MENDORONG PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
DI INDONESIA
Oleh: Alvi Syahrin
I.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,
dan penegakan hukum (Pasal 1:2 UUPPLH), dengan tujuan: a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan
kehidupan manusia; c. menjamin
kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d.
menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; e. mencapai keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan
generasi masa depan; g. menjamin
pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak
asasi manusia; h. mengendalikan
pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i. mewujudkan
pembangunan berkelanjutan; dan j. mengantisipasi isu lingkungan global (Pasal 3
UUPPLH), yang ruang lingkupnya meliputi: a. perencanaan; b. pemanfaatan; c. pengendalian; d. pemeliharaan; e.
pengawasan; dan f. penegakan hukum.
Hukum sebagai kumpulan peraturan
atau kaedah
mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif berperan memberikan jaminan,
perlindungan, kepastian, dan arah
pembangunan, serta instrumen kebijakan. Sehingga, gagasan upaya penegakan hukum dan hanya para penegak hukum yang
harus bertanggungjawab atas kelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan
buah pikiran yang naif dan
terlalu sederhana. Namun demikian, melalui upaya penegakan hukum
dapat memberikan sumbangan bagi perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan. Penegakan hukum yang semata-mata mengacu pada
kepentingan hukum atau umum tanpa mempertimbangkan kepentingan pembangunan,
dapat menimbulkan situasi dan kondisi yang justru akan menghambat pembangunan
berkelanjutan, sebaliknya kegiatan pembangunan dapat menimbulkan dampak negatif
bagi lingkungan. Hal
di atas
menunjukkan bahwa ada
dua tugas berat yang dilaksanakan
secara arif dan bijaksana dalam era pembangunan saat ini, yaitu
meletakkan pada titik
keseimbangan dan keserasian yang saling
menunjang secara sinergik antara
penegakan hukum lingkungan dengan pelaksanaan pembangunan.
II.
Tujuan
penegakan hukum yaitu complience
(penaatan). Strategi penaatan didasarkan pada beberapa teori serta persepsi,
antara lain: 1. teori penjera (deterrent), 2. teori ekonomi (economy), dan 3. teori pelaku (behaviour). Teori penjera banyak dijadikan dasar
bagi kebijakan penegakan hukum. Sumber pencemar atau yang berpotensi mencemarkan dicegah untuk
melakukan pelanggaran terhadap persyaratan perlindungan lingkungan. Penaatan
dapat bersifat spesifik yaitu mencegah agar pelaku pelanggaran tidak
melakukannya kembali, dan yang umum yaitu mencegah masyarakat umum untuk tidak
melakukan pelanggaran. Ada
tiga persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat menggunakan teori deterrent secara efektif, yaitu: 1. kemampuan
mendeteksi adanya pelanggaran, 2. tanggapan (respons) yang cepat dan pasti (swift & sure response), dan 3.
sanksi yang memadai.
Teori ekonomi didasarkan pada suatu
dalil bahwa setiap penanggung jawab kegiatan yang berpotensi mencemarkan secara
rasional akan menghitung terlebih dahulu sejauh mana melaksanakan penaatan (compliance)
atau melakukan pelanggaran (violation) mendatangkan keuntungan secara
ekonomis. Teori inilah yang memberi
dasar bagi pengembangan instrumen ekonomi dalam pengendalian dampak lingkungan.
Teori perilaku (behaviour)
menekankan pada human motivation
dengan penekanan pada pentingnya kerjasama melalui perundingan dan dukungan
tekhnis agar masyarakat industri bersedia mengikuti program penaatan. Hubungan
personal (personal relationship) antara obyek pengaturan (regulated
community) dan aparat pemerintah (regulator) sebagai sesuatu yang sangat
penting dan merupakan prakondisi untuk mewujudkan kondisi taat. Model ini
menandang industri sebagai suatu obyek pengaturan yang incompetent atau unknowledgeable.
Penggunaan teori-teori diatas berbeda
dari satu negara dengan negara lainnya-tergantung pada kultur birokrasi,
masyarakat dan kehendak politik pemerintah. Di Belanda misalnya sangat percaya
dengan teori perilaku sehingga menerapkan instrumen covenant (voluntary
agreement yang dihasilkan melalui negosiasi) antara Asosiasi Industri
sejenis dengan intansi pemerintah terkait. Sedangkan di Amerika Serikat
penekanan teori deterrence sangat
jelas terlihat dengan penggunaan sanksi administratif yang agresif bagi
pelanggar seperti penjatuhan sanksi administrative orders, dan larangan
untuk melakukan kontrak kerja dengan pemerintah.
UUPPLH menyadari potensi
dampak negatif yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan
upaya pengendalian dampak secara dini. Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu
dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan
perizinan. Dalam
hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa
penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut,
dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai
landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan
pembangunan lain. Sistem hukum tersebut mendayagunakan berbagai ketentuan
hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan
hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di
dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi
lingkungan, ataupun
hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain akan menimbulkan
efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang
betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan
generasi masa kini dan masa depan.
III
Sarana penegakan hukum lingkungan administratif mempunyai fungsi instrumental
yaitu pengendalian perbuatan terlarang dan sanksinya ditujukan kepada
perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut.
Penegakan hukum lingkungan dapat diterapkan terhadap kegiatan yang menyangkut
persyaratan perizinan, baku mutu lingkungan, RKL, RPL dan sebagainya. Adapun
jenis sarana penegakan hukum lingkungan administratif, yaitu: a. Paksaan pemerintah atau tindakan paksa (bestuursdwang); b. Uang
paksa (Publiekrechtelijke dwangsom); c. Penutupaan tempat usaha (Sluiting van een inrichting); d. Penghentian kegiatan mesin perusahaan (Buitengebruikstelling
van een toestel); e. Pencabutan
izin (intrekking van een vergunning) melalui proses: teguran, paksaan
pemerintah, penutupan dan uang paksa.
Jenis sanksi administrasi yang di atur dalam Pasal
76 (2) UUPPLH, yaitu berupa: a. teguran tertulis; b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau d. pencabutan izin lingkungan. Walaupun
penjatuhan sanksi administratif ini telah diberikan kepada penanggungjawab
usaha dan/atau kegiatan, berdasarkan Pasal 78 UUPPLH tidak membebaskan
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggungjawab pemulihan dan
pidana. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 82 UUPPLH, beban biaya untuk melakukan
pemulihan lingkungan akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan yang
dilakukannya atas beban biaya penanggungjawab dan atau kegiatan.
Kepustakaan
hukum mengenal konsep tanggunggugat negara, yang mengandung makna negara dapat digugat atas perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh badan pemerintahan. Konsep tanggunggugat negara ini
mengandung pengertian tersedianya sarana hukum bagi warga untuk mengajukan
gugatan terhadap badan pemerintahan. Hak bagi warga untuk mengajukan gugatan
terhadap badan pemerintahan juga merupakan sarana penegakan hukum lingkungan
lingkungan administratif. Gugatan
hukum lingkungan administratif dapat terjadi karena kesalahan atau kekeliruan
dalam proses penerbitan suatu keputusan tata usaha negara yang berdampak
penting terhadap lingkungan. Hukum memberikan
hak kepada seseorang atau badan hukum untuk menggugat Pejabat Tata Usaha Negara
yang berwenang dalam proses penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara itu. Gugatan
Tata Usaha Negara, disamping sebagai sarana untuk menekan Pejabat Tata Usaha
Negara agar mematuhi ketentuan prosedural, juga sebagai "sarana
perlindungan hukum bagi rakyat”.
IV. Penerapan hukum perdata dalam permasalahan yang
berkaitan dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, pada
esensialnya tampak dalam 3 (tiga) fungsi, yaitu:
1.
Melalui kaedah-kaedah hukum
perdata dapat dipaksakan ketaatan pada norma-norma hukum lingkungan, baik yang
bersifat kewajiban menurut hukum privat maupun hukum publik, Misalnya wewenang
hakim perdata untuk menjatuhkan putusan yang bersifat berisi perintah atau
larangan terhadap sesorang yang telah bertindak secara bertentangan dengan
syarat-syarat yang ditentukan dalam surat izin, yang berkaitan dengan masalah
lingkungan, seperti: IMB, Izin Usaha, Izin Lokasi dan sebagainya.
2.
Hukum perdata dapat
memberikan norma-norma secara umum dalam masalah lingkungan hidup, misalnya:
melalui putusan-putusan hukum perdata dapat dirumuskan norma-norma atau
ukuran-ukuran tentang tindakan yang bersifat cermat, yang seharusnya diharapkan
dari seseorang dalam masyarakat dan agar melindungi lingkungan yang baik dan
sehat.
3.
Hukum perdata memberikan
kemungkinan untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas kerusakan dan/atau
pencemaran lingkungan, dan gugatan tersebut ditujukan kepada pihak yang
menyebabkan timbulnya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan, yang ditempuh
melalui upaya hukum berupa gugatan perbuatan melawan hukum atau bilamana
timbul dalam kaitannya dengan suatu perjanjian atau perikatan, maka atas dasar
wansprestasi.
Titik
singgung antara hukum perdata dan hukum lingkungan di dalam penegakan hukumnya,
sepanjang menyangkut masalah pertanggungjawaban (aansprakelijkheid)
dalam suatu sengketa yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup, yaitu
pertanggungjawaban akibat suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasar Pasal
1365 KUHPerdata, maupun pertanggungjawaban atas dasar hubungan
kontraktual (contractuele
aansprakelijkheid) berdasar Pasal 1243 KUHPerdata.
Tujuan utama penegakan hukum lingkungan keperdataan
yaitu untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap "lingkungan"
maupun terhadap "si korban" yang menderita kerugian sebagai akibat
kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan.
V. Fungsionalisasi hukum
pidana untuk mengatasi masalah pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan, diwujudkan melalui perumusan
sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada dua alasan
diperlukannya sanksi pidana, yaitu: Pertama: sanksi pidana selain
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan manusia, juga untuk melindungi
kepentingan lingkungan karena manusia tidak dapat menikmati harta benda dan
kesehatannya dengan baik jika persyaratan dasar tentang kualitas lingkungan
yang baik tidak terpenuhi; Kedua: pendayagunaan sanksi pidana juga dimaksudkan
untuk memberikan rasa takut kepada pencemar potensial. Sanksi pidana dapat
berupa pidana penjara, denda, perintah memulihkan lingkungan yang tercemar
dan/atau rusak, penutupan tempat usaha dan pengumuman melalui media massa yang
dapat menurunkan nama baik badan usaha yang bersangkutan
Penegakan hukum lingkungan kepidanaan didasarkan
kepada asas legalitas, baik aspek materiel maupun aspek formalnya. Kegiatan penegakan
hukum lingkungan kepidanaan hanya sah bila substansi materiilnya didasarkan
pada pasal-pasal pidana lingkungan hidup yang sebagian besar bertebaran di luar
KUHP, dan kegiatan penegakan dilakukan sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, serta berpedoman Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
Pelaksanaan penegakan hukum lingkungan kepidanaan
dalam praktek di lapangan bermula dari kegiatan pengumpulan bahan keterangan (penyelidikan),
dilanjutkan dengan kegiatan penyidikan, Penuntutan, Putusan Hakim dan eksekusi
putusan hakim, harus pula memperhatikan sifat-sifat khas dan kompleksitas dari
suatu kasus lingkungan hidup. Karena
itu, sesuai dengan asas pengelolaan lingkungan hidup, maka penegakan hukum
lingkungan kepidanaan juga dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dengan
aparat sektoral, terutama yang berwenang dalam bidang penerbitan izin,
pengawasan, pemantauan lingkungan dan penegakan hukum lingkungan administratif.
Hukum lingkungan kepidanaan dapat berdayaguna, tidak
hanya ditentukan oleh sanksi pidananya, tetapi juga oleh konsep pertanggungjawaban
pidana yang berlaku. Konsep pertanggungjawaban pidana menjadi penting, sebab
masalah pencemaran/perusakan lingkungan bisa terjadi (bersumber) dari
kegiatan-kegiatan badan-badan usaha (korporasi) yang di dalamnya terlibat banyak orang dengan
berbagai tingkatan tugas dan tanggungjawab pekerjaan. Dalam hal ini perlu memperhatikan perkembangan konsep pertanggungjawaban
pidana korporasi (corporate criminal liability).
VI. Hukum mengendalikan keadilan. Keadilan
yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan, hak asasi individu, kebenaran, kepatutan,
dan melindungi masyarakat. Selain itu, hukum mengemban fungsinya
sebagai memelihara stabilitas, memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan
yang diajukan anggota masyarakat, menciptakan kaidah-kaidah, serta jalinan
antar institusi. Selanjutnya,
pembangunan di bidang hukum juga menyangkut sumber daya manusia, terlebih-lebih
profesionalisme para penegak hukum. Dan profesionalisme ini berkaitan erat
dengan penegakan etika profesi hukum.
Melaksanakan profesi,
dituntut adanya moralitas yang tinggi dari pelakunya. Moralitas yang tinggi
tersebut bercirikan kepada: a. berani berbuat
dengan tekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi,
b. sadar akan kewajibannya, dan c. memiliki idealisme
yang tinggi. Ketiga ciri tersebut, menjadikan subjek
dalam mengambil keputusan berangkat dari
kesadaran moralnya sendiri, yaitu yang disebut dengan suara hati. Suara hati merupakan kesadaran moral kita dalam situasi konkrit, pertimbangan
akal yang ditanamkan Tuhan pada manusia tentang apa yang baik dan buruk, pernyataan
dari budi kesusilaan. Suara hati ini memerlukan nalar, dan nalar baru dapat
dilakukan dengan baik apabila mendapat informasi atau data sebanyak mungkin
tentang konflik moral yang terjadi. Artinya, suara hati dapat saja keliru,
terutama jika tidak di dukung oleh informasi atau data yang memadai.
Kualitas pengemban
profesi tercermin dalam sikapnya yang memiliki keahlian yang berkeilmuan
dan motivasi dalam mewujudkan/melaksanakan tugas profesinya merupakan amanah
bukan kekuasaan. Pengemban profesi
hukum melaksanakan tugasnya berdasarkan landasan keagamaan, yang melihat
profesinya sebagai tugas kemasyarakatan dan sekaligus sebagai sarana mewujudkan
kecintaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tindakan nyata. Artinya,
pengemban profesi hukum dalam menjalankan fungsinya harus selalu mengacu kepada
tujuan hukum untuk memberikan pengayoman kepada setiap manusia dalam mewujudkan
ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu kepada martabat manusia.
Selanjutnya, pengemban profesi yang berkualitas bercirikan:
a. memiliki ketrampilan yang tinggi dalam melaksanakan
tugasnya, b. mempunyai ilmu dan
pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah, c.
peka di dalam membaca situasi, d.
cepat dan tepat serta cermat di dalam mengambil keputusan
terbaik atas dasar kepekaan, e. punya sikap
orientasi ke depan sehingga mampu mengantisipasi perkembangan yang terjadi
maupun di masa depan, f. punya sikap mandiri
berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan
menghargai pihak lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan
pribadinya guna mengambil keputusan yang adil yang didasari kebenaran.
VII.
Penegakan hukum yang semata-mata hanya mengacu pada kepentingan hukum tanpa
mempertimbangkan kepentingan pembangunan, dapat
menimbulkan situasi dan kondisi justru akan menghambat pembangunan
berkelanjutan, sebaliknya kegiatan pembangunan
dapat menimbulkan dampak negatif bagi
lingkungan. Oleh karena itu
penegakan hukum lingkungan harus
ditempatkan pada titik keseimbangan antara tegaknya hukum dan terlanjutkannya
pembangunan berwawasan lingkungan berkelanjutan. Dalam suasana
pembangunan, hukum berfungsi bukan hanya sekedar as a tool of social control
(sebagai alat yang hanya berfungsi untuk mempertahankan stabilitas), akan
tetapi juga sebagai as a tool of social engineering (sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat). Hukum sebagai sarana penunjang yang berfungsi
sebagai pengawal dan pengaman pelaksanaan pembangunan, maka dalam
penegakan hukum menghindari hal-hal yang dapat menghambat pelaksanaan
pembangunan, artinya penegakan hukum
berjalan seiring dengan pelaksanaan pembangunan.
Hukum
dalam fungsinya sebagai sarana pembangunan mengabdi dalam tiga sektor, yaitu:
1. Hukum sebagai alat penertib
(ordering), dapat menciptakan suatu kerangka bagi pengambilan keputusan
politik dan pemecahan sengketa yang
mungkin timbul melalui suatu
hukum acara yang
baik, serta dapat meletakkan
dasar hukum (legitimacy) bagi penggunaan kerusakan.
2. Hukum sebagai alat penjaga
keseimbangan (balancing), yaitu menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara kepentingan negara/kepentingan umum
dan kepentingan perorangan.
3. Hukum sebagai katalisator, membantu untuk
memudahkan terjadinya
proses perubahan melalui
pembaharuan hukum (Law
Reform) dengan bantuan tenaga kreatif di bidang profesi
hukum.
Peranan-peranan positif
yang dapat dimainkan oleh
hukum dalam pembangunan: a. penciptaan
lembaga-lembaga hukum baru yang melancarkan
dan mendorong pembangunan; b. Mengamankan
hasil-hasil yang diperdapat oleh kerja dan usaha; c. pengembangan
keadilan untuk pembangunan (developmental justice); d. pemberian legitimasi terhadap perubahan-perubahan; e. penggunaan hukum untuk melakukan perombakan-perombakan; f. peranan dalam
penyelesaian perselisihan; g. pengaturan kekuasaan Pemerintah.
Agar
supaya hukum dapat berfungsi dengan
baik, diperlukan keserasian dalam hubungan antara empat faktor yakni:
1. Hukum atau
peraturan itu sendiri.
Kemungkinannya adalah
bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan
mengenai bidang-bidang kehidupan
tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidak cocokan antara peraturan
perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala ada ketidak serasian antara hukum tercatat dengan hukum
kebiasaan, dan seterusnya.
2. Mentalitas petugas
yang menegakkan hukum. Penegak hukum
antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan
seterusnya. Apabila peraturan
perundang-undangan sudah baik, akan tetapi mental penegak hukum
kurang baik, maka akan terjadi gangguan pada sistim penegakan hukum.
3. Fasilitas
yang diharapkan untuk mendukung
pelaksanaan hukum. Kalau peraturan
perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan
tetapi fasilitas kurang memadai (dalam ukuran-ukuran tertentu), maka penegakan
hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.
4. Kesadaran hukum, kepatuhan hukum
dan perilaku masyarakat.
Keempat faktor tersebut, saling berkaitan dan
merupakan inti sistem penegakan hukum. Jika keempat faktor tersebut ditelaah
dan diteliti dengan benar
maka akan dapat
mengungkapkan mengenai
hal-hal yang berpengaruh terhadap
sistem penegakan hukum. Hal-hal tersebut, mungkin merupakan raw-input, instrumental-input,
ataupun environmental-input yang berdiri sendiri atau dalam kaitannya.
VIII. Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai
isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan
normatif karena menentukan apa yang seyogianya dilakukan, apa yang tidak boleh
dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan
kepatuhan pada kaedah-kaedah. Peranan
hukum adalah untuk menstrukturkan seluruh proses (pembangunan) sehingga
kepastian dan ketertiban terjamin. Selanjutnya, hukum berfungsi mengatur, juga
berfungsi sebagai pemberi kepastian, pengamanan, pelindung dan penyeimbang,
yang sifatnya dapat tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga
prediktif dan antisipatif. Potensi hukum ini terletak pada dua dimensi utama
dari fungsi hukum yaitu fungsi preventif dan fungsi represif.
Fungsi preventif yaitu fungsi
pencegahan, yang dituangkan dalam bentuk pengaturan pencegahan yang pada
dasarnya merupakan desain dari setiap tindakan yang hendak dilakukan
masyarakat, yang meliputi seluruh aspek tindakan manusia, termasuk risiko dan
pengaturan prediktif terhadap bentuk penanggulangan risiko itu. Sedangkan
represif adalah fungsi penanggulangan, yang dituangkan dalam bentuk
penyelesaian sengketa atau pemulihan terhadap kerusakan keadaan yang
disebabkan oleh risiko tindakan yang
terlebih dahulu telah ditetapkan dalam perencanaan tindakan itu.
Hukum
merupakan instrumen dari sosial kontrol, dan sarana perubahan sosial atau
sarana pembangunan, maka pengaturan hukum dan penegakan hukum diperlukan
guna mencegah dan menanggulangi dampak negatif dari pembangunan.
--- 0O*Oo ---
kelinci99
BalasHapusTogel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
yukk daftar di www.kelinci99.casino