ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGE GENERALIS
Oleh: Alvi Syahrin
Ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP mengatur
bahwa: Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur
pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khusus itulah yang diterapkan.
Pasal 63 ayat (2) KUHP ini menegaskan keberlakuan (validitas) aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu perbuatan yang masuk baik kedalam aturan
pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus. Dalam ketentuan Pasal 63 ayat
(2) KUHP terkandung asas Lex specialis
derogat legi generalis yang
merupakan suatu asas hukum yang mengandung makna bahwa aturan yang bersifat
khusus (specialis) mengesampingkan
aturan yang bersifat umum (general). Berdasarkan asas Lex specialis derogat legi generalis, aturan yang bersifat umum itu tidak lagi
memiliki “validity” sebagai hukum
ketika telah ada aturan yang bersifat khusus, aturan yang khusus tersebut
sebagai hukum yang valid, yang
mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit.
Menentukan
suatu aturan yang berifat khusus itu (lex
specialis, berpangkal tolak dari
metode deduktif (dari yang khusus ke yang umum). Aturan yang bersifat khusus
itu dibandingkan dengan aturan umumnya dengan mengidentifikasikan sifat-sifat
umum yang terkandung dalam dalam aturan yang bersifat khusus itu. Sifat-sifat
umum ketentuan tersebut dapat diketahui dengan memahami secara baik aturan yang
bersifat umum tersebut. Sehingga ditemukan aturan yang khusus (lex specialis) berisi hal-hal yang
bersifat umum yang ditambah hal lainnya (yang merupakan kekhususannya). Suatu
aturan hukum yang tidak memuat norma yang hakekat addressat-nya tertuju pada perlindungan benda-benda hukum yang umum
ditambah sifat khususnya, maka tidak dapat dikatakan sebagai lex specialis, oleh karena dalam aturan
yang bersifat khusus terdapat keseluruhan ciri-ciri (kenmerk) atau kategoris dari aturan yang bersifat umum (lex generalis) dan ditambahkan ciri-ciri
baru yang menjadi inti kekhususannya itu.
Menurut
teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Hart, aturan hukum yang memuat asas lex specialis derogate legi generalis
termasuk kategori rule of recognition.
Asas lex specialis derogat legi generalis, mengatur aturan hukum mana yang diakui absah
sebagai suatu aturan yang berlaku, dan asas lex
specialis derogat legi generalis merupakan suatu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur
(pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat) negara dalam mengadakan suaru
represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut.
Ditinjau
dari teori criminal law policy yang
dikemukakan Ancel, bahwa asas lex
specialis derogat legi generalis merupakan asas hukum yang menentukan dalam
tahap aplikasi (application policy)
yang mengatur tentang kewenangan. Artinya, bukan berkenaan dengan perumusan
suatu kebijakan tentang hukum (formulation
policy), tetapi berkenaan dengan game-rules
dalam penerapan hukum. Asas lex
specialis derogat legi generalis ini penting bagi aparat penegak hukum guna
menentukan aturan apa yang di terapkan atas suatu peristiwa yang diatur oleh
lebih dari satu aturan, yang manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut
yang bersifat umum dan yang manakah aturan-aturan yang lain tersebut yang
bersifat khusus.
Menyimak
ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menegaskan keberlakuan atau validitas aturan pidana yang khusus ketika
mendapati suatu perbuatan yang masuk
baik kedalam aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus. Namun, apa
yang dimaksud dengan aturan pidana
tersebut, tidak ada dijelaskan dalam undang-undang. Dengan demikian perlu
adanya penafsiran, sehingga jika melihat pandangan Friedmann yang menyatakan
suatu sistem hukum terdiri substansi (substance),
struktur (structure) dan budaya (culture), maka aturan pidana dimaksud yaitu substansi (materi) hukum itu sendiri
dalam hal ini, aturan pidana tersebut yaitu sub-bagian hukum yang masuk kedalam
ruang lingkup hukum pidana itu sendiri. Kemudian, jika memperhatikan pandangan
Packer yang menyatakan ruang lingkup hukum pidana tersebut meliputi pengaturan
tentang tindak pidana (crime),
pertanggungjawaban pidana (responsibility)
dan pemidanaan (punishment), maka aturan pidana diartikan ke dalam aturan
tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Sehingga, jika
terdapat aturan yang sifatnya khusus mengenai tindak pidana, pertanggungjawaban
pidana dan pemidanaan, maka aturan yang sifatnya umum menjadi tidak lagi valid.
