PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA PERUSAHAAN GRUP
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP
Oleh:
Alvi Syahrin, Prof. Dr. MS. SH.
Fadlielah Hasanah, MH. SH.
I.
Perkembangan dan pembentukan perusahaan
grup di Indonesia terkait dengan realitas bisnis yang terjadi karena melalui
pengelolaan melalui perusahaan grup memberikan manfaat ekonomi, namun tidak
berarti secara hukum memberikan peluang munculnya moral hazard atas sikap oportunistis induk perusahaan yang
menyalahgunakan konstruksi perusahaan grup. Induk perusahaan memperoleh
dominasi terhadap pengurusan anak perusahaan dan terhinar dari tanggungjawab
hukum (baik terhadap pihak ketiga) sebagai akibat hukum dari perbuatan anak
perusahaan yang menjalankan instruksi induk perusahaan.
Perusahaan grup merupakan suatu
susunan dari perusahaan-perusahaan yang secara yuridis mandiri, yang terkait
satu dengan yang lain secara organisatoris sehingga membentuk suatu kesatuan
ekonomis yang tunduk pada suatu pimpinan dari suatu perusahaan induk sebagai
pimpinan sentral. Perusahaan grup tidak merujuk kepada suatu badan hukum
tertentu, tetapi kesatuan ekonomi dari perusahaan-perusahaan yang bergabung
yang di dalamnya terdapat induk dan anak perusahaan (bahkan ada yang sampai
cucu perusahaan). Belum adanya pengaturan secara khusus mengenai perusahaan
grup di Indonesia, maka induk dan anak perusahaan dalam suatu perusahaan grup
diperlakukan sebagaimana halnya status badan hukum masing-masing induk dan anak
perusahaan. Tergabungnya induk dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan
grup tidak menghapuskan status badan hukum induk dan anak perusahaan.
Pengakuan yuridis terhadap induk dan
anak perusahaan sebagai subyek hukum mandiri menyebabkan induk dan anak
perusahaan berhak melakukan perbuatan hukum sendiri, namun faktanya
pengendalian induk perusahaan kepada anak perusahaan dari realitas bisnis
perusahaan grup yang dikelola sebagai kesatuan ekonomi. Pengendalian induk
perusahaan terhadap anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup
menimbulkan dualitas pada anak perusahaan, yakni sebagai badan hukum yang
mandiri dan badan usaha yang tunduk di bawah kendali induk perusahaan. Fakta
pengendalian induk terhadap anak perusahaan dari realitas bisnis perusahaan
grup tidaklah menghapuskan pengakuan yuridis terhadap suatu badan hukum anak
perusahaan sebagai subyek hukum mandiri, sebaliknya pengurusan anak perusahaan
tidak dapat dilepaskan dari adanya fakta pengendalian induk terhadap anak
perusahaan dari realitas bisnis perusahaan grup yang dijalankan dalam suatu
kesatuan ekonomi. Pengendalian induk terhadap anak perusahaan yang berupa
kebijakan atau instruksi mempengaruhi drajat kemandirian anak perusahaan untuk
tidak menjalankan kebijakan dan atau instruksi dari induk perusahaan.
II.
Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) mengatur
tentang pertanggungjawaban pidana dalam hal tindak pidana dilakukan oleh, untuk
dan atas nama badan usaha. Sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana harus
jelas terlebih dahulu mengenai siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Artinya,
harus terlebih dahulu dipastikan siapa yang dinyatakan sebagai pembuat tindak
pidana tersebut. Mengenai siapa yang dinyatakan sebagai pembuat tindak pidana
(subjek tindak pidana) pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat
undang-undang.
Memperhatikan ketentuan Pasal 116 UUPPLH dan penjelasannya, tindak
pidana lingkungan dilakukan oleh,
untuk dan atas nama badan usaha,
sehingga perlu dilakukan penafsiran. Penafsiran terhadap tindak pidana
lingkungan dilakukan oleh
badan usaha berarti badan usaha sebagai pelaku, badan usaha dalam hal
ini sebagai pelaku pasif, sedangkan pelaku aktifnya seperti: para pengurus
badan usaha atau para manejer badan usaha melakuan perbuatan tersebut oleh
karena jabatannya. Penafsiran terhadap tindak pidana lingkungan dilakukan untuk badan usaha berarti badan
usaha dinyatakan sebagai pelaku oleh karena badan usaha menerima tindak pidana
tersebut sebagai suatu perbuatan sesuai dengan tujuan, maksud atau badan usaha
menerima perbuatan tersebut yang dilakukan oleh para pengurus badan usaha atau
para manejer badan usaha. Penafsiran
terhadap tindak pidana lingkungan dilakukan
atas
nama badan usaha berarti badan usaha sebagai pelaku oleh karena
perbuatan itu dilakukan oleh para pengurus badan usaha atau para manejernya
badan usaha. Dengan demikian, pelaku tindak pidana lingkungan berdasarkan Pasal
116 UUPPLH, yaitu:
1. dilakukan
oleh badan usaha;
2. dilakukan
untuk badan usaha;
3. dilakukan
atas nama badan usaha;
4. dilakukan
oleh badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
5. dilakukan
oleh badan usaha yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan lain
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
6. dilakukan
untuk badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
7. dilakukan
untuk badan usaha yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan lain
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
8. dilakukan
atas nama badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha;
9. dilakukan
atas nama badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan lain
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha.
Badan
usaha sebagai pelaku tindak pidana lingkungan walaupun perlu diterapkan dengan
memperhatikan kasus per kasus (kasuistis) sesuai dengan sifat kekhasan tindak
pidana tertentu yang bisa berupa tindak pidana fungsional yang lebih bersifat
administratif dan tindak pidana non-fungsional yang lebih bersifat fisik, perlu
juga dipedomani atau memperhatikan bahwa:
1. perbuatan
dari perorangan dapat dibebankan kepada badan usaha, apabila
perbuatan-perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai
perbuatan-perbuatan badan usaha;
2. apabila
sifat dan tujuan dari pengaturan telah menunjukkan indikasi untuk pembuat
pidana, untuk pembuktian akhir pembuat pidana, di sampaing apakah perbuatan
tersebut sesuai dengan tujuan statuta (anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga) dari badan usaha dan atau sesuai dengan kebijaksanaan badan usaha,
dalam arti tindakan atau perbuatan tersebut sesuai dengan ruang lingkup
pekerjaan dari badan usaha;
3. perbuatan
yang terlarang yang untuk mempertanggungjawabkannya dibebankan kepada badan
usaha dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan atau pencapaian
tujuan-tujuan badan usaha tersebut;
4. perbuatan
pengurus badan usaha dianggap sebagai perbuatan badan usaha itu sendiri dalam
hal pengurus badan usaha mempunyai kewenangan atau kekuasaan dalam hal (untuk)
menentukan apakah perbuatan itu dilakukan atau tidak, dan perbuatan itu harus
merupakan bagian dari perbuatan-perbuatan yang menurut kenyataan diterima atau
lazimnya diterima oleh badan usaha. Syarat kekuasaan (machtsvereiste) mencakup: wewenang mengatur/menguasai dan atau
memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak pidana lingkungan; mampu
melaksanakan wewenangnya dan pada dasarnya mampu mengambil keputusan-keputusan
tentang hal bersangkutan; dan mampu mengupayakan kebijakan atau tindakan
pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindak pidana lingkungan.
Selanjutnya, syarat penerimaan atau akseptasi (aanvaardingsvereiste) terjadi apabila ada kaitan erat antara proses
pengambilan atau pembentukan keputusan di badan usaha dengan tindak pidana
lingkungan yang dilakukan termasuk juga adanya kemampuan pengawasan secara
cukup. Dengan demikian, perbuatan karyawan badan usaha hanya akan
dipertimbangkan sebagai perbuatan pimpinan korporasi, apabila: a. perbuatannya
dalam kerangka kewenangannya untuk menentukan pegawai tersebut untuk berbuat;
dan b. perbuatan karyawan masuk dalam kategori perbuatan yang accepted oleh badan usaha dalam kerangka
bisnis yang normal.
5. Kesengajaan
badan usaha terjadi dalam hal kesengajaan itu pada kenyataannya tercakup dalam
politik atau tujuan badan usaha, atau berada dalam kegiatan yang nyata dari
badan usaha tersebut. Kesengajaan badan usaha juga bisa timbul dalam hal
kesengajaan dari perorangan (natuurlijk
persoon) yang berbuat atas nama badan usaha;
6. Kesengajaan
suatu organ dari badan usaha dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam
hal tertentu, kesengajaan dari seorang bawahan bahkan dari orang/pihak ketiga,
dapat mengkibatkan kesengajaan badan usaha. Artinya, tidak hanya tindakan
sengaja fungsionaris pimpinan badan usaha yang dapat diatribusikan pada badan
usaha, tetapi juga termasuk tindakan pegawai/karyawan rendahan.
7. Pertanggungjawaban
pidana juga bergantung kepada organisasi internal dalam badan usaha dan cara
bagaimana pertanggungjawaban dibagi, demikian juga halnya dengan kealpaan;
8. Pengetahuan
bersama dari sebagian besar anggota direksi atau pengurus badan usaha dapat
dianggap sebagai kesengajaan badan usaha, bahkan sampai kepada kesengajaan berinsyaf
(sadar akan) kemungkinan atau opzet bij
mogelijkheidsbewustzijn atau dolus
evantualis.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 116
UUPPLH berikut penjelasannya, juga tidak ada menjelaskan frasa “berdasarkan
hubungan kerja” dan frasa “berdasarkan hubungan lain”, sehingga diperlukan
penafsiran hukum terhadap frasa tersebut. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, yang
dimaksud dengan orang “yang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan
lain” menunjukkan ada dua kelompok orang, yaitu pertama: “orang-orang berdasarkan
hubungan kerja” dan yang kedua: “orang-orang berdasarkan hubungan lain”.
Hubungan yang dimaksud dalam kedua frasa tersebut harus ditafsirkan sebagai
“hubungan dengan korporasi yang bersangkutan”. “Orang-orang berdasarkan
hubungan kerja” adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja sebagai
pengurus atau pegawai, yaitu: a. berdasarkan anggaran dasar dan perubahannya,
b. berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai dan perjanjian kerja dengan
korporasi, c. berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai, atau d. berdasarkan
“perjanjian kerja sebagai pegawai”. Sedangkan “orang-orang berdasarkan hubungan
lain” adalah orang-orang yang memiliki hubungan lain selain hubungan kerja
dengan korporasi. Mereka antara lain yang mewakili korporasi untuk melakukan
perbuatan hukum untuk dan atas ama korporasi berdasarkan: a. Pemberian kuasa;
b. berdasarkan perjanjian dengan pemberian kuasa (pemberian kuasa bukan
diberikan dengan surat kuasa tersendiri, tetapi dicantumkan dalam perjanjian
itu sehingga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tersebut),
atau c. berdasarkan pendelegasian wewenang.
Walaupun sudah
diketahui pelaku tindak pidana dalam UUPPLH yaitu: a. badan usaha, b. orang yang berdasarkan hubungan kerja
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, atau c. orang yang berdasarkan hubungan kerja yang bertindak dalam lingkup
kerja badan usaha, namun dalam kenyataannya untuk memastikan siapa sebagai
pembuat tidaklah mudah. Demikian juga, setelah pembuat ditentukan, hal lain
yang muncul yaitu bagaimana selanjutnya mengenai pertanggungjawaban pidananya.
Masalah pertanggungjawaban pidana ini merupakan segi lain dari subjek tindak
pidana yang dapat dibedakan dari masalah si pembuat atau yang melakukan tindak
pidana, dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.
Secara umum, yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban yaitu si pembuat, namun tidaklah selalu demikian
terlebih dalam hal pertanggungjawaban korporasi (dibaca: badan usaha) dalam
hukum pidana. Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana tergantung juga
pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban yang ditempuh oleh pembuat
undang-undang.
Model
pertanggungjawaban pidana korporasi di lihat dari kedudukan sebagai pembuat dan
sifat pertanggungjawabannya, dapat disebutkan sebagai berikut: a. Pengurus
korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, b. Korporasi
sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab, dan c. Korporasi sebagai
pembuat juga sebagai yang bertanggungjawab. Oleh Sutan Remy Sjahdeini ditambah satu
model lagi, yaitu: Korporasi dan pengurus sebagai pembuat, maka korporasi dan
penguruslah yang bertanggungjawab.
Berdasarkan Pasal 116
ayat (1) UUPPLH, dalam hal tindak pidana dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha, yang dapat dituntut dan dijatuhkan hukuman, yaitu:
1. Badan
usaha dan orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan;
2. Badan
usaha dan orang yang bertindak
sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana lingkungan;
3. Badan usaha;
4. Orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana lingkungan;
5. Orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak pidana;
Berdasarkan Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, dalam hal tindak
pidana dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha dan tindak pidana itu
dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain, yang
dapat dituntut dan dijatuhkan hukuman, yaitu:
1. Pemberi perintah dalam tindak
pidana lingkungan tanpa memperhatikan
tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama;
2. Pemimpin dalam tindak pidana
lingkungan tanpa memperhatikan tindak
pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Rumusan Pasal 116 UUPPLH mencantumkan frasa “orang
yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” dan “orang yang bertindak
sebagai pemimpin kegiatan tindak pidana” namun penjelasan Pasal 116 UUPPLH
tidak ada memberikan penjelasan terhadap makna tersebut.
Frasa “orang yang memberi
perintah untuk melakukan tindak pidana” dan “orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” sebagaimana tercantum dalam Pasal 116
UUPPLH merupakan sebagai orang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Penjelasan Pasal 116 UUPPLH menyatakan: “cukup jelas”, sehingga
perlu penafsiran untuk mengetahui maksud dari frasa “orang yang memberi
perintah untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai
pemimpin”. Pasal 116 UUPPLH, merumuskan: “... jika tindak pidana lingkungan
dilakukan oleh, untuk atau atas nama badan usaha maka tuntutan pidana dan
sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada ... orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana”, maka “orang yang memberi perintah untuk melakukan
tindak pidana” diartikan sebagai orang yang bertugas menjalankan dan
melaksanakan “pengurusan” badan usaha. Dengan kata lain, frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana” dalam pertanggungjawaban pidana badan usaha adalah untuk mengungkapkan
tanggungjawab pengurus atau fungsionaris dari badan usaha. Artinya frasa
“orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau orang yang
bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” sebagaimana dalam
Pasal 116 UUPPLH, menunjuk kepada
pertanggungjawaban pidana pengurus badan usaha secara individual. Pengurus
badan usaha dapat dimintakan pertanggungjawab pidana secara individual, apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh,
untuk, atau atas nama badan usaha.
Ketentuan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH membuka kemungkinan apabila
suatu badan usaha melakukan perbuatan pidana, tidak hanya yang dituntut badan
usahanya saja, tetapi juga orang yang telah memerintahkan kejadian tersebut dan
orang yang memimpin sendiri secara nyata perbuatan yang dilarang. Artinya,
pengurus sebagai pemberi perintah dan/atau pemimpin tindakan nyata dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh badan usaha.
Pengurus badan usaha dapat dalam keadaan “sebagai orang yang
memberi perintah untuk melakukan tindak pidana”, atau pengurus badan usaha
dapat dalam keadaan “sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana”. Artinya, keadaan seorang pengurus badan usaha yang bisa
dalam keadaan sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga
bisa dalam keadaan sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam
tindak pidana.
Seseorang yang dalam fungsinya sebagai pengurus dalam
organisasi badan usaha harus melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya
tindakan terlarang, namun ia tidak melakukannya, ia tidak kehilangan posisi kepemimpinannya dalam konteks memberi
arahan bagi tindakan badan usaha (yang
secara faktual perbuatan itu dilakukan oleh pegawai lain). Dalam kondisi ini
orang tersebut dapat juga dikatakan sebagai orang memimpin. Seseorang juga dapat dikatakan sebagai secara
faktual meminpin dalam tindak pidana badan usaha/korporasi jika ia mengetahui
terjadinya tindak pidana yang bersangkutan, namun ia tidak mengambil
langkah-langkah untuk mencegah perbuatan yang terlarang dan secara menerima
keadaan terjadinya perbuatan yang dilarang tersebut.
Rumusan Pasal 116 ayat (1) huruf b dan Pasal 116 ayat (2)
menggunakan kata/frasa “atau” diantara frasa “orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana” dengan frasa “orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana” merupakan penegasan untuk mencegah dituntutnya
dua kali seorang pengurus atas satu tindak pidana lingkungan yang terjadi.
Menurut Remmelink, di dalam praktek yang dimaksud sebagai “yang
memberi perintah” atau “yang memimpin” adalah para pengurus. Seseorang dapat
dikatakan secara faktual memimpin dilakukannya tindak pidana korporasi (di baca
badan usaha) jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana tersebut, atau secara
faktual dikatakan ada perbuatan memimpin tindak pidana yang terjadi apabila
pejabat yang bersangkutan tidak mengambil langkah-langkah apapun untuk mencegah
dilakukannya perbuatan terlarang oleh para pegawainya, sekalipun ia berwenang
untuk melakukan hal itu dan secara dapat melakukan pencegahan dimaksud, dan
bahkan secara sadar ia membiarkan perbuatan terlarang itu terlaksana sekalipun
ada kesempatan untuk melakukan pencegahan terlaksananya perbuatan terlarang
tersebut.
Pengurus korporasi/badan usaha merupakan
individu-individu yang mempunyai kedudukan atau kekuasaan sosial, setidaknya
dalam lingkup perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka-mereka yang dapat
dikategorikan sebagai pengurus badan usaha yaitu:
1) mereka yang menurut anggaran dasarnya secara
formal menjalankan pengurusan badan usaha;
2) mereka yang sekalipun menurut anggaran
dasar badan usaha bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki kewenangan untuk
melakukan perbuatan yang mengikat badan usaha
secara hukum berdasarkan:
a) pengangkatan oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan dengan
pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas ruang
lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya itu untuk dapat
melakukan perbuatan hukum mengikat badan usaha, atau
b) pemberian kuasa oleh pengurus atau
mereka sebagaimana dimaksud a) untuk dapat melakukan perbuatan yang secara
hukum mengikat badan usaha.
3) oleh orang lain yang diperintahkan oleh
mereka yang disebut dalam huruf 1) dan 2), untuk melakukan atau menjalankan
pengurusan badan usaha.
Pengurus merupakan organ korporasi (dibaca: badan usaha) yang
menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran
dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut
memutuskan kebijakan korporasi/badan usaha yang dapat dikualifikasikan sebagai
tindak pidana. Dengan demikian, setiap individu
yang ditunjuk sebagai memiliki tanggung jawab organisasi atau operasional untuk
spesifik perilaku atau yang memiliki kewajiban untuk mencegah, suatu
pelanggaran oleh badan usaha dalam hal ini melaksanakan kewajiban untuk
melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur
dalam Pasal 68 UUPPLH dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas
terjadinya tindak pidana lingkungan.
III.
Isu hukum yang muncul dari perusahaan
grup dalam hal terjadinya tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh anak
perusahaan, akan tetapi tindak pidana yang
dilakukan oleh anak perusahaan tersebut akibat dari adanya kebijakan dan atau
instruksi dari induk perusahaan sehingga anak perusahaan menjadi tidak dapat
melaksanakan kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Dalam hal tersebut, apakah induk perusahaan dapat dinyatakan sebagai “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan tindak pidana”.
Dimintakannya
pertanggungjawaban pidana kepada perusahaan grup atas perbuatan tindak pidana
lingkungan yang dilakukan oleh anak perusahaan, perlu dibuktikan adanya fakta
pengendalian induk terhadap anak perusahaan yang menyebabkan anak perusahaan
tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 68 UUPPLH sehingga menimbulkan
tindak pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan pidana dalam UUPPLH. Fakta
pengendalian induk terhadap anak perusahaan yang menyebabkan anak perusahaan
tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, menyebabkan induk perusahaan dapat dinyatakan sebagai “orang yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana” dan “orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan tindak pidana”.
Induk
perusahaan yang dinyatakan sebagai “orang yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana” dan “orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan tindak pidana”, pertanggungjawaban pidananya didasarkan (sebagaimana
tersebut dalam) Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, oleh karena walaupun induk
perusahaan dan anak perusahaan merupakan perusahaan-perusahaan
yang sebagai subyek hukum mandiri, namun
perbuatan yang dilakukan oleh anak perusahaan atas kebijakan dan atau
instruksi induk perusahaan merupakan perbuatan yang dilakukan yang bertindak dalam lingkup kerja
badan usaha dalam hal ini perusahaan induk. Selanjutnya, walaupun perbuatan
yang dilakukan tersebut dinyatakan sebagai dalam lingkup kerja perusahaan induk (oleh karena induk
perusahaan mengintruksikan perbuatan tersebut kepada anak perusahaan), namun
pelaku yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya
hanyalah pengurus dari induk perusahaan yakni mereka yang sebagai pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak
pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara
sendiri atau bersama-sama.
Kepustakaan:
Alvi Syahrin, 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT Sofmedia. Jakarta.
Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni; Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, (terjemahan
Raisul Muttaqien), Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung.
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana: Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab
Undang-Undang Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia, (terjemahan Tristam Pascal Moeliono), PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta.
Sulistiowati, 2013, Tanggung Jawab Hukum Pada Perusahaan Grup di Indonesia, Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
halo semuanya di sini jika Anda mencari pinjaman dengan tingkat bunga rendah dengan pengembalian 2 tingkat per tahun maka penawaran pinjaman pedro akan bagus untuk pinjaman bisnis Anda dan beberapa jenis pinjaman lain yang ingin Anda ajukan selama Anda tahu bahwa Anda dapat melakukannya pengembalian yang baik kembali sesegera mungkin kemudian hubungi mr pedro di pedroloanss@gmail.com
BalasHapus