TINJAUAN TERHADAP
Oleh: Alvi Syahrin
I. Eksaminasi dilakukan untuk meneliti
atau melakukan pengujian, pemeriksaan berkas perkara untuk meneliti apakah
telah terjadi kekeliruan dalam melakukan peradilan. Hasil Eksaminasi akan
melahirkan sebuah benang merah sebuah pendapat yang menjadi kontribusi yang
bersifat sparing partner bagi kalangan hakim yang concern terhadap dunia
peradilan yang bermartabat.
Eksaminasi yang dilakukan saat ini terhadap Mahkamah Agung Nomor Nomor
862 K/Pidsus 2010. Adapun kasusnya yaitu melakukan tindak pidana lingkungan
hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) jo Pasal 45 UUPLH jo Pasal 47
UUPLH jo Pasal 64 ayat (1) UUPPLH.
II. Putusan Mahkamah Agung Nomor 862
K/Pidsus 2010 mengadili dan menyatakan Terdakwa PT. DONGWOO ENVIRONMENTAL
INDONESIA dalam hal ini diwakili oleh Kim Young Woo telah terbuki tidak secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencemaran Lingkungan
Secara Berlanjut sebagaimana Dakwaan Primer”.
Pasal 41 ayat (1) UUPLH:
Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan
sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 45 UUPPLH:
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab
ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 47 UUPPLH:
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku
tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa
:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana; dan/atau
b. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan;
dan/atau
c. perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
d. mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan
tanpa hak;dan/atau
e. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak;
dan/atau
f. menempatkan perusahaan di bawah pengampuan
paling lama (3) tiga tahun.
Pasal 64 ayat (1) KUHP:
Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing
merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga
harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu
aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana
pokok yang paling berat.
Jika diperhatikan dan dicermati Surat Dakwaan yang diajukan oleh Jaksa
Penuntut Umum pada ke dua kasus yang telah di putus Mahkamah Agung, dakwaannya
merupakan melakukan tindak pidana yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 UUPPLH.
Pasal 46 UUPPLH:
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh
atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi
lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum,
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap
mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak
sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh
atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi
lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun
berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan,
perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan
sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang
bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik
berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana
secara sendiri atau bersama-sama.
(3) Jika tuntutan
dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain,
panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan
kepada pengurus di tempat tinggal mereka atau di tempat pengurus melakukan
pekerjaan yang tetap.
(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan
pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di
pengadilan.
Suatu badan hukum merupakan suatu badan (entity) yang keberadaannya terjadi karena hukum atau undang-undang,
dan sebagai subyek hukum secara materiil ia (badan hukum) mencakup hal-hal
sebagai berikut:
1. Kumpulan atau asosiasi modal (yang ditujukan
untuk menggerakkan kegiatan perekonomian dan atau tujuan khusus lainnya.
2. Kumpulan modal ini dapat melakukan perbuatan
hukum (rechtshandeling) dalam
hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking), dan ini menjadi
tujuan dari sifat dan keberadaan badan hukum, sehingga ia dapat digugat atau
menggugat di depan pengadilan.
3. Modal yang dikumpulkan ini selalu
diperuntukkan bagi kepentingan tertentu, berdasarkan pada ketentuan-ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Sebagai suatu perkumpulan modal,
maka kumpulan modal tersebut harus dipergunakan untuk dan sesuai dengan maksud
dan tujuan yang sepenuhnya diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya, yang
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Kumpulan modal ini mempunyai pengurus yang
akan bertindak untuk mewakili kepentingan badan hukum ini, yang berarti adanya
pemisahan antara keberadaan harta kekayaan yang tercatat atas nama kumpulan
modal ini dengan pengurusan harta kekayaan tersebut oleh pengurus.
5. Keberadaan modal badan hukum ini tidak
dikaitkan dengan keanggotaan tertentu. Setiap orang yang memenuhi syarat dan
persyaratan yang diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya dapat menjadi
anggota badan hukum ini dengan segala hak dan kewajibannya.
6. Sifatkeanggotaannya tidak permanen dan dapat
dialihkan atau beralih kepada siapapun juga, meskipun keberadaan badan hukum
ini sendiri adalah permanen atau tidak dibatasi jangka waktu berdirinya.
7. Tanggungjawab badan hukum dibedakan dari
tanggungjawab pendiri, anggota, maupun pengurus badan hukum tersebut.
Tindak pidana lingkungan yang dilakukan untuk dan atau atas nama badan
hukum, setidak-tidaknya didalamnya terdapat, bahwa:
1. tindakan ilegal dari badan hukum dan
agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam
hal prosedur administrasi. Karenanya, yang dilakukan badan hukum tidak hanya
tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum
perdata dan administrasi.
2. baik badan hukum (sebagai "subyek hukum
perorangan "legal persons")
dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, antara lain
bergantung pada kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan
penuntutan.
3. motivasi kejahatan yang dilakukan badan hukum
bukan hanya bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan
kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan
motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur
organisasional.
Menetapkan badan hukum
sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan
tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Badan hukum
diperlakukan sebagai pelaku jika terbukti tindak bersangkutan dilakukan dalam
rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan badan hukum, juga termasuk
dalam hal orang (karyawan perusahaan) yang secara faktual melakukan tindak
bersangkutan yang melakukannya atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan
instruksi yang diberikan. Namun dalam hal yang terakhir ini tidak menutup
kemungkinan badan hukum mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan
dalam dirinya.
Menetapkan badan hukum
sebagai pelaku tindak pidana, dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada badan
hukum tersebut. Badan hukum secara faktual mempunyai wewenang mengatur/
menguasai dan/atau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak
terlarang.
Badan hukum yang dalam
kenyataannya kurang/ tidak melakukan dan/atau mengupayakan kebijakan atau
tindak pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindak terlarang dapat
diartikan bahwa badan hukum itu menerima terjadinya tindakan terlarang
tersebut, sehingga badan hukum dinyatakan bertanggung jawab atas kejadian
tersebut.
Badan hukum dalam upaya
pengelolaan lingkungan hidup mempunyai kewajiban untuk membuat kebijakan/
langkah-langkah yang harus diambilnya, yaitu:
1. merumuskan kebijakan di bidang
lingkungan;
2. merumuskan rangkaian/struktur
organisasi yang layak (pantas) serta menetapkan siapa yang bertang-gungjawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut;
3. merumuskan instruksi/aturan-aturan
internal bagi pelaksanaan aktifitas-aktifitas yang mengganggu lingkungan dimana
juga harus diperhatikan bahwa pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan
memahami instruksi-instruksi yang diberlakukan perusahaan yang bersangkitan;
4. penyediaan sarana-sarana
finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan
lingkungan hidup.
Jika terhadap
kewajiban-kewajiban di atas badan hukum tidak atau kurang memfungsikan dengan
baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk mengasumsikan bahwa PT kurang
berupaya atau kurang kerja keras dalam mencegah (kemungkinan) dilakukan tindak
terlarang.
Kewajiban merupakan
suatu peraaan yang harus dilaksanakan oleh pemegangnya. Setiap orang dapat
dipaksa untuk melaksanakan kewajibannya. Sehubungan dengan pelaksanaan
kewajiban tersebut, Hukum Pidana Baru berlaku atau diterapkan jika orang
tersebut:
1. Sama sekali tidak melakukan kewajibannya,
2. Tidak melaksanakan
kewajibannya itu dengan baik sebagaimana mestinya, yang dapat berarti
a. kurang melaksanakan
kewajibannya;
b. terlambat melaksanakan
kewajibannya, atau
c. salah dalam melaksanakan
kewajibannya, baik secara di sengaja maupun ridak disengaja
3. Menyalahgunakan pelaksanaan kewajiban itu.
Untuk menetapkan
badan hukum sebagai pelaku tindak pidana lingkungan ada beberapa faktor yang
harus diperhatikan, yaitu:
1. Apakah kasus tersebut berkenan dengan tindak
pidana dimana gangguan terhadap kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai
tindak pidana;
2. Norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait
pada perilaku yang mengganggu lingkungan;
3. Sifat, struktur dan bidang kerja dari badan
hukum tersebut.
III. Frasa “orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana” dan “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana” sebagaimana tercantum dalam Pasal 46 UUPLH (sekarang Pasal
116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, selanjutnya disingkat UPPLH) merupakan sebagai orang yang
dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Penjelasan Pasal 46 UUPLH menyatakan: “cukup jelas”, sehingga perlu
penafsiran untuk mengetahui maksud dari frasa “orang yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin”.
Pasal 46 UUPPLH, merumuskan: “... jika tindak pidana lingkungan dilakukan oleh,
untuk atau atas nama badan usaha maka tuntutan pidana dan sanksi pidana dapat
dijatuhkan kepada ... orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana”, maka “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana”
diartikan sebagai orang yang bertugas menjalankan dan melaksanakan “pengurusan”
badan usaha. Dengan kata lain, frasa “orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana” dalam pertanggungjawaban pidana korporasi/badan usaha
adalah untuk mengungkapkan tanggungjawab pengurus atau fungsionaris dari
korporasi. Artinya frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana”
sebagaimana dalam Pasal 46 UUPLH, menunjuk kepada pertanggungjawaban pidana
pengurus badan usaha secara individual. Pengurus badan usaha dapat dimintakan
pertanggungjawab pidana secara individual, apabila tindak pidana lingkungan
hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha.
Ketentuan Pasal 46 UUPLH membuka kemungkinan apabila suatu badan usaha
melakukan perbuatan pidana, tidak hanya yang dituntut badan usahanya saja,
tetapi juga orang yang telah memerintahkan kejadian tersebut dan orang yang
memimpin sendiri secara nyata perbuatan yang dilarang. Artinya, pengurus
sebagai pemberi perintah dan/atau pemimpin tindakan nyata dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh badan usaha.
Pengurus badan usaha dapat dalam keadaan “sebagai orang yang memberi
perintah untuk melakukan tindak pidana”, atau pengurus badan usaha dapat dalam
keadaan “sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana”. Artinya, keadaan seorang pengurus badan usaha yang bisa dalam keadaan
sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa dalam
keadaan sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana.
Keadaan seorang pengurus “sebagai pemberi perintah untuk melakukan
tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana” akan menyebabkan pengurus tersebut dapat dituntut
dua kali. Menuntut pengurus sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak
pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana, akan bertentangan
dengan rasa keadilan dan juga asas ne bis in idem akan menjadi penghalang untuk
menuntut dua kali orang (pengurus) yang sama dalam keadaan berbeda-beda (“sebagai
pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang
bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana”), artinya terhadap
pengurus tersebut cukup di pilih keadaan sebagai pemberi perintah untuk
melakukan tindak pidana atau keadaan sebagai orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak pidana.
Seseorang yang dalam fungsinya sebagai dalam organisasi korporasi
harus melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya tindakan terlarang, namun ia
tidak melakukannya, ia tidak kehilangan
posisi kepemimpinannya dalam konteks memberi arahan bagi tindakan
korporasi (yang secara faktual perbuatan itu dilakukan oleh pegawai lain).
Dalam kondisi ini orang tersebut dapat juga dikatakan sebagai orang
memimpin. Seseorang juga dapat dikatakan
sebagai secara faktual memimpin dalam tindak pidana badan usaha/korporasi jika
ia mengetahui terjadinya tindak pidana yang bersangkutan, namun ia tidak
mengambil langkah-langkah untuk mencegah perbuatan yang terlarang dan secara
menerima keadaan terjadinya perbuatan yang dilarang tersebut.
Rumusan Pasal 46 UUPLH menggunakan kata/frasa “atau” diantara frasa
“orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” dengan frasa “orang
yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” merupakan
penegasan untuk mencegah dituntutnya dua kali seorang pengurus atas satu tindak
pidana lingkungan yang terjadi.
Menurut Remmelink, di dalam praktek yang dimaksud sebagai “yang
memberi perintah” atau “yang memimpin” adalah para pengurus. Seseorang dapat
dikatakan secara faktual memimpin dilakukannya tindak pidana korporasi jika ia
mengetahui terjadinya tindak pidana tersebut, atau secara faktual dikatakan ada
perbuatan memimpin tindak pidana yang terjadi apabila pejabat yang bersangkutan
tidak mengambil langkah-langkah apapun untuk mencegah dilakukannya perbuatan
terlarang oleh para pegawainya, sekalipun ia berwenang untuk melakukan hal itu
dan secara dapat melakukan pencegahan dimaksud, dan bahkan secara sadar ia
membiarkan perbuatan terlarang itu terlaksana sekalipun ada kesempatan untuk
melakukan pencegahan terlaksananya perbuatan terlarang tersebut.
Pengurus korporasi/badan usaha merupakan individu-individu yang
mempunyai kedudukan atau kekuasaan sosial, setidaknya dalam lingkup perusahaan tempat
mereka bekerja. Mereka-mereka yang dapat dikategorikan sebagai pengurus badan
usaha yaitu:
a. mereka yang menurut anggaran dasarnya secara
formal menjalankan pengurusan badan usaha;
b. mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar
badan usaha bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki kewenangan untuk
melakukan perbuatan yang mengikat badan usaha
secara hukum berdasarkan:
1) pengangkatan oleh pengurus untuk memangku
suatu jabatan dengan pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri
dalam batas ruang lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya itu
untuk dapat melakukan perbuatan hukum mengikat badan usaha, atau
2) pemberian kuasa oleh pengurus atau mereka
sebagaimana dimaksud 1) untuk dapat melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat
badan usaha.
c. oleh orang lain yang diperintahkan oleh
mereka yang disebut dalam huruf a dan b, untuk melakukan atau menjalankan
pengurusan badan usaha.
Pengurus merupakan organ korporasi yang menjalankan kepengurusan
korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang
dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi
yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Dengan demikian, setiap
individu yang ditunjuk sebagai memiliki tanggung jawab organisasi atau
operasional untuk spesifik perilaku atau yang memiliki kewajiban untuk
mencegah, suatu pelanggaran oleh badan usaha dalam hal ini melaksanakan
kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dapat
dimintakan pertanggung-jawaban pidana.
Selanjutnya, mengenai frasa “Apabila tindak pidana lingkungan hidup
... dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan
hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana
dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut
tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau
bersama-sama”. Penjelasan Pasal 46 UUPLH menyatakan “cukup jelas”.
Memperhatikan Pasal 46 UUPLH berikut penjelasannya tidak ada
menjelaskan frasa “berdasarkan hubungan kerja” dan frasa “berdasarkan hubungan
lain”, sehingga diperlukan penafsiran hukum terhadap frasa tersebut.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, yang dimaksud dengan orang “yang
berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain” menunjukkan ada dua
kelompok orang, yaitu pertama: “orang-orang berdasarkan hubungan kerja” dan
yang kedua: “orang-orang berdasarkan hubungan lain”. Hubungan yang dimaksud
dalam kedua frasa tersebut harus ditafsirkan sebagai “hubungan dengan korporasi
yang bersangkutan”.
Selanjutnya, Sutan Remi Sjahdeini mengemukakan, “orang-orang
berdasarkan hubungan kerja” adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja
sebagai pengurus atau pegawai, yaitu:
a. berdasarkan anggaran dasar dan perubahannya,
b. berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai
dan perjanjian kerja dengan korporasi;
c. Berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai,
atau
d. Berdasarkan “perjanjian kerja sebagai
pegawai”.
Sedangkan “orang-orang berdasarkan hubungan lain” adalah orang-orang
yang memiliki hubungan lain selain hubungan kerja dengan korporasi. Mereka
antara lain yang mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan
atas ama korporasi berdasarkan:
a. Pemberian kuasa;
b. Berdasarkan perjanjian dengan pemberian
kuasa (pemberian kuasa bukan diberikan dengan surat kuasa tersendiri, tetapi
dicantumkan dalam perjanjian itu sehingga merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari perjanjian tersebut), atau
c. Berdasarkan pendelegasian wewenang.
IV. Pola pemidanaan dalam UUPLH sebagaimana
yang diatur dalam Ketentuan Bab IX Ketentuan Pidana pada Pasal 40 UUPLH sampai
Pasal 47 UUPLH (dalam
UUPPLH diatur dalam Bab XV, yaitu dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH), terdapat sanksi pidana dan sanksi
tindakan. Sanksi tindakan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 47 UUPLH (Pasal 119 UUPPLH) hanya bersifat komplemen atau pelangkap
yakni tidak ada ada bedanya dengan sanksi pidana tambahan yang bersifat
fakultatif. Hal tersebut dapat di simak dari adanya kata “dapat” dalam rumusan
Pasal 47 UUPLH tersebut.
Ketentuan Pasal 47 UUPLH berbunyi:
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau
tindakan tata tertib berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha
dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan
tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan
paling lama 3 (tiga) tahun.
Kata “dapat” dalam Pasal 47 UUPLH menunjukkan legislator (pembuat
undang-undang) memberi kebebasan bagi hakim yang memutuskan perkara tersebut
untuk menjatuhkan jenis sanksi tindakan atau tidak terhadap terdakwa.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 47 UUPLH, sanksi pidana tambahan atau
tindakan hanya dikenakan terhadap badan usaha, hal ini dapat dilihat dari
rumusan Pasal 47 UUPLH yang menyebutkan: “Selain pidana sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana
tambahan atau tindakan tata tertib berupa ...”.
Sanksi tindakan merupakan sanksi dalam hukum pidana yang bersifat
antisifatif bukan reaktif terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada
filsafat determinisme dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis dan spesifikasi
bukan penderitaan fisik atau perampasan kemerdekaan, dengan tujuan untuk
memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban.
Filsafat determinisme menyatakan pemidanaan menekakankan nilai-nilai
kemanusiaan dan pendidikan, searah dengan hakikat sanksi tindakan yang
menekankan tidak boleh adanya pencelaan terhadap perbuatan yang dilanggar oleh
pelaku. Tujuan pemidanaan bersifat mendidik untuk mengubah tingkah laku pelaku
tindak pidana dan orang lain yang cenderung melakukan tindak pidana.
Memperhatikan sanksi pidana yang ada dalam Pasal 41 UUPLH sampai
dengan Pasal 44 UUPLH yang mengenakan sanksi pidana penjara dan denda serta
Pasal 47 UUPLH yang dapat memberikan hukuman tambahan kepada badan usaha, maka
hukuman bagi badan usaha yang melakukan tindak pidana dapat berupa sanksi
pidana dan berupa sanksi tindakan.
Selanjutnya, jika diperhatikan dengan seksama ketentuan Pasal 46 ayat
(1) dan (2) UUPLH yang berbunyi:
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta
tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik
terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain
tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau
terhadap kedua-duanya.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar
hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan
badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan
pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi
perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah
orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan
lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.,
maka dapat dikemukakan bahwa sanksi
pidana berdasarkan Pasal 46 UUPLH dapat dijatuhkan kepada:
1. badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain;
2. pemberi
perintah untuk melakukan tindak pidana;
3. pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana
Ketentuan Pasal 45 UUPLH, menetapkan bahwa terhadap orang yang memberi
perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan atau orang yang bertindak
sebagai pemimpin dalam tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh, untuk,
atau atas nama badan usaha, ancaman pidana berupa penjara dan denda diperberat
dengan sepertiga.
V. Perkara yang di putuskan Mahkamah Agung
Nomor Nomor 862 K/Pidsus 2010, adalah terkait tindak pidana dilakukan oleh atau
atas nama PT. Dong Woo Environmental Indonesia berupa perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.
Memperhatikan Putusan Nomor 862 K/Pidsus 2010 yaitu melakukan tindak
pidana sebagaimana di atur dalam Pasal 41 ayat (1) UUPLH dan yang sebagai
pelakunya adalah orang (pelaku) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 ayat
(1) dalam hal ini baik badan hukum (PT Dongwoo Environmental Indonesia) maupun
mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam
perbuatan maupun ke dua-duanya.
Mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) UUPLH yaitu pengurus PT Dongwoo
Environmental Indonesia. Pengurus PT Dongwo Environmental Indonesia yaitu organ
korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai
dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki
kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidana.
Individu yang ditunjuk sebagai pengurus PT Dongwoo Environmental
memiliki tanggung jawab organisasi atau operasional untuk spesifik perilaku
atau yang memiliki kewajiban untuk mencegah, suatu pelanggaran oleh badan usaha
dalam hal ini melaksanakan kewajiban untuk melakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, dapat dimintakan pertanggung-jawaban pidana.
Periksaan perkara pidana di dasarkan kepada Surat Dakwaan. Terkait
dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 862 K/Pidsus 2010, Surat dakwaan yang
diajukan Jaksa Penuntut Umum di rumuskan “Bahwa PT Dongwoo Environmental
Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh Kim Young Woo sebagai Presiden
Direktur PT Dongwoo Environmental Indonesia ....”. Memperhatikan rumusan Surat
Dakwaan tersebut sebenarnya pelaku yang di dakwa adalah PT Dongwoo
Environmental Indonesia, sedangkan Kim Young Woo (Presiden Direktur PT Dongwoo
Environmental Indonesia) merupakan subyek yang mewakili PT Dongwoo
Environmental Indonesia dalam menghadapi persidangan, artinya Kim Young Woo
sebagai pengurus yang menghadiri (menghadap) persidangan dalam hal mewakili PT
Dongwoo Environmental Indonesia dan bukan sebagai terdakwa. Namun demikian
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum menuntut Kim Young Woo (Presiden Direktur PT
Dongwoo Environmental Indonesia) sebagai pelaku tindak pidana, hal ini dapat
dilihat dari tuntutannya: “1. Menyatakan terdakwa Kim Young Woo (dalam hal ini
mewakili PT Dongwoo Environmental Indonesia) bersalah melakukan tindak pidana
...; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Kim Young Woo (dalam hal ini
mewakili PT Dongwoo Environmental Indonesia) dengan denda ... subsidair 6 bulan
kurungan”. Selanjutnya, jika dilihat Tuntutan JPU pada tuntutannya yang ketiga
“Perampasan keuntungan yang diperoleh ... dan Penutupan PT Dongwoo Environmental
Indonesia” pada dasarnya yang dituntut adalah PT Dongwoo Environmental
Indonesia. Artinya pada Surat Tuntutan ada 2 (dua) orang yang dituntut yaitu 1.
PT Dongwoo Environmental Indonesia, dan 2. Kim Young Woo (Presiden Direktur PT
Dongwoo Environmental Indonesia), yang hal ini tidak sesuai dengan Surat
Dakwaan yang hanya mendakwakan pelakunya PT Dongwoo Environmental Indonesia.
Dengan demikian seharusnya Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya harus
mendakwakan pelakunya: Terdakwa I: PT Dongwoo Environmental Indonesia, dan
Terdakwa II: Kim Young Woo (Presiden Direktur PT Dongwoo Environmental
Indonesia).
Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi dalam putusannya menjadikan
pelakunya/yang di jatuhi pidana yaitu Kim Young Woo (Presiden Direktur PT
Dongwoo Environmental Indonesia) bukan PT Dongwoo Environmental Indonesia.
Selanjutnya, Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 862 K/Pidsus 2010 membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 465/Pid /2009 / PT.Bdg tanggal 3 Desember
2009 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi No. 458/Pid .B/2008
/PN.Bks tanggal 22 Juni 2009, dan memutuskan pelakunya/yang dijatuhi hukuman
adalah PT Dongwoo Environmental Indonesia, namun demikian Mahkamah Agung masih
juga kurang cermat dalam menjatuhkan pidananya karena pidana denda yang di
jatuhkan sebesar Rp. 650.000.000,00 (enam ratus lima puluh juta rupiah) jika
tidak di bayar dapat diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.
Hukuman denda yang di jatuhkan terhadap PT Dongwoo Environmental Indonesia berdasarkan
UUPLH merupakan hukuman pokok dan jika diganti dengan pidana kurungan menjadi
pertanyaan bahwa apakah mungkin PT Dongwoo Environmental Indonesia bisa
menjalani hukuman kurungan, oleh karena PT Dongwoo Environmental Indonesia
bukan sebagaimana halnya manusia.
Selanjutnya, jika dicermati kembali Surat Dakwaan yang di ajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum (JPU), terdapat keraguan dalam menentukan pelakunya artinya
surat dakwaan dibuat secara tidak cermat. Kemudian juga JPU dalam dakwaannya
menyatakan PT Dongwoo Environmental Indonesia, telah memperoleh keuntungan atas
tindak pidana yang dilakukannya sebesar US $ 31.175,2 namun dalam tuntutannya,
nilai keuntungan yang diperoleh PT Dongwoo Environmental Indonesia tersebut
hilang dan hanya menuntut “Perampasan keuntungan yang diperoleh tindak pidana
sebesar lebih kurang 410,2 ton sludge yang dijual kepada saksi Awing Cs ....”,
serta tuntutan tersebut dikabulkan hingga Mahkamah Agung. Ini suatu kejanggalan
karena keuntungan yang diperoleh yaitu berupa lebih kurang 410,2 ton sludge.
--oOo—
Kepustakaan:
Alvi Syahrin, 2011, Ketentuan
Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, PT Sofmedia. Jakarta.
Hans Kelsen, 2006, Teori
Hukum Murni; Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, (terjemahan Raisul
Muttaqien), Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung.
Jan Remmelink, 2003, Hukum
Pidana: Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-Undang Pidana
Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,
(terjemahan Tristam Pascal Moeliono), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta.
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum
Lingkungan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
*Disampaikan pada 31 Oktober 2013, pada acara Eksaminasi Putusan
Mahkamah Agung No. 862K/Pidsus/2010, Kementerian Lingkungan Hidup dan Sekolah
Pascasarjana USU.
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....