Aturan
hukum yang mengandung asas lex specialis
derogat legi generalis, berlaku bukan hanya dalam menyikapi
perbuatan-perbuatan yang taatbestand
dengan aturan pidana yang terdapat dalam KUHP, tetapi juga bahkan terutama
terhadap aturan pidana yang terdapat dalam undang-undang lain di luar KUHP.
Bahkan sepanjang tidak diatur sebaliknya, asas ini juga berlaku terhadap sesama
undang-undang di luar KUHP. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 103 KUHP,
yang menentukan: “ketentuan ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh
ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh
undang-undang itu ditentukan lain”. Sehingga, ketentuan Pasal 63 ayat (2) tidak
hanya berlaku ketika mencermati peristiwa konkrit dihadapkan pada aturan-aturan
tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana pemidanaan yang terdapat dalam
KUHP, tetapi juga terhadap hal yang sama yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan di luar KUHP dihadapkan dengan KUHP itu sendiri, atau lebih
jauh lagi terhadap dihadapkannya dua atau lebih undang-undang di luar KUHP.
Sepanjang suatu peraturan perundang-undangan memuat aturan pidana yang khusus,
maka mengenai hal yang sama yang secara umum diatur dalam KUHP (atau
undang-undang di luar KUHP yang memiliki sifat lebih umum), menjadi tidak absah
dalam arti tidak lagi valid.
Ketentuan
Pasal 63 ayat (2) KUHP, tidak ada hubungannya dengan masalah samenloop dari beberapa perilaku yang
terlarang. yang diatur dalam Pasal 63 ayat 2 KUHP , mengenai kemungkinan suatu
perilaku yang terlarang itu telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana
tertentu, akan tetapi kemudian ternyata telah diatur kembali di dalam suatu
ketentuan pidana yang lain, dan ketentuan pidana tersebut merupakan suatu
ketentuan pidana yang bersifat khusus, dalam arti secara khusus mengatur
perilaku yang sebenarnya telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana, maka
ketentuan pidana yang bersifat khusus itulah yang harus diberlakukan. Atau
dengan perkataan lain, dalam hal seperti itu berlakulah ketentuan hukum yang
mengatakan: lex specialis derogat legi
generalis.
Untuk
dapat mengetahui, suatu ketentuan pidana itu secara lebih khusus telah mengatur
suatu perilaku, yang sebenarnya telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana
yang lain, sehingga ketentuan tersebut dapat disebut sebagai suatu bijzondere strafbepaling atau ketentuan pidana yang bersifat khusus,
tidak ada suatu kriterium yang dapat dipergunakan sebagai pedoman. Namun
demikian, ada doktrin cara memandang
suatu ketentuan pidana, yaitu: a. cara memandang
secara logis ataupun juga yang disebut logische
beschouwing, dan b. cara memandang
secara yuridis atau secara sistematis
ataupun yang juga disebut jurisdische
atau systematische beschouwing.
Berdasarkan
pandangan secara logis (logische
beschouwing), suatu ketentuan pidana itu dapat dianggap sebagai suatu
ketentuan pidana yang bersifat khusus, jika ketentuan pidana tersebut di
samping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum.
Pandangan ini juga disebut sebagai suatu logische
specialiteit atau sebagai suatu kekhususan
secara logis.
Selanjutnya,
berdasarkan pandangan secara yuridis
atau secara sistematis, suatu
ketentuan pidana itu walaupun tidak
memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap
dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila
dengan jelas dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud
untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketetentuan pidana
yang bersifat khusus. Pandangan ini juga disebut suatu jurisdische specialiteit atau systematische
specialiteit, yang berarti kekhususan
secara yuridis atau secara sistematis.
Perkataan systematische specialiteit,
untuk pertama kalinya dipergunakan Ch.J. ENSCHEDE dalam tulisannya yang
berjudul “Lex specialis derogat legi generali” di dalam Tijdschrift van het Strafrecht pada halaman 177 di tahun 1963.
Kekhususan
ketentuan-ketentuan pidana yang bersifat khusus itu dapat juga terletak pada sifatnya yang memberatkan atau meringankan
hukuman. Menurut P.A.F. Lamintang, untuk dapat disebut sebagai suatu
ketentuan pidana yang bersifat khusus, suatu ketentuan pidan itu tidak selalu harus memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum.
Ketentuan pidana yang sama sekali tidak memuat satu unsur pun dari suatu
ketentuan pidana yang bersifat umum, bahkan juga tidak menyebutkan kualifikasi
kejahatan-kejahatan yang telah dimaksudkan di dalam ketentuan pidana tersebut,
melainkan hanya menyebutkan pasal-pasal dari kejahatan-kejahatan yang telah
dimaksudkan, akan tetapi ketentuan pidana tersebut harus juga dipandang sebagai
suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus.
Ketentuan
pidana sebagaimana diatur Pasal 63 ayat (2) KUHP, perlu diperhatikan oleh
hakim maupun Jaksa Penunut Umum. Sebab,
jika suatu tindak pidana yang telah
didakwakan terhadap seorang sebagaimana diatur di dalam suatu ketentuan pidana
yang bersifat umum, dan kemudian ternyata bahwa tindak pidana tersebut yang
bersifat khusus, maka unsur-unsur dari ketentuan pidana yang bersifat khusus
inilah yang harus ia cantumkan di dalam surat dakwaannya. oleh karena, jika
jaksa penuntut umum hanya mencantumkan unsur-unsur dari tindak pidana
sebagaimana diatur dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum di dalam
surat dakwaannya, dan di dalam sidang peradilan kemudian yang terbukti
(dapat dibuktikannya secara sah) yaitu perbuatan terdakwa yang telah
memenuhi semua unsur dari suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam suatu
ketentuan pidana yang bersifat khusus, maka hakim harus membebaskan terdakwa
dari segala yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum di dalam surat
dakwaannya tersebut .
Kejadian
sebagaimana diterangkan di atas, pernah diputuskan oleh HOGE RAAD dalam arrest-nya
tanggal 6 Desember 1960, N.J. 1961 no. 54, HOGE RAAD yang telah membebaskan
tertuduh dari segala tuntutan hukum, oleh karena penuntut umum di dalam surat
tuduhannya hanya menuduhkan pelanggaran terhadap Pasal 494 ayat (2) KUHP, yang
pada hakekatnya hanya merupakan suatu tindak pidana yang telah diatur di dalam
suatu ketentuan pidana yang bersifat umum, namun kemudian di persidangan
peradilan kemudian ternyata perbuatan tertuduh itu telah memenuhi semua unsur
dari tindak pidana seperti yang telah diatur di dalam Pasal 13 ayat (3) juncto
Pasal 84 Wegverkeerreglement yang
berlaku di Negeri Belanda, yang pada hakekatnya merupakan suatu ketentuan
pidana yang bersifat khusus yang mengatur tindak pidana yang sama secara lebih
khusus. HOGE RAAD di dalam
pertimbangannya menyebutkan: walaupun apa yang telah
dituduhkan oleh penuntut umum itu memang terbukti, akan tetapi
perbuatan-perbuatan yang terbukti itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana,
oleh karena dalam hal ini yang harus diberlakukan adalah ketentuan pidana yang
bersifat khusus.
--o0o--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar