PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM PENERAPAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP
BAGI KASUS-KASUS PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
Oleh:
Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS.
Fadlielah Hasanah, SH. MH.
I. Hukum Pidana Indonesia, saat ini berorientasi pada “tiga masalah pokok”, yaitu ”tindak
pidana”, ”pertanggungjawaban pidana”, dan ”pidana dan pemidanaan”. Pembagian
permasalahan Hukum Pidana tersebut merefleksikan bahwa Hukum Pidana berdasarkan
pandangan dualistis, artinya: dipisahkannya antara “tindak pidana” dengan
“pertanggungjawaban pidana”. Pemisahan antara “tindak pidana” dan
“pertanggungjawaban pidana”, akan menjadikan adanya pemisahan mengenai
ketentuan tentang ”alasan pembenar” dan ”alasan pemaaf”. Alasan pembenar
ditempatkan dalam ”tindak pidana”, dan ”alasan pemaaf” ditempatkan
”Pertanggungjawaban Pidana”.
Pemisahan
“tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” menurut Barda Nawawi, di
samping merupakan refleksi dari pandangan dualistis juga sebagai refleksi dari
ide keseimbangan antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan
individu/perseorangan, keseimbangan antara ”perbuatan” (”daad”/actus reus”, sebagai faktor objektif”) dan ”orang” (”dader” atau ”mensrea”/guilty mind”, sebagai faktor subjektif), keseimbangan
antara kriteria formal dan material, keseimbangan kepastian hukum,
kelenturan/elastisitas/fleksibilitas dan keadilan; dan keseimbangan nilai-nilai
nasional dan nilai-nilai global/internasional/ universal. Dengan demikian, kita
tidak hanya berorientasi semata-mata pada pandangan mengenai hukum pidana yang
menitikberatkan pada ”perbuatan atau akibatnya” (Daadstrafrecht/Tatsrafrecht atau Erfolgstrafrecht) yang merupakan pengaruh dari aliran Klasik, namun
harus berorientasi/berpijak pada ”orang” atau ”kesalahan” orang yang melakukan
tindak pidana (Daadstrafrecht/
Tatsrafrecht/Schuldstrafrecht), yang merupakan
pengaruh dari aliran Modern.
Pertanggunganjawab
pidana merupakan diteruskannya celaan yang secara objektif ada pada tindak
pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, dan secara subjektif kepada
pembuat yang memenuhi syarat dalam Undang-Undang (pidana) untuk dapat dikenai
pidana karena perbuatannya. Dengan diteruskannya celaan yang objektif ada pada
tindak pidana berdasarkan ketentuan yang berlaku dan yang secara subjektif
kepada pelaku yang memenuhi syarat-syarat dalam Undang-Undang (pidana) untuk
dapat dipidana karena perbuatannya itu, maka timbullah hal pertanggungjawaban
pidana. Dalam hal pelaku dapat dicela dengan melakukan perbuatan yang dilarang,
maka ia dapat dipidana, dalam hal dapat dibuktikan kesalahannya, baik dalam
arti sengaja atau tidak karena kealpaannya.
Seseorang
dinyatakan “bersalah”, apabila ia dapat dicela dipandang dari sudut
kemasyarakatan, sebab ia dianggap semestinya dapat berbuat lain jika ia memang
tidak ingin berbuat demikian, sedang yang dimaksud dengan kesalahan ialah
keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan itu dalam hubungannya dengan
perbuatannya, dan hubungan itu sedemikian hingga ia dapat dicela atas perbuatan
tersebut. Apabila ia dapat dicela atas perbuatannya, maka ia dapat dipidana.
Asas kesalahan merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana. Namun
demikian, terdapat alasan-alasan lain sebagai alasan untuk tidak dipidananya seseorang
meskipun ia melakukan tindak pidana. Alasan-alasan tersebut berupa alasan
pemaaf, yakni ialah alasan yang
dihubungkan dengan kesalahan seseorang, sedang perbuatannya tetap merupakan
tindak pidana. Alasan-alasan pemaaf tersebut, diantaranya: a. tidak dapat
dipertanggungjawabkan pidana karena penyakit/gangguan jiwa; b. tidak mengetahui
adanya keadaan yang merupakan unsur tindak pidana; c. daya paksa; d. pembelaan
terpaksa melampaui batas; e. perintah jabatan yang tidak sah, yang dikira sah
oleh pelaku berdasarkan itikat baik.
Dasar
hukum ditiadakannya pidana, selain alasan pemaaf juga terdapat alasan pembenar,
yaitu alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum dari perbuatan yang
merupakan tindak pidana. Adanya alasan pembenar tersebut, maka perbuatan yang
pada kenyataannya merupakan tindak pidana, tidak lagi merupakan perbuatan yang
melawan hukum. Adapun yang menjadi alasan-alasan pembenar tersebut, yaitu: a.
Adanya peraturan perundang-undangna; b. Pelaksanaan perintah jabatanyang sah;
c. Keadaan darurat; d. Pembelaan terpaksa. Namun perlu juga diperhatikan mengenai
asas memberlakukannya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia bagi setiap orang yang penuntutannya diambil alih oleh Indonesia dari
negara asing berdasar suatu perjanjian yang memberikan kewenangan kepada
Indonesia untuk menuntut pidana. Asas ini sesuai dengan perkembangan dunia
modern, yaitu diadakannya perjanjian antar negara yang memungkinkan
negara-negara anggota/peserta untuk mengadili warganegara masing-masing dalam
hal tertentu. Pengaturan asas tersebut menjadikan hukum pidana Indonesia mengakui
ini adanya pembatasan-pembatasan oleh hukum internasional yang di akui, sebab
keberadaan dan kedudukan Republik Indonesia merupakan anggota masyarakat dunia (internasional).
II.
Laporan Akhir
Naskah Akademik KUHP yang disusun oleh Tim
BPHN tahun 2010, menyatakan pertanggungjawaban pidana, dalam RUU KUHP
bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan mono-dualistik, bahwa asas kesalahan
(asas culpabilitas) merupakan pasangan dari asas legalitas yang harus
dirumuskan secara eksplisit oleh UU. Secara eksplisit “asas tiada pidana tanpa
kesalahan” (geen straf
zonder schuld), yang di dalam
KUHP tidak ada. Dengan adanya asas ini, maka seseorang tidak boleh dipidana,
kecuali apabila ia terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana, baik secara
melakukan perbuatan (aktif) maupun tidak melakukan (pasif) yang diancam dengan
pidana dalam Undang-Undang. Seseorang dikatakan bersalah melakukan perbuatan
pidana, jika ia melakukannya dengan sengaja (dolus) atau karena alpa
(culpa) dengan segala jenisnya. Dapat dipidananya delik
culpa hanya bersifat perkecualian (eksepsional) apabila ditentukan secara tegas
oleh UU sedang pertanggungjawaban terhadap akibat tertentu dari suatu tindak
pidana yang oleh UU diperberat ancaman pidananya, hanya dikenakan kepada terdakwa
apabila ia sepatutnya-tidak dapat menduga kemungkinan terjadinya akibat itu
apabila sekurang-kurangnya ada kealpaan. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana
merupakan substansi yang penting dan beriringan dengan “pengaturan tindak pidana”.
Pertanggungjawaban
Pidana sebagai implementasi ide keseimbangan, menjadikan asas “tiada pidana
tanpa kesalahan” (asas
culpabilitas/asas “geen straf zonder schuld”) yang merupakan asas kemanusiaan, sebagai pasangan dari asas legalitas (Principle of Legality) yang merupakan asas kemasyarakatan. Kedua syarat
atau asas itu tidak memandang sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolut.
Dalam hal-hal tertentu dapat memberi kemungkinan untuk menerapkan asas “strict liability”, asas “vicarious
liability”, dan asas
“pemberian maaf atau pengampunan oleh hakim” (“rechterlijk pardon” atau “judicial pardon”).
Asas
“judicial pardon” dilatarbelakangi ide/pemikiran: a. menghindari
kekakuan/absolutisme pemidanaan; b. menyediakan “klep/katup pengaman” (“veiligheidsklep”); c. bentuk koreksi judisial terhadap asas legalitas (“judicial corrective to the legality principle”); d. pengimplementasian/pengintegrasian nilai atau
paradigma “hikmah kebijaksanaan” dalam Pancasila; e. pengimplementasian/pengintegrasian
“tujuan pemidanaan” ke dalam syarat pemidanaan (karena dalam memberikan
permaafan/pengampunan, hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan); f. jadi
syarat atau justifikasi pemidanaan tidak hanya didasarkan pada adanya “tindak pidana”
(asas legalitas) dan “kesalahan” (asas culpabilitas), tetapi juga pada “tujuan pemidanaan”.
Kewenangan hakim untuk memberi maaf (“rechterlijk
pardon”) dengan tidak menjatuhkan
sanksi pidana/tindakan apa pun, diimbangi pula dengan adanya asas “culpa in causa” (atau asas “actio libera in causa”) yang memberi kewenangan kepada hakim untuk tetap
mempertanggungjawabkan si pelaku tindak pidana walaupun ada alasan penghapus
pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas terjadinya keadaan yang
menjadi alasan penghapus pidana tersebut. Jadi kewenangan hakim untuk memaafkan
(tidak memidana) diimbangi dengan kewenangan untuk tetap memidana sekalipun ada
alasan penghapus pidana.
Dalam
kerangka pertanggungjawaban pidana ini di samping pertanggungjawaban pidana
dari manusia alamiah (natural
person), secara umum
diatur pula pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal responsibility) yang diantarannya didasarkan pada Teori Identifikasi,
mengingat semakin meningkatnya peranan korporasi dalam tindak pidana baik dalam
bentuk “crime by
corporation” maupun dalam
bentuk “corporate
criminal”, yang menguntungkan
korporasi. Pertanggungjawaban pidana yang didasarkan pada kesalahan terutama
dibatasi pada perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus). Dapat dipidanaanya
delik culpa hanya bersifat pengecualian (eksepsional) apabila ditentukan secara
tegas oleh Undang-Undang. Sedangkan pertanggungjawaban terhadap akibat-akibat
tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh Undang-Undang diperberat ancaman
pidananya, hanya dikenakan kepada terdakwa apabila ia sepatutnya sudah dapat
menduga kemungkinan terjadinya akibat itu, apabila sekurang-kurangnya ada kealpaan.
Jadi tidak menganut doktrin menanggung akibat secara murni, namun tetap diorientasikan
pada asas kesalahan.
III.
Perlu disadari bahwa
korporasi bukan hanya sebagai suatu entitas fiksi belaka, namun perbuatan
(usaha yang dilaksanakannya) sesuatu yang nyata dan dapat menyebabkan kerugian
yang signifikan terhadap individu dan masyarakat luas. Korporasi
bukan sesuatu yang fiktif, mereka sangat kuat dan nyata serta dalam
kenyataannya dapat mengakibatkan kerugian bagi individu dan masyarakat luas.
Korporasi secara hukum diakui memiliki aset (harta), dapat membuat kontrak,
menggugat, menuntut bahkan memiliki hak konstitusional. Korporasi dapat
melakukan pelanggaran hukum dalam melaksanakan bisnisnya, seperti: menyuap,
pelanggaran anti trust, menyebabkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan
dan lain-lain merupakan bagian dari strategi bisnisnya atau standar prosedur
dari operasi korporasi tersebut dalam hal untuk mendapatkan keuntungan bagi
korporasi. Penjatuhan hukuman bagi korporasi merupakan konsekuensi dari
pelanggaran hukum yang dilakukannya yang menyebabkan kerugian terhadap individu
maupun masyarakat luas serta ketidakmampuan korporasi dalam mencegah terjadinya
pelanggaran hukum dimaksud dan korporasi mendapat keuntungan atas pelanggaran
hukum tersebut.
Penegakan hukum dan
biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum
yang dilakukan korporasi yang menyebabkan kerugian individu dan masyarakat luas
menjadi beban keuangan negara, yang seyogianya biaya tersebut dapat digunakan
untuk membiayai dana pendidikan, kesehatan dan meningkatkan kesejahteraan
sosial masyarakat. Contohnya, pemerintah harus mengeluarkan biaya yang besar
dalam penegakan hukum untuk mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan, perlindungan terhadap konsumen guna kesehatan masyarakat, memerangi
narkoba.
Perkembangan pemikiran dapat
dimintainya pertanggungjawaban pidana bagi korporasi mengalami perkembangan.
Pertanggungjawaban pidana saat ini, diotorisasi lebih dari satu dasar untuk
meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, baik
berdasarkan pertanggungjawaban atas respondeat superior maupun pertanggungjawaban
atas kesalahan organisasi secara keseluruhan. Mengintegrasikan
pertanggungjawaban pidana berdasarkan respondeat superior dan kesalahan
organisasi korporasi berarti pertanggungjawaban pidana korporasi dapat
berdasarkan atas dasar prilaku individu karyawan korporasi atau berdasarkan
kegagalan korporasi dalam menjalankan organisasionalnya atau korporasi belum
mengambil langkah-langkah yang memadai dalam mencegah terjadinya tindak pidana.
Korporasi juga dapat diminta pertanggungjawaban pidana atas tindakan atau
kelalaian yang dilakukan oleh "perwakilannya". "Perwakilan"
korporasi termasuk para karyawan, para agen atau kontraktor serta dari beberapa
perwakilan secara bersama-sama sehingga terwujud suatu tindak pidana.
Terhadap tindak pidana
yang pertanggungjawaban pidananya mensyaratkan adanya mens rea dari
pelakunya, menjadikan suatu korporasi dapat
dimintai pertanggungjawaban dalam hal perbuatan dilakukan maupun adanya keterlibatan
dari karyawan pada level tinggi (senior official). Hal ini sejalan
dengan perluasan pertanggungjawaban pidana korporasi atas perbuatan para
karyawannya termasuk memperluas pengertian dari orang/karyawan pada level
tinggi (senior official) yang
dianggap sebagai yang mengarahkan pikiran (directing mind) termasuk
orang atau karyawan yang memainkan peran penting
dalam pembentukan kebijakan organisasi atau bertanggungjawab untuk mengelola
jalannya kegiatan operasional korporasi.
Selanjutnya, korporasi juga dimintai pertanggungjawaban dalam hal terjadinya
pembiaran termasuk kegagalan seorang pejabat senior (senior official)
untuk mengambil langkah-langkah pencegahan karena mengetahui bahwa seseorang
wakil dari perusahaan (karyawannya) itu akan melakukan pelanggaran.
Dengan demikian, dimintakannya pertanggungjawaban pidana bagi
korporasi tidak hanya didasarkan kepada keadaan mental (mens rea) tetapi
dilihat dari perilaku korporasi. Perilaku korporasi dapat berupa kelalaian yang
terjadi dalam hal secara keseluruhan (dalam hal ini dengan menghimpun tingkah
laku karyawan, agen atau pejabat) menyebabkan terjadinya tindak pidana, atau
manajemen memperlihatkan tindakan yang tidak memadai atau gagal menyediakan
sistem yang layak untuk memastikan informasi yang akan diterima para karyawan
yang melaksanakan operasional/jalannya korporasi sehingga menyebabkan
terjadinya tindak pidana, karena korporasi dianggap sebagai
"mendorong", "mengarahkan", "mentoleransi atau
menyebabkan ketidak patuhan" terjadinya tindak pidana.
Pertanggungjawaban
pidana
korporasi, setidak-tidaknya di bagi dalam beberapa bentuk, yaitu: pengurus
korporasi sebagai pembuat penguruslah yang bertanggungjawab, korporasi sebagai
pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, korporasi sebagai pembuat,
korporasi yang bertanggungjawab, korporasi dan pengurus yang berbuat korporasi
dan pengurus yang bertanggungjawab.
Menentukan pertanggungjawaban
korporasi merupakan hal yang sulit bagi aparat penegak hukum. Aparatur penegak
hukum dalam meminta pertanggungjawaban korporasi perlu memperhatikan apakah
korporasi dalam menjalankan usahanya telah gagal melakukan tugas kewajibannya,
apakah korporasi tersebut melakukan pelanggaran terhadap gangguan publik, dan
apakah sanksi pidana yang dijatuhkan akan mencapai antara tujuan hukum pidana
dan inefesiensi sosial ekonomi yang dihasilkan dari aplikasi pertanggungjawaban
pidana korporasi.
Tindak pidana korporasi menjadi ultra
vires yang menghambat kemajuan hukum pidana, sebab selalu diperdebatkan
bahwa mens rea diperlukan, pengenaan kewajiban menjadi sasaran
identifikasi dari korporasi yang melakukan tindak pidana. Artinya, unsur mens
rea dan actus reus harus timbul dari pelaku tindak pidana, dan
pelaku harus masuk ke dalam orang-orang yang mengarahkan pikiran (directing
mind) atau otak atau pengendali karyawan (officers) korporasi. Memaksakan
tanggungjawab pidana kepada korporasi harus secara individualistis, artinya
perusahaan bertanggungjawab jika dan hanya jika pelanggaran dapat dikaitkan
dengan petugas pengendalian dan tidak sebaliknya. Ketentuan ini berasal dari
prinsip atribusi atau identifikasi. Konsep ini mengandung kelemahan, yaitu:
bagaimana mengidentifikasi adanya mens rea secara individual dalam hal
kesalahan terpenuhi secara kolektif atau secara kumulatif dari para pelaku,
atau pelaku bukanlah seorang individu yang bertugas sebagai pengendali
perusahaan.
Kesulitan lain yang dihadapi
aparatur penegak hukum dalam meminta pertanggungjawaban korporasi terkait
dengan perusahaan multinasional yang berskala besar yang berada di bawah
manajer profesional, sehingga pemilik perusahaan atau para pengurus
tidak/jarang memainkan peran pengawasan yang berarti terhadap karyawan dalam
pengelolaan perusahaan. Dalam hal ini, menjadikan kejaksaan (penuntut
umum) selalu mengarahkan pertanggungjawaban tersebut kepada individu karyawan,
bukan kepada perusahaan.
Pertanggungjawaban pidana korporasi
pada rezim hukum di Amerika Serikat mengacu kepada konsep vicarious
liability dalam hal tindak pidana terjadi atas perbuatan karyawan
korporasi. Karyawan yang melakukan perbuatan tersebut haruslah individu yang:
bertindak dalam lingkup dan pekerjaannya, bertindak setidaknya sebagian untuk
mendapatkan keuntungan korporasi, dan bertindak dengan tindakan dan niat yang
dapat diperhitungkan oleh korporasi. Artinya, untuk dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, perbuatan tersebut haruslah
dilakukan oleh karyawan yang memiliki kewenangan atau secara aktual terlibat
dalam tindakan tersebut. Korporasi juga tetap bertanggungjawab atas tindakan
karyawan walaupun perusahaan secara eksplisit melarang perbuatan tersebut oleh karena
perusahaan berkewajiban untuk melaksanakan pengawasan atas tindakan
karyawannya.
Korporasi bertanggunggung jawab
secara pidana atas perilaku karyawannya jika adanya kewajiban untuk melakukan
pencegahan baik secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana yang
ditentukan oleh undang-undang, atau adanya toleransi yang dilakukan direksi
atau para manager/karyawan pada level tinggi (senior official) yang
bertindak atas nama korporasi dalam lingkup tugas-tugasnya. Namun demikian,
jika perbuatan tersebut secara tegas merugikan korporasi atau pelanggaran
terhadap kewajiban-kewajiban yang ditetapkan korporasi, maka korporasi dapat
mengajukan adanya alasan pemaaf yang menghapuskan unsur kesalahan. Dengan
demikian, korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam hal
diabaikannya persyaratan atau kewajiban-kewajiban hukum yang harus dilakukan
oleh korporasi.
Pertanggungjawaban pidana korporasi
juga terkait dengan perbuatan: a. yang dilakukan oleh orang-orang yang
bertanggungjawab dalam menjalankan operasional korporasi, kecuali korporasi
dapat mengajukan argumen bahwa pelanggaran tersebut dilakukan tanpa
sepengetahuan dan bukan hal yang menguntungkan korporasi; b. yang dilakukan
"dengan persetujuan diam-diam" atau "dari" atau "disebabkan"
adanya pengabaian dari direksi, manajer, sektetaris atau petugas korporasi
lainnya yang bertanggungjawab atas kepengurusan korporasi tersebut.
Selanjutnya, direksi, manajer, sektetaris atau petugas korporasi lainnya yang
bertanggungjawab atas kepengurusan korporasi juga dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana secara individu atas perbuatan yang dilakukannya,
namun demikian, jika perbuatan yang dilakukan oleh direksi, manajer, sektetaris
atau petugas korporasi lainnya yang bertanggungjawab atas kepengurusan
korporasi bukan sebagai tindakan untuk melakukan pengendalian atau pengurusan
korporasi dan korporasi tidak mendapatkan keuntungan atas perbuatan tersebut,
korporasi dapat mengajukan alasan pemaaf atas ketiadaan kesalahan.
Korporasi dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang
bertanggungjawab dalam operasional korporasi. Korporasi dapat mengajukan alasan
pemaaf untuk menghapus kesalahan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang
yang bertanggungjawab dalam operasional korporasi tersebut dengan mengajukan
argumentasi bahwa perbuatan tersebut merupakan pelanggaran terhadap
kewajiban-kewajiban yang ditetapkan korporasi sehingga korporasi mengalami
kerugian atas tindakan tersebut dan korporasi tidak mendapat keuntungan atas
perbuatan tersebut. Sehingga jika korporasi telah melakukan tindakan yang wajar
dalam mengendalikan perilaku karyawannya untuk melaksanakan apa yang diwajibkan
oleh hukum, korporasi dapat mengajukan alasan pemaaf tiadanya kesalahan.
IV. Karyawan korporasi
yang melakukan tindak pidana dalam lingkup kewenangannya dan perbuatan tersebut
menguntungkan korporasi, menyebabkan korporasi dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan karyawannya tersebut.
Karyawan dianggap bertindak dalam lingkup pekerjaannya, apabila ia memiliki
atau di beri wewenang untuk melakukan perbuatan tersebut, termasuk dalam hal
pihak ketiga mengakui (menyakini) bahwa perbuatan karyawan itu merupakan
perbuatan yang telah mendapat kewenangan dari korporasi atas dasar kontrak
(perjanjian) yang dibuat. Penentuan kewenangan nyata
karyawan berpusat pada fungsi yang didelagasikan kepada karyawan dan tindakan
tersebut termasuk dalam menjalankan fungsi korporasi, artinya tindakan yang
dilakukan oleh karyawan dianggap merupakan tindakan pekerjaan si karyawan.
Bahkan korporasi juga dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana dalam hal karyawannya melakukan tindak pidana dan
tindak pidana tersebut juga pelanggaran terhadap kebijakan korporasi, melanggar
instruksi dari supervisor atau panduan kebijakan. Dapat dimintakannya
pertanggungjawaban pidana korporasi atas perbuatan tersebut oleh karena
korporasi tidak melaksanakan pengawasan secara baik dan korporasi mendapat
keuntungan dari perbuatan karyawan tersebut.
Korporasi mendapat
keuntungan atas tindak pidana yang dilakukan oleh karyawannya apabila karyawan
melakukan tindak pidana dengan tujuan menguntungkan korporasi. Dalam hal
tindakan karyawan tersebut tidak menguntungkan korporasi dan korporasi
mengalami kerugian atas tindakan karyawan tersebut, maka tindakan karyawan itu
merupakan tindakan individu si karyawan dan ia bertanggungjawab secara
individual (pribadi). Namun, dalam hal karyawan melakukan tindak pidana untuk
kepentingan pribadi yaitu agar dapat cepat naik pangkat (mendapat promosi
jabatan), korporasi masih bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, oleh karena
korporasi juga akan mendapat keuntungan dari perbuatan (tindakan) karyawan
tersebut, sebab promosi karyawan dilakukan sebagai bentuk kesuksesan yang diterima
oleh korporasi. Artinya, selama karyawan berniat untuk menguntungkan korporasi
atau korporasi diuntungkan (mendapat
keuntungan) secara tidak langsung maka korporasi tetap dianggap telah menerima
keuntungan.
Korporasi tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana, apabila karyawan telah melanggar
kepercayaan yang diberikan korporasi kepadanya (breach of fiduciary of duty),
oleh karena pelanggaran terhadap breach of fiduciary of duty yang
dilakukan karyawan tidak menguntungkan bahkan
menimbulkan kerugian bagi korporasi. Tindakan karyawan merupakan perbuatan
melanggar hukum dan korporasi tidak mengetahuinya serta perusahaan tidak
mendapat keuntungan bahkan mengalami kerugian. Artinya, korporasi tidak
memiliki pengetahuan atau kondisi yang diperlukan untuk menimbulkan
pertanggungjawaban pidana atas perbuatan (tindakan) yang dilakukan oleh
karyawan tersebut, karena perbuatan karyawan untuk kepentingan pribadinya
dan/atau kepentingan pihak lain, bukan untuk kepentingan korporasi.
Korporasi juga dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana atas tindakan yang dilakukan oleh para karyawan
walaupun para setiap karyawan tersebut tidak secara utuh melakukan tindak
pidana, namun atas tindakan seluruh karyawan itu jika disatukan akan
menimbulkan tindak pidana. Dapat dimintakannya pertanggungjawaban pidana
korporasi atas tindak pidana yang dilakukan para karyawannya tersebut, di
bangun dari "collective knowledge doctrine". Doktrin ini
menyatakan dengan cara mengumpulkan pengetahuan semua karyawan korporasi akan
ditemukan fakta yang secara kolektif mengarah kepada adanya pelanggaran (tindak
pidana), sebab korporasi dalam memberikan kewenangan kepada karyawannya
adakalanya dengan mengkotak-kotakan pengetahuan, membagi semua elemen kewajiban
dan pelaksanaan dalam komponen yang lebih kecil.
Berdasarkan collective
knowledge doctrine, korporasi tidak dapat melepaskan diri dari
pertanggungjawaban pidana dengan alasan atas ketidaktahuannya atau tidak
memeiliki pengetahuan secara menyeluruh atas tindakan setiap para karyawannya,
sebab korporasi harus memiliki pengetahuan secara menyeluruh atas proses kerja
yang dilaksanakan oleh para karyawannya untuk mencapai tujuan korporasi.
Selanjutnya, korporasi juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam hal
korporasi mengabaikan tindakan yang dilakukan oleh karyawan sehinggal
menimbulkan suatu pelanggaran (tindak pidana), oleh karena jika dilakukan
pengawasan oleh orang yang memiliki fungsi pengawasan di korporasi guna
mempertanyakan legalitas dari perbuatan yang dicurigai akan menimbulkan
pelanggaran (tindak pidana), maka korporasi dianggap memiliki pengetahuan atas
pelanggaran (tindak pidana) tersebut. Hal ini dibangun dari willful
blindness doctrine, yang menyatakan seseorang yang dengan sengaja tanpa
mencari tahu lebih lanjut (mengabaikan) timbulnya tindak pidana sedangkan ia
mempunyai posisi sebagai pengawas dan memiliki pengetahuan atas pelanggaran
(tindak pidana) tersebut.
Korporasi dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan karyawannya,
termasuk agen di luar korporasi yang bertindak untuk korporasi tersebut. Para
karyawan korporasi termasuk agen tersebut bertindak dalam lingkup wewenangnya
dan bertindak untuk tujuan menguntungkan korporasi, antara lain: a. pejabat
eksekutif dan direksi (executive officers and directors); b. manejer
non-eksekutif dan pengawas (non-executive managers and supervisors); c.
karyawan tingkat rendah (low-level, menial employees); dan d. kontraktor
independen (independent contractors).
V.
Karyawan
korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi atas tindak pidana yang
dilakukan dalam lingkup pekerjaannya,
dalam hal karyawan tersebut: a. merupakan pelaku langsung dalam tindak pidana,
b. bertanggungjawab berdasarkan theory of accomplice liability; c.
bersekongkol untuk melakukan tindak pidana atas nama korporasi; dan d.
dilimpahkan kepada pejabat korporasi yang memiliki posisi yang berhubungan
dengan tindak pidana tersebut.
Karyawan yang
merupakan pelaku langsung tindak pidana, bertanggungjawab karena terlibat
secara aktif dan langsung dalam tindak pidana, serta tidak dapat melepaskan
diri dari pertanggungjawaban pidana hanya dengan cara mengklaim bahwa perbuatan
tersebut dilakukan di dalam lingkup pekerjaannya. Misalnya, karyawan dengan
sengaja melakukan penggelapan atau pemalsuan informasi mengenai properti yang
dimiliki perusahaan, hal ini mengindikasikan bahwa karyawan tersebut telah
terlibat secara langsung dalam tindak pidana, baik dengan cara membantu dan
bersekongkol atau menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana.
Berdasarkan theory of accomplice liability, karyawan dapat di mintakan
pertanggungjawaban pidana meskipun ia tidak terlibat dalam tindak pidana secara
langsung dan meskipun tindak pidana
dilakukan oleh teman kerjanya berdasarkan instruksi yang diberikannya.
Instruksi yang diberikannya tersebut menjadi bukti bagi karyawan tersebut untuk dimintai pertanggungjawaban.
Theory of accomplice
liability
dapat diperluas untuk menjangkau pengawas yang mengetahui tapi memilih untuk
mengabaikan perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya. Dengan kata lain, omisi
atau kelalaian yang disengaja atas tindakan bawahannya dapat menimbulkan
tanggungjawab pidana kepada si pengawas. Berdasarkan teori ini, pengawas
memiliki kewajiban untuk mengambil tindakan untuk memperbaiki apabila ia
mengetahui terjadinya tindak pidana yang dilakukan bawahannya.
Karyawan yang terlibat
dalam konspirasi melakukan tindak pidana dalam korporasi, dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana secara individu. Konspirasi terjadi apabila dua atau
lebih orang sepakat untuk melakukan suatu tindak pidana, dan salah satu dari
mereka mengambil tindakan afirmatif untuk mencapai tujuan konspirasi. Dalam
skema yang melibatkan komplotan dengan peran terpisah, jaksa penuntut umum
tidak perlu membuktikan bahwa ada interaksi antara para komplotan satu sama
lain. Jaksa penuntut umum juga tidak perlu membuktikan apakah masing-masing
anggota komplotan mengetahui detil dari perjanjian atau bertindak langsung
dalam tindak pidana, atau menyetujui perjanjian pada saat yang sama, atau
mengetahui semua kegiatan masing-masing anggota dalam perjanjian. Namun
demikian, asosiasi atau komunikasi antara anggota dalam suatu konspirasi tidak
cukup untuk membuktikan partisipasi mereka secara nyata. Tidak pula pengetahuan
mereka atas objek, tujuan, atau keberadaan konspirasi. Jaksa penuntu umum perlu
membuktikan bahwa terdakwa memiliki niat yang disengaja, dan memiliki tujuan
yang dilakukannya secara sadar. Sebagai contoh, seorang pejabat (pengurus)
korporasi melakukan pemberian informasi yang tidak benar atas kualifikasi
perusahaannya, sehingga perusahaannya dapat mengikuti kompitisi dalam pengadaan
barang dan jasa. Ia mengembangkan skema dimana ia dan terdakwa lainnya, secara
bersama-sama, menyetujui siapa penerima kontrak pemerintah. Hal ini berarti,
pejabat korporasi tersebut melakukan konspirasi yang dianggap sebagai
menghalangi pemerintah untuk mencari perusahaan jasa yang lain secara
kompetitif. Untuk itu Jaksa penuntut umum perlu membuktikan adanya konspirasi
yang dilakukan dengan sengaja atau dilakukan secara sadar oleh pejabat
korporasi yang bersangkutan.
Pertanggungjawaban
pidana bagi pejabat korporasi yang berada dalam posisi penanggungjawab
(pengurus korporasi) berdasarkan Responsible Corporate Officer Doctrine (RCO) dan Strict
Liability, ditegaskan bahwa pejabat perusahaan dapat bertanggungjawab atas
tindak pidana korporasi, meskipun ia tidak mengetahui adanya tindak pidana
tersebut, oleh karena karena posisinya dalam perusahaan memiliki kewajiban
untuk mengambil tindakan untuk memastikan bahwa pelanggaran tersebut tidak akan
terjadi. Pejabat korporasi dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas
tindak pidana korporasi selama pejabat itu memiliki wewenang untuk mencegah
terjadinya pelanggaran atau untuk memperbaiki
keadaan. Pertanggungjawaban pidana
terhadap pejabat tersebut tidak perlu memperhatikan (dibuktikan lagi) adanya mens
rea, sebab mens rea telah terbukti karena pejabat tersebut telah
melanggar kewajibannya tersebut.
Seorang karyawan
korporasi bertanggungjawab pribadi atas tindak pidana yang dilakukannya jika ia
merupakan pelaku langsung, menginstruksikan, membantu, menyediakan, mendorong,
atau bekerja sama dengan karyawan atau bawahan lainnya untuk melakukan satu
tindak pidana. Pejabat korporasi juga bertanggungjawab berdasarkan Doktrin RCO
jika ia berada dalam posisi yang berkewajiban untuk mencegah tindak pidana, dan
berdasarkan doktrin ini tidak perlu lagi
dibuktikan adanya mens rea dalam tindak pidana yang berlangsung. Dengan demikian,
pengenaan pertanggungjawaban pidana pribadi pada karyawan (pejabat
korporasi) untuk kesalahan korporasi
harus terbatas pada situasi: a.ada alasan kebijakan publik yang menarik untuk
melakukannya (misalnya, dalam hal potensi bahaya publik yang signifikan yang
mungkin disebabkan oleh adanya kegiatan koporasi); b.kewajiban korporasi tidak
mungkin sendiri untuk cukup mempromosikan kepatuhan; dan c. wajar dalam semua keadaan karyawan
(pejabat korporasi) untuk bertanggung jawab dengan memperhatikan faktor:
i.kewajiban pada korporasi; ii. karyawan (pejabat korporasi) memiliki kapasitas
untuk mempengaruhi perilaku korporasi dan iii. langkah-langkah yang wajar yang
diambil untuk memastikan kepatuhan perusahaan sesuai kewajiban yang diatur
dalam undang-undang. Selanjutnya,
karyawan (pejabat korporasi) a. telah mendorong atau membantu dalam terjadinya
pelanggaran (tindak pidana) ; atau b.
telah lalai atau ceroboh dalam kaitannya dengan mengelola (menjalankan) korporasi .
VI. Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), berbunyi:
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk,
atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan
kepada:
a. badan
usaha; dan/atau
b. orang
yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang
bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau
berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha,
sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak
pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara
sendiri atau bersama-sama.
Penjelasan Pasal 116 UUPPLH:
Cukup jelas.
Ketentuan
Pasal 116 UUPPLH
mengatur tentang pertanggungjawaban pidana dalam hal tindak pidana dilakukan
oleh, untuk dan atas nama badan usaha. Sehubungan dengan pertanggungjawaban
pidana harus jelas terlebih dahulu mengenai siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan. Artinya, harus terlebih dahulu dipastikan siapa yang
dinyatakan sebagai pembuat tindak pidana tersebut. Mengenai siapa yang
dinyatakan sebagai pembuat tindak pidana (subjek tindak pidana) pada umumnya
sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang.
Memperhatikan ketentuan Pasal 116
UUPPLH dan penjelasannya, tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha. Jika diuraikan bahwa pelaku tindak pidana lingkungan
berdasarkan Pasal 116 UUPPLH, yaitu:
1. dilakukan oleh badan usaha;
2. dilakukan untuk badan usaha;
3. dilakukan atas nama badan usaha;
4. dilakukan oleh badan usaha yang dilakukan oleh
orang yang berdasarkan hubungan kerja yang bertindak dalam lingkup kerja
badan usaha;
5. dilakukan oleh badan usaha yang dilakukan oleh
orang berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan
usaha;
6. dilakukan untuk badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja yang bertindak dalam
lingkup kerja badan usaha;
7. dilakukan untuk badan usaha yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup
kerja badan usaha;
8. dilakukan atas nama badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja yang bertindak dalam
lingkup kerja badan usaha;
9. dilakukan atas nama badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam
lingkup kerja badan usaha.
Oleh badan usaha berarti badan usaha sebagai
pelaku, badan usaha dalam hal ini sebagai pelaku pasif, sedangkan pelaku
aktifnya seperti: para pengurus badan usaha atau para manejer badan usaha
melakuan perbuatan tersebut oleh karena jabatannya.
Untuk badan usaha berarti badan usaha dinyatakan
sebagai pelaku oleh karena badan usaha menerima tindak pidana tersebut sebagai
suatu perbuatan sesuai dengan tujuan, maksud atau badan usaha menerima
perbuatan tersebut yang dilakukan oleh para pengurus badan usaha atau para
manejer badan usaha.
Atas nama badan usaha berarti badan usaha sebagai
pelaku oleh karena perbuatan itu dilakukan oleh para pengurus badan usaha atau
para manejernya badan usaha. Badan usaha mendapatkan manfaat keuntungan atas
perbuatan yang dilakukan oleh para pengurus badan usaha atau para majener badan
usaha.
Badan
usaha sebagai pelaku tindak pidana lingkungan walaupun perlu diterapkan dengan
memperhatikan kasus per kasus (kasuistis) sesuai dengan sifat kekhasan tindak
pidana tertentu yang bisa berupa tindak pidana fungsional yang lebih bersifat
administratif dan tindak pidana non-fungsional yang lebih bersifat fisik, perlu
juga dipedomani atau memperhatikan bahwa:
1. perbuatan dari perorangan dapat
dibebankan kepada badan usaha, apabila perbuatan-perbuatan tersebut tercermin
dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan-perbuatan badan usaha;
2. apabila sifat dan tujuan dari
pengaturan telah menunjukkan indikasi untuk pembuat pidana, untuk pembuktian
akhir pembuat pidana, di sampaing apakah perbuatan tersebut sesuai dengan
tujuan statuta (anggaran dasar dan anggaran rumah tangga) dari badan usaha dan
atau sesuai dengan kebijaksanaan badan usaha, dalam arti tindakan atau
perbuatan tersebut sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan dari badan usaha;
3. perbuatan yang terlarang yang
untuk mempertanggung jawabkannya dibebankan kepada badan usaha dilakukan dalam
rangka pelaksanaan tugas dan atau pencapaian tujuan-tujuan badan usaha
tersebut;
4. perbuatan pengurus badan usaha
dianggap sebagai perbuatan badan usaha itu sendiri dalam hal pengurus badan
usaha mempunyai kewenangan atau kekuasaan dalam hal (untuk) menentukan apakah
perbuatan itu dilakukan atau tidak, dan perbuatan itu harus merupakan bagian
dari perbuatan-perbuatan yang menurut kenyataan diterima atau lazimnya diterima
oleh badan usaha. Syarat kekuasaan (machtsvereiste)
mencakup: wewenang mengatur/menguasai dan atau memerintah pihak yang dalam
kenyataan melakukan tindak pidana lingkungan; mampu melaksanakan wewenangnya
dan pada dasarnya mampu mengambil keputusan-keputusan tentang hal bersangkutan;
dan mampu mengupayakan kebijakan atau tindakan pengamanan dalam rangka mencegah
dilakukannya tindak pidana lingkungan. Selanjutnya, syarat penerimaan atau
akseptasi (aanvaardingsvereiste)
terjadi apabila ada kaitan erat antara proses pengambilan atau pembentukan
keputusan di badan usaha dengan tindak pidana lingkungan yang dilakukan
termasuk juga adanya kemampuan pengawasan secara cukup. Dengan demikian,
perbuatan karyawan badan usaha hanya akan dipertimbangkan sebagai perbuatan
pimpinan korporasi, apabila: a. perbuatannya dalam kerangka kewenangannya untuk
menentukan pegawai tersebut untuk berbuat; dan b. perbuatan karyawan masuk
dalam kategori perbuatan yang accepted
oleh badan usaha dalam kerangka bisnis yang normal.
5. Kesengajaan badan usaha terjadi
dalam hal kesengajaan itu pada kenyataannya tercakup dalam politik atau tujuan
badan usaha, atau berada dalam kegiatan yang nyata dari badan usaha tersebut.
Kesengajaan badan usaha juga bisa timbul dalam hal kesengajaan dari perorangan (natuurlijk persoon) yang berbuat atas
nama badan usaha;
6. Kesengajaan suatu organ dari
badan usaha dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam hal tertentu,
kesengajaan dari seorang bawahan bahkan dari orang/pihak ketiga, dapat
mengkibatkan kesengajaan badan usaha. Artinya, tidak hanya tindakan sengaja
fungsionaris pimpinan badan usaha yang dapat diatribusikan pada badan usaha,
tetapi juga termasuk tindakan pegawai/karyawan rendahan.
7. Pertanggungjawaban pidana juga
bergantung kepada organisasi internal dalam badan usaha dan cara bagaimana
pertanggungjawaban dibagi, demikian juga halnya dengan kealpaan;
8. Pengetahuan bersama dari
sebagian besar anggota direksi atau pengurus badan usaha dapat dianggap sebagai
kesengajaan badan usaha, bahkan sampai kepada kesengajaan berinsyaf (sadar
akan) kemungkinan atau opzet bij
mogelijkheidsbewustzijn atau dolus
evantualis.
VI.
Ketentuan Pasal 116
UUPPLH berikut penjelasannya, tidak ada menjelaskan frasa “berdasarkan hubungan
kerja” dan frasa “berdasarkan hubungan lain”, sehingga diperlukan penafsiran
hukum terhadap frasa tersebut. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, yang dimaksud dengan
orang “yang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain”
menunjukkan ada dua kelompok orang, yaitu pertama: “orang-orang berdasarkan
hubungan kerja” dan yang kedua: “orang-orang berdasarkan hubungan lain”.
Hubungan yang dimaksud dalam kedua frasa tersebut harus ditafsirkan sebagai
“hubungan dengan korporasi yang bersangkutan”. “Orang-orang berdasarkan
hubungan kerja” adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja sebagai
pengurus atau pegawai, yaitu: a. berdasarkan anggaran dasar dan perubahannya,
b. berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai dan perjanjian kerja dengan
korporasi, c. berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai, atau d. berdasarkan
“perjanjian kerja sebagai pegawai”. Sedangkan “orang-orang berdasarkan hubungan
lain” adalah orang-orang yang memiliki hubungan lain selain hubungan kerja
dengan korporasi. Mereka antara lain yang mewakili korporasi untuk melakukan
perbuatan hukum untuk dan atas ama korporasi berdasarkan: a. Pemberian kuasa;
b. berdasarkan perjanjian dengan pemberian kuasa (pemberian kuasa bukan
diberikan dengan surat kuasa tersendiri, tetapi dicantumkan dalam perjanjian
itu sehingga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tersebut),
atau c. berdasarkan pendelegasian wewenang.
Walaupun
sudah diketahui pelaku tindak pidana dalam UUPPLH yaitu: a. badan usaha, b. orang yang berdasarkan hubungan kerja
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, atau c. orang yang berdasarkan hubungan kerja yang bertindak dalam lingkup
kerja badan usaha, namun dalam kenyataannya untuk memastikan siapa sebagai
pembuat tidaklah mudah. Demikian juga, setelah pembuat ditentukan, hal lain
yang muncul yaitu bagaimana selanjutnya mengenai pertanggungjawaban pidananya.
Masalah pertanggungjawaban pidana ini merupakan segi lain dari subjek tindak
pidana yang dapat dibedakan dari masalah si pembuat atau yang melakukan tindak
pidana, dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.
Secara umum, yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban yaitu si pembuat, namun tidaklah selalu demikian terlebih
dalam hal pertanggungjawaban korporasi (dibaca: badan usaha) dalam hukum
pidana. Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana tergantung juga pada
cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban yang ditempuh oleh pembuat
undang-undang.
Model pertanggungjawaban pidana
korporasi di lihat dari kedudukan sebagai pembuat dan sifat
pertanggungjawabannya, dapat disebutkan sebagai berikut: a. Pengurus korporasi
sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, b. Korporasi sebagai
pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab, dan c. Korporasi sebagai pembuat
juga sebagai yang bertanggungjawab. Oleh Sutan Remy Sjahdeini ditambah satu
model lagi, yaitu: Korporasi dan pengurus sebagai pembuat, maka korporasi dan
penguruslah yang bertanggungjawab.
Berdasarkan Pasal 116 ayat (1)
UUPPLH, dalam hal tindak pidana dilakukan oleh,
untuk dan atas nama badan usaha, yang dapat dituntut dan dijatuhkan hukuman,
yaitu:
1. Badan usaha dan orang yang
memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan;
2. Badan usaha dan orang yang bertindak
sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana lingkungan;
3. Badan
usaha;
4. Orang
yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan;
5. Orang
yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana;
Berdasarkan
Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, dalam hal tindak pidana dilakukan oleh, untuk dan
atas nama badan usaha dan tindak pidana itu dilakukan oleh orang yang
berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain, yang dapat dituntut dan
dijatuhkan hukuman, yaitu:
1. Pemberi
perintah dalam tindak pidana lingkungan tanpa
memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama;
2. Pemimpin
dalam tindak pidana lingkungan tanpa
memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Rumusan
Pasal 116 UUPPLH mencantumkan frasa “orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana” dan “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
tindak pidana” namun penjelasan Pasal 116 UUPPLH tidak ada memberikan
penjelasan terhadap makna tersebut.
Frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan
tindak pidana” dan “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana” sebagaimana tercantum dalam Pasal 116 UUPPLH merupakan sebagai orang
yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Penjelasan
Pasal 116 UUPPLH menyatakan: “cukup jelas”, sehingga perlu penafsiran untuk
mengetahui maksud dari frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan
tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin”. Pasal 116 UUPPLH,
merumuskan: “... jika tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, untuk atau atas
nama badan usaha maka tuntutan pidana dan sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada
... orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana”, maka “orang
yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” diartikan sebagai orang
yang bertugas menjalankan dan melaksanakan “pengurusan” badan usaha. Dengan
kata lain, frasa “orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana” dalam pertanggungjawaban pidana badan usaha adalah untuk
mengungkapkan tanggungjawab pengurus atau fungsionaris dari badan usaha.
Artinya frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana”
sebagaimana dalam Pasal 116 UUPPLH, menunjuk
kepada pertanggungjawaban pidana pengurus badan usaha secara individual.
Pengurus badan usaha dapat dimintakan pertanggungjawab pidana secara
individual, apabila tindak pidana lingkungan hidup
dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha.
Ketentuan
Pasal 116 ayat (1) UUPPLH membuka kemungkinan apabila suatu badan usaha
melakukan perbuatan pidana, tidak hanya yang dituntut badan usahanya saja,
tetapi juga orang yang telah memerintahkan kejadian tersebut dan orang yang
memimpin sendiri secara nyata perbuatan yang dilarang. Artinya, pengurus
sebagai pemberi perintah dan/atau pemimpin tindakan nyata dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh badan usaha.
Pengurus
badan usaha dapat dalam keadaan “sebagai orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana”, atau pengurus badan usaha dapat dalam keadaan
“sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana”.
Artinya, keadaan seorang pengurus badan usaha yang bisa dalam keadaan sebagai
pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa dalam keadaan
sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana.
Keadaan
seorang pengurus “sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan
juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana” akan menyebabkan pengurus tersebut dapat dituntut dua kali. Menuntut
pengurus sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai
orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana, akan bertentangan dengan rasa keadilan dan
juga asas ne bis in idem akan menjadi
penghalang untuk menuntut dua kali orang (pengurus) yang sama dalam keadaan
berbeda-beda (“sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga
bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana”), artinya terhadap pengurus
tersebut cukup di pilih keadaan sebagai pemberi perintah untuk melakukan
tindak pidana atau keadaan sebagai
orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana.
Seseorang
yang dalam fungsinya sebagai pengurus dalam organisasi badan usaha harus
melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya tindakan terlarang, namun ia tidak
melakukannya, ia tidak kehilangan posisi
kepemimpinannya dalam konteks memberi arahan bagi tindakan badan usaha (yang secara faktual perbuatan itu dilakukan
oleh pegawai lain). Dalam kondisi ini orang tersebut dapat juga dikatakan
sebagai orang memimpin. Seseorang juga
dapat dikatakan sebagai secara faktual meminpin dalam tindak pidana badan
usaha/korporasi jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana yang bersangkutan,
namun ia tidak mengambil langkah-langkah untuk mencegah perbuatan yang
terlarang dan secara menerima keadaan terjadinya perbuatan yang dilarang
tersebut.
Rumusan
Pasal 116 ayat (1) huruf b dan Pasal 116 ayat (2) menggunakan kata/frasa “atau”
diantara frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana”
dengan frasa “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana” merupakan penegasan untuk mencegah dituntutnya dua kali seorang
pengurus atas satu tindak pidana lingkungan yang terjadi.
Menurut
Remmelink, di dalam praktek yang dimaksud sebagai “yang memberi perintah” atau
“yang memimpin” adalah para pengurus. Seseorang dapat dikatakan secara faktual
memimpin dilakukannya tindak pidana korporasi (di baca badan usaha) jika ia
mengetahui terjadinya tindak pidana tersebut, atau secara faktual dikatakan ada
perbuatan memimpin tindak pidana yang terjadi apabila pejabat yang bersangkutan
tidak mengambil langkah-langkah apapun untuk mencegah dilakukannya perbuatan
terlarang oleh para pegawainya, sekalipun ia berwenang untuk melakukan hal itu
dan secara dapat melakukan pencegahan dimaksud, dan bahkan secara sadar ia
membiarkan perbuatan terlarang itu terlaksana sekalipun ada kesempatan untuk
melakukan pencegahan terlaksananya perbuatan terlarang tersebut.
Pengurus
korporasi/badan usaha merupakan individu-individu yang mempunyai kedudukan atau
kekuasaan sosial, setidaknya dalam lingkup perusahaan tempat mereka bekerja.
Mereka-mereka yang dapat dikategorikan sebagai pengurus badan usaha yaitu:
1) mereka yang menurut anggaran dasarnya secara
formal menjalankan pengurusan badan usaha;
2) mereka
yang sekalipun menurut anggaran dasar badan usaha bukan pengurus, tetapi secara
resmi memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan yang mengikat badan
usaha secara hukum berdasarkan:
a) pengangkatan
oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan dengan pemberian kewenangan untuk
mengambil keputusan sendiri dalam batas ruang lingkup tugas dan kewajiban yang
melekat pada jabatannya itu untuk dapat melakukan perbuatan hukum mengikat
badan usaha, atau
b) pemberian
kuasa oleh pengurus atau mereka sebagaimana dimaksud a) untuk dapat melakukan
perbuatan yang secara hukum mengikat badan usaha.
3) oleh
orang lain yang diperintahkan oleh mereka yang disebut dalam huruf 1) dan 2),
untuk melakukan atau menjalankan pengurusan badan usaha.
Pengurus
merupakan organ korporasi (dibaca: badan usaha) yang menjalankan kepengurusan
korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang
dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan
korporasi/badan usaha yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Dengan
demikian, setiap individu yang ditunjuk sebagai memiliki tanggung jawab
organisasi atau operasional untuk spesifik perilaku atau yang memiliki
kewajiban untuk mencegah, suatu pelanggaran oleh badan usaha dalam hal ini
melaksanakan kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 68 UUPPLH dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana atas terjadinya tindak pidana lingkungan.
VII.
Pasal 117 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH), berbunyi:
“Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau
pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b,
ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat
dengan sepertiga.”
Penjelasan Pasal 117
UUPPLH:
Cukup jelas.
Ketentuan Pasal 117 UUPPLH,
menetapkan bahwa terhadap orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana lingkungan atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak
pidana lingkungan yang dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, ancaman pidana berupa penjara dan denda
diperberat dengan sepertiga. Orang
yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan atau orang yang
bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana yaitu mereka-mereka yang
merupakan atau sebagai pengurus dari
badan usaha tersebut.
Pengurus badan usaha yang menjalankan
kepengurusan badan usaha yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar.
Pengurus badan usaha termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki
kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan atau perbuatan badan usaha yang dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Setiap individu yang ditunjuk dan memiliki tanggung jawab organisasional
atau operasional untuk spesifik perilaku, atau yang memiliki kewajiban untuk
mencegah suatu pelanggaran oleh badan usaha yaitu melaksanakan kewajiban untuk
melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur
dalam Pasal 68 UUPPLH, dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas
terjadinya tindak pidana lingkungan.
Seseorang yang dalam fungsinya sebagai
pengurus dalam organisasi badan usaha harus melakukan tindakan untuk mencegah
terjadinya tindakan terlarang, namun ia tidak melakukannya, ia tidak kehilangan posisi kepemimpinannya dalam konteks memberi
arahan bagi tindakan badan usaha (yang
secara faktual perbuatan itu dilakukan oleh pegawai lain). Dalam kondisi ini
orang tersebut dapat juga dikatakan sebagai orang memimpin. Seseorang juga
dapat dikatakan sebagai secara faktual meminpin dalam tindak pidana badan
usaha/korporasi jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana yang bersangkutan,
namun ia tidak mengambil langkah-langkah untuk mencegah perbuatan yang
terlarang dan secara menerima keadaan terjadinya perbuatan yang dilarang
tersebut.
Mencermati rumusan Pasal 117 UUPPLH yang menetapkan bahwa
ancaman pidana kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana diperberat
dengan sepertiga, maka yang dituntut dan
dijatuhi hukuman adalah pengurus. Pengurus badan usaha berdasarkan Pasal
117 UUPPLH dituntut dan dijatuhi hukum berdasarkan pertanggungjawabannya secara
pribadi atau merupakan tanggungjawab
individual dari pengurus tersebut. Artinya, jika Jaksa Penuntut Umum
mendakwakan seseorang pengurus badan usaha dengan menghubungkan (men-juncto-kan) Pasal 117 UUPPLH dalam surat
dakwaan, maka yang didakwakan adalah
pribadi pengurus (sebagai pertanggungjawaban individual dari pengurus badan
usaha tersebut). Ancaman hukuman yang dijatuhkan kepada pengurus (sebagai
pertanggungjawaban individual) yaitu berupa penjara dan denda.
Ancaman pidana terhadap
pengurus badan usaha, misalnya terhadap melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud Pasal 98 ayat (1) UUPPLH, berupa ancaman pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh tahun) dan denda paling sedikit Rp.
3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah), maka ancaman pidana yang dijatuhkan terhadap pengurus
badan usaha menjadi pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 13 tahun 4 (empat) bulan dan
denda paling sedikit Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah) dan paling
banyak Rp. 13.333.333.333,33 (tiga belas milyar tiga ratus tiga puluh tiga juta
tiga ratus tiga puluh ribu tiga ratus tiga puluh tiga rupiah tiga puluh tiga
sen). Demikian seterusnya untuk tidak pidana lain yang dilakukan pengurus badan
usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (2), ayat (3) UUPPLH, Pasal 99
ayat (1), ayat (2), ayat (3) UUPPLH, Pasal 100 UUPPLH sampai dengan Pasal 109
UUPPLH, Pasal 113 UUPPLH sampai dengan Pasal 115 UUPPLH.
Ketentuan
Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UPPLH), berbunyi:
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf
a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar
pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Penjelasan
Pasal 118 UUPPLH, berbunyi:
Yang dimaksud
dengan pelaku fungsional dalam Pasal ini adalah badan usaha dan badan hukum.
Tuntutan
pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan hukum karena
tindak pidana badan usaha dan badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka yang
memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik
tersebut.
Yang
dimaksud dengan menerima tindakan dalam Pasal ini termasuk menyetujui,
membiarkan, atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku
fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana
tersebut.
Memperhatikan rumusan dan Penjelasan Pasal 118
UUPPLH, tersebut di atas, ada yang menafsirkan bahwa dalam hal terjadi tindak pidana
lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, maka yang
dikenakan tuntutan dan sanksi pidana adalah pimpinan atau pengurus badan usaha,
sedangkan terhadap badan usahanya tidak dapat dikenakan kepada badan usaha
tersebut.
Pendapat tersebut di atas, tidak tepat, oleh karena jika
diperhatikan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH, berbunyi:
“(1)
Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama
badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a.
badan usaha; dan/atau
b.
orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana tersebut”.
Huruf a dari Pasal 116 ayat (1) UUPPLH, ada kata “dan/atau”. Kata
“dan/atau” tersebut menggambarkan bahwa jika di gunakan kata “dan” maka
tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha dan b.
orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang
yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Artinya,
Badan Usaha dapat di tutut pidana dan dijatuhi pidana.
Ketentuan Pasal 118 UUPPLH, sebenarnya mempertegas bahwa badan
usaha dapat di tuntut dan dijatuhi pidana. Selanjutnya adanya kata “yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili
di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
selaku pelaku fungsional” adalah untuk menegaskan bahwa badan usaha pada waktu
dituntut di pengadilan, yang mewakilinya adalah pengurus yang berwenang mewakili
di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan
Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), berbunyi:
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini,
terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib
berupa:
a. perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tindak pidana;
b.
penutupan seluruh atau sebagian tempat
usaha dan/atau kegiatan;
c.
perbaikan akibat tindak pidana;
d.
pewajiban mengerjakan
apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau penempatan
perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Penjelasan
Pasl 119 UUPPLH:
Cukup
jelas.
Mencermati
ketentuan Pasal 119 UUPPLH, sanksi pidana tambahan atau tindakan tata tertib
dijatuhkan kepada badan usaha. Badan usaha disini sebagai pelaku tindak pidana.
Sanksi tindakan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 119 UUPPLH hanya
bersifat komplemen atau pelengkap yakni tidak ada ada bedanya dengan sanksi
pidana tambahan yang bersifat fakultatif. Hal tersebut dapat di simak dari
adanya kata “dapat” dalam rumusan Pasal 119 UUPPLH tersebut.
Kata
“dapat” dalam Pasal 119 UUPPLH menunjukkan legislator (pembuat undang-undang)
memberi kebebasan bagi hakim yang memutuskan perkara tersebut untuk menjatuhkan
jenis sanksi tindakan atau tidak terhadap terdakwa. Selanjutnya, berdasarkan
ketentuan Pasal 119 UUPPLH, sanksi pidana tambahan atau tindakan hanya
dikenakan terhadap badan usaha, hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 119
UUPPLH yang menyebutkan: “Selain pidana sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau
tindakan tata tertib berupa ...”.
Sanksi
tindakan merupakan sanksi dalam hukum pidana yang bersifat antisifatif bukan
reaktif terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat determinisme[1] dalam
ragam bentuk sanksi yang dinamis dan spesifikasi bukan penderitaan fisik atau
perampasan kemerdekaan, dengan tujuan untuk memulihkan keadaan tertentu bagi
pelaku maupun korban.
Memperhatikan
sanksi pidana yang ada dalam Pasal 98 UUPPLH sampai dengan Pasal 111 UUPPLH,
Pasal 113 UUPPLH sampai dengan Pasal 115 UUPPLH yang mengenakan sanksi pidana
penjara dan denda serta Pasal 119 UUPPLH yang dapat memberikan hukuman tambahan
kepada badan usaha, maka hukuman bagi badan usaha yang melakukan tindak pidana,
hanya berupa sanksi pidana denda dan dapat ditambah dengan sanksi pidana
tambahan atau tindakan tata tertib. Dengan demikian, dalam hal surat dakwaan
yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum men-juncto-kan
Pasal 118 UUPPLH dalam surat dakwaannya, dan ia (Jaksa Penuntut Umum) juga akan
menuntut agar badan usaha juga dijatuhkan hukuman berupa pidana tambahan atau
tata tertib, maka jaksa penuntut umum perlu juga men-juncto-kan Pasal 119 UUPPLH dalam surat dakwaannya.
Pasal
120 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH), berbunyi:
(1)
Dalam melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi.
(2)
Dalam melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang untuk mengelola
badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan
di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
Ketentuan Pasal 120 UUPPLH mengatur mengenai tata
cara melaksanakan eksekusi terhadap badan usaha, dalam hal badan usaha tersebut
dijatuhkan pidana tambahan atau tindakan tata tertib.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 120 ayat (1) UUPPLH, dalam hal badan usaha dijatuhkan pidana
tambahan atau tindakan tata tertib berupa perampasan keuntungan yang diperoleh
dari tindakan pidana, dan atau penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan
atau kegiatan, dan atau perbaikan akibat tindak pidana, dan atau pewajiban
mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, maka pelaksanaan eksekusinya jaksa
berkoordinasi dengan instansi yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Instansi yang bertanggungjawab di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelelolaan lingkungan
hidup, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 120 ayat (2) UUPPLH, dalam hal badan usaha dijatuhkan pidana
tindakan tata tertib berupa penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling
lama 3 (tiga) tahun, maka pelaksanaan eksekusinya jaksa menyerahkan kepada
Pemerintah untuk mengelola badan usaha yang dijatuhkan sanksi penempatan di
bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Pemerintah berdasarkan ketentuan UUPPLH yaitu Pemerintah Pusat.
Ketentuan Pasal 1 angka (37) UUPPLH, berbunyi: Pemerintah Pusat, yang
selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
VI. Menarik untuk dikaji Putusan
Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor: 319/Pid/B/2013/PN.BB, tanggal 09 Juli
2013. Adapun kasusnya yaitu melakukan tindak pidana lingkungan hidup
menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana diatur dalam
Pasal 103 jo Pasal 59 jo Pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) atau
melakukan tindak pidana lingkungan hidup berupa dumping limbah dan/atau bahan
ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana diatur dalam Pasal 104 jo
Pasal 60 jo Pasal 116 ayat (1) huruf b UUPPLH.
Putusan
Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor: 319/Pid.B/2013/PN.BB tanggal 09 Juli
2013, amar putusannya, yaitu:
1.
Menyatakan terdakwa LJH Alias Mr L tersebut telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, orang yang
memberikan perintah untuk melakukan atau orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkunan hidup
tanpa izin;
2.
Menghukum terdakwa
oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan;
3.
Menetapkan hukuman
tersebut tidak usah dijalani oleh terdakwa kecuali di kemudian hari terdakwa
kembali melakukan tindak pidana lagi sebelum lampaunya masa percobaan selama 1
(satu) tahun;
4.
Menghukum pula kepada
terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp.5.000.000.- (lima juta rupiah) dengan
ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan hukuman
kurungan selama 4 (empat) bulan;
5.
Memerintahkan barang
bukti berupa:
a.
± 1000 m3 timbunan limbah B3 berupa abu batubara fly ash dan bottom ash) di areal pabrik PT. KJ pada koordinat S: 07°02'37,8" E:
107°34'47,4". Dirampas untuk
dimusnahkan;
b.
....
s/d
n. ...Tetap terlampir dalam berkas perkara.
6. Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
1.000.- (seribu rupiah).
Adapun yang menjadi
pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor:
319/Pid.B/2013/PN.BB tanggal 09 Juli 2013, yaitu:
1.
untuk
menyatakan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, maka perbuatan orang
tersebut haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur dari tindak pidana yang
didakwakan kepadanya. Dakwaan yang diajukan penuntut umum bersifat alternatif,
maka Majelis Hakim diberikan kewenangan untuk memilih dan menentukan dakwaan
pertama atau dakwaan kedua dari JPU yang dibuktikan dengan berdasar kepada
fakta-fakta hukum yang ada.
2.
Penuntut
Umum dalam dakwaan kedua telah mendakwa Terdakwa dengan Pasal 104 Jo Pasal
60 jo Pasal 116 Ayat (1) huruf b Undang-Undang RI No.32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang unsur-unsurnya
adalah sebagai berikut :
1.
Barang
siapa;
2.
Orang yang memberikan
perintah untuk melakukan atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa
izin
Unsur
Barang Siapa
Kata barang siapa
mempunyai pengertian umum yaitu siapa saja dalam hal ini mengacu kepada subyek
atau orang yang dapat diminta untuk bertanggung jawab atas kejadian sebagaimana
telah didakwakan. Dalam perkara a quo yang dimaksud dengan barang siapa tidak
lain adalah Terdakwa sendiri sebagaimana identitasnya tidak disangkalnya sejak
permulaan persidangan sebagai orang atau subyek hukum berdasarkan keterangan
saksi telah diajukan untuk diperiksa dan diadili perkaranya di persidangan.
Selama dalam
pemeriksaan perkara ini tidak ada bukti yang dapat menjadi dasar bagi terdakwa
untuk dinyatakan tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut, maka
dengan demikian tidak salah lagi bahwa barang siapa dalam perkara ini adalah
terdakwa JLH alias Mr L.
Unsur orang yang
memberikan perintah untuk melakukan atau orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan
hidup tanpa izin
Berdasarkan keterangan
saksi ahli dan Terdakwa serta barang bukti dalam perkara a quo, terdakwa LJH
als. MR. L adalah sebagai pendiri/ pemilik PT. KJ yang didirikan pada sekitar
Tahun 2009 berlokasi di Jalan T no. 27 KM 04 Banjaran Kabupaten Bandung yang
bergerak dalam bidang Industri Textile dengan kegiatan yang meliputi pencelupan
kain (Dyeing), menggunakan bahan baku berupa:
-
Air produksi;
-
Kain Grey ;
-
Obat Celup, soda dan
cuka;
- Obat penjernih air dan obat pengolahan limbah,
serta menggunakan energi batubara sebanyak 400 s/d 500 ton perhari yang berasal
dari PT. LP dan PT. BNS ;
Di dalam kegiatan
pencelupan tersebut dihasilkan limbah, yaitu:
1. Limbah Udara berupa Emisi dari Broiler
pembakaran bahan bakar batubara ;
2. Limbah cair berupa air limbah dari sisa
pencelupan;
3. Limbah Padat berupa;
a. Limbah padat domestic ;
b. Limbah padat B3 berupa abu batubara (Fly ash dan bottom ash), Lumpur IPAL (Sludge) ;
Limbah tersebut
diketahui pula oleh terdakwa berbahaya bagi lingkungan hidup. Bahwa terhadap
pengolahan limbah cair dan limbah padat di PT. KJ pada saat dilakukan
pemeriksaan oleh petugas BPLH tidak sesuai dengan kriteria untuk pengolahan
limbah B3 menurut Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999, jo. Peraturan
Pemerintah No. 85 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Limbah Bahan berbahaya dan
beracun.
Limbah padat B3 berupa
abu batubara (Fly ash dan bottom ash), Lumpur IPAL (Sludge), sebagaimana nampak dapat
dilihat secara kasat mata berada di sebelah kiri depan dekat pintu masuk
perusahaan yang dijadikan penempatan sementara atas perintah Terdakwa sebelum
diangkut ke tempat pembuangan akhir disamping untuk menahan sementara luapan
air sungai yang berada di pinggir perusahan di kala banjir.
Bahwa Terdakwa selaku
Direktur Utama/Pendiri PT. KJ setelah
diperingati untuk tidak menempatkan limbah tersebut di tempat itu telah
melakukan pembenahan limbah tersebut
dengan cara: emisi dari pembakaran batu bara tersebut telah diolah dengan
menggunakan cerobong, sedang air limbah diolah dengan menggunakan Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL), limbah padat abu Batubara dilakukan pengolahan
melalui kerjasama dengan PT. S/GPHI;
Bahwa
pada saat ini sesuai dengan hasil pengujian yang dilakukan oleh petugas dari
BPLH Kabupaten Bandung di lokasi perusahaan PT. KJ yang dipimpin Terdakwa tidak
terdapat pencemaran lagi baik limbah cair maupun limbah padat dengan memperoleh
certificate.pengolahan
limbah GPHI;
3. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka unsur ini telah terpenuhi.
Dengan telah terpenuhinya semua unsur tersebut di atas, maka dengan demikian
terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum bagian kedua. Oleh karena Terdakwa
telah dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana dalam dakwaan Jaksa Penuntut
Umum bagian Kedua, maka terdakwa akan dijatuhi pidana.
4. Selama persidangan perkara ini
tidak ditemukan alasan pemaaf atau alasan pembenar yang menghapus
pertanggungjawaban terdakwa atas perbuatannya, oleh karenanya terdakwa harus
dijatuhi pidana atas perbuatannya tersebut.
Jaksa Penuntut Umum di hadapan
persidangan telah mengajukan dakwaan yang disusun secara alternative terhadap
Terdakwa, yakni: Pertama: perbuatan terdakwa
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 103 Jo Pasal 59 jo Pasal 116
Ayat (1) huruf b Undang-Undang RI No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, atau Kedua: Perbuatan terdakwa
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 104 Jo Pasal 60 jo Pasal 116
Ayat (1) huruf b Undang-Undang RI No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Atas surat dakwaan
tersebut, Jaksa Penuntut umum di
dalam Surat Tuntutan yang
dibacakan di dalam sidang pada hari Selasa, tanggal 25 Juni 2013, berpendapat
bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa dalam dakwaan kedua, yaitu
melanggar Pasal 104 Jo Pasal 60 jo Pasal 116 Ayat (1)
huruf b Undang-Undang RI No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup telah terbukti dan
memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan,
sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa LJH Alias Mr L bersalah melakukan
tindak Pidana “orang yang
memberikan perintah untuk melakukan atau orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam melakukan Dumping limbah dan/atau bahan ke media Lingkungan
hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 UU No. 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan Kedua;
2. Memerintahkan pidana terhadap terdakwa LJH Alias Mr. L dengan pidana penjara 10 (sepuluh) bulan dengan masa percobaan
selama 1 (satu) tahun dan denda sebanyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
subsidair 4 (empat) bulan kurungan;
3. Menyatakan barang bukti berupa
a. ± 1000 m3 timbunan limbah B3 berupa abu batubara fly
ash dan bottom ash) di areal pabrik PT. KJ pada koordinat S:
07°02'37,8" E: 107°34'47,4". Dirampas untuk dimusnahkan;
b. ...
s/d
n. ... Tetap terlampir dalam berkas perkara.
4. Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar
Rp.1.000,- (seribu rupiah) ;
Hal yang menarik untuk
dikaji atas Putusan Majelis
Hakim, yaitu:
1. Terdakwa LJH als Mr. L adalah
sebagai pendiri/pemilik PT KJ:
Pertimbangan majelis hakim, ada
menyatakan kedudukan LJH alias MR L adalah sebagai pendiri/pemilik PT KJ dan
sebagai Direktur Utama PT KJ, sedangkan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum
kedudukan terdakwa, yaitu sebagai Direktur Utama PT KJ dalam hal ini sebagai
pengurus PT.
Berdasarkan hukum perusahaan
dalam hal ini PT, ada perbedaan kedudukan hukum sebagai pendiri/pemilik PT
dengan sebagai pengurus, termasuk dalam hal tanggungjawab hukumnya. Pertanggungjawaban
PT yang dimaksud adalah Perseroan Terbatas, sesuai dengan Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah perbuatan hukum (rechtshandeling) yang dilakukan oleh
korporasi secara yuridis merupakan tanggung jawab korporasi (corporate liability). Pemegang saham
(pendiri/pemilik) tidak bertanggung jawab secara pribadi (personal liability) atas perikatan yang dibuat atas nama korporasi
dan tidak bertanggung jawab atas kerugian korporasi melebihi saham yang
dimiliki kecuali pemegang saham bertindak dengan itikad buruk (te kwader trouw) memanfaatkan korporasi
untuk kepentingan pribadi, pemegang saham terlibat melakukan perbuatan melawan
hukum (onrechtmatigedaad) yang
dilakukan korporasi dengan segala akibat hukumnya (rechtsgevolg). Artinya, pertimbangan majelis hakim telah mencampur
adukkan pertanggungjawaban terdakwa sebagai pendiri/pemilik dan terdakwa sebagi
pengurus.
2. Mengenai hukum percobaan yang
dijatuhkan kepada terdakwa dan denda:
Ketentuan pidana bersyarat (voorwaardelijke
veroordeling) diatur dalam pasal 14a -14f KUHP, yang ditambahkan ke dalam
KUHP pada tahun 1926 dengan Staatsblaad tahun 1926 No. 251 jo. No. 486,
dan mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1927. Pidana bersyarat
bukanlah merupakan pidana pokok sebagaimana pidana pokok yang lain, melainkan
merupakan cara penerapan pidana, sebagaimana pidana yang tidak bersyarat. maksud dari
penjatuhan pidana bersyarat adalah untuk memberikan kesempatan kepada terpidana
supaya dalam masa percobaan itu memperbaiki diri dengan tidak melakukan tindak
pidana atau tidak melanggar perjanjian yang diberikan kepadanya, dengan harapan
jika berhasil, pidana yang telah dijatuhkan kepadanya itu tidak akan
dijalankan. Pidana bersyarat ini hanya dapat diterapkan dalam hal dijatuhkannya
pidana penjara yang tidak lebih dari satu tahun dan hukuman kurungan yang bukan
kurungan pengganti denda. Pasal 14 a KUHP menentukan,
bahwa pidana bersyarat hanya dapat dijatuhkan bilamana memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Dalam
putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu
tahun. Jadi dalam hal ini pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hubungan
dengan pidana penjara, dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana lebih
dari satu tahun. Yang menentukan bukanlah pidana yang diancamkan atas tindak
pidana yang dilakukan, tetapi pidana yang akan dijatuhkan pada si terdakwa;
b. Pidana
bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan
tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda. Mengenai pidana kurungan ini
tidak diadakan pembatasan, sebab maksimum dari pidana kurungan adalah satu tahun;
c. Dalam hal
menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan
bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat
oleh si terdakwa.
Pasal 14 b ayat (1) KUHP menentukan, bahwa masa percobaan bagi kejahatan
dan pelanggaran paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama
dua tahun. Selanjutnya Pasal 14 b ayat (2) dan ayat (3) KUHP menetukan, bahwa
masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah
diberitahukan kepada terpidana menurut tata cara yang diatur dalam UU. Jika
pernah dilakukan penahanan sementara, maka masa penahanan sementara itu tidak
boleh diperhitungkan.
Jika dicermati pertimbangan hakim atas penjatuhan
pidana bersyarat, didasarkan pada pertimbangan “hal-hal yang meringankan” dan
pertimbangan yang menyatakan “bahwa oleh karena tujuan penjatuhan hukuman
bukanlah merupakan pembalasan atau untuk menurunkan martabat seseorang
melainkan untuk pembinaan dan memberikan efek agar masyarakat tidak
mengikutinya, maka dengan demikian Majelis Hakim berpendirian hukuman yang akan
dijatuhkan kepada terdakwa di pandang setimpal dan adil sebagai pembinaannya”.
Pertimbangan Majelis Hakim untuk penjatuhan pidana bersyarat tersebut kepada
terdakwa, kurang tepat, oleh karena:
a.
tindak
pidana yang dilakukan oleh terdakwa merupakan tindak pidana kejahatan (Pasal 97
UUPPLH) dan melanggar hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia (Pasal 65 ayat (1) UUPPLH) serta
melanggar kewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup (Pasal 67 UUPPLH)
dan melanggar larangan membuang limbah ke media lingkungan hidup (Pasal 69 ayat
(1) huruf e). Selanjutnya, penjatuhan hukuman kepada terdakwa harus berupa hal
yang memberi efek jera, oleh karena terdakwa merupakan seorang direktur
mempunyai: kewajiban untuk taat
mematuhi peraturan perundang-undangan dalam rangka pegurus Perseroan Terbatas
(PT); kewajiban yang dilakukan dengan iktikad baik yang mengandung arti setiap
orang Direksi dalam melaksanakan pengurusan perseroan, wajib melaksanakan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku (statutory duty). Direksi yang
tahu tindakannya melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau
tidak hati-hati atau sembrono (carelessly) dalam melaksanakan kewajiban
mengurus Perseroan, mengakibatkan pengurusan itu melanggar peraturan
perundang-undangan maka tindakan pengurusan itu “melawan hukum” (onwettig,
unlawful). Selanjutnya lagi, direktur tidak dapat
melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran
dan atau kerusakan lingkungan, hal ini disebabkan direktur memiliki
"kemampuan" dan "kewajiban" untuk mengawasi kegiatan PT
termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Jika
diperhatikan tindak pidana yang dilakukan, telah di mulai sejak bulan Maret
2010 dan limbah B3 yang ditimbun telah mencapai + 1000 m3.
Penjatuhan pidana bersayarat kepada terdakwa dengan tidak dijalankannya seluruh
pidana yang dijatuhkan oleh hakim, seakan-akan keadaannya hampir sama dengan
putusan bebas (vrijspraak), padahal
terdakwa dinyatakan bersalah dan dikenakan hukuman;
b.
direksi sebagai yang
mengendalikan dan melakukan pengawasan ditaatinya terhadap kewajiban hukum
perusahaan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tidak secara
proaktif melakukannya, bahkan menyuruh membuang dan menimbun limbah B3 di
lokasi perusahaan dan tempat pembuangannya tidak memenuhi persyaratan sebagai
tempat penyimpanan sementara (TPS) limbah B3. Pelaksanaan kewajiban menyimpan
sementara limbah pada TPS limbah B3 baru dilaksanakan karena adanya pengawasan
dan pemeriksaan dari pejabat pengawas lingkungan hidup, artinya direksi selama
ini membiarkan perbuatan open dumping limbah B3 dan tidak membuat tempat
penyimpanan sementara yang tidak memenuhi persyaratan sebagai TPS limbah B3.
Selanjutnya, mengenai denda
yang dijatuhkan kepada terdakwa sebesar Rp. 5.000.000,-- (lima juta rupiah)
sangat terlalu rendah dan tidak akan memberikan efek jera, oleh karena denda
berdasarkan Pasal 104 UUPPLH maksimalnya Rp. 3.000.000.000,-- (tiga milyar
rupiah). Jika dibandingkan dengan ancaman hukuman penjara yang diberikan kepada
terdakwa selama 10 (sepuluh) bulan atau 28% dari ancaman maksimal hukuman (3
tahun), maka denda yang layak diberikan yaitu 28% dari Rp. 3.000.000.000,--
atau sekitar Rp. 810.000.000,-- (delapan ratus sepuluh juta rupiah).
3.
Mengenai barang bukti +
1000 m3 timbunan limbah B3 berupa abu batubara fly ash dan bottom
ash di areah pabrik PT KJ, dirampas untuk dimusnahkan:
Barang bukti timbunan limbah B3 berupa abu batubara fly
ash dan bottom ash sebanyak + 1000 m3 yang berada di areal
pabrik PT KJ, dirampas dan untuk dimusnahkan, menjadi pertanyaan yaitu siapa
yang akan membiayai untuk memusnahkan limbah tersebut, sebab jika di rampas
maka pemusnahannya menjadi tanggungjawab negara (pemerintah).
Berdasarkan UUPPLH, setiap orang yang melakukan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan yang dilakukan dengan: a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat; b. pengisolasian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup; c. penghentian sumber pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup;
dan/atau d. cara lain yang sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 53 UUPPLH), dan/atau
setiap setiap orang yang melakukan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi
lingkungan hidup yang dilakukan dengan tahapan: a. penghentian sumber
pencemaran dan pembersihan unsur pencemar; b. remediasi;
c. rehabilitasi; d. restorasi; dan/atau e. cara
lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Pasal 54 UUPPLH),
kemudian lagi Pasal 59 ayat (1) UUPPLH mengatur bahwa setiap orang yang
menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang
dihasilkannya. Artinya, biaya untuk memusnahkan limbah B3 merupakan
tanggungjawab PT KJ.
Putusan Pengadilan
Negeri Mengenai barang bukti + 1000 m3
timbunan limbah B3 berupa abu batubara fly ash dan bottom ash di areah pabrik
PT KJ, dirampas untuk dimusnahkan, tidak akan terjadi dalam hal JPU dari awal
sudah juga mendakwakan PT KJ sebagai pelaku tindak pidana. Dengan didakwanya PT
KJ sebagai pelaku, maka terhadap barang bukti + 1000 m3
menjadi tanggungjawab PT KJ untuk melakukan tindakan tata tertib perbaikan
akibat tindak pidana. Kalau hanya pengurus saja yang didakwakan, maka pengurus
hanya dikenakan berupa penjara dan denda.
Selanjutnya,
terhadap
surat dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang bersifat alternatif
tersebut, Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan tuntutan sebagaimana di
dakwa pada dakwaan kedua, yaitu: melakukan tindak pidana lingkungan hidup berupa
dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana
diatur dalam Pasal 104 jo Pasal 60 jo Pasal 116 ayat (1) huruf b UUPPLH.
Memperhatikan dakwaan dan tuntutan
yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa, merupakan tindak pidana
lingkungan hidup berupa dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup
tanpa izin, yang perbuatan tersebut dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha (PT KJ) yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan
kerja atau hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha (PT KJ),
oleh karena surat dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum mencantumkan Pasal
116 ayat (1) huruf b UUPPLH.
Ketentuan Pasal 116 ayat (1) huruf
b UUPPLH, pelaku tindak pidana, yaitu: a. dilakukan oleh badan usaha yang dilakukan oleh
orang yang berdasarkan hubungan kerja yang bertindak dalam lingkup kerja
badan usaha; b. dilakukan oleh badan
usaha yang dilakukan oleh orang
berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
c. dilakukan untuk badan usaha yang
dilakukan oleh orang yang berdasarkan
hubungan kerja yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha; d. dilakukan
untuk badan usaha yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan lain
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha; e. dilakukan atas nama badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha; f. dilakukan atas nama badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan lain
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha.
Tindak pidana lingkungan hidup yang
dilakukan oleh badan usaha berarti
badan usaha sebagai pelaku, namun badan usaha dalam hal ini sebagai pelaku
pasif, sedangkan pelaku aktifnya seperti: para pengurus badan usaha atau para
manejer badan usaha melakuan perbuatan tersebut oleh karena jabatannya. Tindak
pidana lingkungan hidup yang dilakukan untuk
badan usaha berarti badan usaha dinyatakan sebagai pelaku oleh karena badan
usaha menerima tindak pidana tersebut sebagai suatu perbuatan sesuai dengan
tujuan, maksud atau badan usaha menerima perbuatan tersebut yang dilakukan oleh
para pengurus badan usaha atau para manejer badan usaha. Tindak pidana
lingkungan hidup yang dilakukan atas
nama badan usaha berarti badan usaha sebagai pelaku oleh karena perbuatan
itu dilakukan oleh para pengurus badan usaha atau para manejernya badan usaha.
Badan usaha mendapatkan manfaat keuntungan atas perbuatan yang dilakukan oleh
para pengurus badan usaha atau para majener badan usaha. Artinya, badan usaha
(PT KJ) dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa, oleh karena terdakwa LJH Alias Mr L merupakan direktur utama
PT KJ atau yang disebut sebagai directing
mind dari PT KJ yaitu personel yang mimiliki posisi sebagai penentu
kebijaksanaan PT KJ atau memiliki kewenangan yang sah untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan yang mengikat PT KJ tanpa harus mendapat persetujuan
dari atasannya. Artinya, dalam hal tindak pidana dilakukan oleh, untuk atau
atas nama badan usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b,
hendaknya yang didakwa, dituntut dan dijatuhi hukuman bukan hanya personel
pengurus PT, tetapi juga PT tersebut di dakwa, di tuntut dan dijatuhi hukuman.
Tidak didakwanya, dituntutnya dan dijatuhinya hukuman terhadap PT, dalam hal
dipenuhinya semua unsur-unsur atau syarat-syarat sebagai berikut: a. tindak
pidana lingkungan baik dalam bentuk commission atau ommission
tidak dilakukan atau tidak diperintahkan oleh personil badan usaha yang didalam
struktur organisasi badan usaha memiliki posisi sebagai directing mind
dari badan usaha; b. tindak pidana lingkungan tersebut tidak dilakukan dalam
rangka maksud dan tujuan badan usaha; c. tindak pidana lingkungan tidak dilakukan
oleh pelaku atau tidak atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya
dalam badan usaha; d. pelaku atau pemberi perintah memiliki alasan pembenar
atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana; e. tindak
pidana lingkungan tersebut tidak dilakukan dengan maksud memberikan manfaat
bagi badan usaha.
Berdasarkan Pasal 117 UUPPLH,
jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b UUPPLH, maka ancaman
pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dengan denda diperberat dengan
sepertiga. Dengan demikian, jika penuntut umum memperhatikan Pasal 117 UUPPLH,
maka terdakwa LJH Alias Mr L yang merupakan direktur utama PT KJ yang melakukan tindak pidana lingkungan
berupa dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa
izin sebagaimana diatur dalam Pasal 104 jo Pasal 60 jo Pasal 116 ayat (1) huruf
b UUPPLH, ancaman hukumannya maksimalnya yaitu penjara 3 tahun di tambah
sepertiganya (3 tahun + (1/3 x 3 tahun) dan denda Rp. 3.000.000.000 ditambah
sepertiganya (Rp. 3.000.000.000 + (1/3 x Rp. 3.000.000.000), artinya ancaman
maksimal pidana dari Pasal 104 jo Pasal 60 jo Pasal 116 ayat (1) huruf b UUPPLH
yaitu maksimal 4 tahun penjara dan denda maksimal Rp. 4.000.000.000,--. Hal ini
berarti terhadap terdakwa terdakwa
LJH Alias Mr L yang
merupakan direktur utama PT KJ, tidak dapat dikenakan hukuman penjatuhan
pidana bersyarat, sebab
syarat dijatuhinya pidana bersyarat berdasarkan Pasal 14 b ayat (1) KUHP yaitu:
bagi
kejahatan dan pelanggaran paling lama tiga tahun, sedangkan perbuatan terdakwa terdakwa LJH Alias Mr L yang merupakan direktur
utama PT KJ adalah diancam penjara diatas 3 tahun dalam hal ini 4 (empat)
tahun.
--o0o--
Bahan
Bacaan:
Allen Arthur Robinson, 2008, 'Corporate
Culture' As a Basis for the Criminal Liability of Corporations, http://198.170.85.29/Allens-Arthur-Robinson-Corporate -Culture-paper-for
Ruggie-Feb-2008.pdf.
Alvi Syahrin, 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT Sofmedia.
Jakarta.
Alvi Syahrin dan Fadlielah Hasanah,
2014, “Eksaminasi Putusan Pengadilan Negeri Bandung (Putusan Nomor
319/Pid/B/2013/PN.BB), Makalah, disampaikan
pada Acara Eksaminasi Putusan Pengadilan Kasus Tindak Pidana Lingkungan Hidup
(TPLH), Kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup RI dan Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, 6 Nopember 2014, Medan.
Barda Nawawi Arief, 2012, RUU KUHP Baru, Sebuah
Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
---------, 2011, Tujuan dan Pedomn Pemidanaan (perspektif Pembaharuan & Perbandingan
Hukum Pidana), Pustaka Magister, Semarang.
BPHN, 2010, Laporan
Akhir Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI, Jakarta.
Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni; Dasar-dasar Ilmu Hukum
Normatif, (terjemahan Raisul Muttaqien), Penerbit Nusamedia & Penerbit
Nuansa, Bandung.
Ian B. Lee., 2011, Corporate
Criminal Responsibility as Team-Member Responsibility, Oxford Journal of
legal Studies, version of June 6, 2011.
Jan Remmelink, 2003, Hukum
Pidana: Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-Undang Pidana
Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,
(terjemahan Tristam Pascal Moeliono), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Joel M. Andropy, 1997,
General Corporate Criminal Liability, Texas Bar Journal, Februari 1997,
Vol. 60. No. 2.
Muladi dan Diah Sulistyani RS, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Criminal Responsibility),
PT Almuni, Bandung.
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenadamedia Group,
Jakarta.
Personal
Liability for Corporate Fault - Guidelines for applying the COAG Principles, http://www.dpc.nsw.gov.au/data/assets/pdf_file/0004/143860/Personal_Liability_for_Corporate_Fault-Guidelines_for_Applying_the_COAG_Principles.pdf.
Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta.
Schaffmeister D, Keizer N, Sutorius E. PH, 1995, Hukum Pidana, (Editor penerjemahan:
Sahetapy), Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum
Lingkungan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Zainal Abidin Farid, H.A., 2010, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta.
dan dikutip dari berapa tulisan pada alviprofdr.logspot.com.
--o0o—
Catatan:
Disampaikan pada acara Disampaikan pada acara: Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia (PPNS-LH, Penyidik Polri dan Jaksa) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 24 – 26 Nopember 2014, Hotel Mercure Ancol – Jakarta Utara
[1] Filsafat determinisme
menyatakan pemidanaan menekakankan nilai-nilai kemanusiaan dan pendidikan,
searah dengan hakikat sanksi tindakan yang menekankan tidak boleh adanya
pencelaan terhadap perbuatan yang dilanggar oleh pelaku. Tujuan pemidanaan
bersifat mendidik untuk mengubah tingkah laku pelaku tindak pidana dan orang
lain yang cenderung melakukan tindak pidana.
terimakasih atas penjelasannya shg menjadikan kami mudah dalam memahami pasal yang tanpa penjelasan.
BalasHapuskelinci99
BalasHapusTogel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
yukk daftar di www.kelinci99.casino