Minggu, 11 Desember 2016

ASPEK HUKUM PIDANA TERHADAP SATWA LIAR YANG DILINDUNGI

ASPEK HUKUM PIDANA TERHADAP SATWA LIAR YANG DILINDUNGI

Oleh:
Alvi Syahrin
Fadlielah Hasanah

I.                    Hukum Pidana berorientasi pada tiga masalah pokok, yaitu masalah ”tindak pidana”, masalah ”pertanggungjawaban pidana”, dan masalah ”pidana dan pemidanaan”. Ketiga masalah pokok ini merupakan sub-sub sistem dari keseluruhan sistem hukum pidana (sistem pemidanaan), dan pemisahan sub-sub sistem demikian merupakan refleksi dari pandangan dualistis, yang memisahkan antara tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Sehubungan dengan pemisahan itu pula, maka akan terdapat pemisahan ketentuan mengenai  ”alasan pembenar” dan ”alasan pemaaf”. Alasan pembenar ditempatkan di dalam sub-bab ”tindak pidana”, dan ”alasan pemaaf” ditempatkan dalam sub-bab ”Pertanggungjawaban Pidana”.

Menurut Prof. Barda Nawawi, dipisahkannya ketentuan tentang ”Tindak Pidana” dan ”Pertanggungjawaban Pidana”, di samping merupakan refleksi dari pandangan dualistis juga sebagai refleksi dari ide keseimbangan antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu/perseorangan, keseimbangan antara ”perbuatan” (”daad”/actus reus”, sebagai faktor objektif”) dan ”orang” (”dader” atau ”mensrea”/guilty mind”, sebagai faktor subjektif), keseimbangan antara kriteria formal dan material, keseimbangan kepastian hukum, kelenturan/elastisitas/fleksibilitas dan keadilan;  dan keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/internasional/ universal.  Jadi, Hukum Pidana saat ini berorientasi tidak semata-mata pada pandangan mengenai hukum pidana yang menitikberatkan pada ”perbuatan atau akibatnya” (Daadstrafrecht/Tatsrafrecht atau Erfolgstrafrecht) yang merupakan pengaruh dari aliran Klasik, tetapi juga berorientasi/berpijak pada ”orang” atau ”kesalahan” orang yang melakukan tindak pidana (Daadstrafrecht/ Tatsrafrecht/Schuldstrafrecht), yang merupakan pengaruh dari aliran Modern.


Pertanggungjawaban Pidana sebagai implementasi ide keseimbangan, menjadikan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas/asas “geen straf zonder schuld”) yang merupakan asas kemanusiaan, sebagai pasangan dari asas legalitas (Principle of Legality) yang merupakan asas kemasyarakatan. Kedua syarat atau asas itu tidak memandang sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolut. Dalam hal-hal tertentu dapat memberi kemungkinan untuk menerapkan asas “strict liability”, asas “vicarious liability”, dan asas “pemberian maaf atau pengampunan oleh hakim” (“rechterlijk pardon” atau “judicial pardon”).

Asas “judicial pardon” dilatarbelakangi ide/pemikiran: a. menghindari kekakuan/absolutisme pemidanaan; b. menyediakan “klep/katup pengaman” (“veiligheidsklep”); c. bentuk koreksi judisial terhadap asas legalitas (“judicial corrective to the legality principle”); d. pengimplementasian/ pengintegrasian nilai atau paradigma “hikmah kebijaksanaan” dalam Pancasila; e. pengimplementasian/ pengintegrasian “tujuan pemidanaan” ke dalam syarat pemidanaan (karena dalam memberikan permaafan/pengampunan, hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan); f. jadi syarat atau justifikasi pemidanaan tidak hanya didasarkan pada adanya “tindak pidana” (asas legalitas) dan “kesalahan” (asas culpabilitas), tetapi juga pada “tujuan pemidanaan”. Kewenangan hakim untuk memberi maaf (“rechterlijk pardon”) dengan tidak menjatuhkan sanksi pidana/tindakan apa pun, diimbangi pula dengan adanya asas “culpa in causa” (atau asas “actio libera in causa”) yang memberi kewenangan kepada hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan si pelaku tindak pidana walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut. Jadi kewenangan hakim untuk memaafkan (tidak memidana) diimbangi dengan kewenangan untuk tetap memidana sekalipun ada alasan penghapus pidana.

Penegakan hukum di bidang lingkungan sebagai suatu tindakan dan/atau proses paksaan untuk mentaati hukum yang didasarkan kepada ketentuan, peraturan perundang-undangan dan/atau persyaratan-persyaratan lingkungan.  Ada 3 (tiga) langkah  penegakan hukum secara sistematis, yaitu mulai dengan penegakan hukum administratif, penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan dan penyidikan atas tindak pidana lingkungan hidup.

Dua tugas berat yang dilaksanakan secara arif dan bijaksana dalam era pembangunan saat ini, yaitu meletakkan pada titik keseimbangan dan keserasian yang saling menunjang secara sinergik antara penegakan hukum lingkungan dengan pelaksanaan pembangunan. Penegakan  hukum yang semata-mata mengacu pada kepentingan hukum atau umum tanpa mempertimbangkan kepentingan pembangunan, dapat menimbulkan situasi dan kondisi yang justru akan menghambat pembangunan berkelanjutan, sebaliknya kegiatan pembangunan dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.

Penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat aktif berperan dalam penegakan hokum. Gagasan upaya penegakan hukum dan hanya para penegak hukum yang harus bertanggungjawab atas kelestarian fungsi lingkungan hidup  merupakan  buah pikiran yang  naif dan terlalu  sederhana.  Namun demikian, melalui  upaya  penegakan hukum dapat memberikan sumbangan bagi perlindungan dan  pelestarian fungsi lingkungan.


 II.                      Ketentuan Pidana dalam UUKSDA&E
Ketentuan pidana mengenai konsevasi alam dan ekosistemnya di atur dalam Pasal 40 UU No. 5/1990, yang berbunyi:
(1)   Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2)   Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3)   Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4)   Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
 (5)  Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran.

Penjelasan Pasal 40 UU No. 5/1990, berbunyi: cukup jelas.

Berdasarkan ketentuan Pasal 40 UU No. 5/1990,  tindak pidana sebagaimana di atur dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) adalah kejahatan, dan tindak pidana dalam Pasal 40 ayat (3) dan (4) adalah pelanggaran.
Pasal
Tindak Pidana
Pertanggung-
jawaban Pidana/    Pidana








Tindak Pidana berdasarkan Pasal 40 (1) dan (2) merupakan kejahatan
(Pasal 40 (5))



Tindak Pidana berdasarkan Pasal 40 (3) dan (4) merupakan pelanggaran
(Pasal 40 (5))


40 (1)
Ø Pasal 19 ayat (1) UU No. 5/1990,
melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
Perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah:
-   melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya,
-   perburuan satwa yang berada dalam kawasan, dan memasukkan jenis-jenis bukan asli.


Sengaja
à penjara 10 tahun dan denda Rp 200jt
(Pasal 40 (1))

Kelalaian
à kurungan 1 tahun dan denda Rp. 100jt
(Pasal 40 (3))
40 (1)
Ø  Pasal 33 ayat (1) UU No. 5/1990,
melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
Melakukan kegiatan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 33 ayat (2)) meliputi:
-   mengurangi fungsi dan luas zona inti taman nasional,
-   menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta
-   menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
Penjelasan Pasal 32:
 “Zona inti taman nasional adalah bagian kawasan nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktifitas manusia.”

Sengaja
à penjara 10 tahun dan denda Rp. 200jt
(Pasal 40 (1))





Kelalaian
à kurungan 1 tahun dan denda Rp. 100jt
(Pasal 40 (3))
40 (2)
Ø  Pasal 21 ayat (1)
 a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.

Sengaja
à  penjara 5 tahun dan denda Rp. 100jt
(Pasal 42 (2))



Kelalaian
à  kurungan 1 tahun dan denda Rp. 50jt
(Pasal 40 (4))
40 (2)
Ø Pasal 21 ayat (2)
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e.  mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.

Sengaja
à  penjara 5 tahun dan denda Rp. 100jt
(Pasal 40 (2))



Kelalaian
à  kurungan 1 tahun dan denda Rp. 50jt
(Pasal 40 (4))
40 (2)
Ø Pasal 33 ayat (3)
melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
Pasal 32:
Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan.
Penjelasan Pasal 32:
 “zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia.
zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata.
zona lain adalah zona di luar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi dan sebagainya.
Sengaja
à  penjara 5 tahun dan denda Rp. 100jt
(Pasal 40 (2))


Kelalaian
à  kurungan 1 tahun dan denda Rp. 50jt
(Pasal 40 (4))

Memperhatikan bunyi Pasal 40 UUU No. 5/1990, berikut penjelasannya, dapat diuraikan bahwa tindak pidananya sebagai berikut:
1.    Melakukan pelanggaran terhadap:
Ø ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) UU No. 5/1990, yakni melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.

Perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah:
-   melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya,
-   perburuan satwa yang berada dalam kawasan, dan
-   memasukkan jenis-jenis bukan asli.

Ø ketentuan dalam Pasal 33 ayat (1) UU No. 5/1990, yakni melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.

Melakukan kegiatan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional berdasarkan Pasal 33 ayat (2) UU NO. 5/1990, meliputi:
-   mengurangi fungsi dan luas zona inti taman nasional,
-   menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta
-   menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
Penjelasan Pasal 32 UU No. 5/1990, menyebutkan: “Zona inti taman nasional adalah bagian kawasan nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktifitas manusia.”
(Pasal 40 ayat (1) UU No. 5/1990)

2.      Melakukan  pelanggaran  terhadap:
Ø Ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU No. 5/1990, yakni:
 a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b.  mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.

Ø Ketentuan Pasal 21 ayat (2) UU No. 5/1990, yakni:
a.  menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b.  menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c.  mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d.  memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e.  mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.

Ø Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UU No. 5/1990, yakni: melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
Berdasarkan Pasal 32 UU No. 5/1990, Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Selanjutnya, penjelasan Pasal 32 UU No. 5/1990, menjelaskan bahwa:
Yang dimaksud dengan zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia.
Yang dimaksud dengan zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata.
Yang dimaksud dengan zona lain adalah zona di luar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi dan sebagainya.
(Pasal 40 ayat (2) UU No. 5/1990).

Pelaku tindak pidana yang dengan sengaja
-    melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 40 (1) jo Pasal 19 (1)) ;    
 -   melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 40 (1) jo Pasal 33 ayat (1)) ,
diancam hukuman paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,--  (Pasal 40 (1) UU No. 9/1990).

Pelaku tindak pidana yang dengan kelalaian
-    melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 40 (1) jo Pasal 19 (1));
-    melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional  (sebagaiman pada point 1),
diancam pidana kurungan 1 tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,-- (Pasal 40 (3) UU No. 9/1990).

Pelaku yang dengan sengaja melakukan tindak pidana  berupa:
a.     mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b.    mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.”,
di ancam pidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,--. (Pasal 40 ayat (2) jo Pasal 21 ayat (1).

Pelaku yang dengan sengaja melakukan tindak pidana  berupa:
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b.    menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c.     mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d.   memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e.    mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.”,
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,-- (Pasal 40 ayat (2) jo Pasal 21 ayat (2)).

Pelaku tindak pidana dengan sengaja melakukan tindak pidana  berupa: melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,--. (Pasal 40 ayat (2) jo Pasal 33 ayat (3)),

Pelaku tindak pidana dengan kelalaian melakukan tindak pidana, berupa melakukan  kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam, berupa tindakan:
-    melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya,
-    perburuan satwa yang berada dalam kawasan, dan
-    memasukkan jenis-jenis bukan asli,
diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,--. (Pasal 40 ayat (3) jo Pasal 19 ayat (1))

Pelaku tindak pidana dengan kelalaian melakukan tindak pidana, melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional yang kegiatan tersebut meliputi:
-      melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya,
-      perburuan satwa yang berada dalam kawasan, dan
-      memasukkan jenis-jenis bukan asli,
diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (Pasal 40 ayat (3) jo Pasal 33 ayat (1)).

Pelaku tindak pidana dengan kelalaiannya melakukan tindak pidana berupa:
a.   mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b.    mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.”,
diancam pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,--. (Pasal 40 ayat (4) jo Pasal 21 ayat (1).

Pelaku tindak pidana dengan kelalaiannya melakukan tindak pidana, berupa:
a.  menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b.  menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c.  mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d.  memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e.  mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.”,
diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda Rp. 50.000.000,-- (Pasal 40 ayat (4) jo Pasal 21 ayat (2).

Pelaku yang karena kelalaiannya melakukan tindak pidana, berupa melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, diancam pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,-- (Pasal 44 jo Pasal 33 ayat (3)).


III.                  BARANG SIAPA

Unsur “barang siapa” dalam suatu pasal adalah hanya merupakan element delik dan bukan bestandel delict atau delik inti yang harus dibuktikan. Unsur delik tergantung pada bestandel delict, dimana implementasinya haruslah dihubungkan dengan terbukti atau tidaknya bestandel delict yang didakwakan kepada seorang Terdakwa. Barang siapa dalam konteks ini adalah Terdakwa yang melakukan perbuatan, baik sebagai hoofdader, dader, mededader, atau uitlokker; unsur barang siapa harus dihubungkan dengan perbuatan selanjutnya apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana atau tidak. Kalau unsur-unsur lainnya terpenuhi, barulah unsur “barang siapa” dapat dinyatakan terpenuhi atau terbukti.

Unsur “barang siapa” dalam ketentuan Pasal 40 UU No. 5/1990, hanya masih mengacu kepada manusia alamial (naturlijk person), belum sampai mengacu kepada badan usaha atau korporasi, sehingga pelaku berdasarkan Pasal 40 UU No. 5/1990 hanyalah orang perorangan.

Unsur “barang siapa” dari dakwaan jaksa, jelas ditujukan kepada manusia atau orang sebagai subjek hukum yang berfungsi sebagai hoofdader atau dader, atau mededader, atau uitlokker suatu perbuatan pidana, yang telah memenuhi semua unsur dalam rumusan delik.

Barang siapa sebenarnnya bukanlah merupakan unsur akan tetapi dalam perkembangan praktek di pengadilan, kata “barangsiapa” menjadi bahan ulasan, baik oleh kejaksaan maupun oleh pengadilan. “Barangsiapa” atau siapa saja, mengandung pengertian equality before the law. Kata barang siapa tidak dapat dipisahkan dari ajaran tentang pertanggungjawaban pidana seseorang atau korporasi, sehingga oleh karenanya tanpa menghubungkan dengan bestandeel delict yang didakwakan kepada Tersangka, Majelis Hakim belumlah dapat menentukan pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap Tersangka atas delik yang didakwakan kepadanya.


IV.             KESENGAJAAN DAN KELALAIAN

Kesengajaan dalam hukum pidana merupakan bagian dari kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding dengan kealpaan (culpa). Ancaman pidana pada suatu tindak pidana kesengajaan jauh lebih berat, daripada tindak pidana yang dilakukan dengan  kealpaan, bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindakan pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti misalnya penggelapan (pasal 372 KUHP). Merusak barang-barang (Pasal 406 KUHP) dan lain sebagainya.

KUHP maupun ketentuan di luar KUHP, tidak memberi definisi mengenai kesengajaan atau kelalaian. Pasal 18 KUHP di negara Swiss, memberikan pengertian kesengajaan sebagai: “Barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”. Selanjutnya, menurut M.v.T. (Memorie van Toelichting): “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”. Dengan demikian,  kesengajaan diartikan sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan/ atau akibatnya. Sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan timbul daripadanya.

Ada 2 (dua) teori dalam Hukum Pidana terkait dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi “menghendaki dan mengetahui”  yakni: 1). Teori kehendak (wilstheorie), yang  inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang (Simons dan Zevenbergen), dan  2). Teori pengetahuan membayangkan (voorstellingtheorie), yang menyatakan sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat (Frank). Kedua teori tersebut tidak menunjukkan perbedaan, kedua-duanya mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat. Penggunaan kedua teori  dalam praktek sama saja, perbedaannya hanya pada peristilahannya saja.

Bentuk atau corak kesengajaan dalam hal seseorang melakukan tindak pidana dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) bentuk sikap batin. Ketiga sikap batin tersebut, menunjukkan kepada tingkatan dari kesengajaan, antara lain:
1.   Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (dolus directus). Dalam hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang.
2. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn). Dalam hal ini perbuatan berakibat yang dituju namun akibatnya yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai tujuan, contoh Kasus Thomas van Bremenhaven.
3.   Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet). Dalam hal ini keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi, contoh: meracuni seseorang, namun yang terkena racun orang lain, seperti Arrest Kue Tart.

Selanjutnya, kesenggajaan memiliki 2 (dua) sifat, yaitu: 1). Kesenggajaan berwarna (gekleurd), dan kesengajaan, dan 2). Kesengajaan tidak berwarna (kleurloos).

Sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang). Jadi harus ada hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya perbuatan. Sengaja berarti dolus malus, artinya sengaja untuk berbuat jahat. Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa si pelaku menyadari bahwa perbuatannya dilarang. Penganutnya antara lain Zevenbergen, yang mengatakan bahwa: “Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan.” Untuk adanya kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada si pelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya dilarang dan/ atau dapat dipidana.

Kesengajaan tak berwarna, berarti untuk adanya kesengajaan cukuplah bahwa si pelaku itu menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang/ sifat melawan hukum. Dapat saja si pelaku dikatakan berbuat dengan sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum. Di Indonesia dianut kesengajaan tidak berwarna,  karena  Indonesia menganut doktrin fiksi hukum (seseorang dianggap mengetahui hukum yang ada).

Ilmu Hukum Pidana mengenal beberapa macam kesengajaan, diantaranya:
·       Aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang yang sengaja melakukan tindak pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang lain.
·       Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu.
·       Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya menghendaki matinya.
·       Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek, misalnya menembak segerombolan orang.
·       Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pembuat dapat memperkirakan satu dan lain akbat. Misalnya meracuni sumur.
·       Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada akibat perbuatannya.
·       Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan tergilas mobil (dolus ini berlaku pada Code Penal Perancis, namun KUHP tidak menganut dolus ini).

Kealpaan (culpa) merupakan satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan merupakan bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi dapat juga dikatakan bahwa kealpaan itu merupakan kebalikan dari kesengajaan, karena dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu dikehendaki, sedangkan dalam kelalaian akibat yang timbul bukan merupakan hal dikehendaki akan tetapi akibat tersebut juga terjadi. Hal ini juga merupakan kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata).

Kesalahan dalam arti yang luas termasuk kesengajaan dan kelalaian, sedangkan kealpaan ( culpa)  merupakan kesalahan dalam arti sempit. Kelalaian (culpa)  sebagai suatu unsur kesalahan, jika suatu keadaan yang sedemikian rupa membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi. Ketentuan undang-undang juga menentukan untuk bertindak dengan penghati-hati, tidak bersikap sembrono (teledor). Suatu tindak pidana diliputi kealpaan, manakala adanya perbuatan yang dilakukan karena kurang penduga-duga atau kurang penghati-hatian.

Pengertian kealpaan secara letterlijk tidak ditemukan dalam KUHP maupun diluar KUHP, namun M.v.T (Memorie van Toelichting) dijelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat: a. kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan; b. kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan; c. kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan. Selanjutnya, kealpaan dibedakan atas: a.  Kealpaan yang disadari (bewuste schuld), yakni si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi; dan b.  Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld), yakni si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.

Perbedaan yang disebutkan itu, bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. Van Hattum mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Jadi perbedaan ini tidak banyak artinya. Kealpaan sendiri merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si pelaku itu berbuat.


V.                 Setiap orang dilarang menangkap hewan/satwa yang dilindungi, dan bagi yang melanggarnya, dinyatakan melakukan suatu tindak pidana. Ketentuan Pasal 1 Angka 5  UU 5/1990,  memberikan definisi satwa, yakni semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat dan/atau di air, dan/atau di udara. Kemudian, Pasal 20 ayat (1) UU 5/1990 menggolongkan jenis satwa yang dilindungi dan satwa yang tidak dilindungi. Satwa satwa-satwa berdasarkan  Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (“PP 7/1999”) yakni  satwa yang dilindungi sebagaimana yang terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini.

 Larangan perlakuan secara tidak wajar terhadap satwa yang dilindungi terdapat dalam Pasal 21 ayat (2) UU 5/1990 yang berbunyi:
 Setiap orang dilarang untuk
a.    menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b.    menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c.    mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d.    memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e.    mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.”

Sanksi pidana bagi orang yang sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat [2] UU 5/1990).

Penangkapan satwa yang dilindungi dikecualikan bagi yang dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan. Selain itu, pengecualian dari larangan menangkap satwa yang dilindungi itu dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia. Membahayakan di sini berarti tidak hanya mengancam jiwa manusia melainkan juga menimbulkan gangguan atau keresahan terhadap ketenteraman hidup manusia, atau kerugian materi seperti rusaknya lahan atau tanaman atau hasil pertanian (lihat Pasal 22 ayat [1] jo. ayat [3] dan Penjelasan Pasal 22 ayat [3] UU 5/1990). Namun demikian, menangkap satwa yang dilindungi merupakan suatu tindak pidana di bidang konservasi, meskipun penangkapan satwa yang dilindungi itu dilakukan oleh masyarakat setempat secara turun-temurun, perbuatan menangkap (berburu) tersebut tetap dikategorikan sebagai  tindak pidana, oleh karena ketentuan tersebut berlaku bagi “setiap orang ” tanpa terkecuali.

-o0o-
Kepustakaan
Arief, Barda Nawawi, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Harahap, M. Yahya, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Buku- I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
------------, 1988, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta.
Hardjasoemantri, Koesnadi, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Gadjahmada University Press, Yogyakarta.
Harun M. Husein, 1993, Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan penegakan,Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta.
Syahrin, Alvi, 2002, Asas-asas dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan.
------------, 2003, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana/Lingkungan pada Fakultas Hukum USU, Medan.
------------, 2008, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, PT. Sofmedia, Medan.
------------, 2009, Beberapa Masalah Hukum, PT. Sofmedia, Medan.

Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

1 komentar:

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus