PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP TERPADU
DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
Oleh: Alvi Syahrin
I. Arah dan pendekatan pengelolaan lingkungan hidup dilandasi oleh cara pandang (visi) yang luas dan tajam jauh ke depan dengan misi yang jelas dan program-program nyata yang bermanfaat dalam rangka mewujudkan suatu kebijaksanaan program pengelolaan lingkungan hidup dengan paradigma, mengintegrasikan tuntutan penerapan hak asasi, demokrasi dan lingkungan hidup dalam suatu kelestarian fungsi lingkungan yang menunjang pelestarian fungsi lingkungan.
Pada saat yang sama, semua orang sama-sama memiliki tanggungjawab untuk membantu kebaikan bersama, menyeimbangkan tindakan mereka kepada keamanan dan kesejahteraan orang lain, melindungi kepentingan masa depan dengan mengejar perkembangan terus menerus dan menjaga publik global memelihara warisan intelektual dan kultural manusia, aktif berpartisipasi dalam pengaturan global dan bekerja untuk menghapus korupsi dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Selanjutnya, dalam interaksinya di masyarakat, eksistensi dan kualitas hidup manusia ditentukan berdasarkan pada referensi nilai dan moral. Orang yang jahat akan dicela dan seringkali disingkirkan dari masyarakat, sedangkan orang yang baik akan dipuji, dihormati, dicintai dan kemana-mana akan didukung kehidupannya. Orang bisa menjadi jahat karena di dalam kodratnya memiliki kehendak bebas, akan tetapi kehendak bebas akan terbentuk dan berkembang dan mejadi kuat kalau orang semakin bersedia untuk bertanggungjawab.[1]
Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya kegiatan industri atau sejenisnya dalam menjalankan suatu usaha ekonomi serta sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan atau melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup[2].
Hukum pidana memainkan peranan penting dalam upaya penegakan hukum lingkungan, namun demikian beban yang ditimpakan pada hukum pidana tidak berarti harus melebihi kapasitas yang dimilikinya dan perlu diperhatikan pembatasan-pembatasan secara in heren terkandung dalam penerapan hukum pidana tersebut, seperti asas legalitas maupun asas kesalahan.[3]
Berlakunya hukum pidana dalam suatu masyarakat, pada dasarnya berkait dengan tiga unsur/komponen hukum yang satu sama lainnya terkait erat[4], yaitu:
Pertama, adanya seperangkat peraturan yang berfungsi mengatur perilaku manusia, juga berfungsi menyelesaikan sengketa yang timbul diantara anggota masyarakat tersebut, juga berfungsi mendidik. Khususnya fungsi yang terakhir mengingat setiap peraturan yang dibuat dengan sengaja selalu bertujuan untuk mengatur perilaku anggota masyarakat untuk waktu mendatang (sifat preventif suatu peraturan hukum) berdasarkan suatu tujuan tertentu dan oleh karena itu harus dilaksanakan atau dipatuhi. Sedang fungsinya yang kedua juga merupakan sifat setiap peraturan hukum yang refresif, menyelesaikan permasalahan bila terjadi pelanggaran atas peraturan perundang-undangan yang dibuat dengan sengaja untuk mengatur perilaku anggota masyarakat itu.
Kedua, adanya seperangkat orang/lembaga yang melaksanakan tugas agar peraturan-peraturan yang dengan sengaja dibuat itu ditaati dan tidak dilanggar. Dalam hal dilanggar, maka seperangkat orang/lembaga tersebut diberi kewenangan untuk menyelesaikannya. Kewenangan ini tercermin dalam sanksi/akibat (pelanggaran) hukum yang menyertainya.
Ketiga, adanya orang/orang-orang yang dikenai oleh peraturan itu, yaitu anggota masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok.
II. Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif berperan memberikan jaminan, perlindungan, kepastian, dan arah pembangunan, serta instrumen kebijakan.
Hukum mengendalikan keadilan. Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan, hak asasi individu, kebenaran, kepatutan, dan melindungi masyarakat. Selain itu, hukum mengemban fungsinya sebagai memelihara stabilitas, memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diajukan anggota masyarakat, menciptakan kaidah-kaidah, serta jalinan antar institusi.
Hukum ada atau diadakan untuk mengatur dan menciptakan keseimbangan atau harmonisasi kepentingan manusia. Artinya, hukum ditujukan untuk menciptakan keamanan, perdamaian, kesejahteraan, keselamatan alam dan keterlanjutan manusia[5]. Selanjutnya, sebagai suatu keseluruhan perundang-undangan itu merupakan satu kesatuan tanpa pertentangan[6]. Ini tidak lain karena sifat dari hukum itu sendiri adalah memerintah dan mengatur atau menata[7].
Dapat berfungsinya sistem hukum, ada 4 hal yang perlu diselesaikan terlebih dahulu, yaitu: a. masalah legitimasi (yang menjadi landasan bagi pentaatan kepada aturan-aturan); b. masalah interpretasi (yang akan menyangkut soal penetapan hak dan kewajiban subyek, melaui proses penerapan aturan tertentu); c. masalah sanksi (menegaskan sanksi apa, bagaimana penerapannya dan siapa yang menerapkannya), dan d. masalah yuridiksi (menetapkan garis kewenangan yang kuasa menegakkan norma hukum, dan golongan apa yang hendak diatur oleh perangkat norma itu).[8]
Peran dan fungsi hukum yang penting adalah memberikan prediktabilitas, artinya melalui pembacaan terhadap teks hukum dapat diketahui apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang diharapkan dari suatu tindakan[9].
Selanjutnya, pembangunan di bidang hukum juga menyangkut sumber daya manusia, terlebih-lebih profesionalisme para penegak hukum. Dan profesionalisme ini berkaitan erat dengan penegakan etika profesi hukum.
Dalam melaksanakan profesi, dituntut adanya moralitas yang tinggi dari pelakunya. Moralitas yang tinggi tersebut bercirikan kepada:
a. berani berbuat dengan tekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi,
b. sadar akan kewajibannya, dan
c. memiliki idealisme yang tinggi.
Ketiga ciri yang disebutkan di atas, menjadikan subjek dalam mengambil keputusan berangkat dari kesadaran moralnya sendiri, yaitu yang disebut dengan suara hati [10]. Suara hati ini memerlukan nalar , dan nalar baru dapat dilakukan dengan baik apabila mendapat informasi atau data sebanyak mungkin tentang konflik moral yang terjadi. Artinya, suara hati dapat saja keliru, terutama jika tidak di dukung oleh informasi atau data yang memadai.
Kualitas pengemban profesi tercermin dalam sikapnya yang memiliki keahlian yang berkeilmuan dan motivasi dalam mewujudkan/melaksanakan tugas profesinya merupakan amanah bukan kekuasaan.
Pengemban profesi hukum melaksanakan tugasnya berdasarkan landasan keagamaan, yang melihat profesinya sebagai tugas kemasyarakatan dan sekaligus sebagai sarana mewujudkan kecintaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tindakan nyata. Artinya, pengemban profesi hukum dalam menjalankan fungsinya harus selalu mengacu kepada tujuan hukum untuk memberikan pengayoman kepada setiap manusia dalam mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu kepada martabat manusia.
Pengemban profesi yang berkualitas bercirikan memiliki ketrampilan yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya, mempunyai ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah, peka di dalam membaca situasi, cepat dan tepat serta cermat di dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan, punya sikap orientasi ke depan sehingga mampu mengantisipasi perkembangan yang terjadi maupun di masa depan, punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pihak lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan pribadinya guna mengambil keputusan yang adil yang didasari kebenaran.
Penegakan hukum yang semata-mata mengacu pada kepentingan hukum atau umum tanpa mempertimbangkan kepentingan pembangunan, dapat menimbulkan situasi dan kondisi yang justru akan menghambat pembangunan berkelanjutan, sebaliknya kegiatan pembangunan dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.
Hal diatas menunjukkan bahwa ada dua tugas berat yang dilaksanakan secara arif dan bijaksana dalam era pembangunan saat ini, yaitu meletakkan pada titik keseimbangan dan keserasian yang saling menunjang secara sinergik antara penegakan hukum lingkungan dengan pelaksanaan pembangunan.
Penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat aktif berperan dalam penegakan hukum[11].
Penegakan hukum lingkungan sebagai suatu tindakan dan/atau proses paksaan untuk mentaati hukum yang didasarkan kepada ketentuan, peraturan perundang-undangan dan/atau persyaratan-persyaratan lingkungan. Undang-undang 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) telah menegaskan 3 (tiga) langkah penegakan hukum secara sistematis, yaitu mulai dengan penegakan hukum administratif, penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan dan penyidikan atas tindak pidana lingkungan hidup.
Konsekwensi dari hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yaitu adanya kewajiban bagi setiap orang untuk memelihara lingkungan hidup guna mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.[12]
Adanya kewajiban untuk melindungi lingkungan hidup tersebut berarti bahwa lingkungan hidup dengan segala sumberdayanya merupakan kekayaan yang dapat digunakan setiap orang, dan karena itu harus dijaga untuk kepentingan masyarakat dan generasi mendatang. Perlindungan lingkungan hidup dan sumberdaya alamnya mempunyai tugas ganda, yaitu melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhannya dan kepentingan individu[13].
Fungsionalisasi hukum pidana untuk mengatasi masalah perusakan lingkungan akibat pembangunan diwujudkan melalui perumusan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada dua alasan diperlukannya sanksi pidana, yaitu: Pertama, sanksi pidana selain dimaksudkan untuk melindungi kepentingan manusia, juga untuk melindungi kepentingan lingkungan karena manusia tidak dapat menikmati harta benda dan kesehatannya dengan baik jika persyaratan dasar tentang kualitas lingkungan yang baik tidak terpenuhi. Kedua, pendayagunaan sanksi pidana juga dimaksudkan untuk memberikan rasa takut kepada pencemar potensial. Sanksi pidana dapat berupa pidana penjara, denda, perintah memulihkan lingkungan yang tercemar dan/atau rusak, penutupan tempat usaha dan pengumuman melalui media massa yang dapat menurunkan nama baik badan usaha yang bersangkutan.[14]
Penegakan hukum lingkungan kepidanaan didasarkan kepada asas legalitas, baik aspek materiel maupun aspek formalnya. Kegiatan penegakan hukum lingkungan kepidanaan hanya sah bila substansi materiilnya didasarkan pada pasal-pasal pidana lingkungan hidup yang sebagian besar bertebaran di luar KUHP, dan kegiatan penegakan dilakukan sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta berpedoman kepada Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
Pelaksanaan penegakan hukum lingkungan kepidanaan dalam praktek di lapangan bermula dari kegiatan pengumpulan bahan keteragan (penyelidikan), dilanjutkan dengan kegiatan penyidikan, Penuntutan, Putusan Hakim dan eksekusi putusan hakim, harus pula memperhatikan sifat-sifat khas dan kompleksitas dari suatu kasus lingkungan hidup. Karena itu, sesuai dengan asas pengelolaan lingkungan hidup, maka penegakan hukum lingkungan kepidanaan juga dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dengan aparat sektoral, terutama yang berwenang dalam bidang penerbitan izin, pengawasan, pemantauan lingkungan dan penegakan hukum lingkungan administratif.[15].
Hukum lingkungan kepidanaan dapat berdayaguna, tidak hanya ditentukan oleh sanksi pidananya, tetapi juga oleh konsep pertanggungjawaban pidana yang berlaku. Konsep pertanggungjawaban pidana menjadi penting, sebab masalah pencemaran/ perusakan lingkungan bisa terjadi (bersumber) dari kegiatan-kegiatan badan-badan usaha (pengembang) yang di dalamnya terlibat banyak orang dengan berbagai tingkatan tugas dan tanggungjawab pekerjaan. Dalam hal ini perlu dikembangkan konsep tanggung jawab korporasi (corporate liability).
III. Hukum pidana selalu dipandang sebagai ultimum remedium, sehingga dalam membuat ketentuan-ketentuan pidana pembentuk undang-undang selalu harus mempertanyakan apakah bagian hukum yang lain tidak telah memberikan perlindungan yang cukup bagi kepentingan terebut dan apakah suatu sanksi pidana memang diperlukan sekali disamping sanksi-sanksi lain yang telah ada dalam bagian-bagian hukum lainnya itu. Dalam menimbang itu pembentuk undang-undang berkali-kali harus memperhatikan apakah sanksi-sanksi lain itu dapat memberikan perlindungan yang cukup terhadap kepentingan masyarakat[16].
Secara umum dikatakan bahwa tindakan pembentuk undang-undang menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana di dorong oleh keinginan untuk melindungi “kepentingan” yaitu kepentingan yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai arti bagi masyarakat, diantaranya berupa ketenangan dan ketertiban dalam masyarakat, kemudian pembentuk undang-undang juga memperimbangkan serta membandingkan antara ketidaktenangan yang akan timbul maupun kerugian masyarakat yang akan timbul jika perbuatan tersebut tidak dinyatakan sebagai tindak pidana. Dengan kata lain, pembentuk undang-undang pada umumnya berpendapat kelakuan (perbuatan) yang dinyatakan dapat di pidana oleh karena immoral juga merusak atau merugikan, atau sekurang-kurangnya dapat merusak atau merugikan.
Memperhatikan pertimbangan huruf “a” sampai dengan huruf “e” UUPLH, yang menyebutkan:
“a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
c. bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d. bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan;
e. bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
maka dapat diketahui bahwa kepentingan yang akan dilindungi dalam UUPLH yaitu kehidupan manusia, kelestarian fungsi lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan.
Tindak pidana di bidang lingkungan hidup biasanya (banyak) yang terkait dengan pengaturan atau berkenan dengan perbuatan pelanggaran atas kebijakan penguasa administratif yang biasanya bersifat preventif, dan terkait dengan larangan bertindan tanpa izin. Hal ini menjadikan muncul pendapat bahwa kewenangan hukum pidana untuk melakukan penyidikan dan pemeriksaan selebihnya hanya akan dimungkinkan jika sarana lain (penegakan hukum lainnya) telah diupayakan dan gagal (daya kerja subsidiaritas hukum pidana).
Memandang ultimum remedium hukum pidana sebagai upaya terakhir, atau penjatuhan pidana jika sanksi-sanksi hukum lainnya (administratif atau perdata) terbukti tidak memadai dalam menanggulangi kasus lingkungan hidup. Pandangan ini tidak sepenuhnya mengandung kebenaran atau mutlak untuk dijalankan, oleh karena bisa terjadi adanya keengganan pihak pemerintah untuk melakukan tindakan administratif atau pemerintah setempat enggan untuk terlibat dalam kasus tersebut karena adanya hubungan kepentingan personal yang mana pengusaha tersebut memiliki hubungan dengan partai politik atau pihak penguasa, apakah tetap melaksanakan hukum pidana sebagai upaya terakhir, sementara telah terjadi pelanggaran terhadap lingkungan bahkan telah menimbulkan kerugian serta memunculkan rasa ketidakadilan.
Penerapan ketentuan pidana perlu memperhatikan asas subsidiaritas sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UUPPLH. Penjelasan umum UUPPLH menyebutkan: “ ... Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.”.
Penjelasan umum UUPPLH tersebut, hanya memandang hukum pidana sebagai upaya terakhir (ulmitimum remedium) bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan, sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UUPPLH. Sementara untuk tindak pidana lainnya yang diatur selain Pasal 100 UUPPLH, tidak berlaku asas ultimum remedium, yang diberlakukan asas premium remedium (mendahulukan pelaksanaan penegakan hukum pidana).
Pandangan hukum pidana dapat dipergunakan sebagai instrumen dalam rangka perlindungan terhadap lingkungan hidup, membawa konsekuensi terhadap keterjalinan hukum pidana dengan hukum administrasi.
Keterjalinan upaya penyidikan hukum pidana dengan sarana hukum administrasi (yang lebih cenderung melaksanakan tugasnya dalam rangka prevensi atau memandang pelanggaran masalah lingkungan sebagai yang harus dipecahkan, diberi nasehat dan/atau perbaikan keadaan) akan menjadikan penegakan hukum lingkungan lebih baik jika berjalan dengan bersinergi, atau menjadi kendala jika tidak bersinergi.
IV. Proses penanganan suatu tindak pidana, mengacu kepada hukum acara pidana yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP). Proses penegakan hukum pidana berdasarkan KUHAP terdiri atas: 1. Pelaporan, pengaduan, atau tertangkap tangan, 2. Penyelidikan, 3. Penyidikan, 4. Penuntutan, 5. Persidangan, 6. Putusan, dan 7. Pelaksanaan dan pengawasan putusan. Kesemua proses tersebut saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain, serta saling mendukung untuk kelancaran proses selanjutnya.
Dalam proses penegakan hukum tersebut terdapat kelembagaan pada setiap proses, diantara kelembagaan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim dan Panitera, Hakim Pengawas dan Pengamat.
Dalam proses penyidikan tindak pidana lingkungan, selain Penyidik Polri, PPNS Lingkungan juga mempunyai kewenangan dalam penyidikan berdasarkan UUPPLH. Meskipun PPNS mempunyai kewenangan dalam melakukan penyidikan, namun untuk melanjutkan hasil penyidikannya ke Jaksa Penuntut Umum, PPNS Lingkungan harus melalui Penyidik Polri sebagaimana diatur dalam Pasal 107 KUHAP dan Pasal 94 UUPPLH.
Proses pelimpahan berkas perkara melalui Penyidik Polri adakalanya menjadi kurang optimal jika PPNS dan Polri tidak saling melakukan koordinasi dalam penyidikan, sehingga adakalanya proses pelimpahan perkara menjadi lambat. Selain itu, ketika berkas perkara sudah sampai di tangan Jaksa Penuntut Umum, berdasarkan Pasal 138 KUHAP Jaksa Penuntut Umum di beri peluang untuk mengembalikan berkas pada penyidik jika dianggap belum cukup untuk dapat diajukan kepersidangan. Pengembalian berkas tersebut disertai dengan petunjuk untuk melengkapi berkas tersebut, akan tetapi KUHAP tidak mengatur sampai berapa kali proses ini dapat berlangsung. Hal ini juga menjadi kendala dalam penanganan tindak pidana kehutanan. Seharusnya, PPNS, Polri dan Jaksa Penuntut Umum memiliki rasa kebersamaan dan koordinasi yang baik sesuai dengan semangat yang tergambar dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system).
Kendala yang dihadapi di atas dapat diminimalkan, dengan menerapkan Pasal 95 ayat (1) UUPPLH, yang berbunyi: “Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisisan, dan kejaksaan di bawah koordinasi menteri” (dalam hal ini Menteri Negara Lingkungan Hidup).
Kendala lainnya yang dihadapi dalam penanganan tindak pidana lingkungan, diantaranya:
1. Ketidaktahuan masyarakat terhadap mekanisme penanganan tindak pidana lingkungan dan bagaimana proses pelaporan jika mereka menemukan indikasi tindak pidana lingkungan,
2. Kurangnya koordinasi diantara PPNS, Polri dan Penuntut Umum,
3. Tidak digunakannya kewenangan pemeriksaan ulang oleh Jaksa Penuntut Umum dalam memeriksa tindak pidana kehutanan guna membantu Penyidik dalam pemberkasan, dan tak jarang pula ditemukan kurang memadainya pemahaman Jaksa Penuntut Umum terhadap aturan-aturan hukum yang dapat dipakai untuk menjerat pelaku tindak pidana lingkungan,
4. Lamanya proses pemeriksaan perkara hingga putusan hakim, sehingga sulit untuk memenuhi asas peradilan yang cepat,
5. Terbatasnya ahli di bidang lingkungan,
6. Masih ditemukannya sikap oknum yang arogan dengan kewenangan yang dimiliki, yang seharusnya masing-masing dapat memperbaiki kapasitasnya dan saling mendukung kelancaran setiap tahap penanganan perkara.
7. Adanya kecenderungan untuk saling menyalahkan antara satu aparat Kepolisian, Kejaksaan dan dinas sektoral atau pemerintah daerah, yang seharusnya mereka saling berkoordinasi dalam menegakkan hukum,
8. Kurang melibatkan para pakar yang ahli dalam bidang sektoral (yang terkait substansi kasus lingkungan), lingkungan hidup, korporasi dan lainnya yang seharusnya dilibatkan sejak awal pada tahap penyelidikan atau setidak-tidaknya pada tahap penyidikan guna membantu melakukan kajian atau audit lingkungan hidup guna membantu memberikan kesimpulan telah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup, sebab pencemaran dan kerusakan lingkungan bisa mengganggu kelestarian fungsi lingkungan hidup,
9. Adanya backing dari oknum pejabat baik dari pemerintah daerah, dinas atau departemen (sektoral), oknum aparat keamanan, dan lain-lain, sehingga penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Ditemukannya indikasi sarat dengan muatan korupsi dalam penanganan tindak pidana lingkungan dengan adanya bentuk backing oknum penegak hukum ataupun aktifitas penyuapan yang melibatkan aparat penegak hukum dan pelaku guna mengurangi sanksi pidana atau terlepas dari jeratan hukum pidana, sebenarnya dapat dinyatakan bahwa pelaku bersama-sama oknum penegak hukum tersebut dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi.
Selain hal yang dikemukakan di atas, juga terdapat perbedaan psikologis antara pengawasan yang dilakukan pejabat pengawas (penanganan di bidang administratif) dengan penanganan melalui sarana hukum pidana, diantaranya:
1. pejabat pemerintah (administratif) tidak banyak yang paham tentang hukum pidana
2. pejabat pemerintah (administratif) bekerja dengan tujuan meningkatkan kerjasama pihak pemerintah dengan dunia usaha, sehingga penanganan melalui sarana hukum pidana dianggap sebagai hal yang mengganggu dan patut dihidari sebab mereka perlu waktu untuk untuk membina hubungan dengan dunia usaha tersebut, serta mereka takut kehilangan prestise atau kepercayaan dari kalangan dunia usaha, sehingga ada “keengganan” untuk kesediaan melaporkan terjadinya atau adanya tindak pidana lingkungan, apalagi ada kepentingan “politik” di dalamnya.
3. adanya pandangan yang menganggap kejahatan lingkungan hidup bukanlah suatu pelanggaran hukum yang serius, kasus ini cukup diselesaikan secara administrasi saja, apalagi jika kejahatan tersebut dilakukan oleh korporasi. Pelaku kejahatan korporasi, selalu “dianggap” warga yang baik dan terpandang di mata masyarakat.
4. keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penyidik dalam menangani kasus yang berkaitan dengan korporasi, menjadikan penyidik merasa pekerjaan tersebut “berat” dan menjemukan (karena memerlukan pemikiran dan perhatian serta kemauan yang lebih), sehingga semangat untuk menangani perkara tersebut semakin lama semakin menurun, apalagi mendapatkan hambatan dalam membuktikan atau mencari alat-alat buktinya.
5. adanya “kebijakan” untuk membiarkan pelaku tetap melakukan pelanggaran hukum lingkungan untuk jangka waktu yang lama, karena penguasa (pemerintah) sedang (masih) melakukan “perundingan” dengan pelaku untuk mencarikan solusinya dan atau mencari biaya-biaya yang diperlukan untuk menanggulangi hal tersebut.
6. adanya kecenderungan pihak penguasa (administratif) untuk melihat pelanggaran hukum lingkungan sebagai pelanggaran administratif, serta memandang penanganan secara hukum pidana tidak dapat mengambil suatu keputusan yang cepat, serta adanya kesulitan-kesulitan dalam pengambilan keputusan dikarenakan munculnya pertanyaan-pertanyaan: apakah sarana hukum pidana benar harus didayagunakan? Siapa yang berwenang dan siapa yang harus menanggung biayanya? Apakah penanganan tersebut secara ekonomis menguntungkan?
V. Kasus pidana lingkungan hidup, umumnya kompleks dan berbeda dengan kasus-kasus pidana pada umumnya yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (tindak pidana yang konvensional).
Penanganan kasus pidana lingkungan hidup perlu memperhatikan aspek keseimbangan antara pembangunan dan lingkungan hidup, antara kepentingan pembangunan ekonomi dan investasi dengan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan, dalam kerangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, serta memperhatikan adanya keterpaduan dengan aspek teknis.
Adanya keterpaduan dengan aspek teknis (lingkungan) dalam penanganan kasus lingkungan hidup, menyebabkan diperlukan adanya bantuan dan keterlibatan tenaga-tenaga ahli/teknis lingkungan hidup yang di mulai dari tahap pengawasan, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sehingga dalam mencapai sasaran dan tujuan penegakan hukum pidana lingkungan perlu dilakukan hubungan koordinasi yang saling terbuka dan satu visi/misi antara penyidik, penuntut umum dan aparat pemerintah (pusat dan daerah) serta instansi sektoral yang terkait.
Guna terlaksananya penanganan kasus pidana lingkungan perlu ditingkatkan model operasi yustisi perkara pidana lingkungan segitiga terpadu (tri-angle environmental criminal justice system) antara penyidik, penuntut umum dan aparat pemerintah (pusat dan daerah serta instansi sektoral yang terkait).
Penanganan kasus pidana lingkungan dilakukan dalam kerangka kerjasama terpadu mencegah dan meminimalkan adanya perbedaan-perbedaan dalam persepsi dan aparat pemerintah daerah serta instasi sektoral yang terkait memberikan dukungan penuh. Selanjutnya, juga perlu terbina persamaan persepsi dan pemahaman antara saksi-saksi, ahli dan penuntut umum terhadap aspek teknis dan hukumnya guna dapat dikontruksikannya aspek teknis dan aspek yuridis secara tepat.
Pemikiran lebih lanjut mengenai gagasan penegakan hukum satu atap (kuhususnya untuk tindak pidana lingkungan) di Indonesia perlu dilakukan penyiapan terhadap sistem pengembangan karir dan insentif bagi sejumlah polisi dan jaksa yang akan direkruit, Selanjutnya, sistem rekruitmen aparat yang masuk ke dalam insitusi penegakan hukum satu atap di dasarkan pada penilaian kualitas dan integritas (karakter) yang baik, sehingga akan didapatkan menghasilkan aparat penegak (profesi) hukum yang profesional dan memiliki hati nurani dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
--o0o--
[1] Gunardi Endro, 1999, Redefenisi Bisnis Suatu Penggalian Etika Keutamaan Aristoteles, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, hal. 103
[2] Alvi Syahrin, 2003, Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam pencemaran dan atau kerusakan lingkungan, Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Piano/Lingkungan pada Fakultas Hukum USU, Medan, hal. 5 – 6.
[3] Perhatikan, Alvi Syahrin, 2002, Asas-asas dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, Pustaka Bangsa Press, Medan, hal. 2-3. Tistam P. Moeliono, 1994, Kekhawatiran Masa Kini, Pemikiran Mengenai Hukum Piano Lingkungan Dalam Teori dan Praktek, hal. 6 – 7.
[4] Hermien Hadiati Koeswadji, 1993, Hukum Pidana Lingkungan,Citra Aditya, Bandung, hal. 86 – 87.
[5] Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, IB, 1993, Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung., hal. 123.
[6] Arief Sidharta, B., 2003, Struktur Hukum, Alumni, Bandung, hal. 28.
[7] John Z. Loedoe, 1985, Menentukan hukum melalui tafsir dan fakta, Bina Aksara, Jakarta. hal. 107.
[10] Suara hati merupakan kesadaran moral kita dalam situasi konkrit; pertimbangan akal yang ditanamkan Tuhan pada manusia tentang apa yang baik dan buruk; pernyataan dari budi kesusilaan.
[11] Koesnadi Hardjasoemantri, op cit, hal. 375.
[12] Periksa Pasal 67 - Pasal 69 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[13] Periksa, Koesnadi Hardjasoemantri, 1999, Hukum Tata Lingkungan, Gajahmada University Press, hal. 95.
[14] Takdir Rahmadi, op cit, periksa juga Michael G Faure, 1994, "Environmental Crime, Some Thoughts on the Role of Criminal Law in Deterring Environmental Pollution", Journal of Financial Crime, Vol. 3, 1994, hal. 271 - 272.
[15] Hamrat Hamid, H., 1996, "Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan", Makalah, Penataran Nasional Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum UNAIR, Surabaya, hal. 1 – 2.
[16] Roeslan Saleh, 1988, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 77.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar