Minggu, 19 Desember 2010

KETENTUAN PASAL 124  -  126 UUPPLH DAN
PENANGANAN KASUS PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

oleh: Alvi Syahrin

          Ketentuan Pasal 124 – Pasal 126 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) diatur dalam Bab XVII dengan di beri titel Ketentuan Penutup. Adapun bunyi dari Pasal 124 – 126 UUPPLH, sebagai berikut:

Pasal 124 UUPPLH:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 125 UUPPLH:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 126 UUPPLH:
Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.

Memperhatikan isi Pasal 124 UUPPLH tersebut, sebenarnya materi muatannya mengatur mengenai ketentuan peralihan atau disebut juga ketentuan yang bersifat transito, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai penyesuaian keadaan yang sudah ada pada saat mulai berlakunya peraturan perundang-undangan yang baru (dalam hal ini UUPPLH) sehingga peraturan perundang-undangan yang baru itu (dalam hal ini UUPPLH) dapat berjalan lancar dan tidak membawa dampak yang tidak dikehendaki dalam masyarakat diantaranya untuk mencegah kondisi kekosongan hukum akibat perubahan ketentuan dalam perundang-undangan.
Ketentuan peralihan (Transitional Provision–Overgangs Bepalingen) dalam suatu Peraturan Perundang-undangan merupakan suatu ketentuan hukum yang berfungsi untuk menjaga jangan sampai terdapat pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya perubahan ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga, segala hubungan hukum atau tindakan hukum yang telah dilakukan atau sedang dilakukan dan belum selesai prosesnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang diubah (yang lama) jangan ada pihak-pihak yang dirugikan sebagai akibat berlakunya peraturan yang baru dan harus adil serta tidak melanggar hak-hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain mengenai jaminan untuk mendapatkan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1). Artinya, peraturan perundang-undangan yang baru jangan sampai melupakan atau mengesampingkan hubungan hukum atau tindakan hukum yang pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lama perlu diatur kesinambunganya atau penyelesaiannya dalam peraturan perundang-undangan yang baru.
Ketentuan Pasal 124 UUPPLH pada dasarnya merupakan aturan peralihan dalam UUPPLH, dan mengatur hal-hal tentang:
1.      penyesuian isi peraturan lama (ketentuan pelaksana dari UUPLH) dengan peraturan baru (UUPPLH),  jika isi peraturan lama (ketentuan-ketentuan pelaksana dari UUPLH) tidak bertentangan dengan peraturan baru (UUPPLH) maka ia tetap berlaku artinya tetap merujuk pada peraturan pelaksana dari UUPLH sepanjang peraturan pelaksana UUPPLH belum terbit;
2.      semua konsekuensi hubungan hukum atau tindakan hukum berdasarkan peraturan lama tetap berlaku berdasarkan peraturan yang baru;
3.      penyimpangan/penundaan sementara terhadap hubungan hukum atau tindakan hukum tertentu.

Memperhatikan Point 1. dan 2. tersebut di atas dan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 125 UUPPLH dan Pasal 126 UUPPLH, maka terdapat berhubungan sangat erat antara Pasal 124 UUPPLH dengan Pasal 125 UUPPLH dan Pasal 126 UUPPLH, karena beberapa hal:
Pertama, setelah peraturan baru berlaku (UUPPLH), maka segala hubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat maupun sesudah peraturan baru itu  (UUPPLH) dinyatakan berlaku, harus tunduk pada peraturan yang baru (UUPPLH). Walaupun demikian, penyimpangan/penundaan sementara dapat diberlakukan dengan kejelasan statusnya.
Kedua,     berhubungan erat jika peraturan baru tersebut ternyata diberlakusurutkan (kecuali pada peraturan tentang pidana dan atau pemidanaan yang tidak diperbolehkan diberlakusurutkan serta dengan syarat, pemberlakuan surut itu tidak boleh memberikan beban konkret pada masyarakat) maka penyimpangan/penundaan sementara dapat diberlakukan. Penyimpangan/penundaan sementara ini mengindikasikan bahwa sebenarnya sejak peraturan perundangan baru diterbitkan, semua hubungan/tindakan hukum harus tunduk kepada aturan baru tersebut, biarpun hubungan hukum/tindakan hukum sudah dilakukan semasa peraturan lama. Ia (penyimpangan/penundaan sementara) tersebut harus disesuaikan dengan peraturan baru.
Ketiga,     sepanjang ketentuan pelaksana yang di isyaratkan oleh Pasal 126 UUPPLH yang harus terbit selambat-lambatnya satu tahun setelah berlakunya UUPPLH (UUPPLH mulai berlaku tanggal 3 Oktober 2009) yaitu tanggal 3 Oktober 2010 belum juga terbit, maka ketentuan-ketentuan pelaksana dari UUPLH masih tetap berlaku, sepanjang isi ketentuan pelaksana UUPLH tersebut tidak bertentangan dengan isi UUPPLH.

Selanjutnya, jika menyimak ketentuan Pasal 125 UUPPLH yang menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) dicabut dan menyimak Pasal 127 UUPPLH yang menetapkan UUPPLH berlaku sejak tanggal 3 Oktober 2009 (Pasal 127 UUPPLH), maka jika ada tindak pidana yang tempus delikti (waktu terjadinya) pada masa UUPLH dan baru di adakan penyelidikan dan penuntutannya setelah berlakunya UUPPLH, perlu diperhatikan Pasal 1 ayat (2) KUHP.

Ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan pengecualian terhadap berlaku surut (retro aktif) undang-undang pidana. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP dimungkinkan suatu peraturan pidana berlaku surut, namun demikian aturan undang-undang tersebut haruslah yang paling ringan/menguntungkan bagi tersangka/terdakwa. Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP mempunyai 2 ketentuan pokok, yaitu: a). Sesudah perbuatan dilakukan ada perudahan dalam perundang-undangan, dan  b). Dipakai aturan yang paling menguntungkan/meringankan tersangka/terdakwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar