ASPEK
HUKUM PIDANA TERHADAP SATWA LIAR YANG DILINDUNGI
Oleh:
Alvi
Syahrin
Fadlielah
Hasanah
I.
Hukum Pidana berorientasi pada tiga masalah pokok,
yaitu masalah ”tindak pidana”, masalah ”pertanggungjawaban pidana”, dan masalah
”pidana dan pemidanaan”. Ketiga masalah pokok ini merupakan sub-sub sistem dari
keseluruhan sistem hukum pidana (sistem pemidanaan), dan pemisahan sub-sub
sistem demikian merupakan refleksi dari pandangan dualistis, yang memisahkan
antara tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Sehubungan dengan
pemisahan itu pula, maka akan terdapat pemisahan ketentuan mengenai ”alasan pembenar” dan ”alasan pemaaf”. Alasan
pembenar ditempatkan di dalam sub-bab ”tindak pidana”, dan ”alasan pemaaf”
ditempatkan dalam sub-bab ”Pertanggungjawaban Pidana”.
Menurut Prof. Barda Nawawi, dipisahkannya ketentuan
tentang ”Tindak Pidana” dan ”Pertanggungjawaban Pidana”, di samping merupakan
refleksi dari pandangan dualistis juga sebagai refleksi dari ide keseimbangan
antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu/perseorangan,
keseimbangan antara ”perbuatan” (”daad”/actus reus”, sebagai faktor objektif”)
dan ”orang” (”dader” atau ”mensrea”/guilty mind”, sebagai faktor subjektif),
keseimbangan antara kriteria formal dan material, keseimbangan kepastian hukum,
kelenturan/elastisitas/fleksibilitas dan keadilan; dan keseimbangan nilai-nilai nasional dan
nilai-nilai global/internasional/ universal.
Jadi, Hukum Pidana saat ini berorientasi tidak semata-mata pada
pandangan mengenai hukum pidana yang menitikberatkan pada ”perbuatan atau
akibatnya” (Daadstrafrecht/Tatsrafrecht atau Erfolgstrafrecht) yang
merupakan pengaruh dari aliran Klasik, tetapi juga berorientasi/berpijak pada
”orang” atau ”kesalahan” orang yang melakukan tindak pidana (Daadstrafrecht/
Tatsrafrecht/Schuldstrafrecht), yang merupakan pengaruh dari aliran Modern.
Pertanggungjawaban Pidana sebagai implementasi ide
keseimbangan, menjadikan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas
culpabilitas/asas “geen straf zonder schuld”) yang merupakan asas
kemanusiaan, sebagai pasangan dari asas legalitas (Principle of Legality)
yang merupakan asas kemasyarakatan. Kedua syarat atau asas itu tidak memandang
sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolut. Dalam hal-hal tertentu dapat
memberi kemungkinan untuk menerapkan asas “strict liability”, asas “vicarious
liability”, dan asas “pemberian maaf atau pengampunan oleh hakim” (“rechterlijk
pardon” atau “judicial pardon”).
Asas “judicial pardon” dilatarbelakangi
ide/pemikiran: a. menghindari kekakuan/absolutisme pemidanaan; b. menyediakan
“klep/katup pengaman” (“veiligheidsklep”); c. bentuk koreksi judisial
terhadap asas legalitas (“judicial corrective to the legality principle”);
d. pengimplementasian/ pengintegrasian nilai atau paradigma “hikmah kebijaksanaan”
dalam Pancasila; e. pengimplementasian/ pengintegrasian “tujuan pemidanaan” ke
dalam syarat pemidanaan (karena dalam memberikan permaafan/pengampunan, hakim
harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan); f. jadi syarat atau justifikasi
pemidanaan tidak hanya didasarkan pada adanya “tindak pidana” (asas legalitas)
dan “kesalahan” (asas culpabilitas), tetapi juga pada “tujuan pemidanaan”.
Kewenangan hakim untuk memberi maaf (“rechterlijk pardon”) dengan tidak
menjatuhkan sanksi pidana/tindakan apa pun, diimbangi pula dengan adanya asas “culpa
in causa” (atau asas “actio libera in causa”) yang memberi
kewenangan kepada hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan si pelaku tindak
pidana walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan
(dicela) atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut.
Jadi kewenangan hakim untuk memaafkan (tidak memidana) diimbangi dengan
kewenangan untuk tetap memidana sekalipun ada alasan penghapus pidana.
Penegakan
hukum di bidang lingkungan sebagai suatu tindakan dan/atau proses paksaan untuk
mentaati hukum yang didasarkan kepada ketentuan, peraturan perundang-undangan
dan/atau persyaratan-persyaratan lingkungan.
Ada 3 (tiga) langkah penegakan
hukum secara sistematis, yaitu mulai dengan penegakan hukum administratif,
penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan dan penyidikan
atas tindak pidana lingkungan hidup.
Dua
tugas berat yang dilaksanakan secara arif dan bijaksana dalam era pembangunan
saat ini, yaitu meletakkan pada titik keseimbangan dan keserasian yang saling
menunjang secara sinergik antara penegakan hukum lingkungan dengan pelaksanaan
pembangunan. Penegakan hukum yang semata-mata mengacu pada
kepentingan hukum atau umum tanpa mempertimbangkan kepentingan pembangunan,
dapat menimbulkan situasi dan kondisi yang justru akan menghambat pembangunan
berkelanjutan, sebaliknya kegiatan pembangunan dapat menimbulkan dampak negatif
bagi lingkungan.
Penegakan
hukum adalah kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk ini pemahaman tentang
hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana
hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat aktif berperan dalam penegakan hokum. Gagasan
upaya penegakan hukum dan hanya para penegak hukum yang harus bertanggungjawab
atas kelestarian fungsi lingkungan hidup
merupakan buah pikiran yang naif dan terlalu sederhana.
Namun demikian, melalui
upaya penegakan hukum dapat
memberikan sumbangan bagi perlindungan dan
pelestarian fungsi lingkungan.
II.
Ketentuan
Pidana dalam UUKSDA&E
Ketentuan pidana mengenai
konsevasi alam dan ekosistemnya di atur dalam Pasal 40 UU No. 5/1990, yang
berbunyi:
(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan
Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan
Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran.
Penjelasan Pasal 40 UU No.
5/1990, berbunyi: cukup jelas.
Berdasarkan ketentuan Pasal 40 UU No. 5/1990, tindak pidana sebagaimana di atur dalam Pasal
40 ayat (1) dan (2) adalah kejahatan, dan tindak pidana dalam Pasal 40 ayat (3)
dan (4) adalah pelanggaran.
Pasal
|
Tindak
Pidana
|
Pertanggung-
jawaban
Pidana/ Pidana
|
Tindak
Pidana berdasarkan Pasal 40 (1) dan (2) merupakan kejahatan
(Pasal
40 (5))
Tindak
Pidana berdasarkan Pasal 40 (3) dan (4) merupakan pelanggaran
(Pasal
40 (5))
|
40 (1)
|
Ø Pasal 19 ayat (1) UU No.
5/1990,
melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka
alam.
Perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah:
- melakukan
perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya,
- perburuan satwa
yang berada dalam kawasan, dan memasukkan
jenis-jenis bukan asli.
|
Sengaja
à penjara 10 tahun dan denda Rp
200jt
(Pasal 40 (1))
Kelalaian
à kurungan 1 tahun dan denda Rp.
100jt
(Pasal 40 (3))
|
|
40 (1)
|
Ø Pasal 33 ayat (1) UU No.
5/1990,
melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
Melakukan kegiatan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman
nasional (Pasal 33
ayat (2)) meliputi:
- mengurangi fungsi dan luas zona inti taman nasional,
- menghilangkan
fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta
- menambah jenis
tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
Penjelasan Pasal 32:
“Zona inti taman nasional adalah bagian
kawasan nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya
perubahan apapun oleh aktifitas manusia.”
|
Sengaja
à penjara 10 tahun dan denda Rp.
200jt
(Pasal 40 (1))
Kelalaian
à kurungan 1 tahun dan denda Rp.
100jt
(Pasal 40 (3))
|
|
40 (2)
|
Ø Pasal 21 ayat (1)
a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan
memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan
hidup atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi
atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
|
Sengaja
à penjara 5 tahun dan denda Rp. 100jt
(Pasal 42 (2))
Kelalaian
à kurungan 1
tahun dan denda Rp. 50jt
(Pasal 40 (4))
|
|
40 (2)
|
Ø
Pasal 21 ayat (2)
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam
keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat
di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit,
tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang
dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan,
memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang
dillindungi.
|
Sengaja
à penjara 5 tahun dan denda Rp. 100jt
(Pasal 40 (2))
Kelalaian
à kurungan 1
tahun dan denda Rp. 50jt
(Pasal 40 (4))
|
|
40 (2)
|
Ø Pasal 33 ayat (3)
melakukan
kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari
taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
Pasal 32:
Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi
yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan
keperluan.
Penjelasan Pasal 32:
“zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi
dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia.
“zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman
nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata.
“zona
lain adalah zona di luar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya
ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan
tradisional, zona rehabilitasi dan sebagainya.
|
Sengaja
à penjara 5 tahun dan denda Rp. 100jt
(Pasal 40 (2))
Kelalaian
à kurungan 1 tahun dan denda Rp. 50jt
(Pasal 40 (4))
|
Memperhatikan bunyi Pasal 40 UUU No. 5/1990, berikut penjelasannya, dapat
diuraikan bahwa tindak pidananya sebagai berikut:
1.
Melakukan pelanggaran terhadap:
Ø ketentuan dalam
Pasal 19 ayat (1) UU No. 5/1990, yakni melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka
alam.
Perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah:
- melakukan perusakan terhadap keutuhan
kawasan dan ekosistemnya,
- perburuan satwa yang berada dalam kawasan, dan
- memasukkan jenis-jenis bukan asli.
Ø ketentuan dalam
Pasal 33 ayat (1) UU No. 5/1990, yakni melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
Melakukan kegiatan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional berdasarkan Pasal 33 ayat (2) UU
NO. 5/1990, meliputi:
- mengurangi fungsi dan luas zona inti taman
nasional,
- menghilangkan fungsi dan luas zona inti
taman nasional, serta
- menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang
tidak asli.
Penjelasan Pasal 32 UU No. 5/1990, menyebutkan:
“Zona inti taman nasional adalah bagian kawasan nasional yang mutlak dilindungi
dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktifitas manusia.”
(Pasal 40 ayat (1) UU No. 5/1990)
2. Melakukan pelanggaran
terhadap:
Ø Ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU
No. 5/1990, yakni:
a. mengambil, menebang, memiliki, merusak,
memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang
dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau
bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia
ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
Ø Ketentuan Pasal 21 ayat (2) UU No. 5/1990, yakni:
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan,
memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi
dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi
dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau
memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau
barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari
suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan,
memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang
dillindungi.
Ø Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UU
No. 5/1990, yakni: melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan
fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya,
dan taman wisata alam.
Berdasarkan Pasal 32 UU No.
5/1990, Kawasan taman nasional
dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan,
dan zona lain sesuai dengan keperluan. Selanjutnya, penjelasan Pasal 32 UU No. 5/1990,
menjelaskan bahwa:
“Yang dimaksud dengan zona inti adalah bagian kawasan
taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan
apapun oleh aktivitas manusia.
“Yang dimaksud dengan zona pemanfaatan adalah bagian
dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata.
“Yang dimaksud dengan zona lain adalah zona di luar
kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona
tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi
dan sebagainya.
(Pasal 40 ayat (2) UU No.
5/1990).
Pelaku tindak pidana yang dengan sengaja:
- melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
terhadap keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 40 (1) jo Pasal 19 (1)) ;
- melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 40 (1) jo Pasal 33 ayat
(1)) ,
diancam hukuman paling lama 10
tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,-- (Pasal 40 (1) UU No. 9/1990).
Pelaku tindak pidana yang dengan kelalaian:
- melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
terhadap keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 40 (1) jo Pasal 19 (1));
- melakukan kegiatan
yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional
(sebagaiman pada point 1),
diancam pidana kurungan 1 tahun
dan denda paling banyak Rp.100.000.000,-- (Pasal 40 (3) UU No. 9/1990).
Pelaku yang dengan sengaja melakukan tindak pidana berupa:
a. mengambil, menebang, memiliki, merusak,
memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang
dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau
bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia
ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.”,
di ancam pidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun
dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,--. (Pasal 40 ayat (2) jo Pasal 21 ayat
(1).
Pelaku yang dengan sengaja melakukan
tindak pidana berupa:
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan,
memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi
dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari
suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki
kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang
yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat
di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan,
memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang
dillindungi.”,
diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,-- (Pasal 40 ayat
(2) jo Pasal 21 ayat (2)).
Pelaku tindak
pidana dengan sengaja melakukan
tindak pidana berupa: melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona
pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman
wisata alam, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan
denda paling banyak Rp. 100.000.000,--. (Pasal 40 ayat (2) jo Pasal 33 ayat
(3)),
Pelaku tindak
pidana dengan kelalaian melakukan tindak pidana, berupa melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
terhadap keutuhan kawasan suaka alam, berupa tindakan:
- melakukan perusakan terhadap keutuhan
kawasan dan ekosistemnya,
- perburuan satwa yang berada dalam kawasan,
dan
- memasukkan jenis-jenis bukan asli,
diancam dengan
pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,--.
(Pasal 40 ayat (3) jo Pasal 19 ayat (1))
Pelaku tindak pidana dengan kelalaian melakukan tindak pidana, melakukan kegiatan
yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional yang kegiatan
tersebut meliputi:
- melakukan perusakan terhadap keutuhan
kawasan dan ekosistemnya,
- perburuan satwa yang berada dalam kawasan,
dan
- memasukkan jenis-jenis bukan asli,
diancam dengan
pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,-
(Pasal 40 ayat (3) jo Pasal 33 ayat (1)).
Pelaku tindak pidana dengan kelalaiannya melakukan tindak
pidana berupa:
“a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau
bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi
atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.”,
diancam pidana
kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,--. (Pasal
40 ayat (4) jo Pasal 21 ayat (1).
Pelaku tindak
pidana dengan kelalaiannya melakukan tindak pidana, berupa:
a.
menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b.
menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang
dilindungi dalam keadaan mati;
c.
mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat
lain di dalam atau di luar Indonesia;
d.
memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain
satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian
tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di
dalam atau di luar Indonesia;
e.
mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur
dan atau sarang satwa yang dillindungi.”,
diancam dengan
pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda Rp. 50.000.000,-- (Pasal 40 ayat
(4) jo Pasal 21 ayat (2).
Pelaku yang karena kelalaiannya melakukan tindak pidana, berupa melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona
pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman
wisata alam, diancam pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda
paling banyak Rp. 50.000.000,-- (Pasal 44 jo Pasal 33 ayat (3)).
III.
BARANG SIAPA
Unsur “barang siapa” dalam suatu
pasal adalah hanya merupakan element delik dan bukan bestandel delict atau delik inti yang harus dibuktikan. Unsur delik
tergantung pada bestandel delict,
dimana implementasinya haruslah dihubungkan dengan terbukti atau tidaknya bestandel delict yang didakwakan kepada
seorang Terdakwa. Barang siapa dalam konteks ini adalah Terdakwa yang melakukan
perbuatan, baik sebagai hoofdader, dader,
mededader, atau uitlokker; unsur
barang siapa harus dihubungkan dengan perbuatan selanjutnya apakah perbuatan
tersebut memenuhi unsur pidana atau tidak. Kalau unsur-unsur lainnya terpenuhi,
barulah unsur “barang siapa” dapat dinyatakan terpenuhi atau terbukti.
Unsur “barang siapa” dalam ketentuan
Pasal 40 UU No. 5/1990, hanya masih mengacu kepada manusia alamial (naturlijk person), belum sampai mengacu
kepada badan usaha atau korporasi, sehingga pelaku berdasarkan Pasal 40 UU No.
5/1990 hanyalah orang perorangan.
Unsur “barang siapa” dari dakwaan
jaksa, jelas ditujukan kepada manusia atau orang sebagai subjek hukum yang
berfungsi sebagai hoofdader atau dader, atau mededader, atau uitlokker
suatu perbuatan pidana, yang telah memenuhi semua unsur dalam rumusan delik.
Barang siapa sebenarnnya bukanlah
merupakan unsur akan tetapi dalam perkembangan praktek di pengadilan, kata
“barangsiapa” menjadi bahan ulasan, baik oleh kejaksaan maupun oleh pengadilan.
“Barangsiapa” atau siapa saja, mengandung pengertian equality before the law. Kata barang siapa tidak dapat dipisahkan
dari ajaran tentang pertanggungjawaban pidana seseorang atau korporasi,
sehingga oleh karenanya tanpa menghubungkan dengan bestandeel delict yang didakwakan kepada Tersangka, Majelis Hakim
belumlah dapat menentukan pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap
Tersangka atas delik yang didakwakan kepadanya.
IV.
KESENGAJAAN DAN KELALAIAN
Kesengajaan
dalam hukum pidana merupakan bagian dari kesalahan. Kesengajaan pelaku
mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan (yang
terlarang) dibanding dengan kealpaan (culpa). Ancaman pidana pada suatu tindak
pidana kesengajaan jauh lebih berat, daripada
tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan, bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan
tindakan pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, ia merupakan
suatu kejahatan seperti misalnya penggelapan (pasal 372 KUHP). Merusak
barang-barang (Pasal 406 KUHP) dan lain sebagainya.
KUHP maupun
ketentuan di luar KUHP, tidak memberi definisi mengenai kesengajaan
atau kelalaian. Pasal 18 KUHP di negara Swiss, memberikan
pengertian kesengajaan sebagai: “Barang siapa melakukan perbuatan
dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu
dengan sengaja”. Selanjutnya,
menurut M.v.T. (Memorie van Toelichting): “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan
perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”. Dengan demikian, kesengajaan diartikan sebagai : “menghendaki
dan mengetahui” (willens en wetens). Artinya, seseorang yang melakukan
suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan
tersebut dan/ atau akibatnya. Sengaja berarti
menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan
dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau
menyadari tentang apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan timbul
daripadanya.
Ada 2 (dua)
teori dalam Hukum Pidana terkait dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi “menghendaki
dan mengetahui” yakni: 1). Teori kehendak (wilstheorie), yang inti kesengajaan
adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang
(Simons dan Zevenbergen), dan 2). Teori pengetahuan membayangkan (voorstellingtheorie), yang menyatakan sengaja berarti membayangkan akan
akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat,
melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang
diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu
ia akan berbuat (Frank). Kedua teori tersebut tidak menunjukkan perbedaan,
kedua-duanya mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat.
Penggunaan kedua teori dalam praktek sama
saja, perbedaannya hanya pada peristilahannya saja.
Bentuk atau corak kesengajaan dalam hal
seseorang melakukan tindak pidana dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) bentuk
sikap batin. Ketiga sikap batin tersebut, menunjukkan kepada tingkatan dari
kesengajaan, antara lain:
1. Kesengajaan
sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (dolus
directus). Dalam hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan
akibat yang dilarang.
2. Kesengajaan
dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn). Dalam hal ini perbuatan berakibat
yang dituju namun akibatnya yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan
mencapai tujuan, contoh Kasus Thomas van Bremenhaven.
3. Kesengajaan
dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet). Dalam hal ini keadaan tertentu
yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi, contoh: meracuni seseorang, namun yang terkena racun orang lain, seperti Arrest Kue
Tart.
Selanjutnya,
kesenggajaan memiliki 2 (dua)
sifat, yaitu: 1). Kesenggajaan berwarna (gekleurd), dan
kesengajaan, dan 2). Kesengajaan tidak berwarna (kleurloos).
Sifat
kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup
pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang). Jadi harus
ada hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya perbuatan. Sengaja
berarti dolus malus, artinya sengaja untuk berbuat jahat. Jadi menurut
pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa si pelaku
menyadari bahwa perbuatannya dilarang. Penganutnya antara lain Zevenbergen,
yang mengatakan bahwa: “Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus
molus, dengan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran
mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan.” Untuk adanya kesengajaan, di
perlukan syarat, bahwa pada si pelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya
dilarang dan/ atau dapat dipidana.
Kesengajaan tak
berwarna, berarti untuk adanya kesengajaan cukuplah bahwa si pelaku itu
menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa perbuatannya
terlarang/ sifat melawan hukum. Dapat saja si pelaku dikatakan berbuat dengan
sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau
bertentangan dengan hukum. Di Indonesia dianut kesengajaan tidak berwarna, karena Indonesia menganut doktrin fiksi hukum
(seseorang dianggap mengetahui hukum yang ada).
Ilmu Hukum
Pidana mengenal beberapa macam kesengajaan, diantaranya:
· Aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang yang sengaja melakukan tindak pidana
untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang lain.
· Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu.
· Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya menghendaki
matinya.
· Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek, misalnya menembak
segerombolan orang.
· Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pembuat dapat memperkirakan satu dan lain akbat.
Misalnya meracuni sumur.
· Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga
kepada akibat perbuatannya.
· Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua akibat dari
perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga,
itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya dalam
pertengkaran, seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan tergilas
mobil (dolus ini berlaku pada Code Penal Perancis, namun KUHP tidak menganut
dolus ini).
Kealpaan (culpa)
merupakan satu bentuk dari
kesalahan. Kealpaan merupakan bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada
kesengajaan. Tetapi dapat juga dikatakan bahwa kealpaan itu merupakan kebalikan
dari kesengajaan, karena dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu
dikehendaki, sedangkan dalam kelalaian akibat yang timbul bukan merupakan hal
dikehendaki akan tetapi akibat tersebut juga terjadi. Hal ini juga merupakan
kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus eventualis)
dengan kealpaan berat (culpa lata).
Kesalahan dalam
arti yang luas termasuk kesengajaan dan kelalaian, sedangkan kealpaan ( culpa)
merupakan kesalahan dalam arti sempit. Kelalaian (culpa) sebagai suatu unsur kesalahan, jika suatu
keadaan yang sedemikian rupa membahayakan keamanan orang atau barang, atau
mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak
dapat diperbaiki lagi. Ketentuan undang-undang juga menentukan untuk bertindak dengan
penghati-hati, tidak bersikap sembrono (teledor). Suatu tindak pidana diliputi
kealpaan, manakala adanya perbuatan yang dilakukan karena kurang penduga-duga
atau kurang penghati-hatian.
Pengertian
kealpaan secara letterlijk tidak ditemukan dalam KUHP maupun diluar KUHP, namun M.v.T (Memorie van Toelichting)
dijelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat: a. kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan; b. kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan; c. kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan. Selanjutnya, kealpaan dibedakan atas: a. Kealpaan yang disadari (bewuste
schuld), yakni si
pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan
tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi; dan
b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste
schuld), yakni si
pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya
sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.
Perbedaan yang
disebutkan itu, bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya
lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena
tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang
sangat berat. Van Hattum mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah
suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada
pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Jadi perbedaan ini
tidak banyak artinya. Kealpaan sendiri merupakan pengertian yang normatif bukan
suatu pengertian yang menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip).
Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari
situasi tertentu, bagaimana saharusnya si pelaku itu berbuat.
V.
Setiap
orang dilarang menangkap hewan/satwa yang dilindungi, dan bagi yang
melanggarnya, dinyatakan melakukan suatu tindak pidana. Ketentuan Pasal 1 Angka 5 UU 5/1990, memberikan definisi satwa, yakni semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di
darat dan/atau di air, dan/atau di udara. Kemudian, Pasal 20 ayat (1) UU 5/1990 menggolongkan
jenis satwa yang dilindungi dan satwa yang tidak dilindungi. Satwa satwa-satwa
berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (“PP 7/1999”) yakni satwa yang dilindungi sebagaimana yang terlampir
dalam Peraturan Pemerintah ini.
Larangan perlakuan secara tidak wajar terhadap
satwa yang dilindungi terdapat dalam Pasal 21 ayat (2) UU 5/1990 yang berbunyi:
“Setiap orang dilarang
untuk
a. menangkap, melukai,
membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa
yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi
dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau
memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau
barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau
mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di
luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan,
memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang
dilindungi.”
Sanksi pidana bagi orang yang sengaja melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat [2] UU 5/1990).
Penangkapan satwa yang
dilindungi dikecualikan bagi yang dilakukan
untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis
tumbuhan dan satwa yang bersangkutan. Selain itu, pengecualian dari larangan
menangkap satwa yang dilindungi itu dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena
suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia. Membahayakan
di sini berarti tidak hanya mengancam jiwa manusia melainkan juga menimbulkan
gangguan atau keresahan terhadap ketenteraman hidup manusia, atau kerugian
materi seperti rusaknya lahan atau tanaman atau hasil pertanian (lihat Pasal 22 ayat [1] jo. ayat [3] dan Penjelasan Pasal 22 ayat [3] UU 5/1990). Namun demikian, menangkap satwa yang
dilindungi merupakan suatu tindak pidana di bidang konservasi,
meskipun
penangkapan satwa yang dilindungi itu dilakukan oleh masyarakat setempat secara
turun-temurun, perbuatan menangkap (berburu) tersebut tetap dikategorikan
sebagai tindak pidana,
oleh karena ketentuan tersebut berlaku bagi “setiap orang ” tanpa terkecuali.
-o0o-
Kepustakaan
Arief, Barda
Nawawi, 2003, Kapita Selekta Hukum
Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Harahap, M. Yahya, 1997, Beberapa
Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Buku- I, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung,
------------, 1988, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Jilid II, Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta.
Hardjasoemantri, Koesnadi, 2002,
Hukum Tata Lingkungan, Gadjahmada University Press, Yogyakarta.
Harun M. Husein, 1993, Lingkungan
Hidup Masalah, Pengelolaan dan penegakan,Hukumnya, Bumi Aksara,
Jakarta.
Syahrin, Alvi, 2002, Asas-asas dan Penegakan Hukum Lingkungan
Kepidanaan, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan.
------------, 2003, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam
Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana/Lingkungan pada Fakultas Hukum USU,
Medan.
------------, 2008, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, PT.
Sofmedia, Medan.
------------, 2009, Beberapa Masalah Hukum, PT. Sofmedia,
Medan.
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny