Rabu, 03 September 2014

Penegakan Hukum Lingkungan

MENDORONG PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
DI INDONESIA

Oleh: Alvi Syahrin

I.               Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum (Pasal 1:2 UUPPLH), dengan tujuan: a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan  manusia; c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j. mengantisipasi isu lingkungan global (Pasal 3 UUPPLH), yang ruang lingkupnya meliputi: a. perencanaan; b. pemanfaatan; c. pengendalian; d. pemeliharaan; e. pengawasan; dan f. penegakan hukum.
             Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif berperan memberikan jaminan, perlindungan, kepastian, dan arah pembangunan, serta instrumen kebijakan.  Sehingga, gagasan upaya penegakan hukum dan hanya para penegak hukum yang harus bertanggungjawab atas kelestarian fungsi lingkungan hidup  merupakan  buah pikiran yang  naif dan terlalu  sederhana.  Namun demikian, melalui upaya penegakan hukum dapat memberikan sumbangan bagi perlindungan dan  pelestarian fungsi lingkungan. Penegakan  hukum yang semata-mata mengacu pada kepentingan hukum atau umum tanpa mempertimbangkan kepentingan pembangunan, dapat menimbulkan situasi dan kondisi yang justru akan menghambat pembangunan berkelanjutan, sebaliknya kegiatan pembangunan dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Hal di atas menunjukkan bahwa ada  dua tugas  berat yang dilaksanakan secara arif  dan bijaksana  dalam era pembangunan saat ini,  yaitu  meletakkan pada  titik keseimbangan dan keserasian yang saling  menunjang secara sinergik antara  penegakan hukum lingkungan dengan pelaksanaan pembangunan.

II.             Tujuan penegakan hukum yaitu complience (penaatan). Strategi penaatan didasarkan pada beberapa teori serta persepsi, antara lain: 1. teori penjera (deterrent),  2. teori ekonomi (economy), dan 3. teori pelaku (behaviour). Teori penjera banyak dijadikan dasar bagi kebijakan penegakan hukum. Sumber pencemar atau  yang berpotensi mencemarkan dicegah untuk melakukan pelanggaran terhadap persyaratan perlindungan lingkungan. Penaatan dapat bersifat spesifik yaitu mencegah agar pelaku pelanggaran tidak melakukannya kembali, dan yang umum yaitu mencegah masyarakat umum untuk tidak melakukan pelanggaran. Ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat menggunakan teori deterrent secara efektif, yaitu: 1. kemampuan mendeteksi adanya pelanggaran, 2. tanggapan (respons) yang cepat dan pasti (swift & sure response), dan 3. sanksi yang memadai.
Teori ekonomi didasarkan pada suatu dalil bahwa setiap penanggung jawab kegiatan yang berpotensi mencemarkan secara rasional akan menghitung terlebih dahulu sejauh mana melaksanakan penaatan (compliance) atau melakukan pelanggaran (violation) mendatangkan keuntungan secara ekonomis. Teori inilah yang memberi dasar bagi pengembangan instrumen ekonomi dalam pengendalian dampak lingkungan.
Teori perilaku (behaviour) menekankan pada human motivation dengan penekanan pada pentingnya kerjasama melalui perundingan dan dukungan tekhnis agar masyarakat industri bersedia mengikuti program penaatan. Hubungan personal (personal relationship) antara obyek pengaturan (regulated community) dan aparat pemerintah (regulator) sebagai sesuatu yang sangat penting dan merupakan prakondisi untuk mewujudkan kondisi taat. Model ini menandang industri sebagai suatu obyek pengaturan yang incompetent atau unknowledgeable.
Penggunaan teori-teori diatas berbeda dari satu negara dengan negara lainnya-tergantung pada kultur birokrasi, masyarakat dan kehendak politik pemerintah. Di Belanda misalnya sangat percaya dengan teori perilaku sehingga menerapkan instrumen covenant (voluntary agreement yang dihasilkan melalui negosiasi) antara Asosiasi Industri sejenis dengan intansi pemerintah terkait. Sedangkan di Amerika Serikat penekanan teori deterrence sangat jelas terlihat dengan penggunaan sanksi administratif yang agresif bagi pelanggar seperti penjatuhan sanksi administrative orders, dan larangan untuk melakukan kontrak kerja dengan pemerintah.
UUPPLH menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya pengendalian dampak secara dini. Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut, dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain. Sistem hukum tersebut mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan  dan di dalam pengadilan.  Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.

III         Sarana penegakan hukum lingkungan administratif mempunyai fungsi instrumental yaitu pengendalian perbuatan terlarang dan sanksinya ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh keten­tuan yang dilanggar tersebut. Penegakan hukum lingkungan dapat diterapkan terhadap kegiatan yang menyangkut persyaratan perizi­nan, baku mutu lingkungan, RKL, RPL dan sebagainya. Adapun jenis sarana penegakan hukum lingkungan administratif, yaitu:  a. Paksaan pemerintah atau tindakan paksa (bestuursdwang); b. Uang paksa (Publiekrechtelijke dwangsom); c. Penutupaan tempat usaha (Sluiting van een inrichting);  d. Penghentian kegiatan mesin perusahaan (Buitengebruikstelling van een toestel);  e. Pencabutan izin (intrekking van een vergunning) melalui pros­es: teguran, paksaan pemerintah, penutupan dan uang paksa.
             Jenis sanksi administrasi yang di atur dalam Pasal 76 (2) UUPPLH, yaitu berupa: a. teguran tertulis;  b. paksaan pemerintah; c. pembekuan izin lingkungan; atau d. pencabutan izin lingkungan. Walaupun penjatuhan sanksi administratif ini telah diberikan kepada penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan, berdasarkan Pasal 78 UUPPLH tidak membebaskan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggungjawab pemulihan dan pidana. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 82 UUPPLH, beban biaya untuk melakukan pemulihan lingkungan akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan yang dilakukannya atas beban biaya penanggungjawab dan atau kegiatan.
             Kepustakaan hukum mengenal konsep tanggunggugat negara, yang mengandung makna  negara dapat digugat atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan pemerintahan. Konsep tanggunggugat negara ini mengandung penger­tian tersedianya sarana hukum bagi warga untuk mengajukan gugatan terhadap badan pemerintahan. Hak bagi warga untuk mengajukan gugatan terhadap badan pemerintahan juga merupakan sarana penega­kan hukum lingkungan lingkungan administratif. Gugatan hukum lingkungan administratif dapat terjadi karena kesalahan atau kekeliruan dalam proses penerbitan suatu keputusan tata usaha negara yang berdampak penting terhadap lingkungan.  Hukum memberikan hak kepada seseorang atau badan hukum untuk menggugat Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang dalam proses penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara itu. Gugatan Tata Usaha Negara, disamping sebagai sarana untuk menekan Pejabat Tata Usaha Negara agar mematuhi ketentuan prosedural, juga sebagai "sarana perlindungan hukum bagi rakyat”.

IV.       Penerapan hukum perdata dalam permasalahan yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pada esensialnya tampak dalam 3 (tiga) fungsi, yaitu:
1.     Melalui kaedah-kaedah hukum perdata dapat dipaksakan ketaatan pada norma-norma hukum lingkungan, baik yang bersifat kewajiban menurut hukum privat maupun hukum publik, Misalnya wewenang hakim perdata untuk menjatuhkan putusan yang bersifat berisi perintah atau larangan terhadap sesorang yang telah bertindak secara bertentangan dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam surat izin, yang berkaitan dengan masalah lingkungan, seperti: IMB, Izin Usaha, Izin Lokasi dan sebagainya.
2.    Hukum perdata dapat memberikan norma-norma secara umum dalam masalah lingkungan hidup, misalnya: melalui putusan-putusan hukum perdata dapat dirumuskan norma-norma atau ukuran-ukuran tentang tindakan yang bersifat cermat, yang seharusnya diharapkan dari seseorang dalam masyarakat dan agar melindungi lingkungan yang baik dan sehat.
3.    Hukum perdata memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan, dan gugatan tersebut ditujukan kepada pihak yang menyebabkan timbuln­ya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan, yang ditempuh mela­lui upaya hukum berupa gugatan perbuatan melawan hukum atau bilamana timbul dalam kaitannya dengan suatu perjanjian atau perikatan, maka atas dasar wansprestasi.
                Titik singgung antara hukum perdata dan hukum lingkungan di dalam penegakan hukumnya, sepanjang menyangkut masalah pertanggungjawa­ban (aansprakelijkheid) dalam suatu sengketa yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup, yaitu pertanggungjawaban akibat suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasar Pasal 1365 KUHPerdata, maupun pertanggungjawaban atas dasar hubungan kontraktual (contractuele aansprakelijkheid) berdasar Pasal 1243 KUHPerdata.
Tujuan utama penegakan hukum lingkungan keperdataan yaitu untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap "lingkun­gan" maupun terhadap "si korban" yang menderita kerugian sebagai akibat kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan.

V.            Fungsionalisasi hukum pidana untuk mengatasi masalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, diwujudkan melalui perumusan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undan­gan yang berlaku. Ada dua alasan diperlukannya sanksi pidana, yaitu: Pertama: sanksi pidana selain dimaksudkan untuk melindungi kepentingan manusia, juga untuk melindungi kepentingan lingkungan karena manusia tidak dapat menikmati harta benda dan kesehatannya dengan baik jika persyaratan dasar tentang kualitas lingkungan yang baik tidak terpenuhi;  Kedua:  pendayagunaan sanksi pidana juga dimaksudkan untuk memberikan rasa takut kepada pencemar potensial. Sanksi pidana dapat berupa pidana penjara, denda, perintah memulihkan lingkungan yang tercemar dan/atau rusak, penutupan tempat usaha dan pengumuman melalui media massa yang dapat menurunkan nama baik badan usaha yang bersangkutan
Penegakan hukum lingkungan kepidanaan didasarkan kepada asas legalitas, baik aspek materiel maupun aspek formalnya. Kegiatan penegakan hukum lingkungan kepidanaan hanya sah bila substansi materiilnya didasarkan pada pasal-pasal pidana lingkungan hidup yang sebagian besar bertebaran di luar KUHP, dan kegiatan penega­kan dilakukan sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta berpedoman Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
Pelaksanaan penegakan hukum lingkungan kepidanaan dalam praktek di lapangan bermula dari kegiatan pengumpulan bahan keterangan (penyelidikan), dilanjutkan dengan kegiatan penyidikan, Penuntu­tan, Putusan Hakim dan eksekusi putusan hakim, harus pula memper­hatikan sifat-sifat khas dan kompleksitas dari suatu kasus ling­kungan hidup.  Karena itu, sesuai dengan asas pengelolaan lingkungan hidup, maka penegakan hukum lingkungan kepidanaan juga dila­kukan secara terpadu dan terkoordinasi dengan aparat sektoral, terutama yang berwenang dalam bidang penerbitan izin, pengawasan, pemantauan lingkungan dan penegakan hukum lingkungan   administra­tif.
Hukum lingkungan kepidanaan dapat berdayaguna, tidak hanya diten­tukan oleh sanksi pidananya, tetapi juga oleh konsep pertanggung­jawaban pidana yang berlaku. Konsep pertanggungjawaban pidana menjadi penting, sebab masalah pencemaran/perusakan lingkungan bisa terjadi (bersumber) dari kegiatan-kegiatan badan-badan usaha (korporasi) yang di dalamnya terlibat banyak orang dengan berbagai tingkatan tugas dan tang­gungjawab pekerjaan. Dalam hal ini perlu memperhatikan perkembangan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability).

VI.          Hukum mengendalikan keadilan. Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan,  hak asasi individu, kebenaran, kepatutan, dan melindungi masyarakat.  Selain itu, hukum mengemban fungsinya sebagai memelihara stabilitas, memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diajukan anggota masyarakat, menciptakan kaidah-kaidah, serta jalinan antar institusi. Selanjutnya, pembangunan di bidang hukum juga menyangkut sumber daya manusia, terlebih-lebih profesionalisme para penegak hukum. Dan profesionalisme ini berkaitan erat dengan penegakan etika profesi hukum.
Melaksanakan profesi, dituntut adanya moralitas yang tinggi dari pelakunya. Moralitas yang tinggi tersebut bercirikan kepada: a. berani berbuat dengan tekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi, b. sadar akan kewajibannya, dan c. memiliki idealisme yang tinggi. Ketiga ciri tersebut, menjadikan subjek dalam mengambil keputusan  berangkat dari kesadaran moralnya sendiri, yaitu yang disebut dengan suara hati. Suara hati merupakan kesadaran moral kita dalam situasi konkrit, pertimbangan akal yang ditanamkan Tuhan pada manusia tentang apa yang baik dan buruk, pernyataan dari budi kesusilaan. Suara hati ini memerlukan nalar, dan nalar baru dapat dilakukan dengan baik apabila mendapat informasi atau data sebanyak mungkin tentang konflik moral yang terjadi. Artinya, suara hati dapat saja keliru, terutama jika tidak di dukung oleh informasi atau data yang memadai.
Kualitas pengemban profesi tercermin dalam sikapnya yang memiliki keahlian yang berkeilmuan dan motivasi dalam mewujudkan/melaksanakan tugas profesinya merupakan amanah bukan kekuasaan. Pengemban profesi hukum melaksanakan tugasnya berdasarkan landasan keagamaan, yang melihat profesinya sebagai tugas kemasyarakatan dan sekaligus sebagai sarana mewujudkan kecintaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tindakan nyata. Artinya, pengemban profesi hukum dalam menjalankan fungsinya harus selalu mengacu kepada tujuan hukum untuk memberikan pengayoman kepada setiap manusia dalam mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu kepada martabat manusia. Selanjutnya, pengemban profesi yang berkualitas bercirikan: a. memiliki ketrampilan yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya, b. mempunyai ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah, c. peka di dalam membaca situasi, d. cepat dan tepat serta cermat di dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan, e. punya sikap orientasi ke depan sehingga mampu mengantisipasi perkembangan yang terjadi maupun di masa depan, f. punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pihak lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan pribadinya guna mengambil keputusan yang adil yang didasari kebenaran.

VII.   Penegakan hukum yang semata-mata  hanya mengacu pada kepentingan hukum tanpa mempertimbangkan kepentingan pembangunan, dapat  menimbulkan situasi dan kondisi justru akan menghambat pembangunan berkelanjutan, sebaliknya kegiatan pembangunan  dapat menimbulkan  dampak  negatif bagi  lingkungan. Oleh  karena  itu  penegakan hukum  lingkungan harus ditempatkan pada titik keseimbangan antara tegaknya hukum dan terlanjutkannya pembangunan berwawasan lingkungan berkelanjutan. Dalam suasana pembangunan, hukum berfungsi bukan hanya sekedar as a tool of social control (sebagai alat yang hanya berfungsi untuk mempertahankan stabilitas),  akan  tetapi juga sebagai as a tool of social engineering  (sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat). Hukum  sebagai sarana penunjang yang  berfungsi  sebagai pengawal dan pengaman pelaksanaan pembangunan, maka dalam penegakan hukum menghindari hal-hal yang dapat menghambat pelaksanaan pembangunan,  artinya penegakan hukum berjalan seiring dengan pelaksanaan pembangunan.
Hukum dalam fungsinya sebagai sarana pembangunan mengabdi dalam tiga sektor, yaitu:
1.    Hukum sebagai alat penertib (ordering), dapat menciptakan suatu kerangka bagi pengambilan keputusan politik dan pemecahan sengketa  yang mungkin  timbul  melalui suatu  hukum  acara  yang  baik, serta  dapat meletakkan dasar hukum (legitimacy) bagi penggunaan kerusakan.
2. Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing), yaitu  menjaga keseimbangan dan keharmonisan  antara kepentingan negara/kepentingan umum dan kepentingan perorangan.
3.    Hukum sebagai katalisator, membantu   untuk   memudahkan   terjadinya proses  perubahan  melalui  pembaharuan hukum   (Law  Reform)  dengan   bantuan tenaga kreatif di bidang profesi hukum.
Peranan-peranan positif  yang dapat  dimainkan oleh hukum  dalam  pembangunan: a. penciptaan lembaga-lembaga hukum  baru yang melancarkan dan mendorong  pembangunan; b.  Mengamankan hasil-hasil yang diperdapat oleh kerja dan usaha; c. pengembangan keadilan  untuk   pembangunan (developmental justice); d. pemberian  legitimasi terhadap  perubahan-perubahan; e. penggunaan hukum untuk melakukan perombakan-perombakan; f. peranan dalam penyelesaian  perselisihan; g. pengaturan kekuasaan Pemerintah.
Agar supaya hukum dapat  berfungsi dengan baik, diperlukan keserasian dalam hubungan antara empat faktor yakni:
1.     Hukum   atau  peraturan  itu   sendiri.
        Kemungkinannya  adalah  bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai  bidang-bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidak cocokan antara peraturan perundang-undangan  dengan hukum  tidak tertulis atau hukum kebiasaan.  Kadangkala ada ketidak serasian antara  hukum tercatat  dengan hukum  kebiasaan,  dan seterusnya.
2.    Mentalitas   petugas  yang menegakkan hukum. Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila  peraturan perundang-undangan sudah baik, akan tetapi mental  penegak hukum  kurang baik, maka  akan  terjadi gangguan pada sistim penegakan hukum.
3.    Fasilitas yang diharapkan untuk  mendukung pelaksanaan hukum. Kalau peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai (dalam ukuran-ukuran tertentu), maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.
4.   Kesadaran  hukum, kepatuhan  hukum  dan perilaku masyarakat.
Keempat faktor tersebut, saling berkaitan dan merupakan inti sistem penegakan hukum. Jika keempat faktor tersebut ditelaah dan  diteliti dengan  benar  maka  akan  dapat  mengungkapkan mengenai  hal-hal  yang berpengaruh terhadap sistem penegakan hukum. Hal-hal tersebut, mungkin merupakan raw-input, instrumental-input, ataupun environmental-input yang berdiri sendiri atau dalam kaitannya.

VIII.        Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogianya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.  Peranan hukum adalah untuk menstrukturkan seluruh proses (pemban­gunan) sehingga kepastian dan ketertiban terjamin. Selanjutnya, hukum berfungsi mengatur, juga berfungsi sebagai pemberi kepastian, pengamanan, pelindung dan penyeimbang, yang sifatnya dapat tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Potensi hukum ini terletak pada dua dimensi utama dari fungsi hukum yaitu fungsi preventif dan fungsi represif.
Fungsi preventif yaitu fungsi pencegahan, yang dituangkan dalam bentuk pengaturan pencegahan yang pada dasarnya merupakan desain dari setiap tindakan yang hendak dilakukan masyarakat, yang meliputi seluruh aspek tindakan manusia, termasuk risiko dan pengaturan prediktif terhadap bentuk penanggulangan risiko itu. Sedangkan represif adalah fungsi penanggulangan, yang dituangkan dalam bentuk penyelesaian sengketa atau pemulihan terhadap keru­sakan keadaan yang disebabkan oleh risiko tindakan yang  terlebih dahulu telah ditetapkan dalam perencanaan tindakan itu.
Hukum merupakan instrumen dari sosial kontrol, dan sarana perubahan sosial atau sarana pembangunan, maka pengaturan hukum dan penegakan hukum diperlukan guna mencegah dan menanggulangi dampak negatif dari pembangunan.


--- 0O*Oo ---

1 komentar:

  1. kelinci99
    Togel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
    HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
    NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
    Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
    Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
    segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
    yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
    yukk daftar di www.kelinci99.casino

    BalasHapus