UUPPLH SEBAGAI KETENTUAN
PAYUNG (UMBRELLA ACT)
DAN KAITANNYA DENGAN
PENERAPAN KETENTUAN PIDANA
Oleh: Alvi Syahrin
I.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) memberikan pengertian
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. selanjutnya, perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang
dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Pengertian
lingkungan hidup dan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana
yang di atur dalam UUPPLH menjadikan materi yang diatur dalam UUPPLH sangat
luas yang mencakup segi ruang, kekayaan alam yang meliputi sumber daya manusia,
sumber daya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumber alam buatan.
Materi yang diatur dalam UUPPLH tidak mungkin diatur secara lengkap dalam
UUPPLH itu sendiri, tentunya akan memerlukan seperangkat peraturan
perundang-undangan dengan arah dan ciri yang serupa. UUPPLH memiliki sifat
mengatur mengenai ketentuan-ketentuan pokok perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Artinya, UUPPLH memuat asas dan prinsip pokok bagi
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga UUPPLH berfungsi
sebagai payung (umbrella act) bagi
penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai penyesuai bagi
peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Berdasarkan
Pasal 44 UUPPLH, diatur bahwa setiap penyusunan peraturan perundang-undangan
pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan
hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam UUPPLH. Kemudian, penjelasan Umum UUPPLH pada angka
5 menjelaskan bahwa upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan
hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen
pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu
dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan
konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah
terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai
landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan
pembangunan lain. Dan UUPPLH juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum,
baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum
perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di
dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi
lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah.
Melalui cara tersebut diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan
meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini
dan masa depan.
Ketentuan Pasal 65 UUPPLH mengatur
bahwa setiap orang berhak: atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai
bagian dari hak asasi manusia, mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses
informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat, mengajukan usul dan/atau keberatan
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan
dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, untuk berperan dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang‑undangan,
dan melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup. Dan Pasal 66 UUPPLH mengatur bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana
maupun digugat secara perdata.
Selain
memiliki hak sebagaimana di atur dalam Pasal 65 dan 66 UUPPLH, Pasal 67 UUPPLH
mengatur tentang kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup. Dan Pasal 68 UUPPLH mewajibkan bagi setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka,
dan tepat waktu; b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c.
menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup
dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. serta Pasal 69 UUPPLH
mengatur larangan bagi setiap orang untuk: a.
melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup; b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. memasukkan limbah yang
berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media
lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. memasukkan limbah B3 ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; e. membuang limbah ke media
lingkungan hidup; f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup; g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media
lingkungan hidup yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan; h. melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar; i.
menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau j.
memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak
informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.
II.
UUPPLH sebagai ketentuan payung (umbrella act) dari peraturan sekoral
lain yang mengatur mengenai lingkungan hidup, dalam kenyataannya saat ini
dijumpai ketidaksinkronan secara horizontal antara UUPPLH dan ketentuan undang-undang
sektoral mengenai pengaturan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan
pidananya. Misalnya, dengan ketentuan Pasal 78 ayat (14) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(UUKehutanan) dengan Pasal 116 UUPPLH terkait dengan pertanggungjawaban pidana
korporasi (badan usaha). Berdasarkan Pasal 78 ayat (14) UUKehutanan, yang dapat dimintakan pertanggungjawaban
dan dijatuhkan pidana hanyalah pengurus, untuk korporasinya tidak dapat
dimintakan pertanggungjawan pidana dan dijatuhkan pidana, sedangkan Pasal 116
UUPPLH yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dan dijatuhkan pidana
yaitu badan usaha dan/atau pengurusnya.
Ketentuan Pasal 78 ayat (14) UUKehutanan,
berbunyi sebagai berikut:
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan
usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman
pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang
dijatuhkan.
Pasal 116 UUPPLH, berbunyi sebagai berikut:
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup
dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi
pidana dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan
tindak pidana tersebut atau orang yang
bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam
tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan
hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup
kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau
pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana
tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Dengan
demikian, sudah saatnya untuk melakukan revisi terhadap Pasal 78 ayat (14)
UUKehutanan dengan menyesuaikannya dengan Pasal 116 UUPPLH.
Kemudian, terkait dengan kewenangan untuk melakukan penyidikan kasus
pidana terkait dengan peraturan perundang-undangan
lainnya yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 94 ayat (1) UUPPLH mengatur bahwa: selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat
pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup (PPNS-LH) diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.
Kewenangan PPNS-LH berdasarkan Pasal 94 ayat (2) UUPPLH yaitu:
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran
laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang
yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
c.
meminta keterangan dan bahan bukti dari
setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;
d.
melakukan pemeriksaan atas pembukuan,
catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;
e.
melakukan pemeriksaan di tempat
tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen
lain;
f.
melakukan penyitaan terhadap bahan dan
barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana
di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
h. menghentikan penyidikan;
i. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio
visual;
j. melakukan penggeledahan terhadap badan,
pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat
dilakukannya tindak pidana; dan/atau
k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.
Kemudian lagi, Pasal
94 ayat (4) UUPPLH, mengatur bahwa dalam hal PPNS-Lingkungan melakukan
penyidikan, PPNS-LH memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi Negara
Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia
(Polri) memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan. Pasal 94 ayat (5) UUPPLH
mengatur bahwa PPNS-LH memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut
umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat Polri. Hasil penyidikan PPNS-LH
berdasarkan Pasal 94 ayat (6) UUPPLH disampaikan kepada penuntut umum.
Memperhatikan
kewenangan PPNS-LH menyangkut tindak pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, dan jika disinkronkan dengan ketentuan Pasal 77
ayat (1) UUKehutanan yang mengatur bahwa: selain Pejabat
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan
(PPNS_Kehutanan), diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan Pasal 77 ayat (2),
kewenangan PPNS-Kehutanan, yaitu:
a. melakukan pemeriksaan
atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau
wilayah hukumnya;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan;
f. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana;
g. membuat dan menandatangani berita acara;
h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang
adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
PPNS Kehutanan berdasarkan Pasal 77 ayat (3)
UUKehutanan, memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana.
Jika disimak ketentuan
Pasal 94 UUPPLH dan Pasal 77 UUKehutanan, terlihat bahwa PPNS-LH memiliki
kewenangan yang lebih besar ketimbang PPNS-Kehutanan, oleh karena PPNS-LH
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, sedangkan PPNS-Kehutanan yang melakukan penyidikan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan.
Menarik untuk
dikaji mengenai kewenangan PPNS-LH dan PPNS-Kehutanan, terkait dengan kebakaran
hutan, oleh karena ada 2 (dua) ketentuan pidana yang terkait, yaitu Pasal 108
UUPPLH dan ketentuan Pasal 78 ayat (3) dan (4) UUKehutanan.
Pasal 108
UUPPLH:
setiap orang yang melakukan
pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal 69 ayat (1) huruf h, berbunyi:
setiap orang dilarang ... melakukan pembukaan lahan dengan cara
membakar.
Pasal 78 ayat (3) UUKehutanan:
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal
78 ayat (4) UU Kehutanan:
Barang siapa karena kelalaiannya melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
Pasal 50 ayat (3) huruf d, berbunyi:
setiap orang dilarang ... membakar hutan.
Memperhatikan ketentuan Pasal 108 UUPPLH dan
ketentuan Pasal 78 ayat (3) dan (4) UUKehutanan, jika terjadi kebakaran di
kawasan hutan, apabila kebakaran tersebut menyebabkan pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan maka PPNS-LH berwenang melakukan penyidikan atas tindak
pidana, adapun penyidikan yang dilakukan PPNS-LH yaitu tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UUPPLH atau Pasal Pasal 99 UUPPLH dan Pasal
108 UUPPLH. Akan tetapi jika kejadiannya (kebakaran) tidak menimbulkan
pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup serta terjadi di kawasan
hutan, yang berwenang adalah PPNS-Kehutanan,
adapun penyidikan yang dilakukan oleh PPNS-Kehutanan yaitu Pasal 78 ayat (3)
UUKehutanan atau Pasal 78 ayat (4) UUKehutanan. Kemudian juga, jika kebakaran
bukan di kawasan hutan, maka yang berwenang adalah PPNS-LH, adapun penyidikan
yang dilakukan yaitu Pasal 108 UUPPLH.
Selanjutnya,
bagaimana halnya, jika kebakaran terjadi di lahan perkebunan, apakah yang
berwenang PPNS-LH atau PPNS-Perkebunan. PPNS-Perkebunan berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan
(UUPerkebunan) di atur bahwa: selain penyidik
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan (PPNS-Perkebunan) juga diberi wewenang khusus
sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perkebunan.
Wewenang PPNS Perkebunan, berdasarkan
Pasal 45 ayat (2) UUPerkebunan, yaitu:
a. Melakukan pemeriksanaan atas kebenaran
laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perkebunan;
b. Melakukan pemanggilan terhadap seseorang
untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak
pidana di bidang perkebunan;
c. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang
bukti tindak pidana di bidang perkebunan;
d. Meminta keterangan dan barang bukti dari
orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang perkebunan;
e. Membuat dan menandatangani berita acara; dan
f. Menghentikan penyidikan apabila tidak
terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang perkebunan.
PPNS Perkebunan berdasarkan Pasal 45
ayat (3) UUPerkebunan, memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan
hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui Pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Ketentuan
Pasal 48 UUPerkebunan,:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja membuka
dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya
pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Jika
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau
luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Ketentuan Pasal 49 UUPerkebunan:
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya membuka
dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya
pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
Memperhatikan
ketentuan Pasal 48 dan Pasal 49 UUPerkebunan, maka tindak pidana dimaksud jika
dikaitkan dengan UUPPLH yaitu melakukan tindak pidana sebagai mana dimaksud
dalam Pasal 98 atau 99 UUPPLH dan Pasal 108 UUPPLH, oleh karena Pasal 48 dan Pasal
49 UUPerkebunan unsur tindak pidananya yaitu: a. membuka dan/atau mengolah
lahan, b. berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
Oleh karena ketentuan
Pasal 48 dan Pasal 49 UUPerkebunan unsur tindak pidananya yaitu: a. membuka
dan/atau mengolah lahan, dan b. berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan, maka siapakah yang berwenang melakukan penyidikan jika terjadi
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 UUPerkebunan,
apakah PPNS-LH berhak melakukan penyidikan atas kasus tersebut berdasarkan
ketentuan Pasal 98 atau Pasal 99 UUPPLH dan Pasal 108 UUPPLH, sebab adanya
kesamaan unsur dari tindak pidana tersebut, yaitu: a. membakar lahan, dan b.
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
Untuk mengantisipasi
adanya eksepsi pihak yang melakukan tindak pidana di bidang perkebunan oleh
karena penyidikan dilakukan oleh PPNS-LH, maka sebaiknya PPNS-LH melakukan
koordinasi dengan pejabat penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak
pidana membuka dan/atau mengolah lahan yang berakibat terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan, yang perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku
usaha perkebunan atau perusahaan perkebunan yang telah memiliki ijin usaha
perkebunan. Akan tetapi jika pelaku usaha perkebunan atau perusahaan perkebunan
tidak memiliki ijin usaha perkebunan maka PPNS-LH dapat melakukan penyidikan
tanpa perlu melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik Polri.
Demikian juga, jika
pembakaran yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan atau perusahaan
perkebunan yang telah memiliki ijin usaha perkebunan dilakukan untuk pembukaan
lahan perkebunan (yang sebelumnya lahan tersebut bukan untuk kegiatan
perkebunan), pejabat PPNS-LH dapat melakukan penyidikan berdasarkan Pasal 108
UUPPLH dan Pasal 98 atau Pasal 99 UUPPLH jika pembakaran tersebut mengakibatkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Bahkan jika PPNS berkoordinasi dengan
pejabat penyidik Polri, pelaku usaha perkebunan atau perusahaan perkebunan
dapat juga dikenakan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
III.
UUPPLH sebagai ketentuan payung merupakan UU bagi UU sektoral. Dalam praktek kenegaraan UU payung dijadikan
bahan judicial review, dan Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusan
menjadikan UU payung sebagai pisau analisis terhadap sebuah produk UU.
UUPPLH memuat asas dan prinsip pokok bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan berfungsi sebagai ”payung” (umbrella act) bagi
penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, untuk itu perlu disegerakan penyesuaian (revisi terhadap)
peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang perlidungan dan pengelolaannlingkungan hidup
untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan UUPPLH.
---o0o---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar