Kamis, 28 November 2013

Tinjauan Terhadap Putusan MARI No. 862/K/Pid.Sus/2010

TINJAUAN TERHADAP

Oleh: Alvi Syahrin


I.          Eksaminasi dilakukan untuk meneliti atau melakukan pengujian, pemeriksaan berkas perkara untuk meneliti apakah telah terjadi kekeliruan dalam melakukan peradilan. Hasil Eksaminasi akan melahirkan sebuah benang merah sebuah pendapat yang menjadi kontribusi yang bersifat sparing partner bagi kalangan hakim yang concern terhadap dunia peradilan yang bermartabat.
Eksaminasi yang dilakukan saat ini terhadap Mahkamah Agung Nomor Nomor 862 K/Pidsus 2010. Adapun kasusnya yaitu melakukan tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) jo Pasal 45 UUPLH jo Pasal 47 UUPLH jo Pasal 64 ayat (1) UUPPLH.


II.         Putusan Mahkamah Agung Nomor 862 K/Pidsus 2010 mengadili dan menyatakan Terdakwa PT. DONGWOO ENVIRONMENTAL INDONESIA dalam hal ini diwakili oleh Kim Young Woo telah terbuki tidak secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencemaran Lingkungan Secara Berlanjut sebagaimana Dakwaan Primer”.

Pasal 41 ayat (1) UUPLH:
Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 45 UUPPLH:
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.

Pasal 47 UUPPLH:
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa :
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
b. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
c. perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
d. mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;dan/atau
e. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
f. menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama (3) tiga tahun.

Pasal 64 ayat (1) KUHP:
Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

Jika diperhatikan dan dicermati Surat Dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada ke dua kasus yang telah di putus Mahkamah Agung, dakwaannya merupakan melakukan tindak pidana yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 UUPPLH.
Pasal 46 UUPPLH:
(1)  Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
(2)   Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
(4)   Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.

Suatu badan hukum merupakan suatu badan (entity) yang keberadaannya terjadi karena hukum atau undang-undang, dan sebagai subyek hukum secara materiil ia (badan hukum) mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.   Kumpulan atau asosiasi modal (yang ditujukan untuk menggerakkan kegiatan perekonomian dan atau tujuan khusus lainnya.
2.   Kumpulan modal ini dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum  (rechtsbetrekking), dan ini menjadi tujuan dari sifat dan keberadaan badan hukum, sehingga ia dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan.
3.   Modal yang dikumpulkan ini selalu diperuntukkan bagi kepentingan tertentu, berdasarkan pada ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Sebagai suatu perkumpulan modal, maka kumpulan modal tersebut harus dipergunakan untuk dan sesuai dengan maksud dan tujuan yang sepenuhnya diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya, yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.   Kumpulan modal ini mempunyai pengurus yang akan bertindak untuk mewakili kepentingan badan hukum ini, yang berarti adanya pemisahan antara keberadaan harta kekayaan yang tercatat atas nama kumpulan modal ini dengan pengurusan harta kekayaan tersebut oleh pengurus.
5.   Keberadaan modal badan hukum ini tidak dikaitkan dengan keanggotaan tertentu. Setiap orang yang memenuhi syarat dan persyaratan yang diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya dapat menjadi anggota badan hukum ini dengan segala hak dan kewajibannya.
6.   Sifatkeanggotaannya tidak permanen dan dapat dialihkan atau beralih kepada siapapun juga, meskipun keberadaan badan hukum ini sendiri adalah permanen atau tidak dibatasi jangka waktu berdirinya.
7.   Tanggungjawab badan hukum dibedakan dari tanggungjawab pendiri, anggota, maupun pengurus badan hukum tersebut.

Tindak pidana lingkungan yang dilakukan untuk dan atau atas nama badan hukum, setidak-tidaknya didalamnya terdapat, bahwa:
1.  tindakan ilegal dari badan hukum dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang dilakukan badan hukum tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.
2.  baik badan hukum (sebagai "subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, antara lain bergantung pada kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.
3.  motivasi kejahatan yang dilakukan badan hukum bukan hanya bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.

Menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Badan hukum diperlakukan sebagai pelaku jika terbukti tindak bersangkutan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan badan hukum, juga termasuk dalam hal orang (karyawan perusahaan) yang secara faktual melakukan tindak bersangkutan yang melakukannya atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan. Namun dalam hal yang terakhir ini tidak menutup kemungkinan badan hukum mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya.
Menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada badan hukum tersebut. Badan hukum secara faktual mempunyai wewenang mengatur/ menguasai dan/atau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak terlarang.
Badan hukum yang dalam kenyataannya kurang/ tidak melakukan dan/atau mengupayakan kebijakan atau tindak pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindak terlarang dapat diartikan bahwa badan hukum itu menerima terjadinya tindakan terlarang tersebut, sehingga badan hukum dinyatakan bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Badan hukum dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup mempunyai kewajiban untuk membuat kebijakan/ langkah-langkah yang harus diambilnya, yaitu:
1.  merumuskan kebijakan di bidang lingkungan;
2. merumuskan rangkaian/struktur organisasi yang layak (pantas) serta menetapkan siapa yang bertang-gungjawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut;
3. merumuskan instruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktifitas-aktifitas yang mengganggu lingkungan dimana juga harus diperhatikan bahwa pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami instruksi-instruksi yang diberlakukan perusahaan yang bersangkitan;
4. penyediaan sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup.

Jika terhadap kewajiban-kewajiban di atas badan hukum tidak atau kurang memfungsikan dengan baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk mengasumsikan bahwa PT kurang berupaya atau kurang kerja keras dalam mencegah (kemungkinan) dilakukan tindak terlarang.
Kewajiban merupakan suatu peraaan yang harus dilaksanakan oleh pemegangnya. Setiap orang dapat dipaksa untuk melaksanakan kewajibannya. Sehubungan dengan pelaksanaan kewajiban tersebut, Hukum Pidana Baru berlaku atau diterapkan jika orang tersebut:
1. Sama sekali tidak melakukan kewajibannya,
2. Tidak melaksanakan kewajibannya itu dengan baik sebagaimana mestinya, yang dapat berarti
a. kurang melaksanakan kewajibannya;
b. terlambat melaksanakan kewajibannya, atau
c. salah dalam melaksanakan kewajibannya, baik secara di sengaja maupun ridak disengaja
3.  Menyalahgunakan pelaksanaan kewajiban itu.

Untuk menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana lingkungan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Apakah kasus tersebut berkenan dengan tindak pidana dimana gangguan terhadap kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tindak pidana;
2. Norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku yang mengganggu lingkungan;
3. Sifat, struktur dan bidang kerja dari badan hukum tersebut.


III.        Frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” dan “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” sebagaimana tercantum dalam Pasal 46 UUPLH (sekarang Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya disingkat UPPLH) merupakan sebagai orang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Penjelasan Pasal 46 UUPLH menyatakan: “cukup jelas”, sehingga perlu penafsiran untuk mengetahui maksud dari frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin”. Pasal 46 UUPPLH, merumuskan: “... jika tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, untuk atau atas nama badan usaha maka tuntutan pidana dan sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada ... orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana”, maka “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” diartikan sebagai orang yang bertugas menjalankan dan melaksanakan “pengurusan” badan usaha. Dengan kata lain, frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” dalam pertanggungjawaban pidana korporasi/badan usaha adalah untuk mengungkapkan tanggungjawab pengurus atau fungsionaris dari korporasi. Artinya frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” sebagaimana dalam Pasal 46 UUPLH, menunjuk kepada pertanggungjawaban pidana pengurus badan usaha secara individual. Pengurus badan usaha dapat dimintakan pertanggungjawab pidana secara individual, apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha.
Ketentuan Pasal 46 UUPLH membuka kemungkinan apabila suatu badan usaha melakukan perbuatan pidana, tidak hanya yang dituntut badan usahanya saja, tetapi juga orang yang telah memerintahkan kejadian tersebut dan orang yang memimpin sendiri secara nyata perbuatan yang dilarang. Artinya, pengurus sebagai pemberi perintah dan/atau pemimpin tindakan nyata dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh badan usaha.
Pengurus badan usaha dapat dalam keadaan “sebagai orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana”, atau pengurus badan usaha dapat dalam keadaan “sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana”. Artinya, keadaan seorang pengurus badan usaha yang bisa dalam keadaan sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa dalam keadaan sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana.
Keadaan seorang pengurus “sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” akan menyebabkan pengurus tersebut dapat dituntut dua kali. Menuntut pengurus sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana,  akan bertentangan dengan rasa keadilan dan juga asas ne bis in idem akan menjadi penghalang untuk menuntut dua kali orang (pengurus) yang sama dalam keadaan berbeda-beda (“sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana”), artinya terhadap pengurus tersebut cukup di pilih keadaan sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau keadaan sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana.
Seseorang yang dalam fungsinya sebagai dalam organisasi korporasi harus melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya tindakan terlarang, namun ia tidak melakukannya, ia tidak kehilangan  posisi kepemimpinannya dalam konteks memberi arahan bagi tindakan korporasi (yang secara faktual perbuatan itu dilakukan oleh pegawai lain). Dalam kondisi ini orang tersebut dapat juga dikatakan sebagai orang memimpin.  Seseorang juga dapat dikatakan sebagai secara faktual memimpin dalam tindak pidana badan usaha/korporasi jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana yang bersangkutan, namun ia tidak mengambil langkah-langkah untuk mencegah perbuatan yang terlarang dan secara menerima keadaan terjadinya perbuatan yang dilarang tersebut.
Rumusan Pasal 46 UUPLH menggunakan kata/frasa “atau” diantara frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” dengan frasa “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” merupakan penegasan untuk mencegah dituntutnya dua kali seorang pengurus atas satu tindak pidana lingkungan yang terjadi.
Menurut Remmelink, di dalam praktek yang dimaksud sebagai “yang memberi perintah” atau “yang memimpin” adalah para pengurus. Seseorang dapat dikatakan secara faktual memimpin dilakukannya tindak pidana korporasi jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana tersebut, atau secara faktual dikatakan ada perbuatan memimpin tindak pidana yang terjadi apabila pejabat yang bersangkutan tidak mengambil langkah-langkah apapun untuk mencegah dilakukannya perbuatan terlarang oleh para pegawainya, sekalipun ia berwenang untuk melakukan hal itu dan secara dapat melakukan pencegahan dimaksud, dan bahkan secara sadar ia membiarkan perbuatan terlarang itu terlaksana sekalipun ada kesempatan untuk melakukan pencegahan terlaksananya perbuatan terlarang tersebut.
Pengurus korporasi/badan usaha merupakan individu-individu yang mempunyai kedudukan atau kekuasaan sosial, setidaknya dalam lingkup perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka-mereka yang dapat dikategorikan sebagai pengurus badan usaha yaitu:
a.    mereka yang menurut anggaran dasarnya secara formal menjalankan pengurusan badan usaha;
b.    mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar badan usaha bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan yang mengikat badan usaha  secara hukum berdasarkan:
1)    pengangkatan oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan dengan pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas ruang lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya itu untuk dapat melakukan perbuatan hukum mengikat badan usaha, atau
2)    pemberian kuasa oleh pengurus atau mereka sebagaimana dimaksud 1) untuk dapat melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat badan usaha.
c.    oleh orang lain yang diperintahkan oleh mereka yang disebut dalam huruf a dan b, untuk melakukan atau menjalankan pengurusan badan usaha.

Pengurus merupakan organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Dengan demikian, setiap individu yang ditunjuk sebagai memiliki tanggung jawab organisasi atau operasional untuk spesifik perilaku atau yang memiliki kewajiban untuk mencegah, suatu pelanggaran oleh badan usaha dalam hal ini melaksanakan kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dapat dimintakan pertanggung-jawaban pidana.
Selanjutnya, mengenai frasa “Apabila tindak pidana lingkungan hidup ... dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama”. Penjelasan Pasal 46 UUPLH menyatakan “cukup jelas”.
Memperhatikan Pasal 46 UUPLH berikut penjelasannya tidak ada menjelaskan frasa “berdasarkan hubungan kerja” dan frasa “berdasarkan hubungan lain”, sehingga diperlukan penafsiran hukum terhadap frasa tersebut.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, yang dimaksud dengan orang “yang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain” menunjukkan ada dua kelompok orang, yaitu pertama: “orang-orang berdasarkan hubungan kerja” dan yang kedua: “orang-orang berdasarkan hubungan lain”. Hubungan yang dimaksud dalam kedua frasa tersebut harus ditafsirkan sebagai “hubungan dengan korporasi yang bersangkutan”.
Selanjutnya, Sutan Remi Sjahdeini mengemukakan, “orang-orang berdasarkan hubungan kerja” adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja sebagai pengurus atau pegawai, yaitu:
a.    berdasarkan anggaran dasar dan perubahannya,
b.    berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai dan perjanjian kerja dengan korporasi;
c.    Berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai, atau
d.    Berdasarkan “perjanjian kerja sebagai pegawai”.

Sedangkan “orang-orang berdasarkan hubungan lain” adalah orang-orang yang memiliki hubungan lain selain hubungan kerja dengan korporasi. Mereka antara lain yang mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas ama korporasi berdasarkan:
a.    Pemberian kuasa;
b.    Berdasarkan perjanjian dengan pemberian kuasa (pemberian kuasa bukan diberikan dengan surat kuasa tersendiri, tetapi dicantumkan dalam perjanjian itu sehingga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tersebut), atau
c.    Berdasarkan pendelegasian wewenang.

IV.        Pola pemidanaan dalam UUPLH sebagaimana yang diatur dalam Ketentuan Bab IX Ketentuan Pidana pada Pasal 40 UUPLH sampai Pasal 47 UUPLH (dalam UUPPLH diatur dalam Bab XV, yaitu dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH), terdapat sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi tindakan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 47 UUPLH (Pasal 119 UUPPLH) hanya bersifat komplemen atau pelangkap yakni tidak ada ada bedanya dengan sanksi pidana tambahan yang bersifat fakultatif. Hal tersebut dapat di simak dari adanya kata “dapat” dalam rumusan Pasal 47 UUPLH tersebut.
Ketentuan Pasal 47 UUPLH berbunyi:
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a.    perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b.    penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c.    perbaikan akibat tindak pidana;
d.    pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e.    penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Kata “dapat” dalam Pasal 47 UUPLH menunjukkan legislator (pembuat undang-undang) memberi kebebasan bagi hakim yang memutuskan perkara tersebut untuk menjatuhkan jenis sanksi tindakan atau tidak terhadap terdakwa. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 47 UUPLH, sanksi pidana tambahan atau tindakan hanya dikenakan terhadap badan usaha, hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 47 UUPLH yang menyebutkan: “Selain pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa ...”.
Sanksi tindakan merupakan sanksi dalam hukum pidana yang bersifat antisifatif bukan reaktif terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat determinisme dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis dan spesifikasi bukan penderitaan fisik atau perampasan kemerdekaan, dengan tujuan untuk memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban.
Filsafat determinisme menyatakan pemidanaan menekakankan nilai-nilai kemanusiaan dan pendidikan, searah dengan hakikat sanksi tindakan yang menekankan tidak boleh adanya pencelaan terhadap perbuatan yang dilanggar oleh pelaku. Tujuan pemidanaan bersifat mendidik untuk mengubah tingkah laku pelaku tindak pidana dan orang lain yang cenderung melakukan tindak pidana.
Memperhatikan sanksi pidana yang ada dalam Pasal 41 UUPLH sampai dengan Pasal 44 UUPLH yang mengenakan sanksi pidana penjara dan denda serta Pasal 47 UUPLH yang dapat memberikan hukuman tambahan kepada badan usaha, maka hukuman bagi badan usaha yang melakukan tindak pidana dapat berupa sanksi pidana dan berupa sanksi tindakan.
Selanjutnya, jika diperhatikan dengan seksama ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan (2) UUPLH yang berbunyi:
(1)  Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
(2)   Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.,
maka dapat dikemukakan bahwa sanksi pidana berdasarkan Pasal 46 UUPLH dapat dijatuhkan kepada:
1.    badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain;
2.    pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana;
3.    pemimpin kegiatan dalam tindak pidana
Ketentuan Pasal 45 UUPLH, menetapkan bahwa terhadap orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, ancaman pidana berupa penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.

V.         Perkara yang di putuskan Mahkamah Agung Nomor Nomor 862 K/Pidsus 2010, adalah terkait tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama PT. Dong Woo Environmental Indonesia berupa perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.
Memperhatikan Putusan Nomor 862 K/Pidsus 2010 yaitu melakukan tindak pidana sebagaimana di atur dalam Pasal 41 ayat (1) UUPLH dan yang sebagai pelakunya adalah orang (pelaku) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dalam hal ini baik badan hukum (PT Dongwoo Environmental Indonesia) maupun mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan maupun ke dua-duanya.
Mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) UUPLH yaitu pengurus PT Dongwoo Environmental Indonesia. Pengurus PT Dongwo Environmental Indonesia yaitu organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana.
Individu yang ditunjuk sebagai pengurus PT Dongwoo Environmental memiliki tanggung jawab organisasi atau operasional untuk spesifik perilaku atau yang memiliki kewajiban untuk mencegah, suatu pelanggaran oleh badan usaha dalam hal ini melaksanakan kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dapat dimintakan pertanggung-jawaban pidana.
Periksaan perkara pidana di dasarkan kepada Surat Dakwaan. Terkait dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 862 K/Pidsus 2010, Surat dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum di rumuskan “Bahwa PT Dongwoo Environmental Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh Kim Young Woo sebagai Presiden Direktur PT Dongwoo Environmental Indonesia ....”. Memperhatikan rumusan Surat Dakwaan tersebut sebenarnya pelaku yang di dakwa adalah PT Dongwoo Environmental Indonesia, sedangkan Kim Young Woo (Presiden Direktur PT Dongwoo Environmental Indonesia) merupakan subyek yang mewakili PT Dongwoo Environmental Indonesia dalam menghadapi persidangan, artinya Kim Young Woo sebagai pengurus yang menghadiri (menghadap) persidangan dalam hal mewakili PT Dongwoo Environmental Indonesia dan bukan sebagai terdakwa. Namun demikian Tuntutan Jaksa Penuntut Umum menuntut Kim Young Woo (Presiden Direktur PT Dongwoo Environmental Indonesia) sebagai pelaku tindak pidana, hal ini dapat dilihat dari tuntutannya: “1. Menyatakan terdakwa Kim Young Woo (dalam hal ini mewakili PT Dongwoo Environmental Indonesia) bersalah melakukan tindak pidana ...; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Kim Young Woo (dalam hal ini mewakili PT Dongwoo Environmental Indonesia) dengan denda ... subsidair 6 bulan kurungan”. Selanjutnya, jika dilihat Tuntutan JPU pada tuntutannya yang ketiga “Perampasan keuntungan yang diperoleh ... dan Penutupan PT Dongwoo Environmental Indonesia” pada dasarnya yang dituntut adalah PT Dongwoo Environmental Indonesia. Artinya pada Surat Tuntutan ada 2 (dua) orang yang dituntut yaitu 1. PT Dongwoo Environmental Indonesia, dan 2. Kim Young Woo (Presiden Direktur PT Dongwoo Environmental Indonesia), yang hal ini tidak sesuai dengan Surat Dakwaan yang hanya mendakwakan pelakunya PT Dongwoo Environmental Indonesia. Dengan demikian seharusnya Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya harus mendakwakan pelakunya: Terdakwa I: PT Dongwoo Environmental Indonesia, dan Terdakwa II: Kim Young Woo (Presiden Direktur PT Dongwoo Environmental Indonesia).
Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi dalam putusannya menjadikan pelakunya/yang di jatuhi pidana yaitu Kim Young Woo (Presiden Direktur PT Dongwoo Environmental Indonesia) bukan PT Dongwoo Environmental Indonesia. Selanjutnya, Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 862 K/Pidsus 2010 membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 465/Pid /2009 / PT.Bdg tanggal 3 Desember 2009 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi No. 458/Pid .B/2008 /PN.Bks tanggal 22 Juni 2009, dan memutuskan pelakunya/yang dijatuhi hukuman adalah PT Dongwoo Environmental Indonesia, namun demikian Mahkamah Agung masih juga kurang cermat dalam menjatuhkan pidananya karena pidana denda yang di jatuhkan sebesar Rp. 650.000.000,00 (enam ratus lima puluh juta rupiah) jika tidak di bayar dapat diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Hukuman denda yang di jatuhkan terhadap PT Dongwoo Environmental Indonesia berdasarkan UUPLH merupakan hukuman pokok dan jika diganti dengan pidana kurungan menjadi pertanyaan bahwa apakah mungkin PT Dongwoo Environmental Indonesia bisa menjalani hukuman kurungan, oleh karena PT Dongwoo Environmental Indonesia bukan sebagaimana halnya manusia.
Selanjutnya, jika dicermati kembali Surat Dakwaan yang di ajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), terdapat keraguan dalam menentukan pelakunya artinya surat dakwaan dibuat secara tidak cermat. Kemudian juga JPU dalam dakwaannya menyatakan PT Dongwoo Environmental Indonesia, telah memperoleh keuntungan atas tindak pidana yang dilakukannya sebesar US $ 31.175,2 namun dalam tuntutannya, nilai keuntungan yang diperoleh PT Dongwoo Environmental Indonesia tersebut hilang dan hanya menuntut “Perampasan keuntungan yang diperoleh tindak pidana sebesar lebih kurang 410,2 ton sludge yang dijual kepada saksi Awing Cs ....”, serta tuntutan tersebut dikabulkan hingga Mahkamah Agung. Ini suatu kejanggalan karena keuntungan yang diperoleh yaitu berupa lebih kurang 410,2 ton sludge.

--oOo—

Kepustakaan:

Alvi Syahrin, 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT Sofmedia. Jakarta.
Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni; Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, (terjemahan Raisul Muttaqien), Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung.
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana: Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-Undang Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (terjemahan Tristam Pascal Moeliono), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta.
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.


*Disampaikan pada 31 Oktober 2013, pada acara Eksaminasi Putusan Mahkamah Agung No. 862K/Pidsus/2010, Kementerian Lingkungan Hidup dan Sekolah Pascasarjana USU.

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus