PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI
DALAM TINDAK PIDANA
DI BIDANG
PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP*)
Oleh:
Alvi Syahrin
I. Istilah “korporasi” dalam Bahasa
Inggris disebut corporation, dalam
Bahasa Belanda disebut corporatie,
Bahasa Jerman korporation, dalam berbagai peraturan perundang-undangan hukum pidana
Indonesia korporasi juga disebut badan usaha dan pengertian korporasi tersebut
merupakan kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.
Korporasi
dalam bentuk hukumnya dapat diberikan dalam arti sempit yaitu badan hukum, dan
dalam arti yang luas yaitu dapat berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan
hukum. Dalam pengetian hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun
bukan badan hukum.
Korporasi
atau Badan usaha yang
dijumpai dalam KUHPerdata dan KUHDagang, diantaranya Persekutuan (Pasal 1618
KUHPerdata – Pasal 1652 KUHPerdata), Perkumpulan (Pasal 1653 KUHPerdata – Pasal
1665 KUHPerdata, Firma (Pasal 16 KUHDagang – Pasal 35 KUHDagang) dan Komanditer
(Pasal 16 KUHDagang – Pasal 35 KUHDagang).
Persekutuan (maatschap, partnership)
merupakan dua orang atau lebih mengikatkan dirinya untuk memberikan berupa
uang, barang atau tenaga dalam bentuk suatu kerjasama. Tujuan kerjasama dimaksud
biasanya untuk membagi keuntungan dari hasil kerjasama secara prorata sesuai
dengan porsi atau besarnya modal yang dimasukkan.
Suatu badan hukum
merupakan suatu badan (entity) yang
keberadaannya terjadi karena hukum atau undang-undang, dan sebagai subyek hukum
secara materiil ia (badan hukum) mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Kumpulan atau asosiasi modal
(yang ditujukan untuk menggerakkan kegiatan perekonomian dan atau tujuan khusus
lainnya.
2. Kumpulan modal ini dapat
melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling)
dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking), dan ini menjadi
tujuan dari sifat dan keberadaan badan hukum, sehingga ia dapat digugat atau
menggugat di depan pengadilan.
3. Modal yang dikumpulkan ini
selalu diperuntukkan bagi kepentingan tertentu, berdasarkan pada
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Sebagai
suatu perkumpulan modal, maka kumpulan modal tersebut harus dipergunakan untuk
dan sesuai dengan maksud dan tujuan yang sepenuhnya diatur dalam statuta atau anggaran
dasarnya, yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Kumpulan modal ini mempunyai
pengurus yang akan bertindak untuk mewakili kepentingan badan hukum ini, yang
berarti adanya pemisahan antara keberadaan harta kekayaan yang tercatat atas
nama kumpulan modal ini dengan pengurusan harta kekayaan tersebut oleh
pengurus.
5. Keberadaan modal badan hukum
ini tidak dikaitkan dengan keanggotaan tertentu. Setiap orang yang memenuhi
syarat dan persyaratan yang diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya dapat
menjadi anggota badan hukum ini dengan segala hak dan kewajibannya.
6. Sifat keanggotaannya tidak
permanen dan dapat dialihkan atau beralih kepada siapapun juga, meskipun
keberadaan badan hukum ini sendiri adalah permanen atau tidak dibatasi jangka waktu
berdirinya.
7. Tanggungjawab badan hukum
dibedakan dari tanggungjawab pendiri, anggota, maupun pengurus badan hukum
tersebut.
Tindak pidana lingkungan yang dilakukan untuk dan atau atas nama badan
hukum, setidak-tidaknya didalamnya terdapat, bahwa:
1. tindakan
ilegal dari badan hukum dan
agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam
hal prosedur administrasi. Karenanya, yang dilakukan badan
hukum tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga
pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.
2. baik badan hukum (sebagai "subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya
termasuk sebagai pelaku kejahatan (as
illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, antara lain bergantung
pada kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.
3. motivasi
kejahatan yang dilakukan badan hukum bukan hanya bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada
pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup
kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan
sub-kultur organisasional.
II. Ketentuan
Pasal 116 ayat (1) UUPPLH berbunyi: “Apabila tindak pidana lingkungan hidup
dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana
dijatuhkan kepada:
a.
badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.” Ketentuan Pasal 116 UUPPLH ini memuat
kriteria lahirnya pertanggungjawaban badan usaha dan siapa-siapa yang harus
bertanggungjawab.
Memperhatikan rumusan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH, dapat
di simak bahwa jika tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, untuk atau atas
nama badan usaha maka tuntutan pidana dan sanksi pidana dapat dijatuhkan
kepada:
a. Badan
usaha;
b. Badan
Usaha dan orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana;
c. Badan
Usaha dan orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana
tersebut;
d. Orang
yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut;
e. Orang
yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut;
Walaupun
Pasal 116 UUPPLH menetapkan siapa-siapa
yang bertanggungjawab tersebut, tetapi juga harus diperhatikan Pasal 118
UUPPLH yang berbunyi: “Terhadap tindak pidana sebagaimana di maksud dalam Pasal
116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili
oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional”, maka dapat
diketahui bahwa sebenarnya ada tiga pihak yang dapat dikenai tuntutan dan
hukuman, yaitu:
a.
Badan usaha itu sendiri;
b.
Orang yang memberi perintah
atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana;
c.
Pengurus atau pimpinan badan
usaha.
Tanpa rumusan Pasal 118 UUPPLH yang menyebutkan “sanksi dikenakan
terhadap badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di
dalam dan luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku
pelaku fungsional”, pengurus tetap juga dapat dikenai pertanggungjawaban atas
kriteria “orang yang memberi perintah atau orang yang bertindak sebagai
pemimpin dalam tindak pidana” sebagaimana di rumuskan dalam Pasal 116 ayat (1)
huruf b.
Jika hanya memperhatikan Pasal 116 ayat (1) huruf b tanpa
mengkaitkannya dengan Pasal 118 UUPPLH, maka mengharuskan penyidik dan penuntut
umum untuk membuktikan bahwa penguruslah yang bertindak sebagai orang yang
memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana. Akan
tetapi jika ketentuan Pasal 116 ayat (1) huruf b dikaitkan dengan Pasal 118,
pengurus karena jabatannya secara serta merta atau secara otomatis memikul
pertanggungjawaban pidana. Hal ini dapat dilihat dan diperkuat oleh penjelasan
Pasal 118 UUPPLH yang berbunyi: “tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin
badan usaha dan badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan badan hukum
adalah tindak pidana fungsional sehingga pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan
kepada mereka yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima
tindakan pelaku fisik tersebut”.
Pengertian “menerima tindakan tersebut” menurut penjelasan Pasal 118
UUPPLH adalah “menyetujui, membiarkan atau tidak cukup melakukan pengawasan
terhadap tindakan pelaku fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan
terjadinya tindak pidana tersebut”. Dengan demikian, jika terjadi pembuangan
limbah tanpa melalui pengelolaan dan pengurus perusahaan mengetahuinya dan/atau
membiarkan karyawan perusahaan melepas pembuangan limbah tanpa melalui pengelolaan
maka telah terjadi tindak pidana atas nama badan usaha dan pengurus perusahaan
harus bertanggungjawab terhadap tindak pidana tersebut.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 117 UUPPLH, jika tuntutan pidana
diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, maka ancaman pidana yang dijatuhkan
berupa pidana penjara dengan denda diperberat dengan sepertiga. Selanjutnya lagi, berdasarkan Pasal 119 UUPPLH, jika tuntutan
pidana ditujukan kepada badan usaha, maka badan usaha selain dikenakan pidana
sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal ketentuan pidana juga dapat dikenakan
pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a.
Perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tindak pidana;
b.
Penutupan seluruh atau sebagian
tempat usaha dan/atau kegiatan;
c.
Perbaikan akibat tindak pidana;
d.
Kewajiban mengerjakan apa yang
dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e.
Penempatan perusahaan di bawah
pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Berdasarkan penjelasan terdahulu, maka untuk melihat
pertanggungjawaban badan usaha dalam UUPPLH, perlu memperhatikan keterkaitan
dari Pasal 116 UUPPLH , Pasal 117 UUPPLH, Pasal 118 UUPPLH dan Pasal 119
UUPPLH.
Ketentuan Pasal 116 UUPPLH memuat kriteria bagi lahirnya
pertanggungjawaban dan usaha dan siapa-siapa yang bertanggungjawab. Kemudian
jika Pasal 116 UUPPLH dikaitkan dengan Pasal 118 UUPPLH, maka pihak yang dapat
dikenai tuntutan dan hukuman ada tiga pihak, yaitu:
a.
Badan usaha itu sendiri;
b.
Orang yang memberi perintah
atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana;
c.
Pengurus atau pimpinan badan
usaha.
Selanjutnya, siapakah yang dimaksud dengan “orang yang memberi
perintah” atau “yang bertindak sebagai pemimpin”, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Penjelasan Pasal 116 UUPPLH menyatakan:
“cukup jelas”, sehingga perlu penafsiran untuk mengetahui maksud dari “orang
yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak
sebagai pemimpin”. Pasal 116 UUPPLH, merumuskan: “... jika tindak pidana
lingkungan dilakukan oleh, untuk atau atas nama badan usaha maka tuntutan
pidana dan sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada ... orang yang memberi
perintah untuk melakukan tindak pidana:, maka “orang yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana” diartikan sebagai orang yang bertugas
menjalankan dan melaksanakan “pengurusan” badan usaha. Jika Badan Usaha
tersebut berbentuk Perseroan Terbatas (PT), maka orang yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 116 ayat
(1) huruf b UUPPLH dapat diartikan sebagai Direksi PT. Selanjutnya, sebagai
“orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut”,
Penjelasan Pasal 116 UUPPLH menyatakan: “cukup jelas”, sehingga juga perlu
penafsiran untuk mengetahui maksud dari “orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan tindak pidana tersebut”. Pasal 116 UUPPLH, merumuskan: “... jika
tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, untuk atau atas nama badan usaha maka
tuntutan pidana dan sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada ... orang yang
bertindak sebagai pemimpin kegiatan tindak pidana tersebut:, maka “orang yang
bertindak sebagai pemimpin kegiatan tindak pidana tersebut” jika badan usaha
tersebut berbentuk PT dapat diartikan sebagai karyawan PT pada level manejer
yang bertindak dalam ruang lingkup pekerjaannya, yang memiliki kewenangan untuk
menjalankan tugasnya di PT sesuai kewajibannya untuk tujuan memajukan
kepentingan bisnis PT tersebut.
Menurut Remmelink, di dalam praktek yang dimaksud
sebagai “yang memberi perintah” atau “yang memimpin” adalah para pengurus.
Seseorang dapat dikatakan secara faktual memimpin dilakukannya tindak pidana
korporasi jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana tersebut, atau secara
faktual dikatakan ada perbuatan memimpin tindak pidana yang terjadi apabila
pejabat yang bersangkutan tidak mengambil langkah-langkah apapun untuk mencegah
dilakukannya perbuatan terlarang oleh para pegawainya, sekalipun ia berwenang
untuk melakukan hal itu dan secara dapat melakukan pencegahan dimaksud, dan
bahkan secara sadar ia membiarkan perbuatan terlarang itu terlaksana sekalipun
ada kesempatan untuk melakukan pencegahan terlaksananya perbuatan terlarang
tersebut.
III. Menurut Muladi, berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi dan
memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran yang
berkembang maupun kecendrungan internasional, hendaknya memperhatikan hal-hal:
1. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya;
2. Korporasi dapat bersifat privat (private
juridical entity) dan dapat pula bersifat publik (public entity);
3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan
dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employess) dan korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama (bipunishmentprovision);
4. Terdapat
kesalahan manajemen Main korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of- a statutory or regulatory provision;
5. Pertanggungjawaban
badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggungjawab di
dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana;
6. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada
korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat
bahwa Amerika Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan corporate death penalty dan corporate imprisonment yang
mengandung pengartian larangan suatu korporasi untuk berusaha di bidang-bidang
usaha tertentu dan pembatasan-pembatasan lain terhadap langkah-langkah
korporasi dalam berusaha;
7. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan
kesalahan perorangan;
8. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan
korporasi untuk mengendalikan perusalaaan, melalui kebijakan pengurus atau para
pengurus (corporate executive officers)
yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan (power
of decision) dan keputusan tersebut telah diterima (accepred) oleh korporasi tersebut.
Pertanggungjawaban pidana korporasi, dapat didasarkan kepada: a. atas dasar falsafah intergralistik, yaksi segala sesuatu hendaknya diukur
atas dasar keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan individu
dan kepentingan sosial, b. atas dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33
UUD 1945, c. untuk memberantas anomie of succes (kesuksesan tanpa aturan), d. untuk perlindungan
konsumen, dan e. untuk kemajuan teknologi.
Pertanggungjawaban pidana merupakan kesalahan dalam
arti yang luas yang berarti “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, yang di dalamnya terkandung
makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid)
si pembuat atas perbuatannya. Jadi dapat dikatakan bahwa orang yang bersalah
melakukan tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas
perbuatannya.
Kesalahan dalam
arti yang luas, di dalamnya terdapat unsur: a. adanya kemampuan
bertanggungjawab pada si pembuat, b. Hubungan batin antara si pembuat dengan
perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), dan. c.
Tidak adanya alasan yang menhapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Korporasi (badan usaha) dapat memiliki kesalahan dalam hal badan usaha tidak memenuhi
dengan baik fungsi kemasyarakan yang dimiliki oleh badan usaha. Fungsi
kemasyarakatan badan usaha jika dikaitkan dengan UUPPLH yaitu berkewajiban memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan (Pasal 67 UUPPLH). Atas fungsinya tersebut berdasarkan Pasal 69 ayat (1) UUPPLH, badan usaha antara lain
dilarang:
a.
melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut
peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. memasukkan limbah yang berasal dari
luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.
memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e.
membuang limbah ke media lingkungan
hidup;
f.
membuang B3 dan limbah B3 ke media
lingkungan hidup;
g.
melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;
h.
melakukan pembukaan lahan dengan cara
membakar;
i.
menyusun amdal tanpa memiliki
sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau
j. memberikan informasi palsu,
menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan
keterangan yang tidak benar.
Sebagai contoh,
berdasarkan Pasal 69 ayat (1) huruf c dan huruf d UUPPLH, dilarang memasukkan limbah dan atau limbah B3
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika badan hukum
diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, maka pada dasarnya badan hukum
tersebut karena salahnya telah melakukan tindak tersebut. Artinya kesalahan
badan hukum terkait Pasal 105 UUPPLH dan Pasal 106 UUPPLH yaitu karena telah
melakukan (memasukkan) limbah dan atau limbah B3 ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Memperhatikan Pasal 105 UUPPLH dan dihubungkan dengan
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang
Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), maka yang
dimaksud sebagai “setiap orang yang memasukkan limbah” adalah Importir Produsen Limbah Non B3 (IP
LimbahNon B3). Importir Produsen Limbah Non B3 merupakan perusahaan yang melakukan
kegiatan usaha industri yang disetujui untuk mengimpor sendiri Limbah Non B3
yang diperlukan semata-mata untuk proses produksi dari industrinya dan tidak
boleh diperdagangkan dan/atau dipindahtangankan kepada pihak lain (Pasal 1
angka (6) dan angka (7) Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah
Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3)).
Demikian halnya jika dalam hal terjadi impor limbah non
B3 namun dalam kenyataannya dalam limbah non B3 tersebut terdapat juga limbah
B3, maka yang dimaksud sebagai “setiap orang yang memasukkan limbah B3”
berdasarkan Pasal 106 UUPPLH yaitu Importir Produsen Limbah Non B3. Kesalahan pada
diri importir produsen limbah non B3 (IP Limbah Non B3) terletak pada telah
melakukan (memasukkan) limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Berdasarkan ketentuan UUPPLH, tidak ada toleransi
terhadap memasukkan limbah B3 (termasuk melakukan impor) yang berasal dari luar
Negara Kesatuan Republik Indonesia ke import limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Ketentuan
Pasal 59 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2009 yang menyatakan ketentuan lebih lanjut
mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah, dan Peraturan
Pemerintah yang mengatur tentang Pengelolaan Limbah B3 yaitu Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (PP No. 18 Tahun 1999) dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. (PP No. 85 tahun 1999).
Berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (1) PP No. 18 Tahun
1999, diatur bahwa: setiap orang dilarang melakukan impor limbah B3,
selanjutnya dalam Pasal 53 ayat (7) PP No. 18 Tahun 1999 menetapkan bahwa
ketentuan lebih lanjut mengenai tata niaga limbah B3 ditetapkan oleh Menteri
yang ditugasi dalam Bidang perdagangan setelah mendapat pertimbangan dari
Kepala instasi yang bertanggungjawab. Berdasarkan Peraturan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No. 520/MPP/Kep/8/2003 tentang Larangan Impor
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) ditetapkan bahwa impor limbah B3 sebagai sisa suatu usaha dan/atau kegiatan
yang mengandung B3 dan/atau beracun yang sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan
dan/atau merusakan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Jika terjadi suatu impor yang muatannya, misalnya berupa
besi skrap yang positif mengandung B3 (Limbah B3) maka
berdasarkan ketentuan yang berlaku dan Peraturan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 520/MPP/Kep/8/2003 tentang Larangan Impor Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) tidak dapat diimpor masuk ke Indonesia.
Selanjutnya, unsur-unsur
Pasal 106 UUPPLH, yaitu: setiap orang;
dilarang memasukkan limbah B3 ke wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pengertian
setiap orang berdasarkan Pasal 1 angka (32) UUPPLH, yaitu orang perorangan atau
badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Memasukkan limbah B3 ke wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia termasuk impor.
Rumusan Pasal 106 UUPPLH tidak ada mencantumkan unsur kesalahan secara
tegas, namun demikian jika dilihat dari kata “memasukkan limbah” akan terlihat
adanya perbuatan aktif manusia yang secara pasti di dorong oleh kesadaran alam
pikiran si pelaku, dan di dorong oleh kesadaran alam pikiran si pelaku tersebut
merupakan unsur mensrea atau
kesalahan, artinya unsur kesalahan tersebut secara tersirat dianggap ada dengan
kata: “memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Republik Indonesia”. Dengan sengaja didalamnya terkandung elemen volitief (kehendak) dan intelektual
(pengetahuan). Tindakan dengan sengaja selalu willens (dikehendaki) dan wetens (disadari atau diketahui). Oleh
karena tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 UUPPLH merupakan
tindak pidana formil, maka kesengajaan (adanya willens atau dikehendaki dan wetens atau disadari atau diketahui)
telah ada jika perbuatan memasukkan limbah B3 ke wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia telah dilakukan.
Berdasarkan penjelasan
di atas, maka membuktian adanya "willens (kehendak) dan wetens (mengetahui) dari pihak importir
produsen limbah non B3 (IP Limbah Non B3) yang ternyata yang diimpornya
ditemukan ada limbah Limbah B3 yaitu jika
perbuatan memasukkan limbah B3 ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
telah dilakukan.
IV.
Korporasi atau badan usaha misalnya, yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT)
sebagai suatu badan hukum merupakan subyek hukum tidak
hanya menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip ekonomi (mencari keuntungan
yang sebesar-besarnya) tetapi juga mempunyai
kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang
digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan
sosial.
Tanggungjawab
sosial dan moral perusahaan dicerminkan dari suatu perusahaan yang bertanggungjawab atas tindakan dan
kegiatan bisnisnya yang mempunyai
pengaruh atas orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan di mana
perusahan itu beroperasi. Secara
positif perusahaan diharapkan untuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang tidak
semata-mata didasarkan pada perhitungan keuntungan kontan yang langsung,
melainkan juga demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Perusahaan sebagai
bagian dari masyarakat yang lebih luas, perlu ikut memikirkan dan menyumbangkan
sesuatu yang berguna bagi kepentingan hidup bersama dalam masyarakat. Kepedulian perusahaan
terhadap lingkungan hidup, kelestarian hutan, kesejahteraan masyarakat sekitar,
dan seterusnya akan menciptakan iklim yang lebih menerima perusahaan itu
beserta produk-produknya. Sebaliknya, ketidakperdulian perusahan akan selalu
menimbulkan sikap protes, permusuhan, dan penolakan atas kehadiran perusahaan
itu beserta produknya, tidak hanya dari masyarakat setempat di sekitar
perusahaan itu melainkan juga sampai pada tingkat internasional.
Beberapa
peranan yang diharapkan terhadap PT di dalam proses modernisasi atau
pembangunan, diantaranya memperhatikan dan membina kelestarian kemampuan sumber
alam dan lingkungan hidup. Menyerasikan antara lingkungan hidup dengan pembangunan
bukan hal yang mudah, sehingga perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan.
Tolak ukur keberhasilan dan
kemajuan masyarakat diantaranya: kualitas kehidupan yang dicapai dengan menjamin kehidupan ekologis,
sosial, budaya dan ekonomi secara proporsional. Gaya hidup yang dibangunpun
tidak lagi gaya hidup yang didasarkan pada produksi dan konsumsi yang
berlebihan, melainkan apa yang disebut Arne Naess sebagai simple in means, but rich in ends."
Pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan terus meningkat
sejalan dengan meningkatnya kegiatan industri atau sejenisnya, tentunya
lingkungan hidup perlu mendapat perlindungan hukum. Menurut Koesnadi
Hardjasoemantri, lingkungan hidup dengan sumber-sumber dayanya merupakan
kekayaan bersama yang dapat digunakan setiap
orang, yang harus dijaga
untuk kepentingan masyarakat dan untuk generasi mendatang. Perlindungan
lingkungan hidup dan sumber daya alamnya dengan demikian mempunyai tujuan
ganda, yaitu melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhannya dan melayani
kepentingan-kepentingan individu.
Terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan,
kebanyakan dilakukan dalam konteks menjalankan suatu usaha ekonomi dan sering
juga merupakan sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan atau
melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Hukum pidana dapat memberikan sumbangan dalam
perlindungan hukum bagi lingkungan hidup, namun demikian perlu diperhatikan
pembatasan-pembatasan yang secara inheren terkandung dalam penerapan hukum
pidana tersebut, seperti asas legalitas maupun asas kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana suatu PT dalam kasus lingkungan hidup, diatur dalam Pasal 116
UUPPLH. Ketentuan Pasal 116 UUPPLH, berbunyi:
(1) Apabila tindak pidana
lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan
pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a.
badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2)
Apabila tindak pidana lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan
hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup
kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau
pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana
tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
maka dapat dijelaskan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Ketentuan
Pasal 116 UUPPLH menetapkan bahwa disamping orang secara pribadi, tindak pidana
lingkungan dapat dilakukan oleh PT;.
2. Penyebutan
badan usaha (dibaca PT) menunjukkan bahwa subyek hukum pidana lingkungan adalah
badan hukum (dibaca PT) dan bentuk organisasi lain yang bukan badan hukum.
3. Prinsip
dalam pertanggungjawaban pidana PT dikenakan kepada:
a. PT;
atau
b. PT dan
Mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana; atau
c. PT dan Mereka
yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana; atau
d. Mereka
yang pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana; atau
e. Mereka
yang bertindak sebagai pimpinan dalam
melakukan tindak pidana.
PT dianggap telah melakukan tindak pidana lingkungan jika tindak
pidana lingkungan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang ada hubungan kerja
dengan badan usaha maupun hubungan lain dengan PT, yang bertindak dalam lingkungan (suasana)
aktivitas usaha PT yang bersangkutan. Hubungan
kerja tersebut merupakan hubungan antara pengusaha/orang perorangan (mempunyai
badan usaha) dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja. Dengan demikian, baik PT maupun orang-orang yang
memberi perintah atau bertindak sebagai pemimpin dalam lingkungan (suasana)
aktivitas usaha korporasi yang bersangkutan, dapat dituntut pidana dan dijatuhi
sanksi pidana beserta tindakan tata tertib.
Sebaliknya, suatu PT juga akan terbebas dari pertanggungjawaban secara pidana atau
dianggap tidak bersalah, jika PT bisa membuktikan bahwa PT tidak melakukan suatu kesalahan, berhubung orang-orang yang
melakukan perbuatan itu tidak ada hubungan kerja atau hubungan lainnya dengan PT atau perbuatan itu dilakukan
oleh seseorang di luar lingkungan aktivitas usaha PT itu.
Kapan dimintakannya pertanggungjawaban pidana kepada PT itu sendiri, atau kepada
pengurus PT atau kepada pengurus
beserta PT, ini menjadi
permasalahan dalam praktek, karena dalam kasus lingkungan hidup. ada kesulitan
untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam struktur usaha dan
prilaku/ perbuatan yang secara
konkrit telah dilakukan.
Untuk menghindari kesulitan pembuktian di atas, memang bisa dilakukan
dengan meletakkan soal dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum yaitu
dengan cara mengklasifikasikan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban badan
hukum untuk melakukan
pengawasan serta tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki
oleh badan hukum.
Ada beberapa teori
pertanggungjawaban pidana korporasi, diantaranya: doktrin pertanggungjawaban pidana langsung (Direct Liability Doctrine) atau teori Indentifikasi (Identification Theory) atau
disebut juga teori/doktrin "alter ego" atau "teori organ".
Perbuatan/kesalahan
"pejabat senior" ("senior
officer") diidentifikasikan sebagai perbuatanlkesalahan korporasi; doktrin
Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Vicarious
Liability). Bertolak dari doktrin "respondeat superior". Didasarkan pada "employment principle" bahwa
majikan adalah penanggungjawab utama dari perbuatan buruh/karyawan; doktrin
pertanggungjawaban Pidana yang ketat menurut undang-undang ("Strict Liability'). Pertanggungjawaban korporasi yang semata-mata
berdasarkan undang-undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak
memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan undang-undang. Pelanggaran
terhadap kewajiban korporasi dapat diterapkan doktrin pertangungjawaban pidana
yang ketat menurut undang-undang atau yang disebut dengan ".strict liability" , apalagi kalau
korporasi tersebut menjalankan usahanya tanpa izin, atau korporasi pemegang
izin yang melanggar syarat-syarat (kondisi/situasi) yang ditentukan dalam izin
itu.
Menurut A.L.J. Van Strien, bagaimanapun beratnya akibat/dampak dari
kriminalitas lingkungan, kita tetap harus memperhatikan aspek-aspek pembatasan
penyelenggaraan kekuasaan dari asas legalitas maupun asas kesalahan. Cara
bagaimana kedua asas itu dikonkritasikan, tergantung pada tindak pidana yang
dilakukan.
Menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan
berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan
badan hukum tersebut. Badan hukum diperlakukan sebagai pelaku jika terbukti
tindak bersangkutan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau
pencapaian tujuan badan hukum, juga termasuk dalam hal orang (karyawan
perusahaan) yang secara faktual melakukan tindak bersangkutan yang melakukannya
atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan.
Namun dalam hal yang terakhir ini tidak menutup kemungkinan badan hukum
mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya.
Menetapkan PT sebagai pelaku tindak
pidana, dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada PT tersebut. PT secara faktual mempunyai
wewenang mengatur/ menguasai dan/atau memerintah pihak yang dalam kenyataan
melakukan tindak terlarang.
PT yang dalam kenyataannya kurang/ tidak melakukan
dan/atau mengupayakan kebijakan atau tindak pengamanan dalam rangka mencegah
dilakukannya tindak terlarang dapat diartikan bahwa PT itu menerima terjadinya
tindakan terlarang tersebut, sehingga PT dinyatakan bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
PT dalam upaya
pengelolaan lingkungan hidup mempunyai kewajiban untuk membuat kebijakan/ langkah-langkah yang
harus diambilnya, yaitu:
1. merumuskan kebijakan di bidang lingkungan;
2. merumuskan rangkaian/struktur organisasi yang layak (pantas) serta
menetapkan siapa yang bertang-gungjawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut;
3. merumuskan instruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan
aktifitas-aktifitas yang mengganggu lingkungan dimana juga harus diperhatikan
bahwa pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami instruksi-instruksi
yang diberlakukan perusahaan yang bersangkitan;
4. penyediaan sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya
pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup.
Jika terhadap kewajiban-kewajiban di atas badan hukum tidak atau kurang
memfungsikan dengan baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk mengasumsikan
bahwa PT kurang berupaya atau
kurang kerja keras dalam mencegah (kemungkinan) dilakukan tindak terlarang.
Kewajiban merupakan suatu peraaan yang harus
dilaksanakan oleh pemegangnya. Setiap orang dapat dipaksa untuk melaksanakan
kewajibannya. Sehubungan dengan pelaksanaan kewajiban tersebut, Hukum Pidana
Baru berlaku atau diterapkan jika orang tersebut:
1. Sama sekali tidak melakukan kewajibannya,
2. Tidak melaksanakan kewajibannya itu dengan baik sebagaimana
mestinya, yang dapat berarti
a. kurang melaksanakan kewajibannya;
b. terlambat melaksanakan kewajibannya, atau
c. salah dalam melaksanakan kewajibannya, baik secara di sengaja maupun
ridak disengaja
3. Menyalahgunakan pelaksanaan
kewajiban itu.
Untuk menetapkan PT sebagai pelaku tindak pidana lingkungan ada beberapa faktor
yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Apakah
kasus tersebut berkenan dengan tindak pidana dimana gangguan terhadap
kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tindak pidana;
2. Norma-norma
ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku yang mengganggu lingkungan;
3. Sifat, struktur dan bidang kerja dari PT tersebut.
Guna menentukan siapa-siapa yang bertanggungjawab
di antara pengurus suatu PT yang
harus memikul
beban pertanggungjawaban pidana tersebut, harus ditelusuri segi dokumen AMDAL,
Izin (lisensi) dan pembagian tugas pekerjaan dalam jabatan jabatan yang
terdapat pada PT yang bersangkutan.
Penelusuran dari dokumen-dokumen
tersebut akan menghasilkan data, informasi dan fakta dampak negatif yang
ditimbulkan oleh kegiatan PT yang bersangkutan dan sejauhmana pemantauan dan pengendalian yang telah
dilakukan terhadap dampak tersebut. Dari dokumen-dokumen tersebut dapat
diketahui pula, bagaimana hak dan kewajiban pengurus-pengurus PT tersebut, untuk memantau,
mencegah dan mengendalikan dampak negatif kegiatan perusahaan. Sehingga dari
penelusuran itu, akan nyata pula apakah pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan tersebut terjadi karena kesengajaan atau karena kelalaian.
Memperhatikan ketentuan Pasal 67 UUPPLH dan Pasal 68 UUPPLH yang menetapkan:
"kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
serta mengendalikan pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup" dan "berkewajiban memberikan informasi
yang benar dan akurat mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, menjaga keberlanjutan fungsi
lingkungan hidup dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup
dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup", dan ketentuan Pasal 116 UUPPLH, perlu jadi bahan pemikiran
untuk menjadikan
konsep pertanggungjawaban pidana PT di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada PT dan para pengurusnya (dewan direksi), para manajer yang
bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup pada PT (bahkan dapat dimintakan kepada para pemegang
saham maupun para komisaris) secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau
usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan hidup
yang serius dan/atau menimbulkan kematian manusia.
PT yang mempunyai kesalahan, harus menanggungnya dengan
kekayaannya, dan selanjutnya adanya pengetahuan bersama dari sebagian anggota
dapat dianggap sebagai kesengajaan PT itu. Kesengajaan bersyarat dan kesalahan ringan setiap orang yang
bertindak untuk PT itu jika dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari PT itu sendiri.
PT dapat mengurangi resiko tanggung jawab lingkungan dari
operasi/kegiatannya sehari-hari, dengan cara:
l. Memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan badan (instansi)
yang melakukan pengawasan lingkungan. Pejabat (instansi) yang melakukan
pengawasan lingkungan biasanya memberikan kesempatan bagi korporasi untuk
memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukannya. Perbaikan terhadap pelanggaran
yang telah dilakukan menjadikan diterapkannya asas subsidaritas dalam penegakan
hukum pidana.
2. Melakukan perbaikan yang sesegera mungkin terhadap pemberitahuan
pelanggaran yang dilakukan dan perbaikan tersebut didokumentasikan dengan
baik.
3. Mencari nasehat hukum sebelum merespon pemeriksaan oleh pejabat
(instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan, agar dapat merespon secara
tepat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pejabat (instasi) tersebut.
4. Memelihara catatan-catatan secara rinci mengenai pembelian dan
pembuangan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang digunakan dalam kegiatan
operasional korporasi, sehingga a. catatan pembuangan limbah secara tepat dapat
diketahui guna pembelaan terhadap aksi penegakan hukum, dan b. jumlah dan jenis
bahan kimia yang digunakan korporasi dapat ditetapkan.
5. Membuang limbah B3 hanya melalui perusahaan pembuangan limbah B3
yang handal dan kredibel, jika mungkin korporasi melakukan daur ulang. -
Kontrak dengan pihak yang menangani limbah harus diperiksa dan diteliti oleh
korporasi dan konsultan hukumnya guna menjamin bahwa proses penanganan limbah
telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
6. Menerapkan suatu program pemenuhan dan pengurangan B3 yang
komprehensif, antara lain mencurahkan perhatian dan dana untuk evaluasi atas
penggunaan B3 dengan melakukan pembuatan serta penerapan rencana yang
komprehensif untuk pengurangan dan pencegahan dari penggunaan B3. Perusahaan
memenej, mengukur, meningkatkan dan mengkomunikasikan aspek-aspek lingkungan
dari operasi kegiatannya dengan cara yang sistematis.
Namun
demikian, Dewan
Direksi PT tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban pidana dalam hal PT yang dipimpinnya mencemari dan
atau merusak lingkungan, oleh karena didasarkan kepada Pasal 97 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) jo.
Pasal 2 dan 4 UUPT dan kewajiban
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPLH serta prinsip hukum yang terbit dari
adanya duty of care.
"Duty of care " direksi”, antara lain:
1. Direktur mempunyai kewajiban untuk
pengelolaan perusahaan dengan iktikad baik (good
faith) dimana direkur tersebut harus melakukan upaya yang terbaik dalam pengelolaan perusahaan sesuai dengan
kehati-hatian (care) sebagaimana
orang biasa yang harus berhati-hati,
2. Kewajiban
atas standard kehati-hatian ditentukan oleh kewajiban seorang direktur sesuai
dengan penyelidikan yang rasional.
Kegagalan untuk melaksanakan "duty of care " tersebut dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah perbutan
tersebut sebenarnya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia, oleh karena pemegang kepercayaan diharuskan untuk
menerapkan standard perilaku yang lebih tinggi dan dapat diminta
pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin "constructive fraud " untuk pelanggaran fiduciary duty.
Makna dan aspek iktikad baik
yang lain dalam konteks pengurusan PT adalah patuh dan taat (obedience)
terhadap hukum dalam arti luas, terhadap peraturan perundang-undangan dan
Anggaran Dasar PT. Ketaatan mematuhi
peraturan perundang-undangan dalam rangka pegurus PT, wajib dilakukan dengan
iktikad baik, mengandung arti setiap orang Direksi dalam melaksanakan
pengurusan perseroan, wajib melaksanakan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku (statutory duty). Jika anggota Direksi tahu tindakannya
melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau tidak hati-hati atau
sembrono (carelessly) dalam melaksanakan kewajiban mengurus Perseroan,
mengakibatkan pengurusan itu melanggar peraturan perundang-undangan maka
tindakan pengurusan itu “melawan hukum” (onwettig, unlawful).
Dengan demikian, direktur tidak dapat melepaskan diri dari
pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan, hal ini disebabkan direksi memiliki "kemampuan" dan
"kewajiban" untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban
untuk melakukan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Untuk menilai apakah direksi melakukan pengawasan yang cukup terhadap
kegiatan-kegiatan (operasional) PT,
dapat dilihat dari:
a. Partisipasi direksi di dalam
penciptaan dan persetujuan atas rencana bisnis korporasi yang ada kaitannya
dengan pengelolaan lingkungan hidup,
b. Partisipasi aktif di bidang
manajemen, khususnya menyangkut kegiatan yang berkaitan dengan B3;
c. Melakukan pengawasan terhadap
fasilitasfasilitas korporasi secara berulang-ulang;
d. Mengambil tindakan terhadap
karyawan/bawahan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan
lingkungan hidup;
e. Menunjuk/mengangkat individu
yang memiliki kualitas dan kemampuan untuk bertanggungjawab dalam pengelolaan
lingkungan hidup korporasi;
f. Menunjuk/mengangkat
konsultan yang independen untuk melaksanakan audit lingkungan secara berkala;
g. Permintaan
untuk mendapatkan perangkat/ instrumen
guna membantu manajemen maupun operasional korporasi dalam mentaati hukum
lingkungan;
h. Meminta
laporan secara berkala kepada penanggungjawab pengelolaan lingkungan korporasi
yang menyangkut pencegahan dan perbaikan.
i. Meminta kepada manajemen
korporasi untuk menerapkan program yang dapat meminimalisir
kesalahan karyawan dan melaksanakan program penyuluhan.
j. Menyediakan cadangan ganti kerugian yang memadai dalam tanggung
jawab korporasi terhadap kemungkinan kerugian lingkungan.
k. Direksi korporasi yang peka terhadap masalah
lingkungan harus menguji ganti rugi yang memadai, mencakup tanggung jawab
lingkungan secara khusus.
l. Menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap kebijakan tanggung
jawab direksi dan pejabat sehingga dari aspek komersil perusahaan asuransi
dapat memberi dana yang memadai.
Langkah-langkah yang diambil oleh direksi tersebut
di atas dapat mengurangi tanggungjawab lingkungan direksi, setidak-tidaknya
tindakan direksi hanya dapat dikategorikan sebagai kealpaan (negligence) bukan kesengajaan.
Dalam perkembangan selanjutnya dapat dikembangkan
pemikian bahwa para pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawaban secara
pidana karena pemegang saham memiliki tanggung jawab untuk mengontrol atau
mengarahkan aktivitas korporasi yang membahayakan lingkungan berdasarkan
besarnya persentasi saham. Oleh karena itu, bagi pengelola perusahaan yang
berpotensi mencemarkan/merusak lingkungan hidup, seyogia saya menetapkan
"standard moral bisnis yang tinggi" (high standards of business morality).
Pasal 116 ayat (2) UUPPLH di dalamnya terdapat “prinsip vicarious liability”.
Berdasarkan prinsip vicarious liability ini, pelaku usaha dapat dituntut
bertanggungjawab atas perbuatannya, termasuk perbuatan orang lain tetapi masih
di dalam lingkungan aktivitas usahanya atau akibat yang bersumber dari
aktivitasnya yang dapat merugikan orang lain.
Berdasarkan prinsip vicarious
liability, pimpinan PT atau siapa saja yang memberi tugas atau perintah bertanggungjawab atas perbuatan
yang dilakukan oleh bawahan atau karyawannya. Tanggung jawab ini diperluas
hingga mencakup perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja
maupun hubungan lain. Dengan demikian, siapa saja yang bekerja dan dalam
hubungan apa saja pekerjaan itu dilakukan, selama hal tersebut dilakukan dalam
hubungannya dengan korporasi, menjadi tanggung jawab korporasi. Menurut Pasal
116 ayat (2) UUPLH, pihak perusahaan
yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin, memiliki kapasitas
pertanggungjawaban untuk dipidana.
Pasal 116 UUPPLH berfungsi mengantisipasi kemungkinan PT bisa berlindung di balik hubungan kontraktual
yang dilakukannya dengan pihak lain, kemudian Pasal 116 ayat (2) UUPPLH
memberikan perluasan tanggung jawab, sehingga kesimpulan yang dapat diambil
dari Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, yaitu:
1. Perbuatan adalah atas nama
korporasi.
2. Berdasarkan hubungan kerja
atau hubungan lain.
3. Bertindak di dalam lingkungan
korporasi
Selanjutnya, subjek liabilitynya (pihak-pihak yang
bertanggungjawab), menurut Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, yaitu pemberi perintah
atau pengambil keputusan atau yang bertindak sebagai pemimpin yang didasarkan
kepada hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain.
Dengan demikian, korporasi dalam pengertian hukum pidana meliputi badan hukum maupun bukan
badan hukum. Korporasi hanya dapat bertindak melalui mereka yang diperkerjakan
oleh suatu korporasi atau bertindak sebagai kuasa (agent) dari korporasi tersebut.
Pertanggungjawaban
pidana korporasi diberlakukan dalam hal tindak pidana:
a. dilakukan oleh pengurus,
yaitu mereka yang menurut anggaran dasarnya secara formal menjalankan
pengurusan korporasi, dan/atau
b. dilakukan oleh mereka yang
sekalipun menurut anggaran dasar korporasi bukan pengurus, tetapi secara resmi
memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan yang mengikat korporasi secara
hukum berdasarkan:
1)
pengangkatan oleh pengurus
untuk memangku suatu jabatan dengan pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan
sendiri dalam batas ruang lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada
jabatannya itu untuk dapat melakukan perbuatan hukum mengikat korporasi, atau
2)
pemberian kuasa oleh pengurus
atau mereka sebagaimana dimaksud 1) untuk dapat melakukan perbuatan yang secara
hukum mengikat korporasi.
c.
Diperintahkan oleh mereka
yang disebut dalam huruf a dan b, agar dilakukan oleh orang lain.
Penuntutan dan penjatuhan pidana tidak hanya terhadap
korporasi, tetapi termasuk personil korporasi (pelaku materiil) yang melakukan
tindak pidana tersebut.
V.
Ciri utama Hukum
Pidana terletak pada penjatuhan penderitaan kepada orang yang melakukan
kesalahan berupa sanksi pidana. Pemidanaan dalam fungsi klassiknya merupakan
upaya pengenaan penderitaan sebagai pembalasan atas kesalahan dan ketercelaan
perbuatan pelaku. Namun demikian, saat ini ini fungsi pembalasan tersebut saat
ini terletak pada perannya sebagai upaya mencegah pelaku untuk tidak melakukan
lagi pelanggaran hukum serta dalam rangka melindungi atas obyek hukum.
Lingkungan Hidup sebagai ruang hidup manusia dan makluk hidup lainnya perlu
mendapat perlindungan hukum yang sama seperti obyek hukum klassik lainnya. Hal
ini membawa konsekuensi terhadap bobot dan jenis sanksi pidana yang selayaknya
diancam terhadap pelaku tindak pidana lingkungan.
Ketentuan Pidana dalam UUPPLH ada yang mencantumkan pidana minimal dan
hukumannya bersifat kumulatif. Hukuman yang bersifat kumulatif dapat dilihat
dari rumusan kata “dan” diantara hukumanan “penjara” dan “denda”. Selain itu
juga dalam hukuman pidananya ada hukuman yang bersifat hukuman tambahan.
Hukuman tambahan ini diatur dalam Pasal 119 UUPPLH.
Pemidanaan berdimensi majemuk baik dari segi moral, melakukan rehabilitasi
dan diharapkan mampu memumulihkan
kualitas sosial dan moral seseorang agar dapat berintegrasi lagi dalam
masyarakat, sehingga perlu diperhatikan secara terpisah tetapi tetap dalam
kaitannya dengan totalitas sistem hukum.
Pola pemidanaan dalam UUPPLH sebagaimana yang diatur dalam Ketentuan Bab XV
Ketentuan Pidana pada Pasal 97 UUPPLH sampai Pasal 120 UUPPLH, terdapat sanksi
pidana dan sanksi tindakan. Sanksi tindakan sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 119 UUPPLH hanya bersifat komplemen atau pelangkap yakni tidak ada ada
bedanya dengan sanksi pidana tambahan yang bersifat fakultatif. Hal tersebut
dapat di simak dari adanya kata “dapat” dalam rumusan Pasal 119 UUPPLH
tersebut.
Ketentuan Pasal 119 UUPPLH berbunyi:
Selain
pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat
dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a.
perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b.
penutupan seluruh
atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c.
perbaikan akibat
tindak pidana;
d.
pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e.
penempatan
perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Kata “dapat” dalam Pasal 119 UUPPLH menunjukkan legislator (pembuat undang-undang)
memberi kebebasan bagi hakim yang memutuskan perkara tersebut untuk menjatuhkan
jenis sanksi tindakan atau tidak terhadap terdakwa. Selanjutnya, berdasarkan
ketentuan Pasal 119 UUPPLH, sanksi pidana tambahan atau tindakan hanya
dikenakan terhadap badan usaha, hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 119
UUPPLH yang menyebutkan: “Selain pidana sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau
tindakan tata tertib berupa ...”.
Sanksi tindakan merupakan sanksi dalam hukum pidana yang bersifat
antisifatif bukan reaktif terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada
filsafat determinisme dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis dan spesifikasi
bukan penderitaan fisik atau perampasan kemerdekaan, dengan tujuan untuk
memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban.
Memperhatikan sanksi pidana yang ada dalam Pasal 98 UUPPLH sampai dengan
Pasal 111 UUPPLH, Pasal 113 UUPPLH sampai dengan Pasal 115 UUPPLH yang
mengenakan sanksi pidana penjara dan denda serta Pasal 119 UUPPLH yang dapat
memberikan hukuman tambahan kepada badan usaha, maka hukuman bagi badan usaha
yang melakukan tindak pidana dapat berupa sanksi pidana denda dan sanksi pidana
tambahan atau tindakan tata tertib. Selanjutnya, sanksi pidana yang dijatuhkan
kepada pengurus (pemberi perintah) yaitu ancaman pidana yang dijatuhkan berupa
pidana penjara dan denda dperberat dengan sepertiga.
Memperhatikan dengan seksama ketentuan Pasal 116 UUPPLH yang berbunyi:
“(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup
dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi
pidana dijatuhkan kepada:
a.
badan usaha; dan/atau
b.
orang yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2)
Apabila tindak pidana
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang
berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam
lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah
atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana
tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.”,
maka dapat
dikemukakan bahwa sanksi pidana berdasarkan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH dapat
dijatuhkan kepada:
1.
Badan
usaha; atau
2.
Badan
usaha dan pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana; atau
3.
Badan
usaha dan pemimpin kegiatan dalam tindak pidana; atau
4.
Pemberi
perintah untuk melakukan tindak pidana; atau
5.
Pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana.
Sedangkan, sanksi
pidana berdasarkan Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, dapat dijatuhkan kepada:
1.
Pemberi
perintah; atau
2.
Pemimpin
dalam tindak pidana.
Ketentuan Pasal 117 UUPPLH, menetapkan bahwa terhadap
orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan atau orang
yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana lingkungan yang dilakukan
oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, ancaman pidana berupa penjara dan
denda diperberat dengan sepertiga. Adapun bunyi Pasal 117 UUPPLH, sebagai
berikut: “Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman
pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan
sepertiga.”.
Selanjutnya, ketentuan
Pasal 118 UUPPLH,
berbunyi:
“Terhadap
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili
di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
selaku pelaku fungsional.”
Dan penjelasannya, Pasal 118 UUPLH, menyatakan
“Yang dimaksud dengan pelaku fungsional
dalam Pasal ini adalah badan usaha dan badan hukum.
Tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan hukum karena tindak
pidana badan usaha dan badan hukum adalah
tindak pidana fungsional sehingga pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka yang
memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik
tersebut.
Yang dimaksud dengan menerima tindakan dalam Pasal
ini termasuk menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup melakukan pengawasan
terhadap tindakan pelaku fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan
terjadinya tindak pidana tersebut.”.
Menyimak ketentuan
Pasal 118 UUPPLH tersebut di atas, mempertegas bahwa sanksi pidana dapat
dijatuhkan kepada badan usaha, dan yang mewakili badan usaha untuk bersidang di
pengadilan adalah pengurusnya. Namun demikian perlu diperhatikan kata “sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, oleh karena pengaturan
mengenai badan usaha yang berupa badan hukum, badan keperdataan (non badan
hukum) berbeda satu sama lain dalam hal pengurus dan tanggungjawabnya, sehingga
akan berbeda pula dalam pertanggungjawaban pidananya.
(* Disampaikan pada Rapat Koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kepolisian Republik Indonesia, tanggal 28 Nopember 2012 di Jakarta).
Kepustakaan:
Arief, Barda Nawawi, 2003, Kapita Selekta Hukum
Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
------------
1994, Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali
Pers, Jakarta
Baoed,
Wahono, 1996, Penegakan Huhum Lingkungan
melalui Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, Mahkamah Agung RI, Jakarta.
Cox, D James, Thomas Lee Hazen and F.
Hodge O'Neal, 1997, Corporations,Aspen
Law & Business, A Division
of Aspen Publishers, Inc., New
York.
Dunkley,
John, edited by David Robinson, 1995,
Public Interest in Environmental Law, Wiley Chancery A Division of John Wiley & Son London
Chichester, New York, Brisbane, Toronto,
Singapore.
Fuady, Munir, 2002, Doktrin-Dokirin Modern Dalam
Corporate Law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti,
Bandung.
-----------,
2006, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Citra Aditya, Bandung
Goodrich, Wilson Sonsini and Rosati, Environmental Law Bulletin-Corporate
Liability : Strategies Corporation, Shareholders and Directors Can Employ to
Reduce Environmental Liability.
Gross, Hyman, 1979, A Theory of Criminal Justice, New York: Oxford University Press.
Gunardi Endro, 1999,Redefenisi Bisnis Suatu Penggalian Etika
Keutamaan Aristoteles, PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
Guideline for the Criminal Enforcement of
Environmental Law, 1994, National Support Bureau of the Dutch Prosecution
Service, Netherlands
Gunawan
Wijaya, 2008, Seri Pemahaman
Perseroan Terbatas: Resiko Hukum Pemilik, Direksi & KomisarisPT, Forum Sahabat, Jakarta.
Hamilton,
Robert W., 2001, Cases and Materials on
Corporation Including Partnerships and Limited Liability Companies, American
Casebook Series, West Group.
Han
Kung, 2002, Etika
Ekonomi-Politik Global Mencari Visi Baru Bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI, Terjemahan
Ali Noer Zaman, Penerbit Qalam, Yogyakarta.
Hans
Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni:
Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif (terjemahan),
Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung.
Harahap,
M. Yahya, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang
Permasalahan Hukum, Buku- I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
------------,
1988, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Penerbit
Pustaka Kartini, Jakarta.
Hardjasoemantri, Koesnadi, 2002, Hukum
Tata Lingkungan, Gadjahmada University Press, Yogyakarta.
Harun
M. Husein, 1993, Lingkungan Hidup Masalah,
Pengelolaan dan penegakan,Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta.
Hatrik,
Hamzah, 1996, Asas Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicoatious
Liability), PT RajaGrafindo Persada.
Hohmann,
Harald, 1994, Precautionary Legal Duties
and Principles of Modern International Environmental Law, Graham
& Trotman/ Martinus Nijhoff, London/ Dordrecht/ Boston.
Keraf,
Sonny, A., 1998, Etika Bisnis Tuntutan dan
Relevansinya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Koeswadji, Hermien
Hadiati, 1993, Hukum Pidana Lingkungan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, Moeliono, Tristam P., 1994, Kekhawatiran Masa Kini, Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan Dalam
Teori dan Praktek.
Lamintang,
P.A.F. 1984, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan Secara
Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar
Baru, Bandung
Muladi,
1998, "Prinsip-prinsip dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam kaitannya
Dengan W No. 23 Tahun 1977", Makalah, Seminar Kajian dan Sosialisasi UU
No. 23 Tahun 1997, FH UNDIP, Semarang.
Muladi
dan Dwidja Prayifio, 1991, Pertangungjawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum, Bandung.
Nugroho,
Alois A, 2001, Dari Etika Bisnis ke Etika
Ekobisnis, Grasindo, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.
Pistor
Katarina & Chenggang Xu, 2002, Fiduciary
Duty in Transitional Civil Law Jurisdictions, European Corporate
Governance Institute (ECGI).
Proposed Model for a Domestic Law of Crimes Against
the Environment, International Meeting of Experts on Environmental Crime: The
Use of Criminal Sanctions in the Protection of the Environment;
Internationally, Domestically, and Regionally, March
19- 23, 1994 World Trade Center Two, Portland, Oregon, USA;
Rajagukguk,
Erman, 1997, Peranan Hukum Dalam
Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di
Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Tgl. 4 Januari 1997.
Rajagukguk,
Erman dan Ridwan Khairandy (ed)., 2001, Hukum
dan Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof. Dr. Koesnadi
Hardjasoemantri, SH. ML, UI, Jakarta.
Setiono,
H. 2002, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan Pertanggung jawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Averoes Press, Malang.
Sitompul,
Zulkarnain, 2002, Perlindungan Dana Nasabah Bank Suatu Gagasan Tentang
Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Program Pascasarjana, Jakarta.
Smith
and Hogan, 1992, Criminal Law. 1992. Butterworths. London.
Suparmoko,
M, 1997, Ekonomi Sumberdaya alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis),
BPFE, Yogyakarta.
Sutan Remy Sjahdeini,
2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT. Grafitipers, Jakarta.
Syahrin,
Alvi, 2002, Asas-asas dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, Penerbit
Pustaka Bangsa Press, Medan.
------------,
2003, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran dan atau
Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana/Lingkungan pada Fakultas Hukum USU, Medan.
------------,
2008, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, PT. Sofmedia, Medan.
------------,
2009, Beberapa Masalah Hukum, PT. Sofmedia, Medan.
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Vagts,
Detlev F., 1989, Basic Corporation Law, Materials - Cases - Text, University
Casebook Series, The Foundation Press, Inc., Westbury, New York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar