Kamis, 11 Juli 2013

UUPPLH SEBAGAI KETENTUAN PAYUNG (UMBRELLA ACT) DAN KAITANNYA DENGAN PENERAPAN KETENTUAN PIDANA

UUPPLH SEBAGAI KETENTUAN PAYUNG (UMBRELLA ACT)
DAN KAITANNYA DENGAN PENERAPAN KETENTUAN PIDANA


Oleh: Alvi Syahrin



I.              Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) memberikan pengertian Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. selanjutnya, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Pengertian lingkungan hidup dan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana yang di atur dalam UUPPLH menjadikan materi yang diatur dalam UUPPLH sangat luas yang mencakup segi ruang, kekayaan alam yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumber alam buatan. Materi yang diatur dalam UUPPLH tidak mungkin diatur secara lengkap dalam UUPPLH itu sendiri, tentunya akan memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan dengan arah dan ciri yang serupa. UUPPLH memiliki sifat mengatur mengenai ketentuan-ketentuan pokok perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Artinya, UUPPLH memuat asas dan prinsip pokok bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga UUPPLH berfungsi sebagai payung (umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai penyesuai bagi peraturan perundang-undangan yang sudah ada.

Berdasarkan Pasal 44 UUPPLH, diatur bahwa setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUPPLH. Kemudian, penjelasan Umum UUPPLH pada angka 5 menjelaskan bahwa upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain. Dan UUPPLH juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan  dan di dalam pengadilan.  Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.

Ketentuan Pasal 65 UUPPLH mengatur bahwa setiap orang berhak: atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia, mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang‑undangan, dan melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dan Pasal 66 UUPPLH mengatur bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Selain memiliki hak sebagaimana di atur dalam Pasal 65 dan 66 UUPPLH, Pasal 67 UUPPLH mengatur tentang kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Dan Pasal 68 UUPPLH mewajibkan bagi setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. serta Pasal 69 UUPPLH mengatur larangan bagi setiap orang untuk: a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; e. membuang limbah ke media lingkungan hidup; f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup; g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan; h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;  i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.


II.            UUPPLH sebagai ketentuan payung (umbrella act) dari peraturan sekoral lain yang mengatur mengenai lingkungan hidup, dalam kenyataannya saat ini dijumpai ketidaksinkronan secara horizontal antara UUPPLH dan ketentuan undang-undang sektoral mengenai pengaturan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pidananya. Misalnya, dengan ketentuan Pasal 78 ayat (14) Undang-Undang  Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUKehutanan) dengan Pasal 116 UUPPLH terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi (badan usaha). Berdasarkan Pasal 78 ayat (14)  UUKehutanan, yang dapat dimintakan pertanggungjawaban dan dijatuhkan pidana hanyalah pengurus, untuk korporasinya tidak dapat dimintakan pertanggungjawan pidana dan dijatuhkan pidana, sedangkan Pasal 116 UUPPLH yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dan dijatuhkan pidana yaitu badan usaha dan/atau pengurusnya.

Ketentuan Pasal 78 ayat (14) UUKehutanan, berbunyi sebagai berikut:
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

Pasal 116 UUPPLH, berbunyi sebagai berikut:
(1)   Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a.  badan usaha; dan/atau
b.  orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2)   Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Dengan demikian, sudah saatnya untuk melakukan revisi terhadap Pasal 78 ayat (14) UUKehutanan dengan menyesuaikannya dengan Pasal 116 UUPPLH.

Kemudian, terkait dengan kewenangan untuk melakukan penyidikan kasus pidana terkait dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 94 ayat (1) UUPPLH mengatur bahwa: selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPNS-LH) diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup. Kewenangan PPNS-LH berdasarkan Pasal 94 ayat (2) UUPPLH yaitu:
a.    melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b.    melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c.    meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d.    melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
e.    melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;
f.     melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
g.    meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
h.    menghentikan penyidikan;
i.     memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual;
j.     melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau
k.    menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.

Kemudian lagi, Pasal 94 ayat (4) UUPPLH, mengatur bahwa dalam hal PPNS-Lingkungan melakukan penyidikan, PPNS-LH memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia (Polri) memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan. Pasal 94 ayat (5) UUPPLH mengatur bahwa PPNS-LH memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat Polri. Hasil penyidikan PPNS-LH berdasarkan Pasal 94 ayat (6) UUPPLH disampaikan kepada penuntut umum.

Memperhatikan kewenangan PPNS-LH menyangkut tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan jika disinkronkan dengan ketentuan Pasal 77 ayat (1) UUKehutanan yang mengatur bahwa: selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan (PPNS_Kehutanan), diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan Pasal 77 ayat (2), kewenangan PPNS-Kehutanan, yaitu:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b.    melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
c.    memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
d.    melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e.    meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
f.     menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
g.    membuat dan menandatangani berita acara;
h.    menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

PPNS Kehutanan berdasarkan Pasal 77 ayat (3) UUKehutanan, memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Jika disimak ketentuan Pasal 94 UUPPLH dan Pasal 77 UUKehutanan, terlihat bahwa PPNS-LH memiliki kewenangan yang lebih besar ketimbang PPNS-Kehutanan, oleh karena PPNS-LH melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sedangkan PPNS-Kehutanan yang melakukan penyidikan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Menarik untuk dikaji mengenai kewenangan PPNS-LH dan PPNS-Kehutanan, terkait dengan kebakaran hutan, oleh karena ada 2 (dua) ketentuan pidana yang terkait, yaitu Pasal 108 UUPPLH dan ketentuan Pasal 78 ayat (3) dan (4) UUKehutanan.

Pasal 108 UUPPLH:
setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 69 ayat (1) huruf h, berbunyi:
setiap orang dilarang ... melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.

Pasal 78 ayat (3) UUKehutanan:
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 78 ayat (4) UU Kehutanan:
Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).

Pasal 50 ayat (3) huruf d, berbunyi:
setiap orang dilarang ... membakar hutan.

Memperhatikan ketentuan Pasal 108 UUPPLH dan ketentuan Pasal 78 ayat (3) dan (4) UUKehutanan, jika terjadi kebakaran di kawasan hutan, apabila kebakaran tersebut menyebabkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan maka PPNS-LH berwenang melakukan penyidikan atas tindak pidana, adapun penyidikan yang dilakukan PPNS-LH yaitu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UUPPLH atau Pasal Pasal 99 UUPPLH dan Pasal 108 UUPPLH. Akan tetapi jika kejadiannya (kebakaran) tidak menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup serta terjadi di kawasan hutan,  yang berwenang adalah PPNS-Kehutanan, adapun penyidikan yang dilakukan oleh PPNS-Kehutanan yaitu Pasal 78 ayat (3) UUKehutanan atau Pasal 78 ayat (4) UUKehutanan. Kemudian juga, jika kebakaran bukan di kawasan hutan, maka yang berwenang adalah PPNS-LH, adapun penyidikan yang dilakukan yaitu Pasal 108 UUPPLH.

Selanjutnya, bagaimana halnya, jika kebakaran terjadi di lahan perkebunan, apakah yang berwenang PPNS-LH atau PPNS-Perkebunan. PPNS-Perkebunan berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan (UUPerkebunan) di atur bahwa: selain penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan  (PPNS-Perkebunan) juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perkebunan.

Wewenang PPNS Perkebunan, berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UUPerkebunan, yaitu:
a.  Melakukan pemeriksanaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang perkebunan;
b.  Melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang perkebunan;
c.  Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang perkebunan;
d.    Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang perkebunan;
e.    Membuat dan menandatangani berita acara; dan
f.     Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang perkebunan.

PPNS Perkebunan berdasarkan Pasal 45 ayat (3) UUPerkebunan, memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Ketentuan Pasal  48 UUPerkebunan,:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Ketentuan Pasal 49 UUPerkebunan:
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Memperhatikan ketentuan Pasal 48 dan Pasal 49 UUPerkebunan, maka tindak pidana dimaksud jika dikaitkan dengan UUPPLH yaitu melakukan tindak pidana sebagai mana dimaksud dalam Pasal 98 atau 99 UUPPLH dan Pasal 108 UUPPLH, oleh karena Pasal 48 dan Pasal 49 UUPerkebunan unsur tindak pidananya yaitu: a. membuka dan/atau mengolah lahan, b. berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

Oleh karena ketentuan Pasal 48 dan Pasal 49 UUPerkebunan unsur tindak pidananya yaitu: a. membuka dan/atau mengolah lahan, dan b. berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, maka siapakah yang berwenang melakukan penyidikan jika terjadi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 UUPerkebunan, apakah PPNS-LH berhak melakukan penyidikan atas kasus tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 98 atau Pasal 99 UUPPLH dan Pasal 108 UUPPLH, sebab adanya kesamaan unsur dari tindak pidana tersebut, yaitu: a. membakar lahan, dan b. terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

Untuk mengantisipasi adanya eksepsi pihak yang melakukan tindak pidana di bidang perkebunan oleh karena penyidikan dilakukan oleh PPNS-LH, maka sebaiknya PPNS-LH melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana membuka dan/atau mengolah lahan yang berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, yang perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan atau perusahaan perkebunan yang telah memiliki ijin usaha perkebunan. Akan tetapi jika pelaku usaha perkebunan atau perusahaan perkebunan tidak memiliki ijin usaha perkebunan maka PPNS-LH dapat melakukan penyidikan tanpa perlu melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik Polri.

Demikian juga, jika pembakaran yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan atau perusahaan perkebunan yang telah memiliki ijin usaha perkebunan dilakukan untuk pembukaan lahan perkebunan (yang sebelumnya lahan tersebut bukan untuk kegiatan perkebunan), pejabat PPNS-LH dapat melakukan penyidikan berdasarkan Pasal 108 UUPPLH dan Pasal 98 atau Pasal 99 UUPPLH jika pembakaran tersebut mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Bahkan jika PPNS berkoordinasi dengan pejabat penyidik Polri, pelaku usaha perkebunan atau perusahaan perkebunan dapat juga dikenakan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.


III.            UUPPLH sebagai ketentuan payung merupakan UU bagi UU sektoral. Dalam praktek kenegaraan UU payung dijadikan bahan judicial review, dan Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusan menjadikan UU payung sebagai pisau analisis terhadap sebuah produk UU.
UUPPLH memuat asas dan prinsip pokok bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan berfungsi sebagai ”payung” (umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, untuk itu perlu disegerakan penyesuaian (revisi terhadap) peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang  perlidungan dan pengelolaannlingkungan hidup untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan UUPPLH.


---o0o---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar