Senin, 28 Januari 2013

Peraturan sebagai instrumen strategis perubahan iklim


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI INSTRUMEN STRATEGIS PENANGANAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA*
Oleh:  Alvi Syahrin, Prof.Dr.MS.SH.**

I.                   Indonesia terletak pada posisi silang antara posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya. Disamping itu Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang ke dua di dunia dengan jumlah penduduk yang besar. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hanyati dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi. (Penjelasan Umum UUPPLH).
Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim global bagi Indonesia, diantaranya meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya persediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati.
Selanjutnya, perubahan iklim global tidak terlepas dari keberadaan gas rumah kaca (GRK) di atmosfier Bumi yang diemisikan atau berasal dari berbagai aktifitas manusia, tertutama pada kegiatan yang memerlukan dan membakar bahan bakar fosil (minyak, gas bumi dll) dan kegiatan yang menurunkan fungsi serap hutan (penebangan dan pembakaran lahan).
Strategi nasional dalam menghadapi perubahan iklim perlu diarahkan pada pengembangan rekayasa sosial agar masyarakat dapat mengalami perubahan secara terencana, sistematis dan menyeluruh yang dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ekonomi, kelangsungan kehidupan sosial budaya dan ekologi. Instrumen yang digunakan untuk melaksanakan perubahan tersebut, diantaranya melalui hukum dengan membuat/melahirkan peraturan perundangan-undangan yang mampu dan mengakomodasi secara memadai isu-isu perubahan iklim.

II.     Dampak perubahan iklim, saat ini telah menyentuh berbagai kehidupan manusia dan perlu penanganannya secara holisitik serta koordinasi yang baik diantara sektor. Penanganan dampak perubahan iklim dalam kontek pembangunan memerlukan manajemen resiko iklim secara optimal dan juga mengembangkan sistem pembangunan yang tahan (mampu beradaptasi) terhadap dampak perubahan iklim jangka panjang.
      Agenda adaptasi perubahan iklim berfokus pada area yang rentan terhadap perubahan iklim, diantaranya: sumber daya air, pertanian, perikanan, pesisir dan laut, infrastruktur dan permukiman, kesehatan dan kehutanan, antara lain dengan cara (Dadang Hilman):
1.  Program pengurangan resiko bencana terkait iklim melalui program penghutanan kembali, penghijauan terutama di kawasan hutan, lahan kritis, baik di hulu maupun di hilir (kawasan pesisir) dengan keterlibatan masyarakat;
2.   Peningkatan kesadaran dan penyebarluasan informasi perubahan iklim dan informasi adaptasi pada berbagai tingkat masyarakat terutama untuk masyarakat yang rentan sebagai tindakan kesiap-siagaan dini dan peningkatan kesadaran tentang bencana iklim yang semakin meningkat;
3.   Peningkatan kapasitas pengkajian ilmiah tentang perubahan iklim dan dampaknya serta upaya pengendaliannya serta mengembangkan model proyeksi perubahan iklim jangka pendek, menengah dan panjang untuk skala lokal atau regional yang diperlukan untuk menilai kerentanan terhadap iklim serta menyusun rencana strategis kebijakan adaptasi terhadap perubahan iklim untuk jangka pendek, menengah dan panjang.
4.      Peninjauan kembali kebijakan-kebijakan inti yang secara langsung maupun tidak langsung akan dipengaruhi oleh perubahan iklim. Kemudian mengidentifikasi penyesuaian seperti apa yang harus dilakukan terhadap program-program yang didesain dengan kebijakan-kebijakan itu dengan mempertimbangan arah perubahan iklim dan kenaikan muka air laut serta perubahan kondisi sosial ekonomi untuk mendapatkan kebijakan dan progrm yang lebih tahan terhadap perubahan iklim.
5.  Peningkatan kapasitas untuk mengintegrasikan perubahan iklim dengan pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan, perancangan infrastruktur, pengelolaan konflik, dan pembagian kawasan air tanah untuk insitusi pengelolaan air.
6.   Pengarus-utamaan adaptasi iklim ke dalam kebijakan dan program di berbagai sektor dengan fokus kepada penanggulangan bencana, pengelolaan sumber daya air, pertanian, kesehatan dan industri.
7.      Pengembangan isu perubahan iklim dalam kurikulum sekolah menengah dan perguruan tinggi.
8.  Pengembangan sistem pengamatan cuaca, iklim dan hidrologi khususnya di luar Jawa dan peningkatan kapasitas BMG dalam membuat ramalan cuaca dan iklim yang lebih akurat mencakup seluruh Indonesia.
9.   Pengembangan sistem infrastuktur dan tata ruang serta sektor-sektor yang tahan dan tanggap terhadap goncangan dan perubahan iklim dan pengembangan serta penataan kembali tata ruang wilayah, khususnya pada kawasan pantai.

Paraturan perundang-undangan yang terkait dengan persoalan-persoalan yang muncul akibat perubahan iklim yang ada saat ini belum mengakomodasi secara memadai mengenai isu-isu perubahan iklim, sehingga perlu proses review peraturan perundang-undangan yang benar-benar mempertimbangkan isu perubahan iklim secara benar.


III.             Indonesia telah meratifikasi Konvensi Kerangka PBB mengenai Perubahan Iklim melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim, kemudian meratifikasi Protokol Kyoto melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang  Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim). Ratifikasi tersebut memerlukan komitmen serta usaha dan tindakan nyata yang menyeluruh, mencakup seluru sektor pengemisi gas rumah kaca. Komitmen tesebut harus pula secara serentak diterapkan dengan usaha perbaikan pemenuhan syarat kualitas hidup rakyat dan kualitas lingkungan hidup, dan tecermin dalam pengelolaan sektor-sektor produksi dan kosumsi prioritas untuk tindakan mitigasi dan adaptasi.
Kualitas kinerja pelaksanaan rencana aksi nasional perubahan iklim ditentuka oleh konsistensi sistem pengelolaan pengetahuan tentang permasalahan yang hendak dijawab lewat mitigasi dan adaptasi yang mensyaratkan  kesiapan kelembagaan, dalam:
a.   Pemanduan sistem pengetahuan tentang kecakupan agenda mitigasi dan adaptasi portfolio cabang-cabang pemerintahan kunci.
b.    Pemanduan model akutasi sosial yang digunakan mengukur perubahan yang menyangkut variabel-variabel klimatik dan klimatik, sebagai penyempurnaan dan pembaruan dari model penaksiran dan pemotretan perubahan sosial ekonomik dan keuangan yang digunakan saat ini.
c.   Adanya mekanisme penyelaras (clearing-house mechanism) dalam penentuan dan pengukuran berbagai variabel klimatik dan non-klimatik dalam tujuan, sasaran dan kinerja pelaksanaan program dari setiap portfolio badan resmi yang bertanggungjawab. Mekanisme penyelaras tersebut akan efektif jika dikaitkan dengan kapasitas koordinasi dari kopartemen Ekonomi Keuangan dan Industri serta kompartemen Kesejahteraan Rakyat, lewat instrumen kebijakan dan instrumen ekonomik yang jitu.
d.     Adanya mekanisme fiskal dan pendanaan bagi tindakan mitigasi dan adaptasi yang terpadu dalam struktur dan daur anggaran keuangan publik.
e.       Dimungkinkannya cara berpartisipasi secara penuh dan kreatif dari masyarakat, khususnya pada tataran komunitas dan wilayah, dalam daur daur adaptasi serta mitigasi, melampaui praktek kelembagaan dan sosial yang selama ini telah atau pernah dijalankan. Untuk itu perlu dilaksanakan dengan model partisipasi masyarakat secara penuh dalam mempelajari RAN-PI guna menghasilkan kesiapan adaptasi dalam menghadapi resiko dari dampak dan kerentanan akibat perubahan iklim serta tingkat capaian mitigasi yang memadai.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan mendukung upaya mitigasi dan adaptasi dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim, antara lain:
a.      Pembuatan berbagai peraturan yang membentuk dan mendukung budaya ramah lingkungan, dan penegakan hukum.
b.   Ditetapkannya mekanisme teguran dan pinalti terhadap pemerintah daerah yang mengabaikan peraturan-peraturan nasional mengenai konservasi lingkungan hidup termasuk konservasi lahan.
c.   Memasukkan pendidikan pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam ke dalam kurikulum pendidikan nasional.
d.      Himbauan kepada perusahaan-perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Indonesia agar menghindari polusi yang dapat mencemari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
e.     Pemantauan emisi yang dihasilkan dari kegiatan penggunaan energi dan perubahan tata guna lahan serta kehutanan (LULUC F  - Land-Use, Land Use Change and Forestry).
f.       Pengembangan kelembagaan untuk penyusunan inventarisasi gas rumah kaca pada tingkat daerah dan nasional.
g.    Pemantauan perubahan tempratur, kenaikan muka air laut, erosi air laut, tinggi gelombang dan kondisi-kondisi iklim ekstrim.
h.      Penguatan kapasitas pemantauan yang sudah dimiliki oleh Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) dan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).
i.     Transfer teknologi bersih termasuk low carbon technology dan teknologi adaptasi yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik iklim Indonesia.

Dalam rangka melaksanakan LULUC-F, penataan ruang menjadi hal yang penting dan harus didasarkan pada keseimbangan ekosistem dan  daya dukung serta daya tampung lingkungan perlu segera  dilaksanakan dengan tertib. Dengan demikian tidak ada kegiatankegiatan yang saling tumpang tindih dan mendesak fungsi kawasan  hutan. Konsistensi terhadap penataan ruang yang telah disepakati  bersama tersebut, perlu dijaga dan  diawasi oleh segenap pemangku  kepentingan.
Perlu dilakukan penyerasian peta kawasan hutan dengan rencana  pengembangan wilayah, rencana perluasan lahan pertanian dengan  BPN, serta dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, kriteria kawasan lindung menurut Peraturan Pemerintah Nomor 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang  Wilayah Nasional dan undang-undang tentang tata ruang yang  mengatur kawasan lindung dan kawasan budidaya, Undang-undang  No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, serta pemekaran wilayah,  demikian juga dengan pengembangan pertambangan dan perluasan  lahan pertanian. Dengan demikian tidak terjadi tumpang tindih  peraturan yang menyebabkan terdesaknya kawasan hutan untuk berbagai kepentingan. Dan juga perlu dilakukan pemetaan geohidrologis, sehingga dapat dijadikan  sebagai bahan penentuan kriteria  daya dukung dan daya tampung  lingkungan dalam penataruangan.
Selanjutnya, Presiden  Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan  Presiden No. 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca  (RAN-GRK) yang merupakan dokumen kerja yang  berisi upaya-upaya untuk menurunkan emisi gas  rumah kaca di Indonesia. Peraturan Presiden ini  telah diikuti dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan  Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional
Menurut Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang RAN-GRK, tanggungjawab Kementerian Kehutanan dalam penurunan emisi GRK berada dalam kelompok bidang kehutanan dan lahan gambut. Rencana aksi yang akan dilakukan terbagi kedalam dua kategori yakni kegiatan inti dan kegiatan pendukung.
Kegiatan inti penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan periode 2010-2014 meliputi:
1. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dengan indikasi penurunan emisi 31,15 juta ton CO2e
2. Perencanaan pemanfaatan dan peningkatan usaha kawasan hutan dengan target 24,32 juta ton CO2e.
3. Pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan 3,67 juta ton CO2e.
4. Pengukuhan kawasan hutan 123,41 juta ton CO2e
5. Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan, dan reklamasi hutan di DAS prioritas 91,75 juta ton CO2e
6. Pengembangan perhutanan sosial 100,93 juta ton CO2e
7. Pengendalian kebakaran hutan 21,77 juta ton  CO2e
8. Penyidikan dan pengamanan hutan 2,30 juta  ton CO2e
9. Pengembangan kawasan konservasi, ekosistem  esensial dan pembinaan hutan lindung 91,27 juta ton CO2e
10. Peningkatan usaha hutan tanaman 110,10 juta ton CO2e.

Sedangkan untuk kegiatan pendukung akan meliputi: 1. Pengendalian penggunaan kawasan hutan di luar kegiatan kehutanan, 2. Inventarisasi dan pemantauan sumber daya hutan (SDH),  3. Penelitian dan pengembangan kebijakan perubahan iklim kehutanan.
Sesuai Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011  Pasal 4 (1) c, penghitungan emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon dilakukan dengan menggunakan faktor emisi dan faktor serapan lokal. Lebih lanjut mengacu pada Pasal 8 (1) c, Kementerian Kehutanan bertugas mengembangkan metodologi inventarisasi dan faktor emisi atau serapan GRK berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan. Untuk mendukung hal tersebut, Pusat Standardisasi dan Lingkungan telah menyiapkan perangkat penunjang berupa Standard Nasional Indonesia (SNI) Pengukuran Karbon Hutan di Lapangan (Ground-based forest carbon accounting) dan SNI Penyusunan Persamaan Alometrik untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan berdasarkan Pengukuran Lapangan (Ground-based forest carbon accounting) sebagai berikut:
1. SNI 7724: 2011 (Pengukuran dan penghitungan cadangan karbon–pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan) memberikan panduan untuk pengukuran  lapangan dan penghitungan cadangan karbon pada lima pool karbon untuk mendukung monitoring perubahan cadangan karbon dengan tingkat kerincian (Tier) 3. Standar ini diterapkan pada semua tipe hutan, namun pengukuran cadangan karbon pada serasah hutan mangrove tidak dilakukan karena serasah tersebut mungkin berasal dari luar area.
2. SNI 7725: 2011 (Penyusunan persamaan alometrik untuk mendukung penaksiran cadangan karbon hutan berdasar pengukuran lapangan) menyediakan panduan untuk menyusun persamaan alometrik, yang diperlukan di dalam penggunaan standar untuk pengukuran karbon di lapangan guna menaksir cadangan karbon hutan, apabila belum tersedia persamaan alometrik yang sesuai dengan kondisi biogeografis yang bersangkutan.

Standar ini menetapkan metode penyusunan persamaan alometrik pohon dalam rangka pendugaan biomassa pohon di atas permukaan tanah untuk pohon sejenis (mono species) maupun campuran (mixed species). Selain itu, SNI lainnya yang relevan untuk digunakan sebagai penunjang untuk mengukur capaian adalah SNI 7645: 2010 tentang klasifikasi penutup lahan, yang disiapkan oleh Panitia Teknis lainnya di bawah koordinasi Bakosurtanal, dan dilakukan penyesuaian dengan kategorisasi penutupan lahan dan perubahan penutupan lahan menurut IPCC.
Selanjutnya, dalam upaya mitigasi di sektor energi telah dilakukan upaya dengan mengeluarkan berbagai peraturan, misalnya:
•   Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang membebaskan/memberikan keringanan bea masuk atas impor peralatan teknologi bersih
•   Undang-undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi 
•   Instruksi Presiden  No. 10/2005 tentang Penghematan Energi
•   Instruksi Presiden Nomor 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain
•   Peraturan Presiden No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
•   Peraturan Menteri ESDM Nomor 1122K/30/MEM/2002 tentang  Pembangkit Listrik Skala Kecil  dengan Menggunakan Energi Terbarukan (PSK Tersebar)
•   Peraturan Menteri ESDM Nomor 0002/2004 tentang Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan  Konservasi Energi (Pengembangan Energi Hijau)
•   Peraturan Menteri DESDM 0031/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penghematan Energi
•   Peraturan Menteri ESDM Nomor 002/2006 tentang Pengusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Terbarukan Skala Menengah
•   Monitoring emisi pencemaran udara untuk sektor industri yang telah dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup melalui program PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) dan sektor transportasi melalui program langit biru untuk uji emisi kendaraan bermotor.
•   Pelaksanaan Program Desa Energi Mandiri, yaitu program penyediaan sumber energi listrik seperti yang dilakukan di Subang dengan memanfaatkan tenaga air. Sampai dengan tahun 2006, hampir seluruh kota/kabupaten di Sulawesi Selatan membangun lebih dari 3.000 unit pembangkit listrik tenaga surya.
•   Pelaksanaan program Produksi Bersih dan Efisiensi Energi (CP-EE/Cleaner Production and Energy Efficiency) untuk Industri yang menggunakan energi intensif, seperti semen, besi  dan baja, pupuk, pulp dan kertas, tekstil, pembangkit listrik, dll.
•   Mengatur dan melarang impor barang-barang yang tidak ramah lingkungan.
•   Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 tahun 2007 tentang Baku Mutu Emisi Sumber tidak Bergerak bagi Ketel Uap.
dan lain lain.

Selanjutnya, beberapa ketentuan lain yang telah diletakkan sebagai institusi hukum yang terkait dengan pemanasan global seperti misalnya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi, UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 2007 tentang Panas Bumi, Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2007 tentang Perubahan Atas PP No. 35 tahun 2002 tentang Dana Reboisasi, PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, terakhir yang terbaru adalah UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Sejak UU No. 6/1996 tentang Pengesahan Konvensi Perubahan Iklim, telah memiliki pengertian tentang mitigasi,  namun peraturan/perundangan itu lahir setelah munculnya Konvensi Perubahan Iklim  peraturan/perundangan tersebut belum mengakomodasi secara memadai isu-isu perubahan iklim. Sebagai contoh: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24/ 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam UU 24/2007, tidak ada menggunakan kata ‘iklim’, apalagi ‘perubahan iklim’, artinya bencana yang dimaksud UU 24/2007, yaitu bencana umum, tidak spesifik mengenai ‘bencana terkait iklim’. Kemudian, Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, istilah ‘mitigasi‘ hanya dikaitkan dengan bencana, dan sama sekali tidak dikaitkan dengan dengan upaya pengurangan emisi GRK (dibawah pengertian UNFCCC). Sebagai efek negatif dari kesalah-pengertian tersebut, sebagian masyarakat kita ada yang mengangap bahwa laut kita mampu menyerap Karbon Dioksida, yang menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, di atmosfer secara sangat signifikan, dengan menggunakan istilah ‘mitigasi’ dalam UU No. 27/ 2007. 
Terhadap peraturan perundang-undangan yang diletakkan sebagai institusi hukum yang terkait dengan pemanasan global perlu dilakukan dinventarisasi dan melakukan telahaan hukum untuk merevisinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup yang dapat mengantisifasi dan beradaptasi pada perubahan iklim.
Pembaharuan terhadap UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan membentuk Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009) memasukkan masalah pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sebagai dasar menimbang keluarnya UU  No. 32/2009. Berdasarkan Pasal 1 angka (19) UU No. 32/2009, Perubahan Iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktifitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir segala global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramal pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.
Penyusunan peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 44 UU No. 32/2009, setiap penyusunan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini (UU No. 32/2009, pen).

IV.          Perubahan iklim memberi dampak terhadap berbagai sektor kehidupan. Perlu dilakukan proses review terhadap peraturan-perundangan yang ada sehingga peraturan-perundangan tersebut dapat mengakomodir isu perubahan iklim dengan baik dan pada akhirnya dapat mengarah kepada suatu sistem peraturan-perundangan yang benar-benar telah mempertimbangan isu perubahan iklim/pemanasan global dengan baik atau kita sebut sebagai suatu sistem hukum yang ‘climate smart’ atau ‘climate proof’.
Peraturan perundang-undangan menjadi jembatan (instrumen) dalam mewujudkan apa yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dam Pembukaan UUD 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.


Kepustakaan:
Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, Sofmedia.
Dadang Hilman, “Revitalisasi Peraturan Perundang-Undangan sebagai upaya strategik penanganan dampak perubahan iklim di Indonesia”, http://www.djpp.depkumham. go.id/hukum-lingkungan/701-revitalisasi-peraturan-perundangan-undangan-sebagai-upayastrategis-penanganan-dampak-perubahan-ikli.html.
Kementerian Lingkungan Hidup, “Rencana Aksi Nasional dalam menghadapi perubahan iklim”,  http://csoforum.net/attachments/023_RAN%20PI-Indonesia.pdf.
Kementerian Kehutanan, “RAN GRK: Seberapa jauh penyiapan perangkat untuk mengukur kontribusi kehutanan?, http://www.dephut.go.id/files/RAN-GRk%20Seberapa %20jauh%20penyiapan% 20perangkat%20untuk%20mengukur%20kon_2.pdf.


* disampaikan pada Musyawarah Besar Dewan Daerah Perubahan Iklim Sumatera Utara (DDPI – SU), Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Rabu, 12 Desember 2012, Hotel Madani, Jl. Amaliun No. 1 Medan.

** Guru Besar Hukum Pidana/Lingkungan Universitas Sumatera Utara.
              alviprofdr@usu.ac.id         alviprofdr@gmail.com      alviprofdr@yahoo.com

1 komentar: