan menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian tindak pidana. Dan perbuatan persiapan ini tidak dapat dipidana sebagaimana yang dikemukakan oleh Jan Remmelink (dalam buku terjemahan Tristam P Moeliono, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal.304) yang menyatakan: “... persiapan untuk melakukan persiapan juga tidak layak diancam pidana”. Dan pandangan Prof. Dr D. Schaffmeister, Prof Dr N Keijzer, Mr E PH Sutorius (dalam editor Prof. Dr JE Sahetapy, SH.MA, Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen P & K, Liberty Yogyakarta, 1995, hal. 219) yang menyatakan: “tidak dapat dipidana karena belum ada permulaan pelaksanaan dalam arti Pasal 53 KUHP ...”.
terima kasih atas postingan bapak ini sangat membantu ,...kami masyarakat awam akan hukum...dan sedang di tuduh dalam kasus penggelapan 372 .tp unsur memiliki seperti yang bapak uraian kan belum terpenuhi.
BalasHapusunsur memiliki dalam penggelapan adalah unsur tingkah laku yg selesai dilaksanakan yaitu menjual,menghibahkan dll. tp keluarga kami tidak pernah melakukan unsur memiliki tersebut diatas .
BalasHapus