PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI INSTRUMEN
STRATEGIS PENANGANAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA*
Oleh: Alvi Syahrin, Prof.Dr.MS.SH.**
I.
Indonesia
terletak pada posisi silang antara posisi silang antara dua benua dan dua
samudra dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi
alam yang tinggi nilainya. Disamping itu Indonesia mempunyai garis pantai
terpanjang ke dua di dunia dengan jumlah penduduk yang besar. Indonesia
mempunyai kekayaan keanekaragaman hanyati dan sumber daya alam yang melimpah.
Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi. (Penjelasan Umum
UUPPLH).
Indonesia juga berada pada posisi yang sangat
rentan terhadap perubahan iklim. Dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim
global bagi Indonesia, diantaranya meliputi turunnya produksi pangan,
terganggunya persediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta
penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan
punahnya keanekaragaman hayati.
Selanjutnya, perubahan iklim global tidak
terlepas dari keberadaan gas rumah kaca (GRK) di atmosfier Bumi yang diemisikan
atau berasal dari berbagai aktifitas manusia, tertutama pada kegiatan yang
memerlukan dan membakar bahan bakar fosil (minyak, gas bumi dll) dan kegiatan
yang menurunkan fungsi serap hutan (penebangan dan pembakaran lahan).
Strategi nasional dalam menghadapi perubahan
iklim perlu diarahkan pada pengembangan rekayasa sosial agar masyarakat dapat
mengalami perubahan secara terencana, sistematis dan menyeluruh yang dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan ekonomi, kelangsungan kehidupan sosial
budaya dan ekologi. Instrumen yang digunakan untuk melaksanakan perubahan
tersebut, diantaranya melalui hukum dengan membuat/melahirkan peraturan
perundangan-undangan yang mampu dan mengakomodasi secara memadai isu-isu
perubahan iklim.
II. Dampak
perubahan iklim, saat ini telah menyentuh berbagai kehidupan manusia dan perlu
penanganannya secara holisitik serta koordinasi yang baik diantara sektor.
Penanganan dampak perubahan iklim dalam kontek pembangunan memerlukan manajemen
resiko iklim secara optimal dan juga mengembangkan sistem pembangunan yang
tahan (mampu beradaptasi) terhadap dampak perubahan iklim jangka panjang.
Agenda
adaptasi perubahan iklim berfokus pada area yang rentan terhadap perubahan
iklim, diantaranya: sumber daya air, pertanian, perikanan, pesisir dan laut,
infrastruktur dan permukiman, kesehatan dan kehutanan, antara lain dengan cara
(Dadang Hilman):
1. Program pengurangan resiko bencana terkait
iklim melalui program penghutanan kembali, penghijauan terutama di kawasan
hutan, lahan kritis, baik di hulu maupun di hilir (kawasan pesisir) dengan
keterlibatan masyarakat;
2. Peningkatan kesadaran dan penyebarluasan
informasi perubahan iklim dan informasi adaptasi pada berbagai tingkat
masyarakat terutama untuk masyarakat yang rentan sebagai tindakan
kesiap-siagaan dini dan peningkatan kesadaran tentang bencana iklim yang
semakin meningkat;
3. Peningkatan kapasitas pengkajian ilmiah
tentang perubahan iklim dan dampaknya serta upaya pengendaliannya serta
mengembangkan model proyeksi perubahan iklim jangka pendek, menengah dan
panjang untuk skala lokal atau regional yang diperlukan untuk menilai
kerentanan terhadap iklim serta menyusun rencana strategis kebijakan adaptasi
terhadap perubahan iklim untuk jangka pendek, menengah dan panjang.
4.
Peninjauan kembali kebijakan-kebijakan inti
yang secara langsung maupun tidak langsung akan dipengaruhi oleh perubahan
iklim. Kemudian mengidentifikasi penyesuaian seperti apa yang harus dilakukan
terhadap program-program yang didesain dengan kebijakan-kebijakan itu dengan
mempertimbangan arah perubahan iklim dan kenaikan muka air laut serta perubahan
kondisi sosial ekonomi untuk mendapatkan kebijakan dan progrm yang lebih tahan
terhadap perubahan iklim.
5. Peningkatan kapasitas untuk mengintegrasikan
perubahan iklim dengan pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim ke dalam
perencanaan, perancangan infrastruktur, pengelolaan konflik, dan pembagian
kawasan air tanah untuk insitusi pengelolaan air.
6. Pengarus-utamaan adaptasi iklim ke dalam
kebijakan dan program di berbagai sektor dengan fokus kepada penanggulangan
bencana, pengelolaan sumber daya air, pertanian, kesehatan dan industri.
7.
Pengembangan isu perubahan iklim dalam
kurikulum sekolah menengah dan perguruan tinggi.
8. Pengembangan sistem pengamatan cuaca, iklim
dan hidrologi khususnya di luar Jawa dan peningkatan kapasitas BMG dalam
membuat ramalan cuaca dan iklim yang lebih akurat mencakup seluruh Indonesia.
9. Pengembangan sistem infrastuktur dan tata
ruang serta sektor-sektor yang tahan dan tanggap terhadap goncangan dan
perubahan iklim dan pengembangan serta penataan kembali tata ruang wilayah,
khususnya pada kawasan pantai.
Paraturan perundang-undangan yang terkait
dengan persoalan-persoalan yang muncul akibat perubahan iklim yang ada saat ini
belum mengakomodasi secara memadai mengenai isu-isu perubahan iklim, sehingga
perlu proses review peraturan perundang-undangan yang benar-benar
mempertimbangkan isu perubahan iklim secara benar.
III.
Indonesia
telah meratifikasi Konvensi Kerangka PBB mengenai Perubahan Iklim melalui
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework
Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa
Bangsa Mengenai Perubahan Iklim, kemudian meratifikasi Protokol Kyoto melalui
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan
Kyoto Protocol To The United
Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim). Ratifikasi tersebut memerlukan komitmen
serta usaha dan tindakan nyata yang menyeluruh, mencakup seluru sektor
pengemisi gas rumah kaca. Komitmen tesebut harus pula secara serentak
diterapkan dengan usaha perbaikan pemenuhan syarat kualitas hidup rakyat dan
kualitas lingkungan hidup, dan tecermin dalam pengelolaan sektor-sektor
produksi dan kosumsi prioritas untuk tindakan mitigasi dan adaptasi.
Kualitas kinerja pelaksanaan rencana aksi
nasional perubahan iklim ditentuka oleh konsistensi sistem pengelolaan
pengetahuan tentang permasalahan yang hendak dijawab lewat mitigasi dan
adaptasi yang mensyaratkan kesiapan
kelembagaan, dalam:
a. Pemanduan sistem pengetahuan tentang kecakupan
agenda mitigasi dan adaptasi portfolio cabang-cabang pemerintahan kunci.
b. Pemanduan model akutasi sosial yang digunakan
mengukur perubahan yang menyangkut variabel-variabel klimatik dan klimatik,
sebagai penyempurnaan dan pembaruan dari model penaksiran dan pemotretan
perubahan sosial ekonomik dan keuangan yang digunakan saat ini.
c. Adanya mekanisme penyelaras (clearing-house
mechanism) dalam penentuan dan pengukuran berbagai variabel klimatik dan
non-klimatik dalam tujuan, sasaran dan kinerja pelaksanaan program dari setiap
portfolio badan resmi yang bertanggungjawab. Mekanisme penyelaras tersebut akan
efektif jika dikaitkan dengan kapasitas koordinasi dari kopartemen Ekonomi
Keuangan dan Industri serta kompartemen Kesejahteraan Rakyat, lewat instrumen kebijakan
dan instrumen ekonomik yang jitu.
d. Adanya mekanisme fiskal dan pendanaan bagi
tindakan mitigasi dan adaptasi yang terpadu dalam struktur dan daur anggaran
keuangan publik.
e.
Dimungkinkannya cara berpartisipasi secara
penuh dan kreatif dari masyarakat, khususnya pada tataran komunitas dan
wilayah, dalam daur daur adaptasi serta mitigasi, melampaui praktek kelembagaan
dan sosial yang selama ini telah atau pernah dijalankan. Untuk itu perlu
dilaksanakan dengan model partisipasi masyarakat secara penuh dalam mempelajari
RAN-PI guna menghasilkan kesiapan adaptasi dalam menghadapi resiko dari dampak
dan kerentanan akibat perubahan iklim serta tingkat capaian mitigasi yang
memadai.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan mendukung
upaya mitigasi dan adaptasi dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim, antara
lain:
a. Pembuatan berbagai peraturan yang membentuk
dan mendukung budaya ramah lingkungan, dan penegakan hukum.
b. Ditetapkannya mekanisme teguran dan pinalti
terhadap pemerintah daerah yang mengabaikan peraturan-peraturan nasional
mengenai konservasi lingkungan hidup termasuk konservasi lahan.
c. Memasukkan pendidikan pelestarian fungsi
lingkungan hidup dan sumber daya alam ke dalam kurikulum pendidikan nasional.
d.
Himbauan kepada perusahaan-perusahaan asing
yang menanamkan modalnya di Indonesia agar menghindari polusi yang dapat
mencemari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
e. Pemantauan emisi yang dihasilkan dari kegiatan
penggunaan energi dan perubahan tata guna lahan serta kehutanan (LULUC F
- Land-Use, Land Use Change and Forestry).
f.
Pengembangan kelembagaan untuk penyusunan
inventarisasi gas rumah kaca pada tingkat daerah dan nasional.
g. Pemantauan perubahan tempratur, kenaikan muka
air laut, erosi air laut, tinggi gelombang dan kondisi-kondisi iklim ekstrim.
h.
Penguatan kapasitas pemantauan yang sudah
dimiliki oleh Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) dan Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG).
i. Transfer teknologi bersih termasuk low carbon
technology dan teknologi adaptasi yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik
iklim Indonesia.
Dalam rangka melaksanakan LULUC-F, penataan
ruang menjadi hal yang penting dan harus didasarkan pada keseimbangan ekosistem
dan daya dukung serta daya tampung
lingkungan perlu segera dilaksanakan
dengan tertib. Dengan demikian tidak ada kegiatankegiatan yang saling tumpang
tindih dan mendesak fungsi kawasan hutan.
Konsistensi terhadap penataan ruang yang telah disepakati bersama tersebut, perlu dijaga dan diawasi oleh segenap pemangku kepentingan.
Perlu dilakukan penyerasian peta kawasan hutan
dengan rencana pengembangan wilayah,
rencana perluasan lahan pertanian dengan BPN, serta dengan memperhatikan Undang-Undang
Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, kriteria kawasan lindung menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan undang-undang tentang
tata ruang yang mengatur kawasan lindung
dan kawasan budidaya, Undang-undang No
41 tahun 1999 tentang Kehutanan, serta pemekaran wilayah, demikian juga dengan pengembangan pertambangan
dan perluasan lahan pertanian. Dengan
demikian tidak terjadi tumpang tindih peraturan
yang menyebabkan terdesaknya kawasan hutan untuk berbagai kepentingan. Dan juga
perlu dilakukan pemetaan geohidrologis, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan penentuan kriteria daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam penataruangan.
Selanjutnya, Presiden Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan
Presiden No. 61 tahun 2011 tentang
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang merupakan dokumen kerja yang berisi upaya-upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Peraturan Presiden
ini telah diikuti dengan terbitnya
Peraturan Presiden No. 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional
Menurut Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011
tentang RAN-GRK, tanggungjawab Kementerian Kehutanan dalam penurunan emisi GRK
berada dalam kelompok bidang kehutanan dan lahan gambut. Rencana aksi yang akan
dilakukan terbagi kedalam dua kategori yakni kegiatan inti dan kegiatan
pendukung.
Kegiatan inti penurunan emisi gas rumah kaca
dari sektor kehutanan periode 2010-2014 meliputi:
1. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) dengan indikasi penurunan emisi 31,15 juta ton CO2e
2. Perencanaan pemanfaatan dan peningkatan
usaha kawasan hutan dengan target 24,32 juta ton CO2e.
3. Pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan
3,67 juta ton CO2e.
4. Pengukuhan kawasan hutan 123,41 juta ton
CO2e
5. Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan
lahan, dan reklamasi hutan di DAS prioritas 91,75 juta ton CO2e
6. Pengembangan perhutanan sosial 100,93 juta
ton CO2e
7. Pengendalian kebakaran hutan 21,77 juta ton
CO2e
8. Penyidikan dan pengamanan hutan 2,30 juta ton CO2e
9. Pengembangan kawasan konservasi, ekosistem esensial dan pembinaan hutan lindung 91,27
juta ton CO2e
10. Peningkatan usaha hutan tanaman 110,10
juta ton CO2e.
Sedangkan untuk kegiatan pendukung akan
meliputi: 1. Pengendalian penggunaan kawasan hutan di luar kegiatan kehutanan, 2.
Inventarisasi dan pemantauan sumber daya hutan (SDH), 3. Penelitian dan pengembangan kebijakan
perubahan iklim kehutanan.
Sesuai Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 Pasal 4 (1) c, penghitungan emisi dan serapan
GRK termasuk simpanan karbon dilakukan dengan menggunakan faktor emisi dan
faktor serapan lokal. Lebih lanjut mengacu pada Pasal 8 (1) c, Kementerian
Kehutanan bertugas mengembangkan metodologi inventarisasi dan faktor emisi atau
serapan GRK berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan. Untuk mendukung hal
tersebut, Pusat Standardisasi dan Lingkungan telah menyiapkan perangkat
penunjang berupa Standard Nasional Indonesia (SNI) Pengukuran Karbon Hutan di
Lapangan (Ground-based forest carbon accounting) dan SNI Penyusunan Persamaan
Alometrik untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan berdasarkan Pengukuran
Lapangan (Ground-based forest carbon accounting) sebagai berikut:
1. SNI 7724: 2011 (Pengukuran dan penghitungan
cadangan karbon–pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan)
memberikan panduan untuk pengukuran lapangan
dan penghitungan cadangan karbon pada lima pool karbon untuk mendukung
monitoring perubahan cadangan karbon dengan tingkat kerincian (Tier) 3. Standar
ini diterapkan pada semua tipe hutan, namun pengukuran cadangan karbon pada
serasah hutan mangrove tidak dilakukan karena serasah tersebut mungkin berasal
dari luar area.
2. SNI 7725: 2011 (Penyusunan persamaan
alometrik untuk mendukung penaksiran cadangan karbon hutan berdasar pengukuran
lapangan) menyediakan panduan untuk menyusun persamaan alometrik, yang
diperlukan di dalam penggunaan standar untuk pengukuran karbon di lapangan guna
menaksir cadangan karbon hutan, apabila belum tersedia persamaan alometrik yang
sesuai dengan kondisi biogeografis yang bersangkutan.
Standar ini menetapkan metode penyusunan
persamaan alometrik pohon dalam rangka pendugaan biomassa pohon di atas
permukaan tanah untuk pohon sejenis (mono species) maupun campuran (mixed
species). Selain itu, SNI lainnya yang relevan untuk digunakan sebagai
penunjang untuk mengukur capaian adalah SNI 7645: 2010 tentang klasifikasi
penutup lahan, yang disiapkan oleh Panitia Teknis lainnya di bawah koordinasi
Bakosurtanal, dan dilakukan penyesuaian dengan kategorisasi penutupan lahan dan
perubahan penutupan lahan menurut IPCC.
Selanjutnya, dalam upaya mitigasi di sektor
energi telah dilakukan upaya dengan mengeluarkan berbagai peraturan, misalnya:
• Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang
membebaskan/memberikan keringanan bea masuk atas impor peralatan teknologi
bersih
• Undang-undang Nomor 30 tahun 2007 tentang
Energi
• Instruksi Presiden No. 10/2005 tentang Penghematan Energi
• Instruksi Presiden Nomor 1/2006 tentang
Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar
Lain
• Peraturan Presiden No. 5/2006 tentang
Kebijakan Energi Nasional
• Peraturan Menteri ESDM Nomor 1122K/30/MEM/2002
tentang Pembangkit Listrik Skala
Kecil dengan Menggunakan Energi
Terbarukan (PSK Tersebar)
• Peraturan Menteri ESDM Nomor 0002/2004 tentang
Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan
Konservasi Energi (Pengembangan Energi Hijau)
• Peraturan Menteri DESDM 0031/2005 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Penghematan Energi
• Peraturan Menteri ESDM Nomor 002/2006 tentang
Pengusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Terbarukan Skala Menengah
• Monitoring emisi pencemaran udara untuk sektor
industri yang telah dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup melalui program
PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) dan sektor transportasi
melalui program langit biru untuk uji emisi kendaraan bermotor.
• Pelaksanaan Program Desa Energi Mandiri, yaitu
program penyediaan sumber energi listrik seperti yang dilakukan di Subang
dengan memanfaatkan tenaga air. Sampai dengan tahun 2006, hampir seluruh
kota/kabupaten di Sulawesi Selatan membangun lebih dari 3.000 unit pembangkit
listrik tenaga surya.
• Pelaksanaan program Produksi Bersih dan
Efisiensi Energi (CP-EE/Cleaner Production and Energy Efficiency) untuk
Industri yang menggunakan energi intensif, seperti semen, besi dan baja, pupuk, pulp dan kertas, tekstil,
pembangkit listrik, dll.
• Mengatur dan melarang impor barang-barang yang
tidak ramah lingkungan.
• Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7
tahun 2007 tentang Baku Mutu Emisi Sumber tidak Bergerak bagi Ketel Uap.
dan lain lain.
Selanjutnya, beberapa ketentuan lain yang telah diletakkan sebagai
institusi hukum yang terkait dengan pemanasan global seperti misalnya UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 26
tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi, UU 27
tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Peraturan
Pemerintah No. 59 tahun 2007 tentang Panas Bumi, Peraturan Pemerintah No. 58
tahun 2007 tentang Perubahan Atas PP No. 35 tahun 2002 tentang Dana Reboisasi,
PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, terakhir yang terbaru adalah UU No. 18 tahun
2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Sejak UU No. 6/1996 tentang Pengesahan Konvensi Perubahan Iklim,
telah memiliki pengertian tentang mitigasi, namun peraturan/perundangan itu lahir setelah
munculnya Konvensi Perubahan Iklim peraturan/perundangan tersebut belum
mengakomodasi secara memadai isu-isu perubahan iklim. Sebagai contoh: Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24/ 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam UU
24/2007, tidak ada menggunakan kata ‘iklim’, apalagi ‘perubahan iklim’, artinya
bencana yang dimaksud UU 24/2007, yaitu bencana umum, tidak spesifik mengenai
‘bencana terkait iklim’. Kemudian, Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, istilah ‘mitigasi‘ hanya
dikaitkan dengan bencana, dan sama sekali tidak dikaitkan dengan dengan upaya
pengurangan emisi GRK (dibawah pengertian UNFCCC). Sebagai efek negatif dari
kesalah-pengertian tersebut, sebagian masyarakat kita ada yang mengangap bahwa
laut kita mampu menyerap Karbon Dioksida, yang menjadi penyebab utama
terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, di atmosfer secara sangat
signifikan, dengan menggunakan istilah ‘mitigasi’ dalam UU No. 27/ 2007.
Terhadap peraturan perundang-undangan yang diletakkan sebagai
institusi hukum yang terkait dengan pemanasan global perlu dilakukan
dinventarisasi dan melakukan telahaan hukum untuk merevisinya sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan berbasis lingkungan hidup yang dapat mengantisifasi dan
beradaptasi pada perubahan iklim.
Pembaharuan terhadap UU No. 23/1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan membentuk Undang-Undang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009) memasukkan masalah pemanasan
global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sebagai dasar
menimbang keluarnya UU No. 32/2009. Berdasarkan
Pasal 1 angka (19) UU No. 32/2009, Perubahan Iklim adalah berubahnya iklim yang
diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktifitas manusia sehingga
menyebabkan perubahan komposisi atmosfir segala global dan selain itu juga
berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramal pada kurun waktu yang
dapat dibandingkan.
Penyusunan peraturan perundang-undangan
berbasis lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 44 UU No. 32/2009, setiap
penyusunan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib
memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini
(UU No. 32/2009, pen).
IV. Perubahan iklim memberi dampak terhadap berbagai
sektor kehidupan. Perlu dilakukan proses review terhadap peraturan-perundangan
yang ada sehingga peraturan-perundangan tersebut dapat mengakomodir isu
perubahan iklim dengan baik dan pada akhirnya dapat mengarah kepada suatu
sistem peraturan-perundangan yang benar-benar telah mempertimbangan isu
perubahan iklim/pemanasan global dengan baik atau kita sebut sebagai suatu
sistem hukum yang ‘climate smart’ atau ‘climate proof’.
Peraturan perundang-undangan menjadi
jembatan (instrumen) dalam mewujudkan apa yang dicita-citakan oleh bangsa
Indonesia sebagaimana yang tercantum dam Pembukaan UUD 1945, yaitu: melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kepustakaan:
Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum,
Sofmedia.
Dadang Hilman, “Revitalisasi Peraturan
Perundang-Undangan sebagai upaya strategik penanganan dampak perubahan iklim di
Indonesia”, http://www.djpp.depkumham.
go.id/hukum-lingkungan/701-revitalisasi-peraturan-perundangan-undangan-sebagai-upayastrategis-penanganan-dampak-perubahan-ikli.html.
Kementerian Lingkungan Hidup, “Rencana Aksi
Nasional dalam menghadapi perubahan iklim”, http://csoforum.net/attachments/023_RAN%20PI-Indonesia.pdf.
Kementerian Kehutanan, “RAN GRK: Seberapa jauh
penyiapan perangkat untuk mengukur kontribusi kehutanan?, http://www.dephut.go.id/files/RAN-GRk%20Seberapa %20jauh%20penyiapan% 20perangkat%20untuk%20mengukur%20kon_2.pdf.
* disampaikan pada Musyawarah Besar Dewan
Daerah Perubahan Iklim Sumatera Utara (DDPI – SU), Badan Lingkungan Hidup
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Rabu, 12 Desember 2012, Hotel Madani, Jl.
Amaliun No. 1 Medan.
** Guru Besar Hukum Pidana/Lingkungan
Universitas Sumatera Utara.
GOOD..........
BalasHapus